Malam sudah
mulai beranjak saat Juna dan rombongan tiba di Yogyakarta, sehari setelah ia
pergi ke rumah penjaga batu mata yang telah meninggal. Ia belum mendapatkan apa
yang ia inginkan. Batu itu harus ketemu suatu saat nanti. Tetapi jika ia
terlalu fokus mencarinya, mungkin makhluk-makhluk itu akan segera bertindak. Bayangan
kehancuran Mata Rantai yang sudah menghantuinya akhir-akhir ini semakin memperkuat
niatnya untuk segera menyelesaikan kasus ini. Jauh di lubuk hatinya, ia sedikit
yakin bahwa Alexa Crain pasti sedang merencanakan sesuatu. Dan itu, bisa saja
berkaitan dengan kehancuran Mata Rantai. Atau justu, kehancuran dirinya.
“Dengar,”
ucap Lenwa lirih. “keamanaan Galeri Mahakarya itu tak kasat mata. Aku telah
merancang kunci ganda, alarm, dan pengaman tanpa tanding untuk galeri itu.”
“Aku punya
teknologi yang bisa kita gunakan untuk membantu membuka kunci,” ucap Dede.
“Jangan sok
pintar, kita dengarkan dulu apa arahan Lenwa,” Dodo menoyor kepala Dede.
Ben Lenwa
memandang ke semua orang. Juna mengangguk, sebagai sebuah tanda bahwa ia akan
mendengarkan penjelasan Lenwa.
“Galeri
Mahakarya dikelilingi oleh pagar setinggi 3 meter dengan aliran listrik. Siapa
pun yang melewatinya akan tersetrum tegangan listrik tinggi. Satu-satunya pintu
untuk masuk adalah gerbang utama yang dijaga ketat oleh aparat. Semua mobil
akan diperiksa,”
“Ya, aku
tahu itu. Pemeriksaan ala petugas hotel untuk memastikan tidak ada bom yang di
bawa. Mereka juga akan mendeteksi wajah ala teroris. Tentu saja, kita tidak
akan mudah melewatinya. Lagian, mereka pasti akan curiga jika ada pengunjung
malam-malam seperti ini. Galeri itu hanya buka sampai sore,” ucap Ariana.
“Ariana
benar. Makanya satu-satunya cara untuk lewat hanyalah dengan melompati pagar 3
meter itu,” ucap Lenwa.
“Melompat
katamu?” tanya Janero terpekik.
“Ya, itu
satu-satunya cara. Tetapi tentu saja, Dodo dan Dede harus menyelusup ke sana
untuk mematikan tegangan listrik terlebih dahulu. Kalian berdua harus pura-pura
jadi pengunjung besok,” kata Lenwa. Dia mengeluarkan sebuah kertas A3, peta
Galeri Mahakarya. “Panel listrik ada di lantai 1. Letaknya di belakang, ruang
mesin. Kalian harus menemukan itu, lalu cari cara untuk mematikan aliran
listrik di pagar. Malam harinya, kita semua harus melompat ke sana dari pagar
belakang. Setelah berhasil masuk, nanti giliranku yang akan menunjukkan jalan
untuk pergi ke ruangan Lenwa. Ada satu pintu darurat di belakang yang bisa
gunakan untuk masuk ke dalam galeri. Tentu saja, pintu itu terkunci dari dalam
dengan sandi khusus yang hanya bisa dibuka dari dalam.”
“Tenang
saja, aku punya alat untuk membukanya. Itu mudah bagiku,” ujar Dede
menyombongkan diri.
Lenwa tersenyum
kecil. “Kamu harus memastikan bahwa alarm tidak akan berbunyi saat membukanya,
Dede.” Lenwa mengingatkan Dede yang dibalas dengan anggukan. “Untuk menuju ruang
bawah tanah, kita harus naik ke lantai tiga. Lantai 3 adalah ruangan benda
lukisan seni. Semua adalah lukisan pelukis terkenal, kecuali satu sebuah
lukisan kereta api kuno yang dilukis oleh seniman Bali. Crain sangat menyukai
lukisan itu, maka Crain meletakkan pintu lift di belakang lukisan itu.
Masalahnya, alarm akan berbunyi setiap ada orang yang akan menggeser lukisan
itu. Kita harus memasukkan sensor retina mata untuk menggesernya.”
“Bukan
sesuatu yang sulit. Saya akan pastikan itu.”
“Dia mencontoh
litt-lit yang tersembunyi di Mata Rantai tentu saja,” kata Juna.
“Mungkin. Yang
jelas litt itu adalah satu-satunya jalan untuk menuju ruangannya di bawah tanah.”
Juna berdiri
dari duduknya. “Baiklah, kita harus segera bertindak. Besok pagi Dodo dan Dede
pergi ke sana, cari panel listrik. Malamnya kita harus segera bertindak. Aku
tak ingin berlama-lama.”
Wajah Lenwa
tiba-tiba berubah. “Tunggu dulu. Ada satu masalah yang belum aku ceritakan. Penjaga
galeri itu setiap 3 jam sekali akan melakukan patroli di setiap sudut Galeri
Mahakarya. Jam 9 pagi, 12 siang, 3 sore, 6 sore, 9 malam, 12 malam, 3 pagi, dan
tentu saja 6 pagi. Kita hanya punya waktu di sela-sela antara waktu mereka
patroli. Jadi waktu kita hanya 3 jam. Kecuali....”
Semua mata
tertuju pada Lenwa. Juna buka suara. “Kecuali apa?”
“Kecuali ada
yang mengecoh mereka di pintu masuk,” jawab Lenwa. “Petugas itu di sana
berjumlah 10 orang. 5 pos berada di depan, 5 pos ada di depan pintu utama. Jika
ada sedikit kerusuhan di gerbang depan, tentu saja mereka akan sedikit terkecoh
sebentar dan melupakan patroli itu. Pertanyaannya siapa yang akan menjadi
umpan?”
“Aku,” suara
ringan itu tiba-tiba terdengar. Semua orang menoleh ke arah Ariana.
Juna
menggeleng. “Tidak, aku tidak akan membiarkan itu Ariana.”
“Kenapa? Apa
bedanya dengan aku ikut melompati pagar. Seperti Lenwa, aku sudah ikut
terlibat. Jadi biarkan aku berperan di sini. Aku bukan tipe orang yang ingin
berdiam diri tanpa peran. Itu menyakitkan. Dan tentu saja, kalian tentu tak
ingin melihatku melompati pagar. Jadi....”
“Dia benar,”
ucap Gordon. “Dia wanita, penjaga itu pasti akan sedikit terlena. Wajah Ariana
tidak kalah cantik dengan Yoona SNSD, pasti mereka akan suka.”
Semua mata
menatap Gordon.
Gordon
mendesah. “Aku hanya memberi saran.”
Ariana buka
suara lagi. “Tetapi aku memerlukan pelindung. Dan karena Gordon adalah orang
yang paling paham tentang SNSD, aku ingin dia jadi pelindungku. Lagian, aku
yakin badan besarnya akan kesusahan jika melompati pagar.” Ariana terkekeh.
Gordon jelas cemberut.
“Janero,
temani mereka,” ucap Juna.
“Aku?” tanya
Janero, terkejut.
“Iya kamu.
Ada masalah?” tanya Juna. Janero menggeleng.
“Baiklah,
rencana sudah kita laksanakan. Kita tinggal menunggu besok untuk melakukan
rencana ini.”
# # #
Malam seolah
berjalan sangat lambat. Juna tidak bisa langsung tertidur di kamar hotelnya.
Dia beberapa kali harus terjaga. Karena seperti biasa, tidurnya kini semakin
tidak berkualitas. Seolah ada ratusan makhluk sedang menunggunya di alam mimpi.
Belum lagi mimpi buruknya tentang kehancuran Mata Rantai. Juna pun memutuskan
untuk tidak melanjutkan tidurnya sampai pagi.
Pagi hari,
Juna langsung menemui yang lain. Dia meminta Ariana memastikan sekali lagi
bahwa Alexa Crain tidak akan datang ke Galeri Mahakarya malam ini.”
“Tidak, dia
sedang ada meeting review bersama tim perhotelan. Saya memastikan dia tidak
datang ke Galeri Mahakarya. Nanti malam, dia ada agenda makan malam dengan
kolega di daerah Kota Gede.”
Bagus, pikir
Juna. Dia bisa dengan mudah melakukan wawancara dengan makhluk-makhluk itu. Dia
sungguh sangat ingin tahu, mengapa mereka ada di Mahakarya. Mengapa mereka
terus mengganggu tidurnya. Dan tentu saja, apakah ini semua berhubungan dengan
kehancuran Mata Rantai.
Galeri
Mahakarya buka pukul sembilan pagi. Dodo dan Dede datang pukul sebelas. Tidak
ada yang mencurigai mereka. Mereka menyamar menjadi pengunjung biasa. Untung
saja hari itu ada kunjungan dari siswa-siswa SD yang melakukan darmawisata. Suasana
Galeri menjadi cukup ramai sehingga Dodo dan Dede bisa leluasa mencari panel
listrik yang mereka butuhkan. Tidak sampai satu jam mereka sudah menemukan apa
yang mereka cari tanpa ada yang curiga. Ruang panel listrik terletak di lantai
satu, di belakang. Terlindung oleh pintu besi berkode. Untung saja, Dodo
memiliki alat pemecah kode hasil ciptaannya. Mereka memasuki ruangan itu. Ruangan
seluas tiga meter kali tiga meter itu penuh dengan kabel-kabel listrik besar,
lampu penanda yang berkedip-kedip, monitor-monitor. Dengan sigap Dodo dan Dede segera
mencari panel listrik untuk pagar pembatas di monitor. Mencari kode untuk
mematikannya.
“Ini saja
kerjaan kita?” tanya Dodo.
“Cukup
mudah. Ayo kita segera pergi, sebelum ada yang tahu.”
Rencana
siang itu berjalan dengan sangat mulus. Dodo dan Dede segera kembali ke hotel
dan bergabung dengan yang lain.
Tepat pukul
delapan, mobil yang membawa Juna dan tim membelah Jalan Kaliurang. Beberapa
meter dari Galeri Mahakarya, tim terpecah menjadi dua. Juna, Dodo, Dede, Ben Lenwa berusaha untuk
melompat pagar. Sementara Ariana, Gordon, dan Janero bertugas untuk mengecoh Penjaga
Galeri di pos depan.
Pagar tiga
meter yang mengelilingi Galeri Mahakarya ternyata bukan pagar yang sangat mudah
dipanjat semua orang. Juna yang memang rajin olahraga, bisa dengan mudah
memanjat menggunakan bantuan tali. Dede dan Ben Lenwa awalnya kesulitan untuk
memanjat, namun akhirnya bisa. Yang jelas sangat kesusahan adalah Dodo. Dengan
tubuh yang sedikit tambun, dia sangat kerepotan untuk melompat, memanjat, dan
akhirnya hanya bergelantungan di tali. Tetapi akhirnya dia bisa melewati pagar
itu, meskipun dengan susah payah.
Tempat
mendarat di balik pagar adalah rumput basah yang sedikit berembun. Mereka
berempat mengendap, menyusuri rumput dan bersembunyi di balik pohon dan
rerumputan. Juna memastikan tidak ada yang mengetahui mereka. Setelah semua
baik-baik saja, mereka berlari kecil menuju belakang. Lenwa membimbing mereka
menuju pintu belakang yang tersembunyi di bawah anak tangga yang melingkar.
Dodo dan
Dede kemudian beraksi. Mereka mengeluarkan alat pemecah kode yang tadi siang ia
gunakan untuk membuka ruang panel listrik.
“Ini sebenarnya keamanan standar,” ucap Dodo lirih.
“Tetapi, ini berbeda dengan pengamanan di ruang panel listrik.”
“Keamanannya
menggunakan kode angka dan sensor telapak tangan berbasiskan mikrokontroller.
Tetapi masalahnya, keamanan ini menggunakan nomer ponsel untuk mengaktifkannya.
Selain itu, jika kita salah memasukkan kode, alarm akan berbunyi dan Alexa Crain
akan menerima pemberitahuan via SMS. ” sambung Dede.
Juna
memandang Dede. “Lalu, nomer ponsel dan telapak tangan siapa yang bisa
membukanya?”
“Ruangan
panel listrik hanya diberi kode sederhana. Mahasiswa terbaik lulusan IT pasti
bisa memecahkan kode acak itu. Tetapi kode pintu besi di depan kita punya
keamanan berlapis berbasis mikrokontroler. Aku bisa saja menggunakan alatku
untuk memecahkan kode, tetapi tidak dengan telapak tangan.”
“Lenwa,
mengapa kamu tidak bilang akan sensor telapak tangan,” ucap Juna.
Dede
terkekeh. “Kamu lupa kalau dia adalah penciptanya, Bos?” Dede meletakkan alat
pemecah kodenya di badan pintu. Alat itu berupa tabung berisi cairan biru yang
bergerak-gerak. Di pangkalnya, ada monitor kecil. Dede memutar tombol di badan tabung.
Di monitor kemudian muncul enam angka acak. Dede memasukkan kode itu ke dalam
keamanan pintu. “Tentu saja, tangan penciptanya pun akan punya akses untuk
membuka.” Dede menarik tangan Lenwa dan meletakkannya di kode akses.
Tangan Lenwa
terdeteksi sinar laser. Terdengar bunyi ‘klik’. Lenwa mendorong pintu besi di
depannya. Pintu itu terbuka. “Ayo lekas masuk!” ajak Lenwa kepada yang lain.
Mereka
berempat langsung masuk ke dalam galeri, menyusuri lorong yang penuh dengan
benda-benda seni, naik melalui tangga melengkung dengan ukiran naga ke lantai
3. Lantai 3 Galeri Mahakarya adalah berupa ruangan luas dengan dinding-dinding
lebar berwarna putih. Di dinding-dinding itulah terpasang lukisan-lukisan dari
pelukis terkenal Indonesia. Tetapi dari semua lukisan yang ada, ada satu
lukisan yang cukup menonjol, lukisan besar berukuran 2 meter persegi. Gaya
lukisannya mirip seperti Raden Saleh, namun lebih lugas dengan warna yang
cenderung berani dan terang. Lukisannya berupa kereta api uap kuno yang
berjalan di atas jembatan kokoh.
“Apa yang
harus kita lakukan?” tanya Juna. “Kamu bilang bahwa alarm akan menyala setiap
kita menggeser lukisannya,” ucap Juna kepada Lenwa.
“Ya, itulah
masalahnya. Apakah kamu bisa menggunakan alatmu, De?” tanya Lenwa kepada Dede.
Dede maju ke
dekat lukisan, meletakkan alatnya dan mencoba mengotak-atiknya. Tak ada reaksi.
Dia hampir saja menyentuh dan mendorong lukisan itu, tetapi Lenwa terpekik
kaget.
“Hati-hati,
alarm akan berbunyi,” pekik Lenwa membuat Dede mengurungkan niatnya.
“Tenang
saja,” ucap Dede. “Dia masih mengotak-atik alatnya. Setelah terdengar bunyi
‘klik’, dia mendorong lukisan itu ke kanan. Tampak pintu besi dengan pengaman
sensor tangan ada di depan mereka. “Tidak ada yang tidak bisa untuk Dede,” Dia
membanggakan dirinya sendiri. Setelah itu, dia mengotak-atik pintu di depannya,
tak berapa lama, pintu itu terbuka juga.
Mereka
berempat segera berhambur masuk ke dalam lift. Memencet tombol GF. Lift
meluncur ke bawah.
Sementara
itu, beberapa meter dari pintu gerbang Gerbang Galeri Mahakarya, sebuah mobil
SUV berhenti. Ariana, Gordon, dan Janero ada di dalam mobil itu.
“Apa rencana
kita?” tanya Janero.
“Masuk ke
dalam,” jawab Ariana di kursi penumpang depan. Gordon yang di balik kemudi
hanya melirik sesaat lalu berkonsentrasi lagi ke depan. Jalan Kaliurang KM 20
mulai gelap. Rumah-rumah penduduk tampak jarak terlihat. Galeri Mahakarya
memang sudah mendekati pintu masuk kawasan wisata Merapi.
“Kamu gila.
Orang-orang itu pasti akan mencurigai kita.”
Ariana
terkekeh, lalu meminta Gordon untuk mendekatkan mobil mereka ke pintu gerbang. Gerbang
Mahakarya terletak beberapa meter dari jalan raya. Mobil mereka masuk, melewati
jalur menuju pintu utama yang terbuat dari batu-batu pipih yang tertanam di
antara aspal keras. Di samping kanan dan kiri terdapat pohon-pohon cemara hias
yang menjulang tinggi. Gerbang hanya memuat dua buah mobil. Dan jika malam
hari, pintunya tertutup rapat sehingga tamu yang datang harus membunyikan bel
dan berbicara di interkom.
“Ada
keperluan apa malam-malam?” sapa petugas dengan suara galak dan berat.
“Kami ingin
meminta ijin untuk masuk ke dalam. Kami mahasiswa yang melakukan penelitian di
lereng Merapi. Kami butuh bantuan. Mobil kami mogok dan kami tidak tahu harus
meminta bantuan kepada siapa pun,” ucap Ariana.
“Alasan yang
buruk,” ujar Janero mencibir. Ariana mendelik kepada Janero dan memberi isyarat
pria itu untuk diam.
“Aku yakin
mereka akan bersimpati kepada seorang wanita,” kata Ariana yakin.
Tak berapa
lama sebelah pintu gerbang terbuka dan seorang petugas dengan seragam berwarna
hitam keluar. Tampangnya sudah cukup tua dengan berewok lebat di wajahnya. Ariana
keluar dari dalam mobil.
“Apakah kamu
bisa membantu kami? Kami Mahasiswa dari Geografi UGM, kami baru saja melakukan
penelitian tentang aktivitas Merapi, namun kami kemalaman dan mobil kami
mogok.”
Petugas itu
memicingkan mata, seolah meneliti Ariana.
“Seorang
mahasiswa mobilnya SUV BMW?” tanya petugas itu.
Ariana
tampak terkejut, namun dia buru-buru menenangkan diri. “Itu milik dosen kami
yang menjadi pembimbing. Dia baik sekali seperti Anda. Dia punya banyak sekali
mobil di rumahnya.” Ariana tertawa palsu. Oh
Tuhan, semoga dia percaya dengan tipuanku.
“Berapa
orang?” tanya petugas.
“Tiga, saya
dan dua orang teman saya.” Ariana menunjuk ke dalam mobil melalui kaca mobil
yang terbuka.
Petugas
melirik ke dalam mobil. Gordon dan Janero tampak tersenyum.”
“Dua-duanya
laki-laki dan tidak ada yang bisa memperbaiki mobil mewahmu?”
“Ah mereka
payah sekali, dua lelaki yang tidak bisa diandalkan,” bisik Ariana. ”Dua-duanya
sedikit ehm..melambai. Mereka suka drama korea, musik korea, dan gosip. Bapak
harus berhati-hati dengan mereka dan kuharap menjaga tubuh Bapak. Mereka suka
sekali lelaki yang memakai seragam.”
Bapak itu
tampak bergidik. “Baiklah, masuklah. Kami akan membantu.”
Ariana
mengerlingkan mata kepada Gordon dan Janero. Dua lelaki di dalam mobil itu
tampak mengutuk Ariana.
Sementara di
dalam Galeri Mahakarya, Juna dan yang lain sudah tiba di ruangan Alexa Crain di
bawah tanah. Ruangan itu tak terlalu besar, tetapi sangat nyaman. Rak-rak buku
mengelilingi ruangan. Sebuah kursi goyang ada di sudut ruang. Dan meja kerja
menjadi center of attention dari
ruangan itu. Ruangan klasik dengan furnitur kayu jepara yang di furnis cokelat
mengkilap. Selain meja kerja besar berukir naga, yang menarik lainnya adalah
sebuah almari kaca yang penuh dengan souvenir kereta api. Aroma cengkeh dan
kayu cendana membuat ruangan itu terkesan hangat.
Juna berkeliling
ruangan. Ia memang tak terlalu mengenal Alexa Crain secara personal. Yang ia
tahu, Crain adalah seorang parlente dengan rambut klimis, sepatu mengkilap, dan
baju rapi di setiap saat. Aroma Terre d’Hermes yang woody, spicy, dan earthy di
tubuh Crain membuat dirinya tampak hangat dan bersahabat. Juna mengenal Crain
hanya sebatas urusan pekerjaan. Tetapi melihat isi ruangan bawah tanah ini yang
klasik dan misterius, Crain pastilah seorang yang unik dan penuh rahasia.
Juna
mengambil frame foto yang terletak di atas bufet pendek. Foto itu menampilkan seorang
pria kurus yang memakai blesser warna abu-abu dan pria lain yang hanya
mengenakan kemeja putih sementara blessernya ia gantung di tangan kanan. Keduanya
tampak tertawa di depan Tugu Jogja.
“Apakah kita
akan melakukan wawancara di sini?” tanya Dede memecah keheninga. Semua orang
menoleh kepadanya. “Sudah hampir jam sebelas, kita harus bergegas sebelum semua
orang tahu keberadaan kita di sini.”
Dede benar, kata Juna
dalam hati. Tempat ini adalah tempat yang tepat untuk melakukan wawancara.
Makhluk-makhluk itu bilang bahwa mereka sedang terperangkap di galeri millik
Crain ini. Dan mimpi-mimpi Juna beberapa malam terakhir, semakin memperjelas
bahwa makhluk-makhluk itu ada hubungannya dengan kehancuran Mata Rantai.
Dede dan
Dodo menyiapkan peralatan. Tikar, baskom berisi air, pensil ultraviolet warna
ungu, kertas. Mereka duduk melingkar di lantai. Lampu di matikan dan hanya
tersisa dua nyala lilin kecil di dekat baskom.
Juna
memejamkan mata. Apakah aku harus
berkelana malam ini? Ada semilir
angin lirih yang menyentuh bagian belakang telinganya, seolah ada seseorang
yang ingin berbisik lirih kepadanya. Juna merasakan bagian belakang kepalanya
memanas.
“Apakah
kalian hadir di sini?” tanya Dede.
Pensil
bergerak-gerak, menulis di kertas kosong. Dede mengambil kertas itu, lalu
memasukkan ke dalam baskom.
Ya, kami ada.
Juna
mendengar Dede berbicara lagi. Tetapi dirinya sendiri masih memejamkan mata dan
merasakan perubahan di dalam tubuhnya. Tubuhnya mendadak panas dan ringan, dan
suara angin itu berubah menjadi dengungan-dengungan tidak jelas. Semakin lama
dengungan itu semakin keras. Disusul oleh suara-suara langkah kaki, suara
lengkingan peluit, suara koper yang diseret cepat, suara orang-orang yang berjualan
minuman, dan suara desingan kereta api yang bersentuhan dengan rel.
Ini stasiun, mengapa aku ada di sini? Juna tak
mengerti mengapa ia justru berada di tempat ini, bukan di ruangan gelap. Ia
seharusnya sedang bertemu dengan makhluk-makhluk yang terperangkap di Galeri
Mahakarya.
Sebuah suara
renyah seorang wanita menggema di saentero stasiun, memberitahukan bahwa kereta
Taksaka Malam jurusan Yogyakarta akan segera berangkat dari Stasiun Gambir,
Jakarta.
Juna menelan
ludah. Ini di Stasiun Gambir? Pikirnya.
Juna menoleh ke kanan dan ke kiri. Bertepatan dengan itu, seorang lelaki dengan
tas punggung besar berlari ke arahnya. Juna ingin menghindar, tapi terlambat.
Lelaki itu sudah meluncur ke arahnya, lalu melewatinya. Juna memejamkan mata,
karena ia yakin orang itu akan menabraknya, ia akan terjungkal jatuh. Tetapi
tidak. Tidak terjadi apa-apa. Dia masih berdiri di tempatnya.
Astaga, tadi orang itu menembus tubuhku? Juna
menepuk-nepuk pipinya. Tidak mungkin
kalau aku sudah mati.
Belum
selesai keterkejutannya, Juna mendengar ada seseorang yang saling bertubrukan
di belakangnya. Kejadiannya sangat cepat sekali. Juna menoleh dan melihat dua lelaki
terjatuh di lantai, tas-tas mereka berhamburan. Lelaki pertama seorang remaja,
kira-kira berumur 17 tahun, dia mengenakan jaket biru. Rambutnya disisir rapi,
wajahnya bersih, dia terkesan kaya. Sedangkan yang satu adalah orang yang tadi
menembus tubuh Juna. Mereka berdua memegangi kepala masing-masing. Mungkin tadi
kepala mereka saling terantuk.
Juna masih
berdiri di tempatnya saat kedua orang itu kemudian berdiri, saling meminta
maaf.
“Maafkan
saya,” ucap lelaki pertama.
“Aku yang
salah,” balas lelaki yang lain. Sambungnya. “Saya buru-buru mengejar kereta ke
Taksaka Malam,” ujarnya.
“Oh sama, aku
juga buru-buru mengejarnya. Aku gerbong dua.”
“Aku juga
gerbong dua,” balas lelaki kedua. Dahinya berkerut. “Jangan-jangan kita
sekursi?” tanyanya sambil sedikit tertawa.
“Nomer kursi
berapa?”
“13A. Kamu?”
Lelaki kedua
menahan keterkejutannya. “Astaga, kebetulan sekali.” Dia membuka tiketnya, lalu
menyodorkannya ke lelaki kedua. “13B.”
Mereka
berdua tertawa bersama.
“Oh ya,
kebetulan sekali,” ucap lelaki kedua sambil tersenyum. “Kenalkan namaku Mahesa.”
Lelaki
pertama menjabat tangan lelaki kedua dengan mantap. “Aku Crain. Alexa Crain.”
Juna
menyipitkan pandangannya. Astaga, mereka
berdua kan yang ada di frame foto di ruangan Crain.
# # #
No comments