[SERIAL] MATA RANTAI (23)



BAB 26
Juna berdiri kaku, menyadari bahwa dua lelaki di depannya adalah orang yang ia kenal. Setidaknya, ia mengetahui mereka. Yang pertama tentu saja adalah Alexa Crain. Sejak remaja dia memang sudah terlihat necis. Sementara yang kedua adalah Mahesa, makhluk yang beberapa hari lalu mengikutinya. Jadi, ini adalah alam lain. Dan dia terjebak di dunia ini karena ada sesuatu hal yang ingin direka ulang. Sebenarnya ini semua tak masuk akal, tetapi Juna tak peduli dan terus berdiri mengamati dua remaja di depannya.

Suara peluit panjang memudarkan lamunan Juna. Dan diapun tidak menyadari bahwa kedua remaja di depannya sudah tidak ada. Juna melihat mereka sudah berlari menaiki tangga ke lantai dua, menuju gerbong kereta Taksaka Malam. Juna berlari mengikuti mereka. Seorang petugas sudah meminta penumpang untuk segera naik. Beberapa di antara mereka tampak membantu penumpang yang kebingungan. Crain dan Mahesa masuk ke gerbong dua.
Tanpa mempedulikan petugas yang berdiri di depan pintu, Juna menerobosnya dan masuk ke gerbang dua. Kereta berjalan perlahan, kemudian cepat. Juna kelimpungan dan tampak oleng. Kereta berjalan dengan kecepatan penuh menyebabkan tas-tas beterbangan, kursi-kursi terbalik. Juna terpelanting ke belakang, lalu ke atas, menubruk kursi, dan kepalanya kejedot bagian atas kereta. Dia limbung dan pandangannya mengabur. Saat ia membuka mata, dia sudah berdiri di dalam sebuah kamar bercat krem.
Juna menoleh ke kiri dan ke kanan. Di mana aku?
Kamar itu cukup besar. Ada tempat tidur besar di tengah-tengah dengan bed cover kotak-kotak berwarna cokelat. Sebuah meja belajar memanjang bersandar di dinding. Di atas meja itu, banyak sekali mainan kereta api. Mulai dari Lego, terbuat dari kayu, alumunium.
Pintu kamar terbuka. Muncul seseorang berkaos putih dan celana pendek.
Crain? Pikir Juna. Ini memang kamar Crain.
Alexa Crain berjalan ke arah meja, lalu duduk. Beberapa kali dia mengecek ponselnya, kemudian dia letakkan lagi di atas meja. Sepertinya dia menunggu seseorang.
Ponsel Crain berbunyi. Secepat kilat dia menyambarnya, lalu ia tersenyum saat membaca nama yang tertera di layar.
“Hai, aku menunggu teleponmu dari tadi,” Crain berjalan ke arah ke tempat tidur, dia merebahkan diri sambil terus berbicara di teleponnya. “Aku merindukanmu. Apakah kamu tidak merindukanku, Mahesa?” tanya Crain.
Juna menelan ludah. Crain? Mahesa?
Belum selesain keterkejutan Juna, mendadak seperti ada gempa berkekuatan 8 SR. Kamar berputar, terguncang, melempar tubuh Juna menabrak dinding. Dia pingsan.
Saat matanya terbuka, dia sudah berada di depan sebuah pintu bertuliskan angka 305. Juna melihat sekeliling. Kanan kirinya berupa lorong panjang dengan banyak pintu di dinding-dindingnya.
Terdengar langkah kaki yang berlari ke arah Juna. Seorang pria dengan blezzer warna biru dipadukan dengan jeans.
Pria itu Alexa Crain dengan tampilan yang sedikit lebih dewasa dari yang Juna temui sebelumnya. Raut muka Crain tampak sedikit gelisah. Dia berhenti di depan pintu bertulis 305. Ia tampak ragu, tetapi dia mengeluarkan kunci  dari sakunya, memutar kunci, dengan bimbang dia mendorong pintu perlahan. Dia melongokkan kepala ke dalam apartemen.
Juna menyusul masuk ke dalam apartemen saat Crain sudah berada di ruang tamu. Tak ada siapapun di sana. Dua botol minuman beralkohol yang udah habis tergelatak di atas meja. Kulit kacang berserakan di permadani tebal berwarna biru.
Crain sekilas menginderai ruangan. Terdengar suara lirih dari pintu kamar. Mata Crain memicing. Kakinya perlahan mendekat pintu kamar. Tangannya menyentuh gagang pintu, memutarnya perlahan. Pintu terbuka lebar. Tampak di dalam kamar, Mahesa dan seorang lelaki seumurannya sedang berpelukan di atas tempat tidur. Muka Crain berubah memerah. Dia tak berkata apa-apa saat Mahesa mendekatinya, lalu merujuk dengan sejuta kata. Tapi Crain hanya diam, bak Patung Pancoran siang hari di tengah ruwetnya lalu lintas Jakarta.
Juna mendelik saat Crain menampar Mahesa.
“Aku selalu percaya denganmu, Sa,” ucap Crain akhirnya, di sela-sela isak tangis.
Crain keluar dari apartemen Mahesa, menembus tubuh Juna.
Juna terjengkal ke belakang, terjun seperti jurang. Pandangannya menghitam. Ia terjatuh di tanah berumput basah. Suasana sepi. Gelap. Dari jauh, dia melihat seorang pria yang berjalan tergesa, keluar dari Jip tangguh. Dia menyeret karung, seperti diganduli oleh berton-ton pasir. Keringat tampak keluar dari sela rambutnya yang berantakan dan membasahi wajahnya yang putih bersih. Orang itu berhenti. Lalu dia menggali sekuat tenaga.
“Aku mencintaimu,” ucap orang itu dengan bibir gemetar.
Juna terpekik, tak bisa berkata apa-apa saat orang itu mengeluarkan mayat dari dalam karung yang ia bawa.
“Aku ingin kamu abadi di sini, bersamaku.” Dia terus menggali. Setelah lubangnya cukup dalam, dia memasukkan mayat itu ke dalam lubang, menguburnya dengan tanah. Setelah selesai, dia menanam pohon di atasnya.
Orang itu menghela nafas kecil. “Aku mencintaimu,” ucapnya lagi, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
Juna ternganga karena ia tahu orang itu adalah Alexa Crain dan orang yang dikubur tadi adalah Mahesa.
Orang itu lenyap, berganti dengan set-set adegan cepat, seperti rol film yang diputar cepat. Sebuah kapak yang terayun cepat, memotong leher. Kapak milik Crain. Crain yang mendadak memiliki muka yang dingin, pucat, dan penuh dengan amarah. Dia memegang pisau, menghunus ke tubuh-tubuh lelaki-lelaki.
Juna mundur, terjengkal, terduduk paksa. Pantatnya terasa sakit. Sketsa-sketsa di depannya berubah menjadi sebuah ruang tamu dengan kursi rotan reot. Di atas kursi, seorang lelaki tambun tertidur dengan suara dengkuran yang mirip bajaj sedang ngebut. Terdengar langkah orang datang, seorang anak kecil dengan parang di tangan kanannya. Belum sempat Juna mencegah, anak kecil itu berlari kecil dan menusukkan parangnya ke dada orang yang sedang tidur.
Mulut Juna ternganga. Dia memandang anak kecil itu yang sedan membabi buta, menusuki dada orang dewasa yang tidur. Anak kecil itu seperti menyadari dirinya sedang dilihat. Dia menoleh dan melihat Juna.
Juna terpekik. Anak kecil tersenyum. Di wajahnya penuh muncratan darah.
Juna seperti tersedot vacuum besar. Dia terpelanting, terombang-ambing, bayangan bocah yang tersenyum menyeramkan tampak memudar. Saat ia tersadar, dia telah kembali ruangan Crain di Galeri Mahakarya.
“Apa yang terjadi? Tubuhmu mendadak penuh keringat setelah wawancara itu?” tanya Ben Lenwa.
Juna tidak menjawab. Dia masih syok dengan beberapa sketsa adegan yang ia lihat. Jika benar bahwa orang-orang itu adalah Alexa Crain, berarti makhluk-makhluk yang menghantuinya beberapa hari ini adalah makhluk-makhluk yang penuh dengan dendam.
“Lenwa, kamu pasti tahu, Galeri ini dulu bekas tanah apa?” tanya Juna.
“Tanah lapang, luas. Penuh rumput dan pohon,”
“Milik Crain?”
“Ya, tentu saja. Dia membelinya sudah sejak lama. Dan ada satu pohon yang seharusnya tidak boleh ditebang, tapi kemudian ditebang.”
“Pohon? Di mana letaknya?”
“Kira-kira…” Lenwa tampak berpikir. “Kira-kira di bawah sini,”
Juna berputar, tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan tak mengerti.
Makhluk-makhluk itu adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Alexa Crain, batin Juna. Dan aku belum tahu mengapa mereka saat ini sangat marah. Apa yang telah Crain perbuat?
Juna berputar, mencari-cari apa yang bisa memberinya petunjuk. Matanya tertuju pada gulungan-gulungan kertas di atas meja.
Blue Print? Juna membuka gulungan itu. Peta Monas?
Judul di kertas itu adalah PROYEK MAHAKARYA, tercetak dengan tinta biru.
“Kamu tahu apa ini?” tanya Juna pada Lenwa. Lenwa menggeleng. Peta itu hanya peta biasa. Tidak ada petunjuk apapun. Ah, mungkin ini memang peta biasa. Tapi mengapa ada tulisan ‘Proyek Mahakarya’?
Terdengar suara lift yang berdenting. Semua orang saling pandang. Ada orang yang datang? Semua dalam posisi siaga, memasang kuda-kuda. Juna menarik pistol yang ia sembunyikan di balik jaket tebalnya. Ia berjalan pelan menuju panel pintu. Yang lain mengikuti dari belakang.
Pintu terbuka perlahan. Wajah Ariana muncul di belakangnya.
“Astaga, kamu Ariana. Aku kira siapa. Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Di mana yang lain?” tanya Juna. Dia menyembunyikan kembali pistol ke balik jaket. “Bukankah seharusnya kamu dan yang lain ada di depan gerbang untuk….” Juna menghentikan kata-katanya karena melihat perubahan raut muka Ariana. Matanya memicing seperti seekor ular yang sedang mengintai induk ayam. “Are you OK?”
Ariana memandang nanar. Dari balik rambutnya yang hitam panjang, tersembul moncong pistol. Seseorang mendorong paksa Ariana ke depan. Pintu terbuka sempurna dan terlihat Janero sedang berdiri di belakang Ariana, memegang pistol. Sontak seluruh orang yang ada di ruangan seperti tersengat ribuan tawon. Janero tak berkata apa-apa, dia kemudian mencengkeram lengan Ariana kuat-kuat.
“Apa yang kamu lakukan, Janero? Lepaskan dia!” bentak Juna.
Terdengar langkah kaki mendekat. Disusul oleh suara kaki berdentam keras di lantai. Gordon masuk dengan mulut tersumpal dan tangan terikat ke belakang.
“Tak kusangka badanmu seberat itu, Mr. Girls Band,” kata suara renyah di belakang Gordon. Muncul dari balik badan Gordon yang besar, tubuh necis Alexa Crain dengan stelan jas biru dan celana jeans. “Selamat datang di ruangan pribadiku, Tuan Mata,” ucapnya dengan nada lirih, mengejek.
“Crain?”
Crain terkekeh kecil. Dia berjalan mendekat ke arah kursi yang terletak di pojok ruangan, lalu duduk dengan santai di sana. Kaki ia silangkan ke depan, tangannya lentik memegang pulpen.
“Sebenarnya saya tidak ingin melibatkan kalian untuk proyek saya. Namun, ternyata kalian semua terlalu jauh melibatkan diri kalian sendiri. Oh, mengapa saya jadi berputar-putar. Dan…” Crain menoleh ke arah Juna. “mungkin sudah saatnya saya bertindak, Tuan Juna Mata.”
Juna memandang nanar ke Crain. Ia tak menduga bahwa Chief Rantai itu memiliki sisi gelap yang menakutkan. Ia sudah melihat bagaimana Crain membantai orang, menusuk dada, mengubur mereka.
“Apa maumu, Crain?” tanya Juna. “Aku akan mengabulkan semua keinginanmu asalkan kamu melepaskan Ariana.”
Crain tertawa kecil. “Kamu bukan orang kemarin sore, Juna. Aku tahu itu. Tapi orang kemarin sore inilah yang dipilih oleh Tuan Mata untuk memimpin Mata Rantai. Banyak yang iri, tentu saja. Tetapi aku tidak termasuk orang-orang itu. Aku hanya ingin…aku hanya ingin membantu orang-orang untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Mata Rantai pasti akan bisa membantu. Jadi jika, kamu mau bekerja sama denganku, aku dengan senang hati akan menerimanya. Aku sudah terlalu capek membunuh orang-orang yang menghalangiku.”
“Kamu sudah gila, Crain. Ini semua pasti gara-gara pengalaman masa kecilmu?”
Crain mendelik, lalu menatap muka Juna. “Jangan pernah menyebut-nyebut masa kecilku, Tuan Juna Mata.”
“Apa maumu?” tanya Juna. “Uang? Kekuasaan di Mata Rantai? Semua akan kuberikan asal kamu melepaskan Ariana.”
“Kamu sama saja dengan orang-orang di pemerintahan sana yang menebar janji-janji palsu, Tuan Juna Mata. Aku bukan anak TK yang mudah dibujuk dengan permen warna-warni, Tuan.” Perkataan Alexa Crain terdengar mengejek. “Setelah aku melepaskan Ariana, tentu saja kamu tidak akan memberikan apa yang kamu ucapkan tadi. Aku sudah malas berbasa-basi. Janero, bawa Ariana.”
Dodo dan Dede yang awalnya diam kini bergerak maju, hendak merebuat Ariana. Janero  bergerak cepat. Ia mencengkeram lengan Ariana, Ariana terdengar kesakitan, dan Janero langsung menyorongkan pistolnya ke kepala Ariana.
“Kalian jangan pernah macam-macam,” bentak Janero.
“Janero, apa yang kamu lakukan? Jadi selama ini….” Perkataan Dede terpotong.
Crain menyela perkataan Dede. “Orang yang sakit hati akan melakukan apa saja.” Dia menoleh ke arah Janero. “Ayo, kita pergi Janero. Bawa Ariana ke mobil. Dan untuk kalian yang masih ada di sini, jika ada seorang pun yang bergerak dari ruangan ini, kalian akan langsung mendengar bunyi keras pistol ini menyalak. Aku tidak menggertak, tapi aku tidak pernah bercanda. Kalian tahu itu.” Crain memandang satu persatu orang di depannya.
Tak ada yang berani maju dan berkomentar.
Crain berjalan pelan ke arah Juna. Dia menyondongkan badannya, sehingga kepalanya tepat di samping telinga Juna. “Jika ingin dia selamat, tukar saja Buku Petunjuk Batu Mata dengannya. Aku menunggumu di gedung Mata Rantai, besok jam 5 sore. Aku tak punya banyak waktu.”
“Jangan sakiti dia,”
“Tentu saja, kecuali kamu tak menyerahkan buku itu.”
Sesaat kemudian, Crain pergi dari ruang pribadinya disusul oleh Janero yang menyeret paksa Ariana.
Juna berdiri mematung. Ia mendadak lupa dengan tujuannya ke tempat ini. Ia juga lupa dengan makhluk-makhluk itu. Setidaknya kini dia mendapatkan jawaban-jawaban pertanyaannya. Dan yang lebih penting sekarang adalah ia harus segera menyelamatkan Ariana.
# # #
[ baca kelanjutannya di sini ]


2 comments

  1. Berasa kayak di film-film fantasi...
    kayak FROZEN gitu...
    eh, iya bukan sih??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kenapa jadi frozen hahahaha :)

      Kingsman oi Kingsman :)

      Delete