[SERIAL] MATA RANTAI (17)



BAB 20
Juna mondar-mandir di ruangannya dengan raut gelisah. Arya yang kini bersamanya, hanya bisa memandang kelakuan atasannya itu, tak banyak bicara. Di luar Mata Rantai masih terlihat kerumunan orang dengan teriakkan-teriakan penuh amarah dan nafsu. Dan Ronero tampak semangat mengobarkan kalimat-kalimat tuntutannya.
Ronero Alverdo, lelaki berumur 40 tahun ini, sudah lebih 15 tahun bergabung dengan Mata Rantai dengan prestasi-prestasinya. Tiga tahun bergabung dengan perusahaan ini, Tuan Mata sudah mempercayainya untuk memimpin Departemen Marketing & Promotion. Sejak itu, kariernya lambat laun mulai naik dan berakhir
menjadi seorang Chief Rantai untuk perusahaan kontraktor Mata Rantai. Ia bertangan dingin, dengan pemikiran-pemikiran cerdas dalam hal penjualan dan strategi market. Tuan Mata sangat menyukai lelaki yang selalu memakai topi warna hitam dan jas tebal panjang dengan dasi warna merah itu, kecuali satu : sikap arogannya yang kadang cablak dan tak terkontrol. Kini, dia seperti seorang kesetanan yang memimpin masa begitu banyak, para karyawan Mata Rantai yang merasa ditekan oleh kebijakan Juna Mata yang menerapkan Cost Reduction Program, termasuk perampingan karyawan. Ronero tak menerima hal itu. Karena perusahaannya adalah salah satu yang membukukan hal positif. Dan seharusnya, ia tidak menerima imbas program Juna.
Tetapi bagi sebagian orang yang mengerti, rasa sakit hati Ronero bukanlah masalah program yang dijalankan di semua lini perusahaan, bukan. Ia bukanlah sosok pemimpin yang labil dan tidak profesional yang akan sakit hati oleh sebuah kebijakan yang sebenarnya akan menolong perusahaan yang hampir bangkrut ini. Semua orang pun hanya mengira-ngira bahwa kedatangan Juna Mata adalah sebuah ancaman untuk kariernya. Kematian Tuan Mata bagi sebagian orang adalah sebuah kehilangan, namun sebagian lagi sebagai suatu titik yang dapat meloncatkan karier mereka. Semua orang tahu, tak ada darah Mata di kedua anak Tuan Mata. Itu berarti kesempatan untuk memimpin Mata Rantai akan diserahkan ke umum, ke semua kandidat yang memenuhi persyaratan. Meskipun itu menyalahi aturan, namun ini jelas sebagai satu kesempatan besar. Ronero termasuk salah satu orang yang berambisi untuk itu. Sialnya, wasiat Tuan Mata menyebutkan bahwa seseorang akan menjadi kandidat utama. Seorang anak muda yang entah dari mana. Seorang anak kandung dari istri yang tak sah dari Tuan Mata.
Hal itu membuat Ronero murka. Bahkan dia mulai mencari kesalahan-kesalahan Juna Mata. Sangat menyebalkan untuknya dipimpin oleh seorang bocah kemarin sore. Dan itu membuat Ronero muak.
Kebijakan Juna untuk merampingkan perusahaan berimbas pada sedikit protes pada sebagian karyawan, khususnya karyawan dengan kelas bawah.  Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Ronero untuk melakukan aksinya hari ini.
Dan sejak mendengar teriakan-teriakan di depan Gedung Mata Rantai, Juna tak bisa mengendalikan dirinya. Dia mungkin pernah diprotes oleh beberapa karyawan di Digiforyou tentang satu kebijakan, tetapi tidak dengan demo seperti ini. Mereka akan menyampaikannya di meja rapat, berdiskusi panjang, berdebat, dan berujung pada satu kesimpulan yang disepakati bersama. Tetapi menghadapi ribuan orang yang berteriak murka dengan tuntutan-tuntutan mereka, hal ini belum pernah Juna hadapi. Di kantornya, belum ada orang General Affair yang bisa dengan lihai mengatasi ini. Diskusi dengan mereka, seperti membunyikan terompet kecil di tengah dentuman bom nuklir.

“Apakah kamu bisa tenang dan duduk untuk berbicara denganku, Tuan? Aku rasa masalah ini tak akan selesai jika kamu terus mondar-mandir seperti itu,” ucap Arya kepada Juna.
Juna memandang Arya dengan bimbang. “Oh, maafkan aku Arya. Aku hanya bingung. Aku belum pernah menghadapi hal seperti ini.”
“Ya, aku tahu. Tapi, tahukah kamu, Tuan…”
Arya seolah sengaja menggantungkan kalimatnya untuk menarik perhatian atasannya. Juna menoleh dan mengerutkan kening.
Arya sedikit tersenyum. “Kamu sangat berbeda dari yang pertama kali aku menemukanmu. Kamu sedang berproses untuk menuju sesuatu yang lebih sempurna.”
Juna tak mengerti dengan ucapan Arya. “Arya, aku…”
“Lihatlah dirimu sekarang. Kamu adalah pemuda hebat yang memimpin perusahaan ini. Tuan Mata pernah bilang kepadaku bahwa kamu adalah orang yang tepat untuk mengurus perusahaan ini.”
Juna tahu bahwa Arya kini sedang membesarkan hatinya. Dan ia memang sedang membutuhkannya saat ini. Ia butuh support dari orang-orang di sekitarnya untuk melewati semuanya.
“Terima kasih Arya, aku…aku tak tahu apa jadinya perusahaan ini jika tak ada kamu. Pantas saja, Tuan Mata sangat percaya padamu.”
Juna melihat Arya seperti jelmaan dari Tuan Mata : bijaksana, penuh dengan pemikiran yang tenang, dan selalu memberikan saran-saran kepadanya. Dan kini, dia adalah satu-satunya orang yang ia percaya. Juna jadi teringat dengan Batu Mata Rantai. Kini tak ada seorang pun yang tahu tentang keberadaan batu itu. Jadi Juna pikir, mungkin Arya tahu tentang itu.
“Arya….” Juna mencoba meyakinkan dirinya. “Apakah ada sesuatu yang belum kamu katakan padaku tentang Mata Rantai?”
Kini kening Arya yang dibuat mengerut. “Apakah kamu ingin menanyakan sesuatu?”
Juna berpikir sejenak. Ia teringat dengan perkataan Dilan malam itu. Tak ada yang tahu tentang Batu Mata Rantai, kecuali diriku dan Tuan Mata. Kamu tak perlu mengatakan kepada siapa pun. Ucapan itulah yang membuatnya kemudian ragu. Namun, sekarang hanya Arya yang sangat ia percaya. Ya, sebenarnya ia berharap kini ada Ariana. Tapi gadis itu sekarang sedang marah kepadanya dan ia tak mungkin menghubunginya saat ini.
Jadi mungkin….
“Apakah kamu tahu tentang Batu Mata Rantai?” Juna menarik nafas panjang.
Arya tampak sangat tenang saat Juna menanyakan hal itu. “Jadi Dilan sudah mengatakannya padamu?” tanyanya.
Juna mengambil nafas lega. Jadi dia pun tahu.
“Ya, dia sudah mengatakannya. Dan…dan…hanya dia yang mengetahui batu itu. Begini, dia mengatakan bahwa aku memiliki dua jiwa. Istilah Dilan…dua roh yang bersemayam dalam tubuhku dan dua roh itu membuatku menjadi manusia tidak stabil dan tidak seimbang. Dan satu-satunya cara untuk itu adalah dengan...”
“Batu Mata Rantai,”
Juna mengangguk. “Dan aku tak tahu letak batu itu sekarang. Jadi, apakah kamu…”
“Tidak. Hanya Dilan yang tahu. Karena Tuan Mata hanya menyerahkannya padanya.”
“Dia tak meninggalkan petunjuk apa pun buatku.”
“Aku akan mencoba membantu. Mungkin kita bisa membaca ulang wasiat Tuan Mata atau buku yang ia tinggalkan.”
“Kamu tahu buku itu?” Juna menatap tak percaya. “Oh, benar. Tuan Mata pasti juga mengatakannya padamu.”
“Kita bisa membacanya nanti. Yang penting sekarang…kita harus menemui Ronero. Aku yang akan berbicara padanya.”
“Aku tak tahu apa yang terjadi jika tak ada kamu, Arya.”
Juna tak mengerti apa yang dikatakan Arya kepada Juna. Tetapi, setelah tiga puluh menit berunding, pasukan di depan Mata Rantai tampak memudar dan perlahan menghilang. Juna mengambil nafas lega saat gerombolan itu seperti semut yang menjauh dari gedung Mata Rantai.
Benar-benar hari yang buruk, pikir Juna. Dimulai dengan pertengkaran dengan Ariana tadi malam gara-gara Mariana, dan kini diakhiri dengan demo besar di kantornya. Ia pun berpikir bahwa ia butuh menenangkan diri sekarang.
# # #

Jauh dari kota Jakarta, di Galeri Mahakarya.
Alexa Crain terlihat murka menegak sebotol air dingin. Dia berjalan mondar-mandir. Beberapa kali dia mengangkat ponsel, menekan nomer dengan cepat, namun seseorang yang ia hubungi tidak pernah mengangkat.
Astaga, ke mana orang bodoh itu? Umpat Alexa dalam hati. Rokok di tangannya ia hisap panjang, lalu ia hembuskan asapnya ke udara. Pikirannya benar-benar kalut.
Ia menekan dial nomer sekali lagi. Dan kali ini tersambung.
“Ke mana saja kamu?” tanya Alexa langsung.
“Ada apa? Langsung saja.”
Sial, orang ini benar-benar tidak tahu apa salahnya.
“Apa yang baru saja kamu lakukan?”
“Oh, kamu sudah mendengarnya? Bukankah kamu sedang bersantai-santai di galeri nggak pentingmu itu?”
Alexa mendengus. “Jawab saja pertanyaanku.”
“Apa aku perlu menjelaskan? Aku baru saja ingin mendobrak kepemimpinan Juna Mata si brengsek itu. Bukankah kamu akan senang mendengarnya?”
“Heh, dengar, Ronero, aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan. Tetapi, ulahmu itu justru berbahaya untuk kita. Apa yang ada di otakmu sehingga kamu melakukan hal bodoh itu? Demo? Apa yang kamu harapkan? Kurasa kamu bisa lebih cerdas untuk melengserkan dia daripada memilih cara perundingan seperti itu? Lalu apa, hanya karena berunding sebentar dengan si brengsek Arya, kamu jadi pudar? Karena apa? Takut?”
Sosok di telepon terdiam.
“Kuharap kamu mikir sebelum bertindak. Aku tak ingin, mereka curiga dengan apa yang sudah mulus aku rencanakan. Seharusnya, kamu ikuti saja perintahku, dan….”
“Dan setelah dia lengser, kamu yang akan memimpin Mata Rantai dan aku menjadi kacungmu? Bukankah seperti itu?”
Alexa terdiam.
“Apa menguntungkannya buatku?”
“Aku sudah menjelaskan padamu bahwa ini untuk kebaikan kita. Aku hanya ingin…”
“Sudahlah Alexa, aku sudah menyerahkan batu itu kepadamu. Urusan kita sudah selesai, dan aku sekarang akan melakukan apa yang aku rencanakan. Aku tak perlu mengikuti perintahmu. Oh, iya, terima kasih uangnya sudah aku terima.”
Klik. Sambungan terputus.
Alexa menggenggam ponselnya erat. Berengsek dia.
# # #

Malam hari, setelah kejadian demo di Mata Rantai.
Gasing Purwanto tak pernah setakut malam ini. Dia berjalan terseok seorang diri di antara ruang-ruang Mata Rantai yang senyap. Ini hari minggu dan sedikit sekali orang yang ada di kantor. Hari ini  Miko—anak pertamanya—berulang tahun yang kelima, namun dia harus berjaga shift sore dan melupakan acara ulang tahun Miko yang akan dirayakan bersama sanak saudara. Tugasnya sebagai seorang satpam tidak mengijinkan untuk tetap bersama anaknya malam ini. Untung sepanjang hari tadi, dia sudah berusaha mengajak Miko untuk bermain, membeli kado ulang tahun sesuai keinginan anaknya itu—sebuah sepeda, dan pergi makan berempat bersama Miko, Niko—adiknya, dan Silviana—istrinya. Malam hari, Silviana tetap menjalankan rencana semula. Membuat pesta ulang tahun kecil-kecilan untuk Miko bersama sanak saudara.
Dan di sinilah Purwanto kini, berhimpitan dengan ruang-ruang Mata Rantai yang dingin, rumput-rumput hijau yang tampak berair di halaman, dan lorong-lorong Mata Rantai yang sepi. Dia muak memandang pintu-pintu ruangan yang mendadak lebih menyeramkan dari setan manapun. Sunyi. Bunyi langkah sepatu boatnya semakin memperburuk suasana. Suaranya terdengar kasar karena bergesekan dengan lantai marmer. Kadang bau wangi menyeruak keluar dari pengharum ruangan yang distel otomatis setiap satu menit di setiap sudut. sela-sela ventilasi sempit yang ada. Ia ingin segera pagi, segera bertemu dengan matahari, dan ia akan pulang ke rumah. Tetapi tugasnya masih harus berjaga, duduk di kursinya di depan gerbang, bermodalkan pentungan berwarna hitam yang menggelantung di pinggangnya, lalu setiap dua jam sekali dia harus berkeliling di Gedung Utara Mata Rantai—bergantian dengan temannya. Namun seharusnya, ia berkeliling bersama Dorman—temannya. Tetapi, Dorman mendadak sakit perut dan bolak-balik ke toilet. Akibatnya dia harus berkeliling seorang diri.
Mendadak sudut-sudut Mata Rantai menjadi menyeramkan. Selama 15 tahun bekerja di sini, Purwanto tak pernah setakut ini. Dia memang pernah beberapa kali melihat hal-hal gaib di Mata Rantai. Mitos tentang hantu-hantu di gedung perkantoran memang terdengar klasik, tapi itu memang benar. Dan Purwanto pernah melihatnya langsung.  Tetapi, tak sedikit pun ia takut akan hal itu. Namun, entah mengapa, malam ini terasa ada yang lain di sini. Bulu kuduknya mendadak berdiri saat berkeliling tadi.
Purwanto sudah mengitari gedung utama Mata Rantai dengan sempurna. Buru-buru dia ingin kembali ke pos, menyeduh kopi, dan mengobrol bersama rekannya yang lain. Ia mempercepat langkah menyusuri lorong di lantai dua. Tepat di ujung anak tangga lantai dua yang menghubungkan dengan lantai pertama, Purwanto berhenti.
Tubuh Purwanto menegang, bulu kuduknya berdiri dengan sempurna, matanya melotot ke depan. Ia mencium bau anyir yang menyengat. Di depannya ia berdiri, sesosok tubuh menggelantung dengan kaki tak menapak lantai, lehernya terjerat tali yang terikat dengan pagar pembatas lantai dua. Tubuh itu kaku, mukanya pucat, lidahnya menjulur dari mulutnya. Tangan kanannya menggelepar di udara dengan darah menetes deras dari nadi yang terpotong paksa.
Mulut Purwanto tercekat. Detik kemudian dia berteriak-teriak.
Mayat itu berputar-putar di udara, lalu berhenti menghadap ke arah Purwanto. Matanya yang melotot menatap kosong. Tubuh itu milik Ronero.
# # #

baca kelanjutannya di sini.

2 comments

  1. Berarti gw mesti baca dari seri 1 nich ??? #kemudianLelah gagaga

    ReplyDelete