[SERIAL] MATA RANTAI (22)




BAB 25
Malam sudah mulai beranjak saat Juna dan rombongan tiba di Yogyakarta, sehari setelah ia pergi ke rumah penjaga batu mata yang telah meninggal. Ia belum mendapatkan apa yang ia inginkan. Batu itu harus ketemu suatu saat nanti. Tetapi jika ia terlalu fokus mencarinya, mungkin makhluk-makhluk itu akan segera bertindak. Bayangan kehancuran Mata Rantai yang sudah menghantuinya akhir-akhir ini semakin memperkuat niatnya untuk segera menyelesaikan kasus ini. Jauh di lubuk hatinya, ia sedikit yakin bahwa Alexa Crain pasti sedang merencanakan sesuatu. Dan itu, bisa saja berkaitan dengan kehancuran Mata Rantai. Atau justu, kehancuran dirinya.
Kamar hotel di kawasan Tugu menjadi tempat pertemuan Juna, Ariana, Dodo, Dede, Ben Lenwa, Gordon, dan Janero. Mereka berembuk untuk mengatur strategi. Ben Lenwa menjadi kuncinya. Kemarin, dia telah menelepon Lenwa dan mengutarakan maksudnya. Ia harus melakukan komunikasi dengan makhluk-makhluk itu, tentu saja di tempat asal mereka: Galeri Mahakarya. Seperti yang telah Lenwa utarakan, arsitek itu bukan lagi untuk dimintai tolong. Tetapi ia sudah terlibat. Dan dengan senang hati dia membantu Juna untuk menyelusup ke Galeri Mahakarya.
“Dengar,” ucap Lenwa lirih. “keamanaan Galeri Mahakarya itu tak kasat mata. Aku telah merancang kunci ganda, alarm, dan pengaman tanpa tanding untuk galeri itu.”
“Aku punya teknologi yang bisa kita gunakan untuk membantu membuka kunci,” ucap Dede.
“Jangan sok pintar, kita dengarkan dulu apa arahan Lenwa,” Dodo menoyor kepala Dede.
Ben Lenwa memandang ke semua orang. Juna mengangguk, sebagai sebuah tanda bahwa ia akan mendengarkan penjelasan Lenwa.
“Galeri Mahakarya dikelilingi oleh pagar setinggi 3 meter dengan aliran listrik. Siapa pun yang melewatinya akan tersetrum tegangan listrik tinggi. Satu-satunya pintu untuk masuk adalah gerbang utama yang dijaga ketat oleh aparat. Semua mobil akan diperiksa,”
“Ya, aku tahu itu. Pemeriksaan ala petugas hotel untuk memastikan tidak ada bom yang di bawa. Mereka juga akan mendeteksi wajah ala teroris. Tentu saja, kita tidak akan mudah melewatinya. Lagian, mereka pasti akan curiga jika ada pengunjung malam-malam seperti ini. Galeri itu hanya buka sampai sore,” ucap Ariana.
“Ariana benar. Makanya satu-satunya cara untuk lewat hanyalah dengan melompati pagar 3 meter itu,” ucap Lenwa.
“Melompat katamu?” tanya Janero terpekik.
“Ya, itu satu-satunya cara. Tetapi tentu saja, Dodo dan Dede harus menyelusup ke sana untuk mematikan tegangan listrik terlebih dahulu. Kalian berdua harus pura-pura jadi pengunjung besok,” kata Lenwa. Dia mengeluarkan sebuah kertas A3, peta Galeri Mahakarya. “Panel listrik ada di lantai 1. Letaknya di belakang, ruang mesin. Kalian harus menemukan itu, lalu cari cara untuk mematikan aliran listrik di pagar. Malam harinya, kita semua harus melompat ke sana dari pagar belakang. Setelah berhasil masuk, nanti giliranku yang akan menunjukkan jalan untuk pergi ke ruangan Lenwa. Ada satu pintu darurat di belakang yang bisa gunakan untuk masuk ke dalam galeri. Tentu saja, pintu itu terkunci dari dalam dengan sandi khusus yang hanya bisa dibuka dari dalam.”
“Tenang saja, aku punya alat untuk membukanya. Itu mudah bagiku,” ujar Dede menyombongkan diri.
Lenwa tersenyum kecil. “Kamu harus memastikan bahwa alarm tidak akan berbunyi saat membukanya, Dede.” Lenwa mengingatkan Dede yang dibalas dengan anggukan. “Untuk menuju ruang bawah tanah, kita harus naik ke lantai tiga. Lantai 3 adalah ruangan benda lukisan seni. Semua adalah lukisan pelukis terkenal, kecuali satu sebuah lukisan kereta api kuno yang dilukis oleh seniman Bali. Crain sangat menyukai lukisan itu, maka Crain meletakkan pintu lift di belakang lukisan itu. Masalahnya, alarm akan berbunyi setiap ada orang yang akan menggeser lukisan itu. Kita harus memasukkan sensor retina mata untuk menggesernya.”
“Bukan sesuatu yang sulit. Saya akan pastikan itu.”
“Dia mencontoh litt-lit yang tersembunyi di Mata Rantai tentu saja,” kata Juna.
“Mungkin. Yang jelas litt itu adalah satu-satunya jalan untuk menuju ruangannya di bawah tanah.”
Juna berdiri dari duduknya. “Baiklah, kita harus segera bertindak. Besok pagi Dodo dan Dede pergi ke sana, cari panel listrik. Malamnya kita harus segera bertindak. Aku tak ingin berlama-lama.”
Wajah Lenwa tiba-tiba berubah. “Tunggu dulu. Ada satu masalah yang belum aku ceritakan. Penjaga galeri itu setiap 3 jam sekali akan melakukan patroli di setiap sudut Galeri Mahakarya. Jam 9 pagi, 12 siang, 3 sore, 6 sore, 9 malam, 12 malam, 3 pagi, dan tentu saja 6 pagi. Kita hanya punya waktu di sela-sela antara waktu mereka patroli. Jadi waktu kita hanya 3 jam. Kecuali....”
Semua mata tertuju pada Lenwa. Juna buka suara. “Kecuali apa?”
“Kecuali ada yang mengecoh mereka di pintu masuk,” jawab Lenwa. “Petugas itu di sana berjumlah 10 orang. 5 pos berada di depan, 5 pos ada di depan pintu utama. Jika ada sedikit kerusuhan di gerbang depan, tentu saja mereka akan sedikit terkecoh sebentar dan melupakan patroli itu. Pertanyaannya siapa yang akan menjadi umpan?”
“Aku,” suara ringan itu tiba-tiba terdengar. Semua orang menoleh ke arah Ariana.
Juna menggeleng. “Tidak, aku tidak akan membiarkan itu Ariana.”
“Kenapa? Apa bedanya dengan aku ikut melompati pagar. Seperti Lenwa, aku sudah ikut terlibat. Jadi biarkan aku berperan di sini. Aku bukan tipe orang yang ingin berdiam diri tanpa peran. Itu menyakitkan. Dan tentu saja, kalian tentu tak ingin melihatku melompati pagar. Jadi....”
“Dia benar,” ucap Gordon. “Dia wanita, penjaga itu pasti akan sedikit terlena. Wajah Ariana tidak kalah cantik dengan Yoona SNSD, pasti mereka akan suka.”
Semua mata menatap Gordon.
Gordon mendesah. “Aku hanya memberi saran.”
Ariana buka suara lagi. “Tetapi aku memerlukan pelindung. Dan karena Gordon adalah orang yang paling paham tentang SNSD, aku ingin dia jadi pelindungku. Lagian, aku yakin badan besarnya akan kesusahan jika melompati pagar.” Ariana terkekeh. Gordon jelas cemberut.
“Janero, temani mereka,” ucap Juna.
“Aku?” tanya Janero, terkejut.
“Iya kamu. Ada masalah?” tanya Juna. Janero menggeleng.
“Baiklah, rencana sudah kita laksanakan. Kita tinggal menunggu besok untuk melakukan rencana ini.”
# # #

Malam seolah berjalan sangat lambat. Juna tidak bisa langsung tertidur di kamar hotelnya. Dia beberapa kali harus terjaga. Karena seperti biasa, tidurnya kini semakin tidak berkualitas. Seolah ada ratusan makhluk sedang menunggunya di alam mimpi. Belum lagi mimpi buruknya tentang kehancuran Mata Rantai. Juna pun memutuskan untuk tidak melanjutkan tidurnya sampai pagi.
Pagi hari, Juna langsung menemui yang lain. Dia meminta Ariana memastikan sekali lagi bahwa Alexa Crain tidak akan datang ke Galeri Mahakarya malam ini.”
“Tidak, dia sedang ada meeting review bersama tim perhotelan. Saya memastikan dia tidak datang ke Galeri Mahakarya. Nanti malam, dia ada agenda makan malam dengan kolega di daerah Kota Gede.”
Bagus, pikir Juna. Dia bisa dengan mudah melakukan wawancara dengan makhluk-makhluk itu. Dia sungguh sangat ingin tahu, mengapa mereka ada di Mahakarya. Mengapa mereka terus mengganggu tidurnya. Dan tentu saja, apakah ini semua berhubungan dengan kehancuran Mata Rantai.
Galeri Mahakarya buka pukul sembilan pagi. Dodo dan Dede datang pukul sebelas. Tidak ada yang mencurigai mereka. Mereka menyamar menjadi pengunjung biasa. Untung saja hari itu ada kunjungan dari siswa-siswa SD yang melakukan darmawisata. Suasana Galeri menjadi cukup ramai sehingga Dodo dan Dede bisa leluasa mencari panel listrik yang mereka butuhkan. Tidak sampai satu jam mereka sudah menemukan apa yang mereka cari tanpa ada yang curiga. Ruang panel listrik terletak di lantai satu, di belakang. Terlindung oleh pintu besi berkode. Untung saja, Dodo memiliki alat pemecah kode hasil ciptaannya. Mereka memasuki ruangan itu. Ruangan seluas tiga meter kali tiga meter itu penuh dengan kabel-kabel listrik besar, lampu penanda yang berkedip-kedip, monitor-monitor. Dengan sigap Dodo dan Dede segera mencari panel listrik untuk pagar pembatas di monitor. Mencari kode untuk mematikannya.
“Ini saja kerjaan kita?” tanya Dodo.
“Cukup mudah. Ayo kita segera pergi, sebelum ada yang tahu.”
Rencana siang itu berjalan dengan sangat mulus. Dodo dan Dede segera kembali ke hotel dan bergabung dengan yang lain.
Tepat pukul delapan, mobil yang membawa Juna dan tim membelah Jalan Kaliurang. Beberapa meter dari Galeri Mahakarya, tim terpecah menjadi dua.  Juna, Dodo, Dede, Ben Lenwa berusaha untuk melompat pagar. Sementara Ariana, Gordon, dan Janero bertugas untuk mengecoh Penjaga Galeri di pos depan.

Pagar tiga meter yang mengelilingi Galeri Mahakarya ternyata bukan pagar yang sangat mudah dipanjat semua orang. Juna yang memang rajin olahraga, bisa dengan mudah memanjat menggunakan bantuan tali. Dede dan Ben Lenwa awalnya kesulitan untuk memanjat, namun akhirnya bisa. Yang jelas sangat kesusahan adalah Dodo. Dengan tubuh yang sedikit tambun, dia sangat kerepotan untuk melompat, memanjat, dan akhirnya hanya bergelantungan di tali. Tetapi akhirnya dia bisa melewati pagar itu, meskipun dengan susah payah.
Tempat mendarat di balik pagar adalah rumput basah yang sedikit berembun. Mereka berempat mengendap, menyusuri rumput dan bersembunyi di balik pohon dan rerumputan. Juna memastikan tidak ada yang mengetahui mereka. Setelah semua baik-baik saja, mereka berlari kecil menuju belakang. Lenwa membimbing mereka menuju pintu belakang yang tersembunyi di bawah anak tangga yang melingkar.
Dodo dan Dede kemudian beraksi. Mereka mengeluarkan alat pemecah kode yang tadi siang ia gunakan untuk membuka ruang panel listrik.
“Ini  sebenarnya keamanan standar,” ucap Dodo lirih. “Tetapi, ini berbeda dengan pengamanan di ruang panel listrik.”
“Keamanannya menggunakan kode angka dan sensor telapak tangan berbasiskan mikrokontroller. Tetapi masalahnya, keamanan ini menggunakan nomer ponsel untuk mengaktifkannya. Selain itu, jika kita salah memasukkan kode, alarm akan berbunyi dan Alexa Crain akan menerima pemberitahuan via SMS. ” sambung Dede.
Juna memandang Dede. “Lalu, nomer ponsel dan telapak tangan siapa yang bisa membukanya?”
“Ruangan panel listrik hanya diberi kode sederhana. Mahasiswa terbaik lulusan IT pasti bisa memecahkan kode acak itu. Tetapi kode pintu besi di depan kita punya keamanan berlapis berbasis mikrokontroler. Aku bisa saja menggunakan alatku untuk memecahkan kode, tetapi tidak dengan telapak tangan.”
“Lenwa, mengapa kamu tidak bilang akan sensor telapak tangan,” ucap Juna.
Dede terkekeh. “Kamu lupa kalau dia adalah penciptanya, Bos?” Dede meletakkan alat pemecah kodenya di badan pintu. Alat itu berupa tabung berisi cairan biru yang bergerak-gerak. Di pangkalnya, ada monitor kecil. Dede memutar tombol di badan tabung. Di monitor kemudian muncul enam angka acak. Dede memasukkan kode itu ke dalam keamanan pintu. “Tentu saja, tangan penciptanya pun akan punya akses untuk membuka.” Dede menarik tangan Lenwa dan meletakkannya di kode akses.
Tangan Lenwa terdeteksi sinar laser. Terdengar bunyi ‘klik’. Lenwa mendorong pintu besi di depannya. Pintu itu terbuka. “Ayo lekas masuk!” ajak Lenwa kepada yang lain.
Mereka berempat langsung masuk ke dalam galeri, menyusuri lorong yang penuh dengan benda-benda seni, naik melalui tangga melengkung dengan ukiran naga ke lantai 3. Lantai 3 Galeri Mahakarya adalah berupa ruangan luas dengan dinding-dinding lebar berwarna putih. Di dinding-dinding itulah terpasang lukisan-lukisan dari pelukis terkenal Indonesia. Tetapi dari semua lukisan yang ada, ada satu lukisan yang cukup menonjol, lukisan besar berukuran 2 meter persegi. Gaya lukisannya mirip seperti Raden Saleh, namun lebih lugas dengan warna yang cenderung berani dan terang. Lukisannya berupa kereta api uap kuno yang berjalan di atas jembatan kokoh.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Juna. “Kamu bilang bahwa alarm akan menyala setiap kita menggeser lukisannya,” ucap Juna kepada Lenwa.
“Ya, itulah masalahnya. Apakah kamu bisa menggunakan alatmu, De?” tanya Lenwa kepada Dede.
Dede maju ke dekat lukisan, meletakkan alatnya dan mencoba mengotak-atiknya. Tak ada reaksi. Dia hampir saja menyentuh dan mendorong lukisan itu, tetapi Lenwa terpekik kaget.
“Hati-hati, alarm akan berbunyi,” pekik Lenwa membuat Dede mengurungkan niatnya.
“Tenang saja,” ucap Dede. “Dia masih mengotak-atik alatnya. Setelah terdengar bunyi ‘klik’, dia mendorong lukisan itu ke kanan. Tampak pintu besi dengan pengaman sensor tangan ada di depan mereka. “Tidak ada yang tidak bisa untuk Dede,” Dia membanggakan dirinya sendiri. Setelah itu, dia mengotak-atik pintu di depannya, tak berapa lama, pintu itu terbuka juga.
Mereka berempat segera berhambur masuk ke dalam lift. Memencet tombol GF. Lift meluncur ke bawah.

Sementara itu, beberapa meter dari pintu gerbang Gerbang Galeri Mahakarya, sebuah mobil SUV berhenti. Ariana, Gordon, dan Janero ada di dalam mobil itu.
“Apa rencana kita?” tanya Janero.
“Masuk ke dalam,” jawab Ariana di kursi penumpang depan. Gordon yang di balik kemudi hanya melirik sesaat lalu berkonsentrasi lagi ke depan. Jalan Kaliurang KM 20 mulai gelap. Rumah-rumah penduduk tampak jarak terlihat. Galeri Mahakarya memang sudah mendekati pintu masuk kawasan wisata Merapi.
“Kamu gila. Orang-orang itu pasti akan mencurigai kita.”
Ariana terkekeh, lalu meminta Gordon untuk mendekatkan mobil mereka ke pintu gerbang. Gerbang Mahakarya terletak beberapa meter dari jalan raya. Mobil mereka masuk, melewati jalur menuju pintu utama yang terbuat dari batu-batu pipih yang tertanam di antara aspal keras. Di samping kanan dan kiri terdapat pohon-pohon cemara hias yang menjulang tinggi. Gerbang hanya memuat dua buah mobil. Dan jika malam hari, pintunya tertutup rapat sehingga tamu yang datang harus membunyikan bel dan berbicara di interkom.
“Ada keperluan apa malam-malam?” sapa petugas dengan suara galak dan berat.
“Kami ingin meminta ijin untuk masuk ke dalam. Kami mahasiswa yang melakukan penelitian di lereng Merapi. Kami butuh bantuan. Mobil kami mogok dan kami tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa pun,” ucap Ariana.
“Alasan yang buruk,” ujar Janero mencibir. Ariana mendelik kepada Janero dan memberi isyarat pria itu untuk diam.
“Aku yakin mereka akan bersimpati kepada seorang wanita,” kata Ariana yakin.
Tak berapa lama sebelah pintu gerbang terbuka dan seorang petugas dengan seragam berwarna hitam keluar. Tampangnya sudah cukup tua dengan berewok lebat di wajahnya. Ariana keluar dari dalam mobil.
“Apakah kamu bisa membantu kami? Kami Mahasiswa dari Geografi UGM, kami baru saja melakukan penelitian tentang aktivitas Merapi, namun kami kemalaman dan mobil kami mogok.”
Petugas itu memicingkan mata, seolah meneliti Ariana.
“Seorang mahasiswa mobilnya SUV BMW?” tanya petugas itu.
Ariana tampak terkejut, namun dia buru-buru menenangkan diri. “Itu milik dosen kami yang menjadi pembimbing. Dia baik sekali seperti Anda. Dia punya banyak sekali mobil di rumahnya.” Ariana tertawa palsu. Oh Tuhan, semoga dia percaya dengan tipuanku.
“Berapa orang?” tanya petugas.
“Tiga, saya dan dua orang teman saya.” Ariana menunjuk ke dalam mobil melalui kaca mobil yang terbuka.
Petugas melirik ke dalam mobil. Gordon dan Janero tampak tersenyum.”
“Dua-duanya laki-laki dan tidak ada yang bisa memperbaiki mobil mewahmu?”
“Ah mereka payah sekali, dua lelaki yang tidak bisa diandalkan,” bisik Ariana. ”Dua-duanya sedikit ehm..melambai. Mereka suka drama korea, musik korea, dan gosip. Bapak harus berhati-hati dengan mereka dan kuharap menjaga tubuh Bapak. Mereka suka sekali lelaki yang memakai seragam.”
Bapak itu tampak bergidik. “Baiklah, masuklah. Kami akan membantu.”
Ariana mengerlingkan mata kepada Gordon dan Janero. Dua lelaki di dalam mobil itu tampak mengutuk Ariana.

Sementara di dalam Galeri Mahakarya, Juna dan yang lain sudah tiba di ruangan Alexa Crain di bawah tanah. Ruangan itu tak terlalu besar, tetapi sangat nyaman. Rak-rak buku mengelilingi ruangan. Sebuah kursi goyang ada di sudut ruang. Dan meja kerja menjadi center of attention dari ruangan itu. Ruangan klasik dengan furnitur kayu jepara yang di furnis cokelat mengkilap. Selain meja kerja besar berukir naga, yang menarik lainnya adalah sebuah almari kaca yang penuh dengan souvenir kereta api. Aroma cengkeh dan kayu cendana membuat ruangan itu terkesan hangat.
Juna berkeliling ruangan. Ia memang tak terlalu mengenal Alexa Crain secara personal. Yang ia tahu, Crain adalah seorang parlente dengan rambut klimis, sepatu mengkilap, dan baju rapi di setiap saat. Aroma Terre d’Hermes yang woody, spicy, dan earthy di tubuh Crain membuat dirinya tampak hangat dan bersahabat. Juna mengenal Crain hanya sebatas urusan pekerjaan. Tetapi melihat isi ruangan bawah tanah ini yang klasik dan misterius, Crain pastilah seorang yang unik dan penuh rahasia.
Juna mengambil frame foto yang terletak di atas bufet pendek. Foto itu menampilkan seorang pria kurus yang memakai blesser warna abu-abu dan pria lain yang hanya mengenakan kemeja putih sementara blessernya ia gantung di tangan kanan. Keduanya tampak tertawa di depan Tugu Jogja.
“Apakah kita akan melakukan wawancara di sini?” tanya Dede memecah keheninga. Semua orang menoleh kepadanya. “Sudah hampir jam sebelas, kita harus bergegas sebelum semua orang tahu keberadaan kita di sini.”
Dede benar, kata Juna dalam hati. Tempat ini adalah tempat yang tepat untuk melakukan wawancara. Makhluk-makhluk itu bilang bahwa mereka sedang terperangkap di galeri millik Crain ini. Dan mimpi-mimpi Juna beberapa malam terakhir, semakin memperjelas bahwa makhluk-makhluk itu ada hubungannya dengan kehancuran Mata Rantai.
Dede dan Dodo menyiapkan peralatan. Tikar, baskom berisi air, pensil ultraviolet warna ungu, kertas. Mereka duduk melingkar di lantai. Lampu di matikan dan hanya tersisa dua nyala lilin kecil di dekat baskom.
Juna memejamkan mata. Apakah aku harus berkelana malam ini? Ada semilir angin lirih yang menyentuh bagian belakang telinganya, seolah ada seseorang yang ingin berbisik lirih kepadanya. Juna merasakan bagian belakang kepalanya memanas.
“Apakah kalian hadir di sini?” tanya Dede.
Pensil bergerak-gerak, menulis di kertas kosong. Dede mengambil kertas itu, lalu memasukkan ke dalam baskom.
Ya, kami ada.
Juna mendengar Dede berbicara lagi. Tetapi dirinya sendiri masih memejamkan mata dan merasakan perubahan di dalam tubuhnya. Tubuhnya mendadak panas dan ringan, dan suara angin itu berubah menjadi dengungan-dengungan tidak jelas. Semakin lama dengungan itu semakin keras. Disusul oleh suara-suara langkah kaki, suara lengkingan peluit, suara koper yang diseret cepat, suara orang-orang yang berjualan minuman, dan suara desingan kereta api yang bersentuhan dengan rel.
Ini stasiun, mengapa aku ada di sini? Juna tak mengerti mengapa ia justru berada di tempat ini, bukan di ruangan gelap. Ia seharusnya sedang bertemu dengan makhluk-makhluk yang terperangkap di Galeri Mahakarya.
Sebuah suara renyah seorang wanita menggema di saentero stasiun, memberitahukan bahwa kereta Taksaka Malam jurusan Yogyakarta akan segera berangkat dari Stasiun Gambir, Jakarta.
Juna menelan ludah. Ini di Stasiun Gambir? Pikirnya. Juna menoleh ke kanan dan ke kiri. Bertepatan dengan itu, seorang lelaki dengan tas punggung besar berlari ke arahnya. Juna ingin menghindar, tapi terlambat. Lelaki itu sudah meluncur ke arahnya, lalu melewatinya. Juna memejamkan mata, karena ia yakin orang itu akan menabraknya, ia akan terjungkal jatuh. Tetapi tidak. Tidak terjadi apa-apa. Dia masih berdiri di tempatnya.
Astaga, tadi orang itu menembus tubuhku? Juna menepuk-nepuk pipinya. Tidak mungkin kalau aku sudah mati.
Belum selesai keterkejutannya, Juna mendengar ada seseorang yang saling bertubrukan di belakangnya. Kejadiannya sangat cepat sekali. Juna menoleh dan melihat dua lelaki terjatuh di lantai, tas-tas mereka berhamburan. Lelaki pertama seorang remaja, kira-kira berumur 17 tahun, dia mengenakan jaket biru. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih, dia terkesan kaya. Sedangkan yang satu adalah orang yang tadi menembus tubuh Juna. Mereka berdua memegangi kepala masing-masing. Mungkin tadi kepala mereka saling terantuk.
Juna masih berdiri di tempatnya saat kedua orang itu kemudian berdiri, saling meminta maaf.
“Maafkan saya,” ucap lelaki pertama.
“Aku yang salah,” balas lelaki yang lain. Sambungnya. “Saya buru-buru mengejar kereta ke Taksaka Malam,” ujarnya.
“Oh sama, aku juga buru-buru mengejarnya. Aku gerbong dua.”
“Aku juga gerbong dua,” balas lelaki kedua. Dahinya berkerut. “Jangan-jangan kita sekursi?” tanyanya sambil sedikit tertawa.
“Nomer kursi berapa?”
“13A. Kamu?”
Lelaki kedua menahan keterkejutannya. “Astaga, kebetulan sekali.” Dia membuka tiketnya, lalu menyodorkannya ke lelaki kedua. “13B.”
Mereka berdua tertawa bersama.
“Oh ya, kebetulan sekali,” ucap lelaki kedua sambil tersenyum. “Kenalkan namaku Mahesa.”
Lelaki pertama menjabat tangan lelaki kedua dengan mantap. “Aku Crain. Alexa Crain.”
Juna menyipitkan pandangannya. Astaga, mereka berdua kan yang ada di frame foto di ruangan Crain.

# # #

baca kelanjutannya di sini

No comments