BAB 18
Sabtu sore, Ariana masih ada di meja kerja
untuk membereskan beberapa kerjaan. Seharusnya dia sudah bisa bersantai di
apartemen, atau menonton bersama teman, atau melakukan kegiatan lain. Tetapi,
beberapa berkas laporan harus ia selesaikan hari ini agar hari minggu besok tak
ada yang mengganggu. Kalaupun ada, pasti hanya dering telepon dari Juna yang
menanyakan agendanya untuk seminggu ke depan. Jadi, hari ini dia harus lembur.
Sebenarnya, Mata Rantai bagi Ariana sudahlah seperti rumah kedua. Ini semua
karena kebaikan Tuan Mata kepada dirinya. Jadi, apa salahnya mengabdi untuk
orang yang telah menyelamatkan hidupnya dari kesendirian.
Ariana memang merasa bahwa Tuan Mata seperti
menganggapnya sebagai seorang cucu sendiri. Mungkin karena Ariana selalu
antusias saat beliau menceritakan tentang Mata Rantai, dunia gaib, atau
cara-cara menembus altar lain. Tuan Mata memang tidak terlalu dekat dengan
anak-anaknya. Apakah karena dua anaknya itu tidak mewarisi darah Mata atau
tidak ada ketertarikan dengan perusahaan supranatural itu? Ariana tidak cukup
mengerti. Beberapa kali Ariana pernah melihat Andra dan Andrea, tetapi tak
pernah mengobrol dalam waktu yang lama. Mereka juga tidak tinggal di sini,
mereka ikut ibunya di daerah BSD. Setelah dewasa, mereka mengejar mimpi mereka
masing-masing dan tidak berniat untuk menggantikan ayahnya.
Ariana pun beruntung, bisa menjadi bagian
dari Mata Rantai. Tuan Mata sangat baik mengajarinya banyak hal.
Menyekolahkannya. Dan saat ini adalah waktu untuk membalas kebaikan Tuan Mata.
Ia mencurahkan semua daya tenaga untuk mengembalikan kedigdayaan Mata Rantai.
Minggu ini adalah hari yang sangat berat.
Kasus Lenwa seperti ledakan bom atom yang maha dahsyat. Membutuhkan energi. Dan
memulihkan tubuhnya yang lelah bukan perkara gampang. Ia sudah lama tidak ‘berkelana’
dan sekalinya kemarin ‘berkelana’, energi yang ia habiskan begitu besar. Belum
lagi, hari-hari kemudian adalah meeting-meeting
panjang dengan para Chief Rantai.
Pertengahan tahun ini, review keuangan
perusahaan mulai menunjukkan tanda-tanda positif. Ariana harus mengakui bahwa
langkah Juna untuk melakukan Cost
Reduction di beberapa sektor sangatlah tepat. Perekonomian global memang
sedang tidak sehat seperti tahun lalu, hal inilah yang memperburuk kinerja Mata
Rantai belakangan. Jadi langkah Juna adalah hal yang tepat. Waktu review
seminggu ini, para Chief sudah melaporkan keuangan yang membaik. Meskipun belum
sepenuhnya. Tetapi, kebijakan itu sampai detik ini masih menuai kontroversi
dari beberapa bagian, termasuk para Chief yang kondisi keuangannya sebenarnya
positif. Salah satunya tentu saja Ronero.
Beberapa kali Ronero bersitegang dengan Juna
tentang beberapa kebijakan perusahaan. Misalnya, Building The Sun mengapa ikut
terkena imbas Cost Reduction padahal
selama setahun ini perusahaan kontraktor itu tidak pernah mengalami keuangan
yang negatif. Tetapi bagi Juna, keuangan perusahaan tidak hanya dipengaruhi
oleh perusahaan-perusahaan yang menunjukkan kinerja keuangan yang buruk. Semua
harus saling menyokong.
Menurut Ariana, Juna kini mulai menunjukkan
kekuatannya. Ia merasa atasannya itu sudah
mulai bisa memposisikan diri agar semua orang di bawahnya, termasuk para
Chief yang memiliki umur di atas Juna, mulai menganggapnya sebagai atasan. Ariana
tahu, memposisikan diri sebagai atasan dengan anak buah yang lebih
berpengalaman adalah hal yang sulit. Dan Ariana pun mengerti, Juna sedang
berusaha untuk mengimbanginya. Beberapa kali ia melihat Juna sedang duduk
malam-malam seorang diri di ruang kerjanya, membaca beberapa jurnal, laporan
keuangan, dan hal lain terkait perusahaan ini. Di setiap meeting, lelaki 28
tahun itu juga kerap mencoba menjadi seorang yang bijak dalam mengambil
keputusan.
Ariana merapikan kertas terakhir di atas
meja. Dia menghela nafas panjang untuk menenangkan hatinya. Ia harus istirahat.
Mungkin dia bisa berenang atau pergi ke salon.
Ponsel pintar di meja bergetar. Ariana
melihat nama Juna ada di sana.
“Hallo, Tuan.”
“Aku akan memecatmu jika kamu masih
memanggilku seperti itu.”
“Coba saja,” goda Ariana. Dia tahu Juna pasti
bercanda.
“Sedang apa kamu?”
“Masih membereskan beberapa berkas laporan.
Ada yang bisa kubantu?”
Ada jeda sedikit. Juna seperti melakukan
sesuatu. “Sudah hampir jam 6 sore, dan kamu masih bekerja?”
“Aku tak ingin hari mingguku diganggu oleh
dering telepon.” Ariana terkekeh.
“Pantas saja Tuan Mata menyukaimu. Kamu
pekerja keras.”
Meski tak terlihat Juna, muka Ariana mendadak
bersemu merah.
“Apakah malam ini ada acara?”
Ariana terpaku. Apakah ini ajakan kencan untukku? Oh, tidak, aku harus menenangkan
diri.
“Aku masih ada beberapa pekerjaan.” Jelas
saja Ariana berbohong. Ia tak ingin dianggap sebagai seorang wanita yang
terlalu bersemangat diajak untuk berkencan. Apalagi oleh atasannya sendiri.
Terdengar nafas kecewa dari seberang telepon.
“Baiklah, aku sebagai Tuan dan Bos kamu memerintahkan kamu untuk berhenti
bekerja malam ini. Temui aku di lobi satu jam lagi. Oh iya…” Ariana tercekat.
Dia tak tahu apa yang akan Juna katakan setelahnya. “Dandan yang cantik. Eva
sudah menyiapkanku satu stel bleser warna biru tua buatku. Kuharap kamu memakai
gaun yang terbaik.”
Klik. Sambungan telepon itu mati.
Ariana tampak terkejut dengan apa yang
barusan ia dengar. Dia membuang muka dan melihat wajahnya di cermin yang
sengaja ia letakkan di dalam ruangannya. Mukanya benar-benar berantakan. Dan ia
hanya punya waktu satu jam untuk berbenah.
“Dasar lelaki, apakah ia selalu memperlakukan
semua wanita seperti ini?” Ariana tampak cemberut.
# # #
Ariana menekan tombol lift menuju lantai 1.
Gedung apartemennya adalah gedung kembar yang berada di belakang gedung utama Mata Rantai. Untuk menuju lobi, ada
dua pilihan jalan. Pertama, halaman yang dipenuhi dengan rumbut hijau dan
bunga. Atau lewat lorong yang menghubungkan antar gedung. Pilihan kedua adalah
pilihan yang sangat tepat mengingat kali ini Ariana mengenakan pakaian yang
tidak biasa. Stelan blus warna merah maroon dengan payet sederhana di bagian
lengan. Rambutnya ia biarkan terurai rapi, sedikit berombak. Ia memoles sedikit
wajahnya, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan. Entah magnet apa yang telah
menariknya, tetapi malam ini ia ingin tampil cantik. Heels 12 cm membuatnya sedikit lebih jenjang dan langkah kakinya
terlihat lebih menawan.
Sepanjang perjalanan menuju lobi, ia tak bisa
membayangkan apa yang akan Juna katakan padanya. Apakah ternyata atasannya itu
hanya mengerjainya saja, atau dia memang ingin benar-benar ditemani malam ini.
Sejak terakhir kali menghubunginya tadi, Juna belum menghubunginya kembali.
Bahkan pesan singkat pun tidak. Hal itulah yang membuat Ariana was-was. Apakah ini
hanyalah tipuan belaka.
Ternyata Juna menepati janjinya. Ariana
melihatnya sedang berdiri di dekat jendela sambil menatap keluar. Malam hari,
halaman Mata Rantai dipenuhi dengan lampu-lampu taman yang cantik. Sangat
menyenangkan dan menenangkan. Ariana sering berpikir, bagaimana ide awal Tuan
Mata menyulap perusahaan supranatural menjadi semenyenangkan ini.
Ariana semakin dekat ke tempat Juna. Dan
semakin dekat, ia bisa melihat penampilan Juna sekarang. Blazer warna biru tua
yang dipadukan dengan polo shirt warna putih mengesankan formal namun tetap sporty. Sepatu sneakers warna hitam
menambah kesan santai. Rambut Juna tampak baru dipotong rapi dan kini klimis. Wajahnya
tampak berseri, tidak tampak kelelahan seperti yang Ariana lihat di setiap meeting. Eva pasti yang memberikan
sentuhan di semua detail tubuh Juna.
“Hai,” sapa Ariana.
Juna menoleh dan tersenyum saat mengetahui
Ariana sudah berada di dekatnya. Senyum yang sontak membuat jantung Ariana
berhenti berdetak, aliran darah membeku, dan nafasnya tercekat. Selama beberapa
detik, Ariana terpesona dengan senyum Juna yang tak pernah semenarik sekarang.
Pria playboy yang urakan itu, malam
ini terkesan sangat menggiurkan. Ariana menelan ludah untuk menetralisir
keadaan.
“Sudah siap?” tanya Juna.
Ariana mengamati tubuhnya. Detak jantungnya
mendadak berpacu cepat. “Seperti yang kamu lihat. Mau ke mana kita?”
“Suatu tempat yang tinggi.” Juna mendekat ke
arah Ariana. Dia memposisikan diri di samping Ariana dan berharap Ariana akan
memegang tangannya.
Dengan canggung Ariana meraih tangan Juna dan
meloloskan tangannya sendiri ke dalam tangan Juna. Karena sedekat inilah, kini
Ariana bisa mencium wangi semerbak dari tubuh atasannya itu. Dia menelan ludah.
Aku
harus menenangkan diri.
Menit kemudian, mereka sudah membelah Jakarta
dan berhenti di salah satu hotel di daerah Sudirman. Juna kemudian membawa
Ariana ke restoran hotel itu yang terletak di lantai paling atas. Dari tempat
itulah, Ariana bisa melihat dengan jelas Monas, Tugu Selamat Datang, dan keindahan
kerlip lampu Jakarta. Juna sengaja memilih bagian luar restoran agar bisa
melihat keindahan Jakarta. Tak berapa lama pelayan datang. Juna memesan
beberapa menu, begitu pun dengan Ariana.
“Seformal ini makan malam kita?” tanya Ariana
setelah pelayan itu pergi. “Jujur, aku tak biasa. Aku biasa makan di….”
“Syuuuut.” Juna menempelkan telunjuknya di
bibir. “Apakah kamu bisa untuk tidak secerewet biasanya.” Dia tersenyum.
Ariana menghela nafas pendek. Lelaki di depannya ini, mengapa harus
tersenyum. Sorot lampu temaram, lagu-lagu romantis dari Live Music, dan
pemandangan indah kota Jakarta malam hari, pastilah menjadi magnet yang semakin
membuat Juna terlihat menarik. Dan Ariana harus bisa mengendalikan diri.
“Maaf, Tuan, aku….”
“Apakah kamu ingin aku benar-benar memecatmu
karena selalu memenggilku seperti itu. Oh, come
on.” Mendadak sifat asli Juna keluar.
Ariana tiba-tiba berdiri.
“Mau ke mana?”
“Aku ke toilet sebentar.” Ariana membutuhkan
nafas bebas sekarang.
Ariana tak membutuhkan ijin Juna, dia
langsung bergegas pergi. Melewati sepasang kekasih yang sedang saling pandang
di dalam restoran, seorang pelayang yang membawa botol wine warna gelap, dan
beberapa orang yang sedang menyaksikan berita di televisi. Di tempat seperti ini, masih ada yang melihat berita? Ariana sempat
melirik berita itu. Seorang pejabat yang ditangkap di sebuah hotel oleh
penyidik KPK. Pejabat itu memang sudah lama diselidiki karena kasus korupsi
pembangunan sarana olahraga International di Surabaya dan Palembang. Akhirnya
hari ini, dia ditangkap.
Arian tak mengacuhkan berita itu, dia
melebarkan langkah kakinya dan segera pergi ke toilet. Di sana, dia hanya
memandangi tubuhnya lewat cermin lebar. Malam ini, dia sudah berdandan
sempurna. Hal yang tak pernah ia lakukan. Buat
apa? Ariana bertanya kepada dirinya sendiri.
Ia kemudian teringat dengan percakapannya
bersama Tuan Mata beberapa tahun lalu. Saat itu, dia baru semester 6. Dan Tuan
Mata telah mengajarinya banyak hal tentang kehidupan ini. Malam itu, tiba-tiba
Tuan Mata menanyainya tentang suatu hal yang sangat pribadi.
“Kamu sedang dekat dengan seorang pria?”
tanya Tuan Mata.
Ariana yang tak terbiasa dengan obrolan
santai dengan Tuan Mata, mendadak terkejut. Ia tersipu. Dia menahan senyum yang
justru membuat Tuan Mata semakin ingin mengorek hal yang tak ia ketahui.
“Katakan, aku tak mungkin menceritakan pada
siapa pun. Kamu tahu, bahwa aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri.”
Tuan Mata tersipu malu.
“Saya tak sedang dekat dengan siapa pun Tuan.
Maksudku untuk saat ini saya sedang sendiri.” Ariana menahan diri untuk
mengatakan yang sebenarnya.
“Sungguh hanya itu yang kamu ingin katakan?”
Ariana merasa terpojok. Tuan Mata sepertinya
punya bakat menjadi seorang psikolog. “Saya baru saja ditinggalkan oleh dia.
Dia memilih untuk bekerja ke luar negeri. Dan kami rasa hubungan jarak jauh
adalah sulit. Jadi, kami berpisah baik-baik.”
Tuan Mata mengangguk-angguk. “Aku tahu, aku
tahu.” Dia merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. Sebuah foto. Dia menyodorkan
foto itu kepada Ariana.
Ariana menerimanya. Foto itu menunjukkan
seorang pria dengan t-shirt warna putih dan bercelana pendek. Tampak santai. Dia
mirip sekali dengan Tuan Mata. Terutama di bagian mata. Dan harus Ariana akui
bahwa lelaki di foto itu menarik. Rambutnya dipotong pendek dan sengaja dibuat
berantakan, kulit mukanya terlihat bersih, dan dia memiliki daya tarik di
bagian mata dan senyumannya.
“Itu Juna. Aku sering menceritakannya padamu,
bukan?”
Ariana menoleh ke Tuan Mata. Ariana mengerti
dengan perasaan Tuan Mata sekarang. Bagaimana pun, Tuan Mata berusaha untuk
tetap menjadi ayah yang baik bagi anaknya.
Ariana belum pernah ditunjukkan wajah asli
Juna Januardo. Dan malam itu, Tuan Mata menunjukkannya untuk pertama kalinya.
“Apakah dia menarik?” tanya Tuan Mata, dia memicingkan
mata. Menggoda.
“Menarik?” tanya Ariana balik.
“Kamu tahu maksudku pasti. Aku selalu
beranggan bahwa suatu saat aku bisa melihatnya menikah dengan seseorang yang
baik. Kamu baik, aku rasa.”
Ariana terkejut. Dia tak menyangka Tuan Mata
akan mengatakan hal ini kepadanya. Tetapi dia bukan terkejut untuk dirinya,
tetapi untuk Juna. Setelah beberapa tahun, Tuan Mata meninggalkannya, Juna
pasti tidak akan dengan mudah menerima permintaan Tuan Mata. Terutama untuk hal
yang sangat krusial bagi hidupnya. Dijodohkan
oleh orang yang menelantarkannya? Meski pun orang itu adalah ayah kandungnya,
pasti Juna akan menolak keras.
“Tuan terlalu serius malam ini,” Ariana
mencoba membelokkan pembicaraan.
“Aku serius.” Tuan Mata mengeluarkan sesuatu
yang lain dalam sakunya. “Aku telah membuatkan kalian sebuah cincin dari
Aquamarine, sebuah batu dengan warna biru yang melambangkan percintaan dan
kasih sayang. Aku juga sudah mengukir nama kalian di sini.” Tuan Mata
menyodorkan batu itu kepada Ariana.
Batu
cincin yang indah, pikir Ariana.
“Tuan, apakah Tuan yakin dengan hal ini. Jika
aku menjadi Juna….”
“Aku tahu, aku tahu. Sebagai ayah, aku tak bisa memaksakan
kehendaknya. Tetapi sebagai ayah, aku ingin memilihkan seseorang yang baik
untuknya. Saya rasa, kamu adalah orang yang tepat dan spesial. Tapi…..” Tuan
Mata menatap Ariana serius. “tenang saja, aku tak akan memaksakan hal ini. Aku
akan memberikan cincin ini, nanti. Ketika kalian berdua benar-benar jatuh
cinta.”
Perkataan Tuan Mata malam itu serasa sebuah
keyakinan bahwa Ariana dan Juna akan bertemu suatu saat nanti. Dan sekarang
kejadian. Ariana bertemu dengan Juna. Dan Ariana jadi teringat dengan
percakapan malam itu.
Ariana melihat wajahnya di cermin. Apakah
kini dia jatuh cinta? Dia sendiri tidak tahu. Toh, sekarang Tuan Mata juga sudah tidak ada di dunia ini. Jadi,
percakapan malam itu hanya sebuah cerita usang. Tak ada yang tahu selain
dirinya.
Ariana kembali ke meja. Di sana makanan sudah
tersedia dan Juna sedang menikmati segelas red
wine-nya.
“Lama sekali, makanan sampai sudah datang.”
“Tadi lihat berita sebentar,” Ariana
berbohong. “Kamu mengikuti kasus Joko Susilo?”
“Pejabat yang dicurigai korupsi itu?”
“Iyap, tepat sekali. Sore tadi dia
ditangkap.”
Dan percakapan tentang Joko Susilo itu
menjadi pembuka percakapan-percakapan selanjutnya. Malam itu, Juna terlihat
lebih santai dan terbuka. Dia menceritakan masa kecilnya. Menceritakan
pekerjaannya di Digiforyou dengan lebih detail.
“Sekarang ceritakan tentang hidupmu. Selama
ini, aku tak pernah tahu tentang dirimu.”
“Kamu tak perlu tahu,” kilah Ariana.
“Ayolah. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”
Ariana terpana menatap wajah Juna. Ingin mengenal lebih dekat? “Baiklah.
Mungkin aku bisa memulai dengan kakekku.”
Dan Ariana pun menceritakan tentang kakeknya,
lalu kedua orang tuanya, kariernya, apa yang menjadi minatnya sekarang. Satu
hal yang tak ia ceritakan adalah kedekatannya dengan Tuan Mata. Belum saatnya Juna tahu, pikirnya saat
ini.
Malam ini, menjadi malam yang panjang untuk
mereka berdua. Hampir pukul sebelas mereka turun dari restoran dan kembali
menjelajah kota Jakarta. Mereka tidak lekas kembali ke Mata Rantai, namun
berputar-putar sebentar melewati Senayan, Bundaran HI, Medan Merdeka.
“Monas terlihat cantik jika malam hari,” kata
Ariana.
“Kamu seperti tidak pernah melihatnya saja,
Ariana.”
“Aku selalu kagum dengan seni arsitektur yang
indah. Monas salah satunya. Dulu waktu aku masih kuliah, aku sering pergi ke
Monas, bahkan naik sampai atas.”
“Oh, ya? Apa yang kamu lihat?”
“Kamu belum pernah ke sana?”
Juna menggeleng.
“Manusia modern sepertimu memang selalu
disibukkan dengan urusan materi dan lupa dengan hal-hal seni. Monas adalah
salah satu keindahan yang wajib kita kagumi. Aku sangat senang melihat kota
Jakarta dari puncaknya. Menarik, meskipun harus berdesakan bersama anak-anak
sekolah ketika akan naik. Tetapi rasanya sangat puas. Meskipun bukan puncak
tertinggi di Jakarta, namun melihat kota Jakarta dari atasnya sangatlah indah. Tingginya
hanya 132 meter. Dikelilingi oleh gedung-gedung pemerintahan. Diciptakan dengan
konsep pasangan universal yang abadi; Lingga dan Yoni. Lingga adalah sebuah
obyek tegak, tinggi dan melambangkan falus
atau penis. Lambang kesuburan. Yoni berarti kandungan atau rahim. Dalam
buku Kama Sutra, yoni berarti pasangan lingga yang merupakan simbol dari alat
kelamin wanita. Penciptaan Monas dengan mengadaptasi kedua konsep ini, berarti
Monas adalah lambang dari penciptaan yang sempurna. Hasil perkawinan Lingga dan
Yoni. Sebuah konsep sederhana, kelahiran. Diciptakan karena untuk mengenang
perlawanan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan. Sebuah kelahiran.”
Juna tampak takjub dengan penuturan Ariana
tentang Monas yang detail. Dia tak menyangka Ariana bisa tahu sedalam itu.
“Di jaman internet seperti sekarang,
mendapatkan informasi seperti menghirup udara. Gratis,” Ariana tertawa. “Dan
ada satu impianku sejak dulu tentang Monas.”
“Apa itu?”
“Aku ingin menaikinya saat malam. Pasti
sangat indah.”
“Bukankah tadi kita sudah berada di salah
satu puncak tertinggi di Jakarta?”
“Beda. Sangat beda. Berdiri di atas Monas
seperti berdiri di atas pusat kota. Jantung Jakarta.” Ariana menyentuh dadanya
sambil terpejam.
“Kamu benar-benar seperti Arya. Dia selalu
mengagumi hal-hal seperti itu. Dia pernah mengatakan padaku bahwa sebagai
seorang Mata Rantai, aku harus lebih peduli dengan hal-hal di sekitar. Bahkan
kata dia, banyak hantu-hantu bergelantungan di mana-mana, jika kita peka.”
“Tepat sekali. Kamu harus melatihnya dengan
berputar kota Jakarta.”
Dan malam itu, mereka berdua menghabiskan
sisa malam dengan berputar-putar kota Jakarta.
# # #
Di gedung Mata Rantai, Janero tampak berdiam
diri di dalam ruangannya sambil mendengarkan percakapan antara Juna dan Ariana
melalui sebuah alat penyadap. Sesekali dia mendengus cemburu.
Saat dia sedang fokus mendengarkan cerita
Ariana tentang Monas yang menurutnya sangatlah membosankan, ponsel pintarnya
bergetar. Dari nomer yang sangat ia kenal.
“Apakah kamu sudah menemukannya?” tanya orang
di sebarang telepon.
“Belum. Seharin aku sudah mencarinya di
komputer, namun aku belum menemukannya. Tetapi aku menemukan sesuatu yang
menarik.”
“Apa?”
“Peta 3D Mata Rantai.”
“Kedengarannya menarik. Tetapi untuk saat
ini, aku tidak membutuhkannya. 30 Juni sebentar lagi, dan aku tidak punya cukup
waktu untuk menunggu. Kuharap besok aku sudah mendapatkannya. Karena
botol-botol itu sudah datang dan aku harus memproduksi secepatnya. Apakah
bayaranmu kurang untuk melakukan hal ini?”
“Tidak, tidak. Baiklah, aku akan mencarinya
lagi besok. Bersabarlah.”
Hubungan jarak jauh itu terputus.
Janero mematikan ponselnya.
Suara tawa Ariana di mesin penyadap semakin
membuatnya panas. Sesekali suara Ariana diselingi oleh tawa Juna.
Dia harus mencarinya malam ini. Dan harus
ketemu. Dia sudah tidak sabar ingin melihat kehancuran Juna.
# # #
Beratus
kilometer dari kota Jakarta. Di Galeri Mahakarya.
Alexa Crain menutup ponselnya. Tikus kecil itu belum menemukannya. Dia
takut detik kabisat akan segera lewat. Detik kabisat kali ini adalah waktu yang
tepat untuk melakukan aksinya. Pada 30 Juni 2015, jam-jam
komputer di seluruh dunia secara bersamaan akan “menambah waktu” sebanyak 1
detik pada saat pukul 23:59:59. Dimaksudkan untuk menghilangkan selisih antara
standar waktu internasional (UTC) dengan waktu rotasi bumi yang sebenarnya,
karena 1 hari tidak berlalu tepat dalam 24 jam. Kabar yang beredar, dunia
internet akan mengalami kekacauan hebat. Jaringan internet pada dasarnya
mengandalkan satuan waktu yang tepat dan seragam agar jutaan komputer yang
tergabung di dalamnya dapat saling berkomunikasi dengan baik. Beberapa jaringan
akan terputus atau error dan tidak bisa diakses.
Crain akan memanfaatkan detik kabisat dan kekacauan
internet untuk melakukan aksinya. Dan dia membutuhkan Janero untuk segera
menemukan apa yang ia butuhkan.
Crain memandangi botol-botol bening seukuran botol mineral 600 ml yang
kini berjalan di atas Conveyor belt. Botol-botol itu melewati penyemprot air
bertenaga rendah. Setelah melewatinya, botol itu tampak bersih. Selanjutnya
mereka akan dikeringkan di pengering otomatis dan segera dimasukkan ke dalam
kardus.
Crain dibantu oleh dua orang untuk melakukan pekerjaannya itu. Dia
sendiri hanya mengamati saat para pekerjanya merapikan kardus berisi
botol-botol yang siap untuk dikirim ke Jakarta.
Oh tidak, sebenarnya Crain tidak dibantu oleh ‘orang’. Jika
diperhatikan dengan saksama, para pekerja Crain berwajah pucat dan kelopak
matanya putih semua. Mirip seperti Hantu Anak Bermata Hitam di Texas. Mereka
tampak menuruti apa yang Crain perintahkan. Karena di tangan Crain, ada batu berwarna-warni
yang memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan kehidupan. Batu Mata Rantai.
# # #
Mobil Juna Mata memasuki pelataran Kota Tua. Tadi Ariana bilang bahwa
kawasan Kota Tua saat malam hari sangatlah cantik. Jadi Ariana mengajak Juna
untuk pergi ke sana. Jam sudah hampir tengah malam saat mereka datang. Namun,
suasana di sana masihlah sangat ramai.
“Apakah kita tidak aneh datang ke sini dengan berpakaian seperti ini?”
Juna melihat blasernya.
“Lepas saja,” ucap Ariana. Dia sendiri tidak peduli dengan
penampilannya sekarang.
“Mau ngapain sih?”
“Jalan-jalan saja. Bukankah tadi kamu yang bilang bahwa hari ini harus
jalan-jalan.” Ariana sudah mendahului Juna jalan.
Juna berlari dan menjejeri Ariana. “Selain cerewet, kamu juga
ngeselin.”
“Tidak sengeselin playboy.”Ariana
tertawa.
Ponsel pintar Juna bergetar. Dia meminta Ariana berhenti, tetapi Ariana
justu menghampiri penjual jagung rebus dan memesan jagung itu.
“Halo,” ucap Juna.
Juna tampak berdiri kaku mendengar berita yang disampaikan penelepon.
“Kapan?” tanya Juna.
Raut mukanya berubah dingin.
“Baiklah, aku akan segera ke sana.” Dia menutup ponsel pintarnya.
Juna berjalan mendekat ke arah Ariana.
“Siapa? Wanita-wanita yang meminta penjelasan karena malam ini tak kamu
temani?” tanya Ariana sambil tertawa.
“Bukan. Arya.”
“Arya? Ada apa dia mencarimu selarut ini? Ada hal penting?”
“Sangat penting.”
Ariana menyadari perubahan muka Juna. “Ada apa?”
“Dilan meninggal.”
# # #
BACA KELANJUTANNYA KLIK DI SINI
No comments