Mendapatkan ruh cintanya seperti menanti elok pelangi setelah mendung dan hujan. Lama. Namun berakhir indah. Dan aku ingin meminta kepada Sang Khalik agar Dia menghentikan waktu-Nya. Agar burung-burung tetap terbang rendah, bunga-bunga tetap bermekar wangi seperti di surga. Dan hijau rerumputan sebagai alas tidur, menatap mega, sambil membayangkan imaji-imaji yang belum pasti. Mimpi-mimpi yang ingin kujamah bersamanya. Tapi itu dulu saat aku bersama dia.
Kini, lebih tepatnya
sebulan lalu, dia menjatuhkan api ke hatiku ditambah sebotol bensin yang
langsung membumihanguskan nyala cinta. Bunga-bunga menjadi cokelat tak berwarna
dan tak berbau. Aku patah hati saat dia berterus terang bahwa dia telah terikat
cinta dengan teman kuliahku, yang kurasa tak lebih baik dariku. Hariku mulai menjadi
kelabu. Patah hati rasanya sepeti menelan pil pahit tanpa air setiap hari.
Menyesakkan tenggorokan, membuat mual. Apapun yang dijamah setiap hari adalah
keliru. Semuanya jadi palsu. Dan bayangan dirinya bermunculan satu-satu di
sekelilingku.
Sebulan sudah aku seperti
terkena Cotard’s Syndrom, aku sekarat
dan tak ingin hidup lagi. Kuliahku berantakan, tak ada sedikitpun ilmu tentang
elektron, ampere, sirkuit listrik yang masuk ke otak. Yang ada hanya namanya,
cintanya, wajahnya, dan kenangan bersamanya. Aku benar-benar terserang
kleptomania, otakku sudah kelainan.
Tapi lebih kelainan
lagi ketika kisah patah hatiku ini kuceritakan pada August Sadewa. Lelaki itu
berumur sekitar empat puluh tahun dan tinggal di sebelah kos-kosanku. Pada
suatu ketika aku sering melihatnya duduk
berlama-lama di depan rumah sambil melukis dan menikmati secangkir teh
ditemani bunga-bunga bermekaran di halaman dan dialah yang merawatnya setiap
sore. Dia akan pergi di pagi hari ketika aku berangkat kuliah dan kurasa dia
pulang lebih cepat daripada aku. Aku sebenarnya tak pernah ingin mengenalnya
atau mengetahuinya lebih jauh. Tapi ketika suatu petang aku sedang makan mie
goreng di Burjo—tempat makan favorit bagi mahasiswa berduit pas-pasan di
Jogja—Abang Burjonya bercerita tentang August Sadewa. Lelaki itu ternyata cukup
populer untuk penduduk di sekitar kosanku.
Orang-orang
memanggilnya August.
Atau lebih tepatnya
August si lelaki yang sering patah hati.
# # #
Sehari setelah kudengar
cerita dari Abang Burjo, aku memberanikan diri untuk datang ke rumah August.
Untuk ukuran rumah seorang pria—dan lajang—rumah ini terlalu rapi dan wangi. Jika
biasanya aku hanya melihat halaman rumah yang penuh dengan bunga, kini aku bisa
merasakan keindahan dan nyamannya taman di halaman itu. Ester, mawar, kamboja
berwarna-warni seolah-olah menggambarkan suasana hati pemilik rumah yang selalu
ceria.
Apakah ini untuk
menutupi hatinya yang selalu mendung karena sakit hati? Awalnya aku kurang
yakin dengan cerita Abang Burjo yang mengatakan bahwa August adalah lelaki yang
sering patah hati sejak dia berusia muda. Puncaknya adalah dia bercerai dengan
seorang karyawan bank di kota ini. Tak ada yang tahu penyebabnya. Tapi menurut
keyakinan Abang Burjo, dia dikhianati.
Pengkhianatan memang
selalu menyakitkan. Dan sampai kapanpun, membagi hati akan selalu salah. Adakah
yang lebih sakit dari pengkhianatan?
August memang bukan
asli penduduk sini. Dia pindah ke rumahnya sekarang dua tahun lalu, sejak rumah
tangganya mulai seperti semak rerumputan. Kering dan berantakan. Sebelumnya,
dia tinggal bersama si istri di kota ini juga. Semua orang tahu kisah August
karena sehari setelah dia bercerai, dia mulai datang ke burjo depan rumah dan
bercerita. Seharian dia di sana memesan kopi dan merokok berbungkus-bungkus
tanpa henti. Dia bercerita kepada siapa saja yang datang, sampai Abang Burjo
hafal detail cerita August. Dia benar-benar sekarat karena cinta dan seperti
tak ada tujuan hidup.
Lalu suatu ketika dia
tak pernah datang lagi ke Burjo. Dia lebih sering terlihat di depan rumah untuk
melukis dan merawat tanamannnya. Dan dia tampak lebih segar. Orang-orang mulai
tak mendengar ceritanya lagi. Tapi mereka masih hafal, bahwa August adalah
lelaki yang sering patah hati.
Sore itu aku memang
berhasil menemuinya. Belum pernah aku memandang dia dari dekat. Dia kembaran Tom
Hansen di (500) Days of Summer.
Mungkin rasa depresinya pun juga sama ketika Tom Hansen ditinggal Summer.
Ah,
sejak patah hati aku jadi lebih sering melihat film-film romantis semacam (500) Days of Summer, The Fault in Our Stars,
A Walk to Remember, ataupun If I Stay. Belum ada dalam kamusku
seorang mahasiswa Teknik Elektro lebih sering melihat (500) days of Summer daripada The
Legend of Hercules. Ya, kecuali seperti sekarang, lagi patah hati. Dan Tom
Hansen adalah gambaran sempurna untuk August.
Dia hanya bertanya apa
keperluanku, aku menjawab aku butuh bercerita. Lalu aku berkata bahwa kata
orang-orang dia adalah lelaki yang sering patah hati dan aku sedang
mengalaminya juga. Aku butuh orang untuk memberi saran karena aku sekarang
benar-benar sedang mengalami sindrom Cotard’s
yang mengenaskan. Antara hidup di alam nyata dan baka.
“Apakah kamu sudah
sinting meminta saran dari lelaki yang sering patah hati sepanjang hidupnya?”
ujarnya, lalu kudengar dia membenturkan daun pintu cukup keras.
# # #
August tetap menjalani
hidupnya seperti biasa, seperti saat dia belum diganggu oleh anak laki-laki
yang ngekos di samping rumahnya. Dia melukis di depan rumah. Dia merawat
tanaman. Dia naik sepeda setiap pagi. Dan dia mengundang anak-anak yatim piatu
ke rumahnya di akhir pekan. Akhir pekan rumah August disihir menjadi arena
bermain untuk para anak yang tak lagi memiliki ayah bunda. Mereka bermain,
kejar-kejaran, bernyanyi bersama, lalu August dan para pengasuh Panti Asuhan
Selalu Bahagia akan mendongeng cerita- cerita lucu di akhir kegiatan. Aku
sering memperhatikan mereka dari atas balkon di samping kamar kosanku di lantai
dua.
Kami pernah berpapasan
beberapa hari setelah kejadian sore itu. Dia tak memandangku seolah aku tak
pernah berusan dengan dia. Dan kami memang tak pernah berurusan. Tapi bukankah
aku pernah bertamu di rumahnya dan dia mengusirku? Mungkin dia memang tipe
orang yang tak ingin diganggu oleh orang lain, dia ingin melakukan apapun yang
ia suka, dan tak pernah ada yang bisa mencegahnya.
Dan itu karena dia
sudah terlalu sering patah hati?
Baik, aku memakluminya.
Maka, aku pun kembali larut dalam masa berkabung patah hati. Mulai mendengarkan
lagi lagu-lagu dan melihat (lagi) film-film galau dan romantis sepanjang hari. Otakku
mulai berkabut dan aku benar-benar kehilangan arah. Hidupku tak pernah
seberantakan ini. Belum lagi jika suatu hari aku bertemu dengan mantan di
kampus dan kulihat dia masih bisa tertawa terbahak dan seolah hidupnya tidak
hancur. Aku kembali ke rumah dan sempat terlintas ingin bunuh diri.
Aku pun mulai linglung
dan kembali merokok banyak di Burjo depan kosan. Tak pernah mandi untuk dua
sampai tiga hari. Dan aku merasa tak bernyawa.
“Kamu seperti August
saat awal-awal dulu dia bercerai dengan istrinya,” ucap Abang Burjo kepadaku.
Aku menyulut rokok yang
kesepuluh, kuhisap, dan kuhembuskan asapnya panjang. “Semua orang yang patah
hati akan merasakan hal yang aku rasakan sekarang. Kacau, sekarat, dan ingin
mati.”
“Apakah kamu tak
berbicara saja dengan August? Dia sekarang bisa lebih baik dari yang kukenal
awal dulu.”
“Sudah pernah kucoba,
tapi aku diusirnya.”
“Sungguh? Bukankah dia
adalah orang yang baik. Sepertinya dia tak akan mengusirmu begitu saja, kecuali
kamu melakukan hal yang kacau. Merusak tanamannya, misal.”
“Mungkin waktu aku
diusir, harusnya kurusak saja tanaman-tanamannya.”
“Kamu benar-benar
kacau. Apakah orang yang patah hati akan seperti ini? Dulu August juga seperti
ini. Kacau. Lihat sekarang dirimu.”
Aku menyeringai kecil.
Aku memang sedang kacau, Brader.
Ponselku berdering
sejak tadi, namun tak pernah kuangkat. Sudah ada beberapa SMS yang masuk juga,
salah satunya dari eyang di Jakarta. Huft,
pasti eyang dari tadi menelponku seperti biasa. Aku sedang tidak ingin
berbicara dengan siapapun hari ini dan untuk beberapa hari ke depan.
Kemarin-kemarin aku hanya menelepon eyang sesekali karena memang sedang tak
ingin. Pasti beliau mengkhawatirkan keadaanku seperti biasa.
Kubuka SMS-SMS yang
masuk. Dari Rian, tetangga kos, yang ngajak futsal. Jelas akan kutolak. Dari
Rey, teman kampus, yang ngajak ngerjain tugas kelompok di kampus nanti malam.
Ini juga akan kutolak. Dari operator yang memberitahukan bahwa paket internetku
habis nanti malam. Ini pasti gara-gara sering kupakai untuk ngecek facebook
dia. Shit. Dan terakhir dari eyang.
Seminggu lagi ulang tahun kan? Mau kado apa dari
eyang.Pulang ya, ada pesan dari Mamah. Udah 18 tahun, kan? Eyang.
Kututup layar ponsel.
Aku sedang tak ingin merisaukan apapun.
Malam setelah aku
meminum kopi bergelas-gelas hingga membuat perutku kram dan menghisap rokok
berbatang-batang, aku kembali ke rumah sempoyongan. Aku meracau seadanya.
Kudendangkan semua lagu patah hati yang pernah ada, tanpa nada.
Kurasakan kepalaku
sangat berat dan seperti diganduli berton-ton pasir. Aku hampir saja bisa
membuka pintu gerbang kosan jikalau tidak kurasakan perutku melilit dan
kepalaku berputar. Kurasakan tubuhku luruh sepenuhnya ke bumi. Aku limbung. Dan
pandanganku menghitam.
# # #
August berkata bahwa
aku terdampar di depan rumah dengan wajah lusuh dan pucat. Maka dia membawaku
ke dalam rumahnya. Dan aku pun tertidur hingga pagi. Ketika aku bangun dan
kurasakan kepalaku masih nyutnyutan, aku sudah berada di sofa ruang tamu
berselimut tebal. August duduk di dekatku sambil menonton TV.
Kulihat dia tak lagi
menyeramkan seperti saat kutemui dulu. Jambangnya tampak dicukur dan dia
bersisir rapi. Mukanya tampak bersih tak berminyak.
Setelah aku mulai sadar
bahwa aku memang benar-benar ada di rumahnya, aku duduk dengan sempoyongan
karena masih tersisa sedikit rasa pening di kepala.
Campuran kopi dan rokok
harusnya menyenangkan, namun jika berlebihan ternyata bisa mengakibatkan pecah
kepala. Seperti cinta, jika berlebihan ternyata berefek mengerikan. Pasti
pernah mendengar orang yang membunuh pacarnya karena berselingkuh. Mungkin itu
efek dari cinta yang berlebihan. Shit,
patah hati membuatku jadi sok puitis seperti ini.
“Berapa umurmu
sekarang?” August bertanya padaku di sela obrolannya tentang kejadian tadi
malam.
“Hampir delapan belas.”
“Dan kamu seolah-olah
sudah hancur, hidupmu sudah berantakan, hanya karena...patah hati seperti
sekarang?” Dia mendengus. “Beresi wajahmu, kembalilah ke kosan. Nanti jika
sudah baik, kamu ke sini lagi atau hubungi saya via telepon.” Dia menulis nomer
ponselnya di secarik kertas dan menyodorkannya padaku.
“Untuk apa saya ke sini
lagi?” tanyaku heran.
“Bukankah kamu sendiri
yang bilang kemarin, kamu ingin mendapatkan saran dari orang yang sudah sering
patah hati?” Dia menyeringai kecil, lalu tersenyum.
Aku mengangguk.
# # #
August mengajakku ke
pantai Parangtritis. Hari sudah hampir sore ketika kami tiba di sana. Sesampainya
di sana, dia menyuruhku untuk berdiri di bibir pantai. Ombak mulai menyentuh
kakiku.
“Hiruplah udara
sebanyak-banyaknya, hembuskan perlahan, lalu berteriaklah sekencangnya.”
Sepanjang perjalanan ke
tempat ini, August banyak bercerita tentang hidupnya yang penuh dengan
penyesalan, rasa patah hati, dan jatuh cinta. Inilah kisah paling memilukan
yang pernah kudengar dan cerita patah hatiku belum menyentuh seujung kukunya
pun.
August bercerita bahwa dia
dulu adalah cowok brengsek yang sering sekali mempermainkan hati wanita.
Sebelum berumur dua puluh dua tahun, dia sudah sering bergonta-ganti pasangan. Selama
menjalin hubungan-hubungan itu, dia tak pernah menggunakan perasaannya. Seperti
memainkan permen karet di dalam mulutnya, manis di awal kemudian akan dibuang
ketika rasanya sudah mulai hambar dan mulut kaku. Cewek-cewek yang dipilih
August pun adalah tipe cewek yang tak akan sakit hati jika ditinggal, atau
hanya menangis tiga hari ketika August selingkuh.
“Lalu aku mengenal dia...dan
aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.”
Bagi August, ketika
umurnya dua puluh dua tahun adalah saat dirinya benar-benar merasakan cinta
yang sesungguhnya. August mengenal wanita pujaannya saat keduanya sama-sama
mencari pekerjaan. Wanita itu bukanlah seperti gadis-gadis lain yang pernah ia
pacari, begitu katanya.
“Dia permata, dia
terlalu baik. Dan dia adalah wanita yang sangat cocok untuk dijadikan
pendamping hidup sampai mati...dan aku mengkhianatinya.”
Aku menelan ludah.
Lelaki di sampingku ini jadi pernah menyakiti seseorang juga?
August bukan hanya
menyakiti seseorang, tapi dia juga mencampakkan dan mengkhianatinya. Saat ia
sudah memiliki wanita itu dan hampir menikah, August justru kembali menjalin
cerita dengan perempuan lain. Dan wanita pujaannya hamil karenanya.
“Apakah dia memaafkan
kamu?” tanyaku.
August menggeleng.
“Sampai dia mati, dia tak pernah memaafkan aku. Atau entahlah, tapi sepertinya
dia memaafkanku. Tapi kami tak bisa bersatu lagi karena keluarganya melarang.”
“Dia...meninggal?”
“Ya, setelah melahirkan
bayi kami dia terkena kanker rahim. Tak lama setelah itu dia meninggal.”
August melanjutkan
ceritanya dengan hal yang lebih memilukan. Hidupnya benar-benar hancur saat itu
dan dia kehilangan gairah untuk mencapai mimpi-mimpinya. Lima tahun dia sendiri
dan memutuskan untuk tidak memiliki siapa-siapa. Dia pergi ke Jogja dan
mempelajari tentang pemograman di kota ini dan bekerja sebagai web developer di salah satu
perusahaan IT. Tapi bayangan wanita pujaannya terus menerus mengusik. Lalu
suatu ketika dia memutuskan untuk melupakan rasa bersalahnya dan memulai
kehidupan baru.
“Aku mulai mencoba
mencintai seseorang lagi...perlahan....dan selalu gagal. Bukan aku yang
menyakiti mereka. Tapi mereka yang satu persatu menyakiti aku. Aku benar-benar
seperti seorang lelaki yang terbuang dan tak dihargai.”
“Karma?”
“Mungkin lebih enak
jika dibilang hukuman dari Tuhan.”
“Bukankah kamu kemudian
menikah? Aku mendengar ceritamu dari Abang Burjo.”
“Ha ha ha, awal aku bercerai
aku memang bercerita kepada setiap orang tentang kisah cintaku, tentang lelaki
yang terlalu sering patah hati. Aku memang mendapatkan wanita yang benar-benar
aku cintai akhirnya. Kami menikah. Dan akupun bahagia. Lalu suatu ketika aku
menemukan SMS dari laki-laki lain di ponselnya dengan nada menggoda. Dan itu
berulang kali. Lalu kuputuskan untuk berpisah dengannya karena aku tahu Tuhan
belum berhenti menghukumku.”
August menghentikan
ceritanya ketika kami tiba di pantai dan dia menyuruhku untuk berteriak
sekencang mungkin. Aku pun sudah menceritakan kisah cintaku padanya. Tentang
wanita yang memutuskan secara tiba-tiba lalu justru berpacaran dengan teman
kampusku.
“Otak kita memiliki
banyak hormon yang diproduksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Misalnyua, oksitosin dan dopamin yang merupakan hormon untuk pembangkit rasa
bahagia. Lalu ketika kita sedang mengalami setres, depresi, ataupun seperti
kamu sekarang—patah hati—otak akan mengirimkan kortisol dan ephinephrine yang akan menimbulkan rasa
perlawanan atau melarikan diri. Reaksi ini akan bekerja secara maksimal di
dalam tubuh dan membuat kita merasa tertekan dan kita berusaha untuk
menghindarinya. Saat kita sakit hati, kita tak bisa menghindar dari rasa
tertekan ini dan akhirnya si kortisol itu akan melarikan diri ke dada. Itulah
mengapa saat sakit hati kita akan merasa sesak,” dia menjelaskan hal ini
panjang lebar.
“Dan untuk
menghilangkannya, kita cukup berteriak kencang seperti ini.” August
menyontohkan. Dia berteriak di sampingku dan aku mengikutinya. “Dulu aku sering
melakukannya di sini, Anak Muda.”
Nafasku
tersengal-sengal dan perlahan memang rasa sesak di dadaku menghilang.
“Tak ada gunanya larut
dalam sakit hati. Itu prinsipku akhirnya. Dan aku bisa berbuat baik lebih
banyak jika aku bahagia.” Dia tersenyum kepadaku. Entah apa makna dari
perkataannya itu, aku belum bisa mengartikannya. Tapi setelah pagi harinya dia
memintaku untuk menemaninya ke suatu tempat, aku baru sadar apa yang telah dia
perbuat. Kami berdua pergi ke Panti Asuhan Selalu Bahagia.
# # #
August menjadi donatur
tetap di Panti Asuhan Selalu Bahagia. Dan seperti yang biasa aku saksikan di
rumahnya, August mengundang para penghuni Panti Asuhan Selalu Bahagia ke
rumahnya di akhir pekan. Aku melihat rona gembira di wajah August ketika ia
bisa bercengkera dan mendongeng hal-hal luar biasa kepada anak-anak panti.
Mereka tampak menyukai August, begitupun August yang menyukai mereka.
Aku berdiri mematung
tak jauh dari lingkaran mereka. Lalu August menarikku ke dalam lingkaran itu.
“Apakah kalian mengenal
kakak ganteng ini?”
“Tidaaakkkkkkkkk....,”
jawab mereka serempak.
“Kakak ganteng ini
mahasiswa Teknik Elektro lho. Kalian pengen kuliah seperti kakak ini tidak?”
“Mauuuuuuuuuuu...”
“Makanya ayo belajar.
Nah, siang ini Kak Varlian khusus datang ke sini untuk mengajari kalian
belajar. Oke?”
August melirikku dan
mengerlingkan mata. Kini aku tahu mengapa aku harus ke sini. Ini mungkin
semacam obat untuk si kortisol yang menyebabkan aku patah hati.
August tak pernah
tertebak. Setelah dia menyeretku dengan terpaksa—awalnya—ke Selalu Bahagia sore
kemarin, pagi ini dia kembali menjebakku di dunianya. Di dunia yang menurutku
hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Pagi itu, kami tak lagi
mengendarai mobilnya ke pantai atau ke Selalu Bahagia. Tapi kami cukup berjalan
kaki saja. Seperti hari-hari sebelumnya, dia kembali bercerita tentang
kehidupannya, tentang penyesalannya, dan alasannya mengapa dia menjadi donatur
di Selalu Bahagia.
“Aku bahkan belum sempat
melihat anakku. Keluarganya lantas membumihanguskannya dari hadapanku. Mereka
tak mengijinkanku untuk menengok. Pilihan wanita pujaanku untuk tetap
mempertahankan bayi kami walaupun kami tak menikah terus menerus menyiksaku.
Bahkan sampai sekarang.”
“Lalu mengapa kita ke
sini? Anak itu ada di sini?”
Aku menatap plang warna
putih yang diberi tulisan warna-warni di hadapanku: TK CERIA 23.
“Bukan, dia bukan di
sini. Yang di sini adalah anakku dari mantan istriku. Dia sekolah di sini. Mantan
istriku juga mengisolasi anaknya dari sentuhan bapaknya ini.”
August membuka kaca
mobilnya.
“Itu dia jagoanku yang
sedang berlari.” August menunjuk seorang bocah 5 tahun yang berlari menuju
gerbang pintu masuk TK Ceria 23. Tak jauh dari gerbang itu, seorang wanita
cantik berdiri menatap bocah itu. Wanita itu tampak melambaikan tangan, lalu
setelah memastikan anaknya sudah masuk ke dalam kelas, dia balik badan dan
kembali ke mobilnya.
“Mantan istri?”
tanyaku.
August mengangguk.
# # #
August mengajarkan aku
bahwa rasa bersalah yang berlarut-larut hanya akan menghancurkan hidupku
perlahan. Dan aku memang merasakan hidupku memang mulai menjadi keping-keping,
remuk redam. Untung aku segera bertemu dengan August, lelaki yang sering patah
hati.
Siang itu, setelah kami
pergi ke TK Cerita 23, aku dan dia kembali mengobrol di Cafe Jendelo di
Gejayan. Seminggu sudah aku mengenalnya dan seminggu pula aku mulai mendapakan
suntikan semangat lagi. Satu hal yang pasti, mungkin aku harus kembali berkutat
dengan kabel-kabel dan rangkaian listrik di laboratorium. Sudah hampir dua
minggu aku nggak kuliah.
“Jangan sampai patah
hatimu menghancurkan hidupmu,” nasehatnya kepadaku.
“Kenapa kamu melakukan
ini semua? Maksudku, panti asuhan, berdiri berjam-jam di TK Ceria?”
“Aku tak bisa menjadi
yang terbaik untuk anakku. Aku hanya ingin selalu dekat dengan dia untuk
memastikan bahwa dia baik-baik saja. Kalo panti asuhan itu, aku hanya ingin
berbagi kepada mereka yang tak punya orang tua. Aku tahu, anakku pasti
mengalami hal yang sama. Kehilangan seorang ayah.”
Rasa penyesalan itulah
yang membuat August bisa setegar ini sekarang. Pastilah di awalnya dulu dia
menjadi zombie sepanjang hari. Sebelum dia menemukan kesadaran bahwa dia memang
harus berbuat lebih untuk hidupnya, memperbaiki hidupnya.
Sepanjang perjalanan
pulang, di dalam mobil August pikiranku mengembara ke beberapa hari belakang. Membayangkan
hidupku yang awut-awutan tidak karuan hanya karena sakit hati. August benar
bahwa hidupku tak boleh hancur hanya karena rasa sakitku. Hujan di luar
menandai tekadku yang baru.
Kucek ponselku yang
beberapa hari ini kuabaikan. Tugas-tugas kuliah yang terbengkelai, kehidupan
sosialku yang tak sehat, dan yang paling penting adalah SMS dari eyang yang
belum kubalas. Maka perlahan kuketik satu-satu balasan untuk semua SMS-ku.
Hey, Yan, apa ada tugas elektrodinamika buat Senin?
Terakhir kuketik SMS
untuk eyang.
Aku akan pulang eyang pas ultah nanti. Maaf baru
balas, lagi banyak tugas kuliah.
Sent.
Hujan menyambutku dan
August di pelataran rumahnya. August memintaku untuk masuk ke rumah dulu karena
hujan terlalu lebat dan dia akan meminjamiku payung. Maka kuturuti saja
permintaannya. Toh, nggak lucu juga
hujan-hujanan malam-malam gini. August juga meminjamiku baju karena bajuku
sedikit basah saat masuk ke dalam mobil tadi.
“Ambil saja di kamar,
pilih sesuai selera,” ujarnya dari dapur. Dia sedang membuatkan kopi panas
untukku.
Sungkan sebenarnya aku
masuk kamar orang yang baru kukenal beberapa hari. Walaupun sudah mendapat ijin
dari August, tapi aku masih beranggapan ini terlalu privasi. Tapi sepertinya
August mempercayaiku. Tak perlu tak enak karena sudah diijinkan. Toh, aku hanya tinggal masuk ambil kaos
di almari dan keluar secepatnya.
Kamar itu seperti
tempat-tempat lain di tempat ini, bersih dan wangi. Mungkin salah satu hal
positif yang dilakukan orang yang terkena sindrom patah hati adalah
bersih-bersih rumah. Lihat saja rumah dan kamar August. Tak ada yang tahu kalo pemiliknya
ternyata lelaki empat puluh tahunan itu adalah lajang.
Aku masuk ke kamar
August perlahan. Kulihat ke sekeliling. Barang-barang rapi di tempatnya. Yang
menarik perhatianku adalah sebuah lukisan besar di dinding. Lukisan seorang
wanita dengan rambut sebahu yang tampak tersenyum. Aku mendekat ke lukisan itu.
Pintu kamar terbuka dan
aku menoleh. Kudapati August ada di sana.
“Aku lupa, seharusnya
memang kamu tak kubiarkan masuk ke kamar ini.”
# # #
Mungkin patah hati
bukan hanya urusan hati dengan seorang wanita. Mungkin patah hati bisa menjadi
urusan semua orang. Dasarnya adalah kecewa, kecewa karena cintamu tak bergayung
sambut. Kecewa karena apa yang kamu inginkan tak menjadi kenyataan. Kecewa
karena merasa dikhianati. Kecewa karena merasa dibohongi. Itu semua
pangkal-pangkal patah hati.
Teori tentang hormon
kortisol dan ephinephrine yang tak
bisa lari dari tubuh dan menimbulkan rasa sesak di dada karena rasa kecewa,
sakit hati, amarah kini menghampiriku. Dia menyusup perlahan ke relung dada dan
bersemayam di sana.
Aku kembali limbung
oleh perasaan patah hati, bukan lagi oleh mantan kekasihku yang mendadak jadian
dengan teman kampus. Semua teori August yang ia paparkan seminggu ini seakan
seperti alkohol yang kutuangkan di atas telapak tangan. Langsung lenyap, menimbulkan
efek dingin lalu sedikit panas. Panas, itulah yang kurasakan di dalam dadaku
kini. Panas yang mendidihkan kortisol di dada.
Dan ini semua karena
August. Dia tahu tentang semua yang terjadi di hidupku. Tentang ibuku. Tentang
ayahku.
Aku sendiri tak pernah
mengenal siapa orang tuaku. Hanya dongeng eyang yang selalu kudengar tentang
mereka berdua. Hanya eyang yang selalu meyakinkanku bahwa aku memiliki orang
tua yang hebat. Selama hampir delapan belas tahun ini, aku mempercayai semua
cerita eyang. Karena aku tak pernah bertemu dengan ibu, karena aku tak pernah
bertemu dengan ayah.
Dari kecil aku
merindukan sosok mereka di sampingku. Sosok yang akan menggantikan popokku
karena aku ngompol di malam hari, sosok yang mengantarkanku ke gerbang pintu
sekolah, sosok yang memarahiku karena aku mencoba-coba rokok dan main tak ada
aturan. Tak ada sosok itu. Yang ada hanyalah eyang yang selalu di sampingku.
Justru August yang
mengetahui semuanya. Dia yang tinggal di samping kos-kosan. Yang awalnya tak
sedikitpun aku ingin tahu dan peduli. Aku tak pernah mengenalnya. Aku yang tak
pernah berhubungan dengannya. Dan seminggu yang lalu gerbang pertemuan itu
menyatukan aku dengan dia. Seminggu yang lalu aku datang ke rumahnya dengan
segudang cerita tentang patah hatiku dan dia dengan leluasa memberikan
saran-saran terbaiknya. Dialah lelaki yang sering patah hati yang kemudian
menjadi seorang mentor bagiku untuk kembali menjalani hidup sebagai manusia
normal.
Dan itu hampir saja
berhasil jikalau aku tak melihat lukisan itu di kamar August.
Tak ada yang spesial
dengan lukisan itu. Ia dilukis oleh tangan August karena di pojok kanan bawah
ada namanya. Lukisan itu digores dengan cat minyak yang penuh perasaan,
dihaluskan oleh kuas dengan kenangan. Aku yakin August tak main-main membuatnya
dan mungkin itu karya masterpiece-nya
selama ia mengalami depresi patah hati.
Aku hampir-hampir tak
mengenali sosok itu. Lalu ingatanku membayang ke semua memori di album foto di
rumah.
Perempuan yang dilukis
oleh August itu adalah wanita yang telah ia campakkan dan membuatnya menerima
karma cinta bertubi-tubi selama ia hidup.
Dan wanita dalam
lukisan itu adalah ibuku.
# # #
Rangkaian listrik yang
kubuat ruwet dan gagal di Praktikum Rangkaian Listrik 1. Akibatnya aku mendapatkan
nilai C- dan harus mengulang praktikum minggu depan. Ruwetnya rangkaian itu
selaras dengan ruwetnya kehidupanku beberapa minggu ini. Mantan pacar semakin
memperkeruh keadaan dengan bermesraan sepanjang praktikum dan aku muak dengan
itu.
Ketika aku menyusun
resistor, kapasitor, induktor, dan tor-tor yang lain, pikiranku tak pernah bisa
terfokus. Kabel menjadi melilit-lilit, lampu tak ada yang nyala, robot nggak
jalan, dan yang lebih parah aku tiba-tiba lupa fungsi ON dan OFF. Akibatnya
robot yang kubikin mengeluarkan asap dan api. Bukan karena aku menciptakan
ULTRAMAN yang mengeluarkan jurus ASAP PENEMBUS MAUT, bukan. Tapi karena memang
rangkaian di dalam robot itu yang kacau.
Aku lebih terfokus pada
setiap detail lukisan di kamar August. Bagaimana bisa perempuan di dalam
lukisan itu adalah ibuku. Aku belum pernah benar-benar melihat ibuku, kecuali
ketika aku masih bayi. Ibu hanya bisa kukenali lewat album-album foto di rumah
eyang. Ibu memang berparas ayu, berambut panjang, dengan bibir merah merekah
alami. Tapi aku memang belum pernah berbicara dan bercerita langsung padanya.
Sedangkan ayah? Kata
eyang, ayah meninggal karena kecelakaan. Walaupun sampai detik ini, eyang tak
pernah menunjukkan foto dan makam beliau. Tapi aku percaya, eyang punya alasan
tersendiri merahasiakan ini semua. Akupun enggan untuk bertanya. Dan hal ini
akan terjawab saat aku pulang besok.
Jadi August adalah
lelaki yang mencampakkan ibu dan aku? Jadi dia adalah...ayahku? Selama ini dia
berbohong padaku, seminggu ini dia tahu kalau aku adalah anaknya?
Sore itu, disambut
dengan hujan dan petir, aku memaki August keras-keras. Setelah seminggu aku
menghormatinya dengan mendengar semua saran dan ceritanya, sore itu amarahku
meledak. Ada semacam dorongan dalam diri untuk mengeluarkan semua kata-kata
paling buruk di dunia ini. Aku memberontak sebagai seorang lelaki dan dia
berusaha untuk menenangkanku. Tapi terlambat, aku tak gampang untuk dibujuk.
Maka, kudorong dia sekuat tenaga, kubanting pintu kamarnya, kuterobos hujan
lebat, dan aku masuk kamar dengan perasaan berkecamuk.
Aku marah. Aku marah
pada diriku sendiri, pada keadaan, dan kepada August. Cermin di kamar menjadi
pelampiasan amarahku sore itu.
August mencoba
mendekat. Dia menungguku di depan kosan, mencoba mengirim pesan, menelepon,
datang ke kampus. Aku seperti seorang pecinta sesama jenis yang dikejar om-om
gila berondong. Ini memuakkan. Dan aku membentengi diri dengan atmosfer tebal
agar dia tidak berani ada di sekelilingku.
# # #
Aku keluar kamar kos dengan perasaan gamang.
Aku mempercepat kepulanganku ke Jakarta satu hari. Sepertinya aku harus segera
bertemu dengan eyang. Dan penjelasan ini semua tak mungkin bisa hanya via
telepon. August masih berusaha menghubungiku, tapi aku masih tak ingin bicara
dengannya. Ini terlalu tak masuk akal bagiku.
Kupakai New Balance dengan tergesa. Masih ada
waktu sejam untuk datang ke Stasiun
Tugu. Kereta berangkat pukul delapan malam.
“Hei, Lian. Kamu mau
balik ke Jakarta?” Rian berdiri di pintu kamarnya yang ada di depan
kamarku.
“Ya, ada urusan. Nanti
tugas aku nanya kamu, Yan.”
“No problem.” Rian mendekat ke arahku. “Kulihat belakangan ini kamu
seperti tidak bersemangat.” Dia menatapku. “Ada yang bisa kubantu?”
Jika seorang lelaki
seperti Rian—yang biasanya lebih sering main games online daripada pergi nongkrong bareng teman—bisa mengetahui
betapa berantakannya hidupku akhir-akhir ini, berarti aku memang sudah diambang
batas waras.
“Tak ada. Maksudku, aku
baik-baik saja, Kawan.” Aku mencoba tersenyum. “Kamu tahu aku, kan?” aku
tertawa kecil.
“Ya, aku tahu. Jika
kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk cerita.”
Aku mengangguk. “Aku
cabut dulu.”
“Tunggu.” Rian
menyodorkan amplop putih kepadaku. “Ini bukan surat cinta dariku.” Dia tertawa
mengejek. “Ada orang yang menitipkannya padaku.” Aku mengernyitkan kening.
“August,” ujarnya pendek.
Kupandangi amplop itu,
lalu tangan kananku meraihnya. “Thanks,”
# # #
Tengah malam, eyang
membangunkanku dengan kue kecil berhias angka satu dan delapan. Aku tersenyum
dan mencium penuh sayang kedua pipi orang yang selalu merawat dan
menyemangatiku sejak kecil.
“Thanks, Eyang. I’ll always
love you,” ucapku pelan dengan rasa haru.
“Ini kado dari eyang.”
Eyang memberikan sebuah bungkusan kecil. “Kamu harus membukanya sendiri.”
Sekali lagi kucium
sayang pipi eyang. “You’re still the best,
Eyang. Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan hidupku jika nggak ada Eyang.”
Eyang mengelus pipiku.
“Kamu sudah dewasa, Lian.”
“Dan sudah waktunya
Lian tahu apa yang sebenarnya, Eyang.”
Eyang sepertinya
mengetahui arah pembicaraanku. Dia mengangguk-angguk kecil. Dia berdiri dan
menyerahkan kotak yang sejak tadi dia bawa.
“Mungkin bukan eyang
yang akan menjelaskan ini semua. Ibumu sendiri yang akan menjelaskannya.” Eyang
tampak sedang menahan rasa haru. “Bukalah!” Eyang menyeka air matanya yang
tiba-tiba keluar. “Ini ditulis oleh ibumu sehari sebelum dia diangkat kanker
rahimnya oleh Dokter, namun gagal.”
# # #
Eyang membiarkanku
sendiri membaca surat dari ibu di dalam kamar. Surat itu terdiri dari 10
halaman kertas folio bergaris yang ditulis tangan oleh ibu. Aku benar-benar
menyiapkan mental untuk membaca kata demi kata di setiap halamannya.
Dua halaman pertama,
ibu lebih banyak bercerita tentang kecintaannya kepadaku, rasa penyesalannya
karena tak bisa mendampingiku hingga dewasa, dan hal-hal kecil lain seperti
rasa senangnya dia saat mengandung diriku. Meski tanpa suami. Eyang mendukung
penuh kehamilan ibu walaupun dengan satu syarat, dia tak boleh menikah dengan
ayah—maksudku August.
Lima halaman
berikutnya, ibu bercerita banyak tentang August. Tentang pertemuan mereka
berdua, tentang reputasi August sebagai seorang playboy, dan tentang rasa cintanya ibu dengan August.
Dia orang baik, Varlian. Jika tidak, ibu tak akan
jatuh cinta kepadanya. Keputusan keluarga besar untuk menentang August menjadi
suami ibu karena dia ketahuan sedang menjalin hubungan dengan mantannya. Jujur,
ibu sakit hati. Tapi ibu yakin, dia tetap memilih ibu. Suatu malam hujan lebat
dan dia datang ke rumah untuk meminta maaf. Ibu hanya bisa melihatnya dari
balkon atas kamar karena eyang dan keluarga tak memperbolehkan dia masuk. Hati
ibu benar-benar hancur. Tapi dalam hati kecil ibu, ibu masih mencintai dia
walaupun dia sudah berkhianat. Untuk apa ibu menyerahkan kesucian ibu jika ibu
tak mencintainya. Karena ibu yakin, dia adalah yang Tuhan kirimkan untuk ibu.
Ibu mencintai August
sepenuh hati setelah lelaki itu mengkhianatinya? Sebelum aku membaca kelanjutan
surat ibu, aku sempat marah. Tapi halaman berikutnya, mempertegas jawaban ibu.
Ibu terkena kanker rahim pasca melahirkan kamu.
Untung kamu selamat, Lian. Tapi ibu tak kuat lagi menahan penyakit ini hingga
kamu berumur 3 tahun. Kondisi ibu semakin lemah. Tapi di luar itu, August masih
sering menghubungi ibu dan dia selalu ada di samping ibu meskipun secara
diam-diam tanpa sepengetahuan eyang dan keluarga. Ini mempertegas bahwa rasa
penyesalannya begitu dalam dan ia ingin kembali kepada ibu.
Hingga suatu ketika, kamu tiba-tiba masuk ke rumah
sakit.
Tunggu, aku pernah
masuk rumah sakit waktu kecil? Mungkin, hanya masalah sepele seperti demam
atau....
Sejak lahir ternyata kamu hanya punya satu ginjal
yang berfungsi, ginjalmu yang satu mengalami kelainan. Untung saja, dokter
segera mengetahuinya setelah kami membawamu ke rumah sakit karena kamu demam
tinggi dan sering muntah. Kondisimu semakin lemah. Kukira itu hanya demam
biasa, tapi ternyata tidak. Fungsi ginjalmu semakin menurun dan memerlukan
penanganan yang serius, salah satunya adalah transplantasi.
Aku menelan ludah. Ini
tidak mungkin.
Jika suatu saat kamu bertemu dengan August, ibu
mohon kamu jangan membencinya. Dia memang pernah mengkhianati ibu. Namun, rasa
penyesalannya telah mengembalikan kepercayaan ibu sepenuhnya. Meskipun sampai
sekarang, mungkin, eyang tidak akan menyetujui hubungan kami.
Jangan pernah membenci dia, ayahmu. Meskipun sampai
ibu pergi, kami berdua belum ada ikatan pernikahan.
Ibu tahu dia juga menderita. Jangan bebani hidupnya
dengan kebencianmu. Jika kamu bertemu dengannya, sampaikan salam ibu kepadanya.
Ibu akan selalu mencintainya. Dan ucapkan terima kasih, karena dia telah
memberikan satu ginjalnya untukmu.
# # #
Dear Varlian,
Saya tahu, setelah tahu bahwa saya yang mengkhianati
ibumu, kamu akan membenci saya sepenuhnya. Maafkan ayahmu ini, Lian. Ayah telah
meninggalkanmu. Ini sebuah pilihan. Satu-satunya cara agar bisa dekat dengan
kamu adalah tinggal tak jauh dari kamu. Di Jakarta sejak kamu kecil, saya sudah
tinggal di dekat rumahmu. Di Jogja saya tinggal di sebelah kos-kosan kamu.
Memperhatikan kamu tertawa, menyanyi di balkon, berteriak, kadang marah, dan
juga patah hati karena cewek.
Meskipun awalnya, ayah tak ingin mengenalkan diri
ayah. Karena ayah tahu, suatu saat kamu tahu tentang saya, kamu akan marah.
Tapi ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik
saja. Maafkan ayah.
August,
Like it so much
ReplyDeleteThank you :)
DeleteSejatinya lelaki adalah ia yang mematahkan hatinya untuk orang yang dia sayang. Keren tulisannya, nggak capek2 baca :D
ReplyDeletewww.fikrimaulanaa.com
Dan dia rela berkorban untuknya?
Delete"Tapi ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Maafkan ayah.", ah, pengen nangis lihat endingnya :')
ReplyDeleteJadi kangen ayah :)
DeleteSejatinya hati yang patah itu tidak pernah ada kawan :)
ReplyDeleteyang ada hanyalah hati yang belum bisa memaafkan, hati yang belum bisa menerima kenyataan dan belajar darinya :)
salam :)
mampir blogku juga ya :)
http://robofics.wordpress.com
pengalaman pribadi?
Deleteya bisa di bilang begitu pak haha.
DeleteCowok juga bisa nangis. Tapi cowok tidak terlihat cengeng saat dia menangis :))
ReplyDeleteNice quote :)
DeleteKeren banget, keep writing yaaa :))
ReplyDeleteThank youuu :)
Deletekalo lelaki nya seperti di gambar kayak nya ngak mungkin patah hati, tapi co itu yg bikin ce klepek2 hahaha
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir lho mas toro?
DeleteRemember me?
gue yang cewek aja kayaknya gak bisa nih nulis se-melow ini hahaha
ReplyDeleteIni terlalu mello yah?
DeleteTulisannya bagus mas,... cerpen... keren!! Cakepp..... jadi ingin belajar juga nih...
ReplyDeleteSalam kenal mas Harsono...
Ayo belajar bersama :)
Deletekesankuuu dua. (1) terharu pingin nangis senangis-nangisnya; (2) pingin bilang kepada semua lelaki pengkhianat cinta, "rasain penyesalanmu di sepanjang hidup!
ReplyDeleteWih kejaam
Deletehahaha...
Deletepas baca yang ke tk aku nebak mungkin si aku ini anaknya si august eh bener :p
ReplyDeletedan gue nyengir pas baca ini "Aku seperti seorang pecinta sesama jenis yang dikejar om-om gila berondong." hahah
nice story :) lanjutkan!!
Koq ceritanya kayak gantung ya ??
ReplyDeleteBagaimana kelanjutan hbungan antara anak dan ayah itu ?
Memang sengaja dibuat menggantung kok
Deletewah, keren. Kenapa aku baru menemukan blog ini ya?
ReplyDeleteSalam kenal ...
Salam kenal balik :)
DeleteHars selama ini penasaran sama tulisanmu..abis baca ternyata banyak terselip kisah2 dikampus yaa..dan yg ini mengingatkan ahenk,nice way to remember him..
ReplyDeleteIya...jadi kangen Ahenk nih....Beberapa emang aku ambil dari cerita SMA dan kampus :)
Deleteyaelah masak terdapampar di depan rumah beserta kata dramatis lainya. dramatis sekaligus bikin senyum sendiri saat gue baca
ReplyDelete