[SERIAL] MATA RANTAI (16)


BAB 19
Mobil Juna melesat ke rumah sakit di daerah Jakarta Pusat. Selamat perjalanan yang ia pikirkan adalah kata-kata Arya di telepon tadi.
Dilan meninggal. Cepatlah ke mari, karena ada satu pesan untukmu.
Percakapan dengan Dilan beberapa waktu lalu memang belum ia cerna benar. Ia keburu harus menyelesaikan kasus Lenwa dan ia melupakan sesuatu : Batu Mata Rantai yang akan Dilan tunjukkan kepadanya. Malam purnama sebentar lagi dan seharusnya Dilan akan mengajaknya untuk pergi melihat Batu Mata Rantai yang disembunyikan oleh Tuan Mata. Dan hanya Dilan yang tahu tempat itu. Hanya dia. Kini, jika Dilan memang telah meninggal, lokasi batu itu jelas tidak ada yang tahu. Kecuali, dia sudah menuliskan sebuah surat untuknya, atau sebuah pesan. Seperti yang Arya katakan tadi.
Sesampainya di rumah sakit, suasana haru langsung menyeruak. Beberapa keluarga Dilan tampak menangisi kepergian lelaki tua itu. Juna memang belum terlalu mengenal Dilan. Namun, Tuan Mata sangat percaya kepadanya. Jadi Juna rasa, dia adalah orang baik. Yang sangat mengejutkan Juna adalah ternyata Dilan meninggal dengan tidak wajar.
Mayat Dilan ditemukan dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Mobil yang ia tunggangi menabrak pembatas jalan di daerah sepi di Tanjung Priok. Saat ditemukan, keadaan mobil itu sangat mengenaskan. Namun yang mengherankan, mobil itu seolah-olah memang sengaja dibenturkan ke dinding pembatas. Namun yang lebih mengherankan lagi, di dalam mobil, Dilan dan supirnya ditemukan dengan luka tembak di dada dan kepalanya. Mereka diikat dan kepala mereka ditutup. Saat ditemukan, keduanya sudah tewas. Saat ini, polisi sedang menyelidiki kasus ini. Karena ini sangat jelas, mereka berdua dibunuh oleh seseorang dengan sangat profesional. Tidak ada jejak tangan di mobil mereka. Yang ada hanya bau mesiu yang menyengat.
Awalnya polisi mengira bahwa kasus ini adalah perampokan. Namun, dugaan mereka ternyata salah. Dilan tidak dirampok. Ponselnya masih ada di saku celananya. Dompet masih untuh. Jadi, kasus ini murni adalah kasus pembunuhan. Dan semua orang mulai bertanya-tanya, siapakah yang memusuhi Dilan?
Tak perlu menunggu hari berikutnya untuk pemakaman Dilan. Pagi itu, tubuh Dilan langsung menyatu dengan tanah. Semua keluarga hadir, begitu pun dengan para petinggi Mata Rantai. Sosok Dilan adalah seorang pengacara dan ahli hukum yang sangat dipercaya di Mata Rantai. Banyak orang yang mendoakan kepergiaannya.
Keluarga Dilan meminta kasus ini agar segera ditutup rapat. Tak ada pemberitaan di media. Semuanya tertutup. Mereka tak ingin ditanyai macam-macam oleh para wartawan. Namun yang jelas, polisi masih terus menyelidiki motif pembunuhan Dilan.
Juna pun juga menanyakan, pasti ini bukanlah pembunuhan yang biasa
# # #

Beberapa hari setelah kematian Dilan, Juna selalu dihantui oleh hal yang sama. Mimpi itu kembali datang. Semua orang berada di depan gedung Mata Rantai dengan kerudung warna hitam. Semua mendengungkan hal yang sama, ada yang berteriak, ada yang memaki. Juna berada di tengah-tengah mereka, berhimpitan dengan tubuh-tubuh besar. Di kejauhan dia melihat gedung Mata Rantai mulai runtuh dan orang bersorak-sorai. Sementara dirinya tak bisa berbuat apa pun, kecuali hanya ikut berteriak dan teriakannya tenggelam dalam lautan suara manusia.
Gedung Mata Rantai runtuh. Sebagian mengenai orang-orang, sebagian orang berlarian. Tinggallah Juna yang berdiri seorang diri dengan ratapan sedih melihat apa yang terjadi. Dari tempatnya berdiri, ia melihat Dilan melambai ke arahnya. Namun, ada bunyi senapan keras dan tubuh Dilan ambruk dengan luka tembak di dada. Di belakangnya, Ariana menjerit, kemudian dia diseret paksa oleh algojo bertubuh besar. Juna hanya bisa berteriak, tapi kakinya tak bisa digerakkan untuk berlari. Dia meronta. Dari kejauhan pula, dia melihat satu persatu Chief Mata menjauhinya.
Dan di penghujung mimpinya, dia merasakan tubuhnya terasa terbakar, kepalanya sakit karena suara dengingan dari kedua telinga yang memekakkan. Dia limbung tanpa daya di atas tanah. Suara-suara kecil di telinganya semakin menyiksa. Hidungnya mencium bau menyengat yang busuk. Seperti bau katak yang telah mati berhari-hari.
Sunyi. Suara runtuhan gedung Mata Rantai raib. Juna mendongak, orang-orang di sekelilingnya menghilang. Dan tersisa dua orang dengan pakaian serba hitam yang berjalan menuju ke arahnya. Satu langkah orang itu mendekat, bau busuk itu semakin dekat. Wajah mereka perlahan-lahan terlihat.
Yang satu, bertubuh tinggi sekitar 180 cm dengan kulit putih kecokelatan. Matanya tajam menatap Juna. Dan Juna seperti mengenali orang itu. Dia seperti melihat hidungnya mirip dengan hidung orang itu, matanya seperti mata orang itu, langkah kakinya seperti langkah kakinya.
Karena orang itu memang dirinya.
Juna terperanjak. Dia tergagap melihat dirinya sendiri sedang berjalan mendekatinya. Dan di sampingnya, seorang pemuda ceking dengan rambut dicat pirang tua. Dia sedikit membuka mata, sehingga memperlihatkan gigi-giginya yang menghitam.
Lagi-lagi, Juna mengenal orang itu. Karena beberapa hari ini dia memusnahkannya. Orang itu adalah Andika.
Mereka berdua berjalan cepat, mendekati Juna dengan langkah mantap nan garang. Sesampainya di depan Juna, si orang yang mirip dengan dirinya menarik paksa kaki kiri Juna. Juna terjengkal. Dan Andika segera merangkak di atas Juna. Kedua lututnya menopang berat tubuhnya, dan menjepit tubuh Juna sehingga Juna tak bisa bergerak. Dia terkunci rapat. Andika tersenyum penuh kemenangan. Gigi-giginya yang menghitam tampak sangat mengerikan. Mukanya mendekat ke muka Juna. Nafas Juna tertahan saat Andika tiba-tiba mencium bibirnya. Sebelum Juna bisa berbuat apa-apa, Andika mencekik lehernya. Nafas Juna tercekat. Dia mendengar orang yang mirip dirinya tertawa.
Bukankah kata Dilan rohku yang lain itu baik. Bukankah….
Tiba-tiba….bruk….Andika ambruk di atas tubuhnya. Tak sadarkan diri. Kesempatan itu, Juna gunakan untuk menarik tubuhnya ke atas dan melepaskan diri dari tubuh Andika. Saat ia sudah terbebas, dia melihat dirinya sendiri sedang berdiri memegang kapak. Kapak yang kini sudah berwarna merah darah. Dia tersenyum kepada Juna.
Nafas Juna terengah. Lalu dia terbangun. Seperti biasa dengan keadaan yang sangat menjengkelkan. Dia tertidur di lantai hanya mengenakan boxer pendek. Tubuhnya sudah dipenuhi oleh peluh yang mengalir perlahan di sela-sela perutnya yang padat. Di sampingnya tergeletak selimut tebal yang sudah tak berbentuk.
Mengapa aku tak bermimpi di atas kasur empuk? Tubuhku sakit semua. Juna mendengus, lalu segera naik kembali ke atas tempat tidur. Hari ini ia sedang tak ingin berbuat apa pun. Dia ingin tenggelam dalam lautan selimut, lalu melepaskan semua hal.
Dia masih syok dengan kematian Dilan. Baginya, kematian itu seperti sebuah peringatan untuknya. Dia seperti dikuntit oleh bayangan hitam yang seolah-olah akan menerkamnya dari belakang. Ia yakin, hal itu ada kaitannya dengan Dilan. Apakah Dilan akan memberitahu sesuatu untukku? Pikir Juna.
Lalu dia teringat akan sesuatu.
Juna berdiri meninggalkan selimutnya, dia menuju dinding di belakang tempat tidur. Dia masih mengingat letak titik itu. Dia meraba-raba dengan telapak tangannya. Ada bunyi ‘tit’ saat ia menyentuh titik di sana. Dan dinding itu perlahan terbuka. Juna mengambil buku warna kuning kecokelatan di sana.
Buku itu masih sama seperti saat terakhir ia melihatnya. Perlahan Juna membuka satu persatu halaman, sampai dia membuka halaman tentang informasi penyatuan roh dengan Batu Mata Rantai. Di sana dijelaskan bagaimana keempat Batu Mata Rantai memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan roh di dalam tubuh manusia atas seijin Sang Pencipta. Di bawah rembulan yang sempurna, keempat batu itu akan memancarkan sinar yang sempurna. Dan saat itulah waktu yang tepat untuk menyatukan roh. Ada satu waktu lagi yang bisa digunakan, yaitu ketika tahun atau detik kabisat. Dimana ada persimpangan waktu di sana. Dan batu itu akan memancarkan sinar yang paling sempurna. Sinar hijau, biru, kuning, dan merah yang kemudan menyatu. Semua hal akan tunduk kepada sinar itu, karena sinar itu menyeimbangkan.
Juna membalikkan halaman itu. Di sana, Tuan Mata menulis dengan lebih detail lagi. Ternyata Batu Mata Rantai tak sepenuhnya bisa menyeimbangkan roh. Keseimbangan roh di dapat dengan konsentrasi tinggi. Batu itu hanya menolong, namun batu itu juga sangat berbahaya. Sinarnya bisa memanggil semua iblis-iblis dan roh jahat untuk berkumpul. Dan ternyata itulah alasan Tuan Mata meletakkan batu itu di sebuah masjid. Agar batu itu senantiasa didoakan. Sampai tiba waktunya harus dimusnahkan. Batu itu akan menjadi perebutan oleh iblis-iblis yang merasuki diri setiap manusia. Jadi, batu itu harus segera dimuskankan.
“…oleh penerus Mata Rantai, darah mata,” eja Juna perlahan.
Jadi inilah yang sebenarnya ingin Dilan katakan kepadanya. Bahwa batu itu adalah sangat berbahaya jika jatuh kepada orang-orang yang salah.
Juna menelan ludah.
Di belakang buku itu, ada sebuah mantera dengan bahasa yang tidak Juna mengerti. Sebuah tulisan dalam aksara jawa kuno.
“Oh, damn. Seharusnya aku memang tidak menerima tawaran Arya untuk melanjutkan perusahaan ini,” Juna mengumpat. Namun, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia harus bisa melanjutkan Mata Rantai. Mencapai titik yang Tuan Mata sampaikan dalam halaman terakhir buku itu.
Mata Rantai adalah perusahaan yang senantiasa akan menghidupi orang-orang di sekitarnya, senantiasa menjaga keseimbangan alam, untuk mencapai titik paling sempurna. Walaupun kita tahu, kesempurnaan hanyalah MilikNYA.
Juna mengambil ponselnya, lalu memotret halaman mantera yang ditulis dengan aksara jawa. Dia lalu memasukkan kembali buku itu ke dalam tempatnya.
# # #

Sore harinya.
Juna sedang duduk seorang diri di meja kerjanya dengan setumpuk laporan dan pikiran yang penuh.
Kematian Dilan, kondisi perusahaan, dan hal-hal gaib yang tiba-tiba berkonspirasi mengganggunya.
Dia harus relax malam ini. Mungkin dia bisa mengajak Ariana untuk pergi jalan-jalan seperti malam itu, pergi ke Kota Tua kembali. Atau hanya sekedar mengobrol. Yang jelas, dia ingin segera bebas untuk sesaat.
Bunyi ponselnya membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan singkat.
Kamu di mana, mengapa tidak pernah menghubungiku? Apakah bisa meneleponku sekarang? Please, aku sedang membutuhkanmu. Mariana.
Juna mengerutkan kening. Mariana adalah mantan pacarnya yang terakhir sebelum ia berada di Mata Rantai. Dan setelah di Mata Rantai, dia tidak pernah lagi berurusan dengan wanita-wanita yang dulu menemaninya. Namun, Mariana adalah salah satu mantannya yang sedikit membekas di hati.
Juna tombol dial. Ia menghubungi Mariana.
“Halo….” Sapanya.
Dan percakapan selanjutnya didominasi oleh suara isak tangis drama dari seorang wanita bernama Mariana.
# # #

Sudah lama Juna tidak datang ke club, menggoyangkan kepala mengikuti musik, menegak bergelas alkohol dingin, lalu berakhir dengan tubuhnya yang sempoyongan membawa seorang wanita untuk menemaninya di kamar. Sudah lama ia tak melakukan kehidupan sebebas itu. Kini tubuhnya terlalu letih untuk melakukannya.
Namun malam ini, dia datang kembali ke tempat yang diberitahu oleh wanita yang meneleponnya tadi. Sebuah club di daerah Kemang yang tentu saja sangat ia hafal karena dulu ia sering datang ke sini : THE WEST. Ia mengenakkan stelan sewajarnya: celana jeans biru gelap, sepatu sneakers, dan kemeja warna biru muda. Ia tak ingin terlihat mencolok dengan penampilannya karena tentu saja ia pasti akan bertemu dengan orang-orang yang mungkin mengenalnya.
Tadi Mariana merengek kepada dirinya untuk datang menemuinya. Salah satu kelemahan Juna selain melihat kecoa adalah mendengar seoran wanita menangis, mengiba, dengan suara pelan dan sesegukan. Ia pernah melihat ibunya menangis seorang diri malam-malam, entah karena apa, tetapi itu sangat menyakitkan. Saat itu, Juna masih berumur delapan tahun. Namun hatinya seperti tergetar dan berjanji ia tak akan membiarkan seorang wanita menangis di depannya.
Dan malam itu, Mariana bilang bahwa dia sedang dalam keadaan sedih mendalam. Dia butuh Juna malam itu. Kangen, itu perkataan pertamanya. Lalu dia menangig karena merasa kehilangan Juna.
Juna sebenarnya muak, karena itu pastilah akal-akalan Mariana agar Juna mau kembali kepadanya. Mariana tetap merengek. Dan dia mengancam, akan melakukan hal nekad malam ini jika Juna tidak datang.
Juna masuk ke The West. Suara musik berdentam, kepala bergoyang, dan bau rokok menyeruak di permukaan. Juna mencari-cari Mariana. Setelah melewati seorang borjuis yang sedang memberikan gombalan tidak jelas kepada seorang wanita, seorang wanita yang sedang berjoged dengan gerakan tak tentu, dan sepasang kekasih gay yang sedang bercumbu di pojokan, Juna mendapati Mariana sedang terpuruk di salah satu sofa. Beberapa botol minuman ada di depannya. Dan dia meracau tak tentu.
“Mariana, ayo ikut aku.” Juna mencoba merengkuh tangan Mariana dan berharap wanita itu mengikuti perintahnya.
“Oh, Juna. Apakah itu kamu, Tampan. Oh, itu memang kamu. Mengapa kamu meninggalkanku?”
Mariana memeluk leher Juna, lalu membenamkan kepalanya dalam dada Juna. Juna mencoba melepaskan diri, namun Mariana justru memeluknya semakin erat.
“Aku merindukanmu, Darling.”
“Kita harus pergi,”
“Apakah kita akan ke hotel, atau apartemenku. Kita bisa bersenang-senang di sana. Berdua, sepanjang malam. Aku kangen bau tubuhmu.”Mariana tertawa terbahak.
Juna jengah. Dia merangkul Mariana, lalu memapahnya melewati segerombolan orang yang sedang berjoged di lantai. Suara dentum musik semakin keras, teriakan bercampur dengan tawa, dan tentu saja bau rokok dan alkohol menambah meriah malam itu. Dan menurut Juna, ini sangat memuakkan dan ia ingin segera pergi.
Di lorong sempit dengan lampu remang, mereka melewati beberapa pasangan yang sedang asyik bercumbu. Juna mempercepat langkahnya, namun Mariana mendorong tubuh Juna hingga bersandar di dinding. Mariana ambruk di tubuh Juna. Tangannya memegang kepala Juna, lalu bibirnya dengan liar melumat bibir Juna. Jika hal ini ia lakukan dulu, mungkin dia akan dengan senang hati melakukannya. Namun, kini suasana hatinya sedang tidak enak. Dan dia ingin segera mengantar Mariana ke apartemennya, lalu memastikan bahwa wanita itu bisa tidur dengan tenang.
Mariana semakin liar memainkan perannya, Juna jengah. Beberapa kali dia memalingkan wajahnya. Namun malam itu, Mariana seperti tersihir dengan alkohol dan tak membiarkan Juna lepas dengan mudahnya. Saat Juna mulai terpedaya, dia melihat sosok yang ia kenal dari kejauhan. Berdiri kaku menatapnya yang sedang mencumbu Mariana. Juna mendorong tubuh Mariana untuk menjauh. Dia berdiri mematung dan bersiap untuk mengejar sosok itu. Namun terlambat, ia melihat sosok itu mulai menangis.
Dan Juna benci saat melihat Ariana menangis.  

# # #

Ariana tak pernah pergi ke club mana pun. Ia tak menyukai suasana club yang penuh dengan suara hingar bingar, bau alkohol, dan asap rokok. Dia lebih suka pergi ke museum, perpustakaan, atau berlatih yoga. Tetapi malam ini, atas bujukan Janero di telepon, dia untuk pertama kalinya menuruti permintaan pria yang menyukainya itu.
“Percayalah, aku ingin menunjukkan padamu, bagaimana playboynya dia.”
Kalimat itu sebenarnya tak lekas membuatnya langsung menyetujui permintaan Janero. Namun, ia kembali mengingat saat makan malam berdua dengan Juna Mata beberapa waktu lalu. Juna yang begitu berbeda, gentleman, dan begitu sangat mempesona. Ariana terpesona dan masuk ke dalam lingkaran kasih Juna. Dia beranggapan bahwa Juna telah berubah. Dia sudah menjadi sosok pria penuh kharisma, yang tidak mempermainkan wanita, dan bertanggung jawab kepada perusahaan warisan kakeknya.
Namun, rasa cintanya seolah mendorong rasa ingin tahu. Maka dia menuruti Janero, pergi ke sebuah club yang bahkan tak ia tahu : THE WEST. Sesampainya di sana, dia memonitor setiap inchi ruangan, berharap dia menemukan sosok yang ia cari. Benar saja, dia menemukan Juna disana. Sedang menarik seorang wanita ke dalam pelukannya. Wanita itu lalu bergelayut manja di pelukan Juna. Ariana bersembunyi dan mengamati. Ia melihat Juna dan wanita itu pergi. Di lorong sempit dengan lampu remang, mereka berhenti. Si wanita mendorong tubuh Juna ke dinding, Juna diam tak berdaya. Ariana menahan nafas saat keduanya bercumbu di bawah redup lampu.
Saat itu, ia tak tahu harus berbuat apa kecuali menangis. Ia merasa bodoh. Sangat bodoh.
Tangisnya semakin pecah saat mata Juna melihatnya. Dan ia pun berlari.
# # #

“Hei tunggu,” Juna menarik tangan Ariana. Dia menggenggam erat lengan Ariana. Arian terhenti. “Tatap aku, aku bisa menjelaskan semuanya.”
“Tak ada yang perlu dijelaskan, karena inihanya….oh tidak…ini hak Tuan. Tuan bisa melakukan apapun yang Tuan suka.” Arian menahan tangisnya.
“Ariana, dengar.”
“Tolong lepaskan saya, saya ingin pulang.”
“Ariana dengar.”
“Tolong.”
“Ariana dengar.”
“KAMU YANG HARUS DENGAR SAYA.” Tangis Ariana pecah. Juan terdiam. “Tolong lepaskan lengan saya.”
Pegangan Juna mengendur. Ariana menghapus tangisnya, lalu dia berlari meninggalkan Juna yang berdiri mematung di depan The West.
# # #

Dari balik kemudi sedan hitamnya, Janero melihat ke depan. Ia melihat saat Ariana keluar dari The West dengan tangis. Lalu dia menyaksikan saat Juna dan Ariana bertengkar, dan Ariana meninggalkan Juna sendirian.
Janero mengambil ponsel pintarnya, lalu mencari sebuah nama. Ia memencet tombol dial dan menghubungi orang itu.
“Halo, Crain. Aku sudah melakukannya. Kuharap kamu segera mentransfer uang itu agar aku bisa kabur.”
“….”
“Apa yang kamu inginkan lagi? Oh, aplikasi itu sudah saya email. Apakah kamu belum menerimanya?”
“….”
“Apa? Kamu ingin aku menyingkirkannya? Ini bukan bagian dari deal kita di awal.”
“….”
“Argh, baiklah, baiklah. Tapi kuharap kamu mengirimkan uang dalam jumlah yang lebih besar. Aku akan segera menyingkirkan Ronero.”
# # #

Berjam-jam setelahnya.
Kepala Juna berdenyut sakit. Kali ini ia sengaja untuk tidur di lantai yang dingin agar lantai itu bisa meredamkan tubuh panasnya. Tadi malam, setelah melihat kepergian Ariana, Juna masuk kembali ke The West. Bukan untuk menemui Mariana, bukan. Juna justru pergi ke meja bartender, memesan sebotol Captain Morgan dengan segelas es, dan menghabiskan minuman rum itu. Kepalanya langsung seperti digelayuti berton-ton barbel, namun dia masih bisa tiba di kamarnya dengan selamat.
Pagi ini, dia bangun dengan kondisi sangat buruk di atas lantai. Dia mabuk berat dan mengalami mimpinya. Dua kombinasi yang cukup menguras tenaga dan membuatnya ingin mati detik ini saja. Tubuhnya lemas dan kepalanya sangat ingin ia copot.
Dia merangkak naik ke atas kasur. Menarik selimutnya lalu membenamkan kepalanya di sana. Perlahan ingatan tentang kejadian tadi malam mulai jelas.
Ariana, panggilnya lirih.
Dan dia memejamkan matanya.
Saat ia sedang ingin meredamkan sakit kepalanya, sayup terdengar teriakan-teriakan dari luar. Seperti suara TOA yang buruk. Juna mengutuk siapa pun yang mengganggunya pagi ini. Dia melirik jam di pojok kanan atas layar LED di dinding kamarnya. Pukul 7 pagi. Dan ini adalah hari Sabtu. Siapa yang membuat keonaran pagi ini.
Sebuah dering pesan masuk ke layar LED-nya. Dari Arya.
Kuharap kamu sudah bangun dan melihat apa yang terjadi di luar.
Juna menekan tombol play di layar. Dan layar berubah menjadi halaman depan Mata Rantai yang dipenuhi oleh ribuan orang yang memakai baju hitam-hitam dengan ikat kepala putih. Beberapa diantara mereka membawa bendera, beberapa membawa spanduk besar bertuliskan : SELAMATKAN NYAWA KAMI, KEMBALIKAN HAK KAMI. TUBUH KAMI DIGEROGOTI UNTUK KELANGSUNGAN MATA RANTAI.
Juna terlonjak. Apa-apaan ini?
Dan di layar, tampak Ronero sedang berorasi dengan TOA di tangannya meneriakkan tuntutan-tuntutan pekerja kontraktornya.
# # #
BACA KELANJUTANNYA DI SINI


No comments