[SERIAL] MATA RANTAI (27)



Juna terperangah melihat hamburan tuyul-tuyul kecil yang berlompatan keluar dari lift. Para tuyul itu tak mempedulikan Juna dan Dede yang kebingungan. Kedua orang itu berputar-putar menyaksikan ratusan tuyul yang melompat, menari, berputar di sekeliling mereka.
“Banyak sekali,” pekik Juna di tengah keriuhan. Ia mengibaskan tangannya saat tuyul-tuyul itu lewat di depannya.
Nyala kemilau warna merah keluar dari kalung yang menggelantung di leher mereka. Juna menyambar salah satu tuyul yang berlari, kemudian memegang lehernya. Tuyul itu tampak memandangnya dengan tatapan merah menyala. Tak gentar, Juna membalas tatapan itu dengan mata melotot. Tuyul itu menciut. Juna memegang kalung di leher tuyul, lalu dengan tangkas dia menyerobotnya. Si tuyul mengerang, memegang lehernya dengan kuat.
Juna melempar tuyul di tangannya ke lantai.
“Apa yang kamu lakukan, Bos?” teriak Dede tak mengerti.
“Aku harus tahu kalung apa ini,”
“Tapi kamu membuat mereka marah.”
Juna melihat ke sekeliling. Para tuyul berhenti berlompatan. Mereka berkomplot memandang Juna. Juna menelan ludah. Ia seperti terjebak di antara ribuan lebah yang siap untuk mengentupnya perlahan. Ratusan pasang mata mengintimidasinya, menusuk. Juna menggenggam kalungnya.
“Dodo, apakah kamu tak bisa membantuku?” tanya Juna perlahan.
Dodo yang berada di seberang sana, di dalam mobil sport di parkiran Stasiun Gampir terperangah melihat begitu banyak tuyul yang mengepung Juna saat ini. Tuyul-tuyul itu seperti dikendalikan oleh sesuatu, mata mereka merah marah. Tak satupun jalan yang mereka berikan untuk Juna dan Dede.
“Ehm, tunggu. Aku harus berpikir,” jawab Dodo.
“Berapa lama? Kamu tak bisa membiarkan kami terus berada di kepungan mereka. Cepat bertindak.”
“Di belakang kalian ada lift, kalian bisa membukanya perlahan, lalu masuk.”
Dede menghela nafas. “Kamu pikir mereka bodoh. Mereka bisa menerobos masuk. Lagian, lift akan bergerak naik. Itu sama saja dengan memberikan nyawa kita pada Crain, Bodoh.”
“Ada waktu 3 menit untuk berpikir di dalam lift. Turuti saja perintahku.”
Dede menekan tombol lift di belakangnya. Bunyi lift membuka. “Awas saja sampai 3 menit lagi kita mati ditembak Crain, kamu yang pertama akan kuhantui.”
Juna dan Dede masuk ke dalam lift. Lift menutup perlahan. Beberapa tuyul mencoba menerobos. Juna dan Dede menendang mereka tanpa henti. Pintu lift tertutup. Lift naik perlahan. Para tuyul mencoba menerobos, tetapi yang mereka temui hanyalah ruang hampa. Mereka terjerembab jatuh.  
“Sekarang waktu tinggal 3 menit kurang. Apa yang akan kita lakukan, Do?”
Dodo berpikirlah, Dodo berpikirlah. Di dalam mobilnya, Dodo tampak komat kamit membaca mantra untuk dirinya sendiri.
“Apa yang akan kita lakukan dengan tuyul-tuyul kecil itu?” tanya Juna, tanpa berharap ada orang yang menjawabnya.
 “Ah, ingat permainan menangkap tuyul, Do?” tanya Dede pada saudaranya.
“Tentu saja.”
Dede menatap bos di depannya. “Bos, di permainan menangkap tuyul, apa yang kamu lakukan untuk menaklukkan mereka?”
Juna mengingat permainan menangkap tuyul yang selalu menjadi temannya saat ia merasa kebosanan. Saat ini dia sudah berada di level 271, “Tentu saja memberi mereka mainan atau tidak….”
Dede dan Juna saling pandang.
“Musik,” teriak mereka berdua.
“Dodo, kamu bisa mengirimkan musik ke sini?” tanya Dede.
“Ah, tentu saja, aku tinggal merentas sistem sound di sana, tunggu 1 menit. Tetapi masalahnya,” Dodo mengutak-atik laptopnya. Di laptopnya hampir tidak ada musik yang seru. Dia membuka Itunes. Di sana hanya ada satu lagu yang belakangan ini ia dengarkan atas saran Gordon. Lagu yang membuatnya terus bergoyang. “Hanya ada satu satu lagu di sini.”
“Lagu apa?”
“P A R T Y-nya SNSD,”
# # #

“Musik apa ini?” tanya Crain dengan berteriak. Terdengar di seluruh ruangan suara musik dance dengan vokal cewek. “Janero, apakah kamu tidak bisa berbuat sesuatu?” Sejak kemunculan tuyul-tuyul yang berubah marah, Crain mendadak mengeluarkan tanduknya. Beberapa kali ia membentak marah pada Janero. Untung saja kini para tuyul itu telah pergi semua ke pelataran Monas.
“Aku sedang berusaha. Sistem tiba-tiba disadap oleh seseorang. Apakah kamu tidak bisa diam sebentar?” ucap Janero tak kalah keras.
Arya yang di samping Janero menatap bawahannya itu dengan muka murka. “Apakah kamu bisa memelankan suaramu. Ingat bahwa di sini kita masih atasanmu, mengerti?”
Janero tak mempedulikan ucapan Arya dan terus memandangi layar laptopnya. Sistem yang ia gunakan mendadak tidak bisa digunakan, padahal ia sangat yakin bahwa ia telah mengujinya dengan baik.
“Cepat kamu perbaiki sistem itu, Bodoh, sebelum malam ini berakhir.”
Arya mondar mandir di tempatnya. Malam ini adalah malam yang telah ia nanti-nantikan selama bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun ia merencanakan malam ini bersama Crain, ia berharap semuanya bisa berjalan dengan lancar. Ia ragu apakah bisa menyelesaikan malam ini dengan sempurna.
“Bagaimana dengan Juna?” tanya Arya.
Crain melihat tabletnya. Di layar, tampak ruangan pelataran Monas sedang dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang tengah menari. Para tuyul itu tidak lagi memberontak, tetapi menikmati alunan musik dance dari musik yang muncul entah dari mana.
“Mereka berdua tidak terlihat.”
Pintu lift berdenting pelan. Pintu terbuka. Crain dan Arya menoleh kompak. Di dalam lift muncul wajah Juna dan Dede.
# # #

Juna dan Dede memandang ruangan di depannya. Tampak semua mata sedang mengarah kepada mereka. Juna menginderai sesaat ruang itu, di depannya ada dua orang bertubuh besar dengan senjata. Dengan kemampuan bela dirinya, dia bisa saja melumpuhkan dua orang itu dengan cepat. Tetapi, di depan mereka ada Crain dan Arya yang sedang berdiri, dan pasti bersenjata. Tak ayal, Juna merogoh pistol di depannya, lalu menarik pelatuknya, membuat dua orang di depannya tampak oleng. Juna mendobrak mereka dengan kaki kiri, dan dia berlindung di balik tubuh yang tak bernyawa.
Dede melakukan hal yang sama, dia berlindung dengan moncong senjata yang terus ia pegang erat. Juna melirik lorong di samping kiri, mungkin itu itu adalah satu-satunya jalan untuk pergi. Mengulur waktu. Atau ia kembali ke lift, ke pelataran. Tetapi pilihan pertama sepertinya lebih menguntungkan.
Dede dan Juna saling melirik. Mengangguk pelan tak terlihat.
Keduanya melempar tubuh besar di depannya ke depan. Crain melancarkan tembakan, mengenai tubuh itu. Juna berlari ke lorong di sisi kirinya, sementara Dede kembali ke dalam lift.
“Dodo, arahkan kami.”
# # #

Melihat dua musuhnya berlari terbagi dua, Crain dan Arya pun memutuskan untuk membagi dua. Arya mengejar Juna, sementara Crain berlari ke arah lift. Lift masih menutup. Ada waktu jeda sekitar 3 menit sebelum akhirnya pintu lift terbuka.
“Janero, kuharap kamu bisa menyelesaikan ini secepatnya,” ucap Crain sebelum ia masuk ke dalam lift. “Atau kamu memang bodoh dan tidak berguna.”
Janero hanya memandang gamang. Ia melirik ke sistemnya yang kini sudah kembali dengan benar. Tuyul-tuyul itu telah berfungsi kembali dan ia tinggal memencet enter untuk mengaktifkannya.
# # #

Dede berlari menyeberangi lorong di pelataran, sesekali ia melirik ke belakang. Ia tahu, orang yang kini sedang mengejarnya sedang dalam kemelut kemarahan yang berada di puncak. Tetapi sesuai dengan diskusi dengan Dodo dan Juna di dalam lift tadi, selama kurang dari 3 menit, ia harus membuat keputusan ini. Berpisah dengan Juna agar konsentrasi Crain dan Arya terpecah.
“Jadi rencananya seperti ini, kalian harus terpisah menjadi dua tim,” ucap Dodo saat lift mulai bergerak naik.
“Dua tim? Bercanda. Di depan kita ada musuh bersenjata dengan jumlah yang lebih banyak. Kita harus bersatu.”
“Tetapi justru itu, kita harus memisah konsentrasi mereka.”
“Aku setuju dengan Dodo,” ujar Juna. “Kita memang harus memecahkan konsentrasi. Dodo, apa yang ada di depan lift?”
“Ada dua orang penjaga bersenjata. Di kiri kalian ada lorong.”
“Pertama, kita harus melumpuhkan mereka berdua. Jadikan benteng agar kita tidak tertembak, setelah itu aku akan berlari ke lorong untuk memancing salah satu dari mereka agar mengejarku. Dede, kamu kembali ke lift, aku yakin salah satu dari mereka pun akan mengejarmu. Pergilah ke luar pelataran Monas, berlarikan sekencang mungkin agar kamu tidak tertembak. Setidaknya ini akan mengulur waktu. Jika memungkinkan, lumpuhkan dia. Tetapi, jangan dibunuh. Aku tak tahu, seberapa lama para tuyul itu terbuai oleh musik. Jika nanti mereka terlepas, kalung yang mereka pakai akan memancarkan sinyal ke sistem pusat. Dan mereka akan dikendalikan lagi. Jadi, sebisa mungkin kita harus menggagalkan itu. Pengendali sistem ada di laptop Janero. Nanti, aku akan yang mengurusnya.”
Dede terus berlari menapaki lantai marmer di sepanjang pelataran monas, ia berusaha agar tidak menyentuh diorama-diorama perjuangan di sana. Setibanya di luar Monas, dia segera menuruni anak tangga dengan cepat. Langit di sekitar Monas tampak menghitam pekat. Seperti mendung, tetapi lebih hitam. Tidak ada gelegar petir, berarti itu memang bukan mendung. Monas bak dikepung oleh asap tebal.
Kaki Dede cepat menuruni anak tangga. Sesekali ia berpikir, orang yang ada di belakangnya sudah semakin dekat. Tetapi ia tak berani menoleh. Tujuannya, ia akan membawa orang itu segera keluar dari Monas, menjauh. Entah apa yang nanti ia lakukan, ia saat ini belum tahu. Ia hanya berencana untuk menuruni tangga, pergi ke tanah lapang, lalu menunggu Dodo memberinya instruksi.
Suara tembakan terdengar di belakang, diikuti oleh suara teriakan yang ia kenal. Suara Crain.
Bagus, Crain mengikutiku.
Suara tembakan terdengar lagi.
Aku hanya terus berlari, atau sebentar bersembunyi dan kujegal Crain.
“Dede, sebaiknya kamu konsentrasi ke depan. Jangan menoleh ke belakang. Aku akan memandumu. Hati-hati dengan kakimu.” Suara Dodo terdengar menasehati di telinga Dede.
Iya aku harus berhati-hati. Dede menasehati dirinya sendiri.
Saat terdengar suara tembakan yang ketiga kalinya, Dede lupa akan nasehat Dodo. Ia menoleh sebentar, keseimbangannya terganggu. Saat ia kembali menatap ke depan, kakinya terkilir di anak tangga terakhir. Tubuhnya terdorong ke depan, mukanya menabrak rumbut basah tak berdosa. Ia merasakan ada sedikit tanah yang masuk ke dalam mulut. Saat ia mencoba menggerakkan kaki kirinya, ia merasakan sakit seperti ribuan pisau yang menyayat-nyayat. Ia memejamkan mata untuk menahan rasa sakit. Dan matanya kembali terbuka perlahan ketika sosok berjas abu-abu sedang berjalan dengan moncong senapan yang mengacung ke arahnya.
# # #

Mulut Dodo menganga, matanya menatap layar monitor yang menunjukkan wajah saudaranya menahan sakit di atas rumput halaman Monas.
“Dede bangun, kamu harus bangun. Ayo, Bro, kamu pasti bisa.” Dodo berteriak-teriak menyemati. Pasalnya ia melihat Crain sedang berjalan cepat ke arah Dede yang terjatuh. “Oh come on Man,
Tetapi sepertinya, ia harus menyemati dirinya sendiri juga. Saat ini, beberapa meter dari mobil yang ia tempati, dua orang petugas berseragam dan bersenjata sedang berjalan ke arahnya. Untungnya, kaca mobilnya berpelapis 80% sehingga orang yang ada di luar tidak dapat melihat keadaan di dalam mobil.
Dodo menutup Macbook Pronya tanpa mempedulikan beberapa aplikasi yang masih terbuka. Ia mengambil senjata yang tersembunyi di dalam dashboard. Ia memasang alat penyetrum di pintu. Setelah itu, dia menyelinap ke bangku kedua, membuka pintu perlahan. Lalu keluar dari sisi mobil yang tak terlihat si penjaga. Dia berjalan pelan, mengendap. Ia memencet tombol ON di handphonenya untuk mengaktifkan alat setrum dan alarm mobil. Ia jongkok untuk melihat kaki si penjaga. Setelah memastikan aman, dia berjalan pelan ke belakang.
Dua petugas itu sampai di mobil Dodo. Tanpa memeriksa terlebih dahulu, salah satu dari petugas membuka pintu depan. Akibatnya, tangannya tersetrum aliran listrik. Ia terjengkal ke belakang menubruk penjaga satunya. Keduanya terjatuh di tanah. Suara alarm mobil meraung-raung. Hal ini dimanfaatkan oleh Dodo untuk berlari kencang, walaupun ia sangat kesusahan karena timbunan lemak di perutnya.
Dodo melompati pagar tanaman, lalu berhasil menggapai gerbang keluar. Tetapi dari kejauhan, suara petugas itu meneriaki dirinya sambil melepaskan tembakan. Orang-orang tampak gaduh dan menjauh dari tempat kejadian pekara.
# # #

Jauh di atas pelataran Monas, Juna tampak berlari menyusuri lorong dengan langkah lebar-lebar. Beberapa kali dia harus menghindar saat Arya meluncurkan tembakan. Tetapi ia tak bisa berharap bisa terus berlari, dia memutuskan untuk berhenti di salah satu tikungan. Menghadang tubuh Arya yang berlari kencang. Tangan Juna menangkap lengan Arya, keduanya terjatuh terjerembab di atas lantai marmer. Bergulingan beberapa kali. Pistol di tangan Arya terlepas jauh.
Arya yang berada di bawah memanfaatkan posisinya untuk menendang bagian belakang Juna dengan kaki kanan. Juna terpukul ke depan, Arya menarik tangannya dan Juna terjatuh ke samping. Juna tak berdaya. Arya bangkit, menarik kaki kirinya lalu menghantamkannya pada perut Juna. Juna tampak meringis kesakitan, tetapi ia berhasil menarik kaki Arya dengan cepat. Menyebabkan Arya terpelanting ke depan menubruk kursi kayu di ujung lorong.
Arya bangkit, mengambil kursi kayu. Mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya pada tubuh Juna yang tak berdaya di lantai. Juna sempat menghindar, ia bisa bangkit dan berdiri. Arya mengambil pistolnya yang letaknya tak jauh dari tempatnya, lalu ia mengacungkannya pada Juna.
“Arya, Arya….dengarkan aku. Aku sangat percaya padamu, bukankah aku selalu mengatakan itu. Bagaimana kalau kita membicarakan baik-baik hal ini? Dengarkan aku, dengarkan,” ucap Juna dengan terbata.
“Apakah kini aku harus menurutimu Tuan Juna?” tanya Arya dengan sinis. “Kini tak ada yang membantumu. Di sini hanya ada kita, aku dan kamu. Mengapa tidak kita selesaikan saja sekarang?”
“Arya dengarkan, sistem yang kalian bangun itu membahayakan. Aku tahu tadi kamu berkelana, dan itu justru membangkitkan iblis-iblis di sana. Kamu pasti tahu Mahesa, dia sedang ke sini, dia ingin membalas dendam. Percayalah….”
“Persetan dengan mulut kecilmu, Juna. Sejak melihatmu, aku memang tidak yakin akan bisa bekerja sama denganmu. Aku tidak tahu mengapa Tuan Mata bisa mempercayakan Mata Rantai kepadamu.”
“Oke, jika jabatan itu yang kamu mau, aku akan menyerahkannya. Aku akan memberikannya padamu, bukankah itu yang kamu mau. Tetapi, turuti permintaanku. Akhiri semua ini, matikan sistem itu. Atau Jakarta akan dalam bahaya.”
“Tidak. Aku tidak akan menghentikannya. Aku sudah merencanakan ini bertahun-tahun. Dan aku memang membiarkanmu datang ke Mata Rantai karena hanya kamu yang tahu letak batu itu. Hanya kamu.”
“Dan kamu tahu, batu itu palsu. Tuan Mata yang menuliskannya sendiri. Batu yang kalian ambil itu palsu.”
“Jangan menggertakku, Juna.” Arya mengencangkan genggaman tangannya pada pistol. “Jangan pernah menggertakku. Aku sudah cukup mendapatkan perintah darimu akhir-akhir ini.”
“Aku mohon hentikan itu semua, dan aku akan menuruti apa yang kamu mau.”
“Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tipu dengan ucapan murahan seperti itu, Juna. Sekarang aku tinggal membunuhmu. Dan menyelesaikan misiku. Aku tinggal melenyapkanmu, membuat berita seolah kamu telah kabur dari Mata Rantai karena merasa gagal membangun perusahaan itu. Kamu jadi gila, kamu menempatkan bom di gedung Mata Rantai. Dan kamu jadi buronan. Tugasku selesai. Lagian, ada banyak orang yang akan lebih mempercayaiku daripada kamu.”
Juna mengambil nafas panjang. “Sejak lama aku mengagumimu, Arya. Sejak lama. Aku tak menyangka kamu akan menjadi penghianat.”
“Persetan dengan ucapanmu.” Arya menarik pelatuk pistolnya.
Terdengar bunyi tembakan keras. Suasana mendadak menjadi sunyi. Juna berdiri di tempatnya dengan kaku. Tubuhnya bergetar. Ia melihat ke dadanya yang ternyata masih bersih. Mukanya terangkat dan ia menyaksikan sendiri saat tubuh Arya pelan-pelan terjatuh ke lantai dengan luka tembak di kepalanya yang tampak memutih karena sebagian otaknya keluar. Tubuhnya limbung bersimbah darah. Di belakang tubuh Arya, ada Janero yang mengacungkan pistolnya.
Sementara itu, tembakan Arya meleset mengenai dinding.
# # #
[ bersambung ]

baca kelanjutannya di sini

1 comment

  1. Jadi juna ama arya ntar akhir nya bersatu gitu yaaa hahaha #kabur

    ReplyDelete