[SERIAL] MATA RANTAI (26)



Pintu lift di pintu selatan Monumen Nasional terbuka. Nyala lampu menyinari wajah Crain dan Arya. Keduanya masuk ke dalam lift. Lift berjalan pelan ke tinggian 115 meter dari permukaan tanah, membawa kedua orang itu ke pelataran puncak Monas dalam waktu 3 menit. Botol-botol bening menyambut mereka di dalam keremangan. Cahaya yang ada hanyalah berasal dari nyala lilin di atas bangku kayu. Dua orang bersenjata ada di dekat pintu lift.
“Apakah semuanya aman?” tanya Crain kepada dua orang penjaga itu. Keduanya mengangguk.
Arya melirik ORIS di tangannya. Lima belas menit lagi sudah tengah malam.
Crain dan Arya duduk di atas tikar. Di depannya ada baskom dan lilin. Crain merogoh sesuatu dari dalam jasnya. Ia mengelurkan kain warna merah maroon yang membungkus keempat batu mata rantai. Ia membuka kain itu di atas meja. Tampaklah batu mata rantai yang berbeda warna, berkilauan terkena terpaan cahaya lilin.
“Batu yang indah,” ujar Arya.
Crain sependapat dengan Arya. Batu itu memang terlihat sangat indah. Teksurnya sangat kuat dengan warna mengkilap bening. Jika dilihat dari beberapa sisi, warnanya berubah menjadi sangat bening, lalu kembali ke warna semula.
“Apakah kamu yakin akan ikut denganku berkelana?” tanya Arya.
Crain memandangi kekasih di depannya dengan sayu. Ia teringat kejadian setahun lalu, saat ia terakhir kali berkelana. Sebagai seorang Chief, dia memang memiliki kemampuan berkelana layaknya para Mata Rantai lainnya. Mereka bisa menembus altar lain, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan makhluk-makhluk di dalam altar itu. Hanya orang dengan indera ketujuhlah yang bisa, layaknya para generasi Mata. Kemampuan mereka berkelana hanya untuk mendeteksi, menganalisa, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan si makhluk. Komunikasi yang mereka lakukan hanya bisa lewat perantara media lain. Misalnya, dengan kertas. Memutuskan untuk berkelana seperti halnya memutuskan diri untuk menyerahkan nyawa. Mereka bisa saja tersesat dan tidak bisa kembali. Dan Crain pernah mengalaminya. Setahun lalu, ia hampir saja tidak bisa kembali ke dunia nyata.
“Lebih baik  kamu di sini saja, menjagaku,” pinta Arya.
“Kamu tidak apa-apa sendirian?” tanya Crain.
Arya menggeleng. Dia melihat ke jam tangannya lagi. “Sebentar  lagi dan kita harus segera melakukan peluncuran. Aku hanya perlu waktu lima menit untuk berkelana mengaktifkan batu itu agar bisa memerintah para prajurit tuyul untuk bergerak menyebarkan chip sistem kita. Batu itu akan melindungi kita dari iblis-iblis pengganggu. Aku hanya butuh ketenangan.”
“Aku akan menjagamu, Arya, sepenuh hatiku.” Crain menarik moncong pistol dari dalam jasnya.
# # #

Pada waktu yang sama, mobil Juna melesat di daerah stasiun Gambir. Stasiun itu masih tampak ramai. Juna memarkirkan mobilnya di dalam stasiun.
“Kira-kira Crain akan melakukan apa malam ini?” tanya Juna.
“Menanam bom lagi, di Monas?” tebak Dodo.
“Mungkin dia sedang melakukan sesuatu di sana,” sambung Dede.
Ketiganya berlari keluar dari Stasiun Gambir. Mereka mencari pintu masuk ke dalam Monas, tetapi semuanya tertutup. Dan anehnya, pintu-pintu itu dijaga oleh aparat-aparat bersenjata lengkap.
“Mereka bukan aparat polisi, kan?” tanya Juna. “Apa yang mereka lakukan di tengah malam seperti ini.”
“Jadi kita harus ke mana?” tanya Dede.
“Peta. Kita perlu peta,” ujar Juna.
Dede mengeluarkan tabnya. Dia membuka browser. Browser masih ada di tab salah satu kanal berita nasional. Sedetik kemudian kanal berita itu membuka ke halaman utama. Berita paling atas menunjukkan info tentang detik kabisat yang akan terjadi malam ini.
“Astaga, aku lupa kalau hari ini ada detik kabisat,” kata Dede.
“Detik kabisat?” tanya Juna.
“Kekacauan internet. Mengapa aku tidak berpikiran itu. Crain pasti memanfaatkan kekacauan internet untuk melakukan sesuatu. Apa yang bisa ia lakukan dengan batu mata dan sebuah sistem saat kekacauan internet?”
“Uang. Pengalihan yang ia lakukan dengan mengebom gedung Mata Rantai pasti agar polisi tidak menyadari apa yang mereka lakukan di Monas di Monas. Janero bersama mereka, kan?” tanya Juna. Dodo dan Dede mengangguk. “Janero bekerja di Departemen IT bersama kalian, dan setelah itu kalian kehilangan Aplikasi Pelacak Hantu. Bertepatan dengan itu, kini Crain memegang batu mata rantai. Mereka pasti menggunakan keduanya untuk pencurian uang.”
“Bos Juna benar,” ucap Dodo. “Mereka pasti memanfaatkan Aplikasi Pelacak Hantu untuk membuat satu sistem. Mereka akan meluncurkannya di puncak Monas.”
Ketiganya menatap Puncak Monas yang tampak bersinar di malam ini.
“Jam berapa?”
“23.55.”
“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Juna kepada dua asistennya. “Kita harus bagi dalam dua tim. Aku dan Dede akan pergi ke puncak Monas. Dan kamu Dodo, kamu yang mengarahkan kita berdua. Karena aku yakin, Crain pasti sudah memasang banyak ranjau di tempat ini.”
Lidah api di puncak Monas tampak megah. Hiasan lampu berwarna ungu dan orange menambah keelokan puncak Monas di malam hari.
“Aku baru sadar, Monas begitu indah di malam hari,” ujar Juna di tengah kepanikannya. Ia jadi teringat dengan keinginan Ariana untuk pergi ke puncak itu malam hari. Semoga dia baik-baik saja.
“Tak banyak yang tahu bahwa pada salah satu sisi lidah api di puncak Monas itu ada sosok "wanita misterius",” sambung Dede tiba-tiba.
“Wanita misterius?” tanya Juna, menoleh dengan kening berkerut.
Dede memandang puncak monas. “Keberadaan ‘wanita misterius’ di lidah api Monas hanya tampak dari sisi tertentu. Penampakan tersebut bisa dilihat dari arah Istana Merdeka. Lidah api itu terlihat seperti sosok perempuan yang sebagian rambutnya tersanggul pada bagian atas dan tergerai panjang di sisi samping. Banyak yang bilang bahwa sosok itu sengaja disamarkan oleh Presiden Pertama, salah satu penggagas Monas. Seorang perempuan yang sengaja ditempatkan untuk menyemangati Sang Presiden ketika bekerja.”
Menyemangati? Juna bertanya dalam dirinya sendiri. Ariana semoga kamu baik-baik saja, cepatlah datang.
“Ngomong-ngomong misterius, mengapa langit di sekitar sini tampak misterius sekarang?” tanya Dodo sambil memandang perubahan langit yang berkabut hitam.
Juna dan Dede ikut mengamati. Kabut itu berasal dari sisi timur.
Telinga Juna berdenging keras. Ia merasakan kepalanya sedikit pening. Ia sudah hafal dengan tanda-tanda ini. “Pasti ada wawancara pemanggil iblis di atas sana.” Juna mengamati perubahan langit yang mendadak berwarna sedikit jingga. “Mungkin malam ini, kita tak hanya akan berhadapan dengan Crain.”
# # #

Tepat pukul 23.56, Arya memusatkan pikiran dalam satu jiwa. Tangannya menggenggam keempat batu mata yang berkilauan. Lama kelamaan tubuhnya terasa ringan, seperti kapas yang berada dalam putaran angin puting beliung. Ia terus naik, naik, dan naik. Tubuhnya semakin tidak berisi dan ketika ia membuka mata, ia sudah berada di ruangan gelap tanpa cahaya. Ia menoleh ke belakang dan ia melihat pintu bercahaya di sana. Arya memeriksa tangannya. Keempat batu mata masih ada di sana.
Arya berdiri perlahan. Ia memeriksa ke kanan dan ke kiri. Sunyi. Jika keempat batu itu terjatuh, suaranya pasti menggema ke mana-mana.
Arya meyakinkan dirinya bahwa ia pernah ke tempat ini. Ia hanya perlu duduk di pusaran tempat, menggelar batu itu di atas lantai, lalu membaca mantra. Dan semuanya selesai.
Ia pun berjalan perlahan. Memasuki ruangan semakin dalam. Ia disambut oleh lorong berdinding merah maroon. Ia menyusuri lorong itu. Beberapa kali dia berpapasan dengan manusia tanpa kepala, kadang tanpa mata. Tetapi ia berusaha untuk tidak bergeming, ia harus memusatkan pikirannya pada tujuan.
Di ujung lorong, dia berbelok ke kiri dan bertemu dengan ruangan luas berpenerangan redup. Di tengah ruangan itu, dia duduk bersimpuh. Ia letakkan batu itu di atas lantai. Dan dia mengambil buku petunjuk batu mata dari dalam jasnya.
Ia membuka perlahan buku itu, mencari mantra yang harus ia baca.
Angin berhembus seperti dari ribuan kipas angin yang berjejer di depan Arya. Buku petunjuk mata berkibar. Arya memegangnya kuat-kuat. Degungan kuat terdengar di telinganya. Ia bisa merasakan ada ratusan bahkan ribuan makhluk sedang menuju ke arahnya. Bau busuk bak berton-ton sampah daging menyeruak. Arya hafal bau apa ini. Ini pertanda kedatangan mereka.  Bau iblis-iblis yang mengoda.
Arya berusaha membuka buku itu. Ia membacanya perlahan.
# # #

Crain berjalan mondar-mandir di samping tubuh Arya. Arya beberapa kali mengeluarkan keringat dan terlihat keningnya berkerut. Crain menggigit bibirnya. Ia bersidekap tangan di depan dada. Jantungnya berpacu seperti seorang anak yang sedang dikejar anjing galak.
Semoga kamu baik-baik saja.
Detik kabisat sudah tinggal semenit lagi. Dan Arya belum juga kembali.
“Apakah kami sudah boleh membuka botol-botol ini?” tanya salah satu petugas kepada Crain.
“Belum. Jangan, aku harus menunggu dia kembali.” Crain menggigit kuku jempolnya.
Astaga mengapa ia belum juga kembali.
Crain melirik jam tangannya. 30 detik lagi.
Denting pintu lift membuat Crain melupakan kegelisahannya. Pintu lift terbuka dan Janero bersama dua orang bersenjata lain keluar dari dalam lift.
“Ke mana saja kamu? Apakah kamu sudah membunuh Juna?” tanya Crain.
Janero menggeleng. “Belum. Dia kabur.”
“Apa? Kabur?” Crain memeriksa tab di tangannya. Tab itu menampilkan enam sisi layar berbeda dari CCTV yang di pasang di sekitaran Monumen Nasional.
“Tapi aku pastikan mereka tidak akan ke sini.”
“Juna bukan orang yang bodoh, Janero.” Crain mengangkat tabnya dan memperlihatkannya pada Janero. Di salah satu layar, dua orang sedang mengendap di pelataran bawah Monumen Nasional. “Lihat!”
Crain melirik tubuh Arya yang mengeluarkan banyak keringat. Dia belum juga kembali.
“Kamu segera aktifkan sistem kita, Janero. Aku tak mau membuang waktu, kita tak bisa menunggu Arya lagi,” ujar Crain. Dia kemudian melirik ke dua petugas di samping lift. “Kalian bereskan dua orang yang ada di pelataran!” perintah Crain dengan nada membentak.
# # #

Juna memandang diorama-diorama perjuangan di pelataran bawah Monas. Ruangan itu bercahaya redup. Ia seumur hidup tinggal di Jakarta belum pernah pergi ke Monas. Dan malam ini, ia baru saja mencatatkan sejarah di hidupnya. Bukan untuk liburan, tetapi untuk menggagalkan rencana Crain.
“Dodo, kita harus ke mana?” tanya Dede yang berdiri di samping Juna.
“Kalian lurus ke depan, ada lift di sana. Satu-satunya cara untuk sampai puncak hanya dengan lift itu. Aku akan memandu kalian. Aku sudah memetakan layout Monas dengan sistem. Aku mengirim drone kecil untuk melihat dari atas. Sistem akan menunjukkan secara keseluruhan layout Monas, termasuk jika ada musuh di depan kalian.”
Suara Dodo bergema di telinga Dede dan Juna. Mereka berkomunikasi dari sistem yang ditaruh di kornea mata Dodo dan Dede. Bentuknya menyerupai softlens bening.
Juna dan Dede berlari kecil menuju lift.
“Tunggu…” ucap Dodo.
“Ada segerombolan tikus kecil bersenjata yang menuju ruang pelataran. Persiapkan diri kalian. Mereka dari arah pintu masuk. Berlindunglah di balik diorama. Aku akan memandu kalian. Saat aku ucapkan tembak, berarti kalian harus menembak.”
# # #

Crain lega saat melihat mata Arya terbuka perlahan.
“Astaga, kamu telah kembali. Aku begitu khawatir melihat tubuhmu.”
Arya mengambil nafas panjang. “Tenanglah, aku tak apa-apa. Aku sudah membaca mantera itu dan kini waktunya kita meluncurkan sistemnya. Iblis-iblis dan tuyul-tuyul itu akan mematuhi kita.”
Janero menatap laptopnya. Sistemnya sudah seratus persen sempurna. Dan malam ini dia akan meluncurkannya.
Di samping Janero, Crain berdiri dengan kerut kening berlipat-lipat. “Sudah siap?”
Janero mengangguk.
“Luncurkan,”
Janero kembali mengangguk. Dia memencet tombol enter di laptopnya. Botol yang berisi tuyul-tuyul itu bergetar hebat. Asap keluar dari botol-botol itu. Detik kemudian segerombolan tuyul-tuyul kecil berkumpul, tertawa. Di dadanya mengalung benda kecil berlampu. Lampunya berkedip-kedip, sebuah sensor yang terhubung dengan sistem di laptop Janero.
“Saatnya bermain anak-anak manis.”
Janero melihat layar laptopnya yang menampilkan peta Jakarta secara satelit. Dia memperbesar layar, mendetailkan peta itu. Tampak gedung di sekitar Monas.
“Bermainlah sekarang.” Janero tampak beberapa kali memencet tombol, seolah dia sedang bermain games online. Di layarnya tampak titik-titik merah. Jumlahnya ratusan yang kini bergerak-gerak.
“Mereka akan menjadi pencuri-pencuri ulung malam ini,” Arya terkekeh panjang.
Tuyul-tuyul itu tampak menari-nari tertawa di tempatnya.
“Segera sebar mereka ke bank dan rumah-rumah koruptor Janero. Sudah waktunya.”
Janero mengetik sesuatu di laptopnya. Tetapi tidak terjadi reaksi apa-apa. Titik-titik itu masih berkedip di tempatnya. Keringat muncul dari sela-sela rambut Janero.
“Ada sesuatu?” tanya Arya seperti melihat kepanikan Janero. Janero tampak diam. Arya menoleh ke arah tuyul-tuyul itu. Kini tuyul-tuyul itu tampak diam, tidak lagi berjoget. “Mengapa tuyul-tuyul itu diam saja, Janero?”
“Aku tidak tahu. Sistemnya berhenti.”
Crain menelan ludah. Ia melihat wajah tuyul itu berubah menjadi merah. Mata mereka menyala terang.
“Sepertinya mereka marah,”
Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Dan di dalamnya ada Juna dan Dede.
“Mengapa mereka belum mati?” teriak Crain sambil mengacungkan telunjuknya ke arah lift.
“Crain, dengarlah, kamu harus segera mematikan sistem itu. Karena apa, karena batu yang kalian pegang itu bukanlah batu mata yang asli,” teriak Juna.
Arya mengamati batu yang ia pegang. “Bagaimana kamu tahu kalau batu ini palsu?”
“Ini pengalihan. Kamu lihat kan di belakang buku petunjuk batu itu ada gambar semacam kumbang. Itu kekutu, dalam bahasa pemrograman itu adalah bug. Pengganggu sistem. Sengaja diciptakan oleh Tuan Mata karena dia sudah tahu bahwa akan ada penyusup di Mata Rantai.”
Crain mengacungkan pistolnya. “Serahkan batu itu, Juna. Atau aku akan menembakmu.”
“Apakah jika kamu menembakku, kamu akan mendapatkan batu itu? Hanya aku satu-satunya orang yang tahu letak batu itu di mana.”
Crain menurunkan senjatanya perlahan. “Apa maumu?”
“Aku ingin kamu mematikan sistem itu, Crain. Ini berbahaya. Tidak hanya sistem itu, tetapi juga batu itu. Batu mata itu sangat berbahaya.”
“Tutup omong kosongmu, Juna.” Crain mengacungkan pistolnya kembali.
“Sekarang, kamu tidak hanya membuat marah tuyul-tuyul itu, tetapi wawancara pemanggil iblis kalian, telah menumbuhkan rasa benci dari iblis-iblis. Mereka sedang menuju ke mari. Dan kamu masih ingat Mahesa?”
Muka Crain tampak memerah.
“Dia ingin balas dendam dengan kalian.”
Juna menekan tombol di lift sambil mendorong tubuh Dede ke samping. Pintu lift menutup perlahan. Bertepatan dengan itu, Crain menarik pelatuk pistolnya.

# # #
baca kelanjutannya di sini

No comments