[SERIAL] MATA RANTAI (15)



BAB 18
Sabtu sore, Ariana masih ada di meja kerja untuk membereskan beberapa kerjaan. Seharusnya dia sudah bisa bersantai di apartemen, atau menonton bersama teman, atau melakukan kegiatan lain. Tetapi, beberapa berkas laporan harus ia selesaikan hari ini agar hari minggu besok tak ada yang mengganggu. Kalaupun ada, pasti hanya dering telepon dari Juna yang menanyakan agendanya untuk seminggu ke depan. Jadi, hari ini dia harus lembur. Sebenarnya, Mata Rantai bagi Ariana sudahlah seperti rumah kedua. Ini semua karena kebaikan Tuan Mata kepada dirinya. Jadi, apa salahnya mengabdi untuk orang yang telah menyelamatkan hidupnya dari kesendirian.
Dulu saat awal-awal di Mata Rantai, Tuan Juna sering mengajaknya berkeliling dari satu ruang ke ruangan lain di perusahaan ini. Bukan lagi lewat pintu-pintu umum yang biasa dilewati oleh karyawan, namun menyusuri lorong lain, lift lain, dan pintu-pintu rahasia yang hanya bisa diakses oleh Tuan Mata. Sangat mengasyikkan. Perusahaan ini memiliki banyak sekali lorong rahasia untuk menyelinap. Dan untuk pertama kalinya juga, Ariana diajak ke lantai 13, tempat Tuan Mata tinggal.
Ariana memang merasa bahwa Tuan Mata seperti menganggapnya sebagai seorang cucu sendiri. Mungkin karena Ariana selalu antusias saat beliau menceritakan tentang Mata Rantai, dunia gaib, atau cara-cara menembus altar lain. Tuan Mata memang tidak terlalu dekat dengan anak-anaknya. Apakah karena dua anaknya itu tidak mewarisi darah Mata atau tidak ada ketertarikan dengan perusahaan supranatural itu? Ariana tidak cukup mengerti. Beberapa kali Ariana pernah melihat Andra dan Andrea, tetapi tak pernah mengobrol dalam waktu yang lama. Mereka juga tidak tinggal di sini, mereka ikut ibunya di daerah BSD. Setelah dewasa, mereka mengejar mimpi mereka masing-masing dan tidak berniat untuk menggantikan ayahnya.
Ariana pun beruntung, bisa menjadi bagian dari Mata Rantai. Tuan Mata sangat baik mengajarinya banyak hal. Menyekolahkannya. Dan saat ini adalah waktu untuk membalas kebaikan Tuan Mata. Ia mencurahkan semua daya tenaga untuk mengembalikan kedigdayaan Mata Rantai.
Minggu ini adalah hari yang sangat berat. Kasus Lenwa seperti ledakan bom atom yang maha dahsyat. Membutuhkan energi. Dan memulihkan tubuhnya yang lelah bukan perkara gampang. Ia sudah lama tidak ‘berkelana’ dan sekalinya kemarin ‘berkelana’, energi yang ia habiskan begitu besar. Belum lagi, hari-hari kemudian adalah meeting-meeting panjang dengan para Chief Rantai.
Pertengahan tahun ini, review keuangan perusahaan mulai menunjukkan tanda-tanda positif. Ariana harus mengakui bahwa langkah Juna untuk melakukan Cost Reduction di beberapa sektor sangatlah tepat. Perekonomian global memang sedang tidak sehat seperti tahun lalu, hal inilah yang memperburuk kinerja Mata Rantai belakangan. Jadi langkah Juna adalah hal yang tepat. Waktu review seminggu ini, para Chief sudah melaporkan keuangan yang membaik. Meskipun belum sepenuhnya. Tetapi, kebijakan itu sampai detik ini masih menuai kontroversi dari beberapa bagian, termasuk para Chief yang kondisi keuangannya sebenarnya positif. Salah satunya tentu saja Ronero.
Beberapa kali Ronero bersitegang dengan Juna tentang beberapa kebijakan perusahaan. Misalnya, Building The Sun mengapa ikut terkena imbas Cost Reduction padahal selama setahun ini perusahaan kontraktor itu tidak pernah mengalami keuangan yang negatif. Tetapi bagi Juna, keuangan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan yang menunjukkan kinerja keuangan yang buruk. Semua harus saling menyokong.
Menurut Ariana, Juna kini mulai menunjukkan kekuatannya. Ia merasa atasannya itu sudah  mulai bisa memposisikan diri agar semua orang di bawahnya, termasuk para Chief yang memiliki umur di atas Juna, mulai menganggapnya sebagai atasan. Ariana tahu, memposisikan diri sebagai atasan dengan anak buah yang lebih berpengalaman adalah hal yang sulit. Dan Ariana pun mengerti, Juna sedang berusaha untuk mengimbanginya. Beberapa kali ia melihat Juna sedang duduk malam-malam seorang diri di ruang kerjanya, membaca beberapa jurnal, laporan keuangan, dan hal lain terkait perusahaan ini. Di setiap meeting, lelaki 28 tahun itu juga kerap mencoba menjadi seorang yang bijak dalam mengambil keputusan.

Ariana merapikan kertas terakhir di atas meja. Dia menghela nafas panjang untuk menenangkan hatinya. Ia harus istirahat. Mungkin dia bisa berenang atau pergi ke salon.
Ponsel pintar di meja bergetar. Ariana melihat nama Juna ada di sana.
“Hallo, Tuan.”
“Aku akan memecatmu jika kamu masih memanggilku seperti itu.”
“Coba saja,” goda Ariana. Dia tahu Juna pasti bercanda.
“Sedang apa kamu?”
“Masih membereskan beberapa berkas laporan. Ada yang bisa kubantu?”
Ada jeda sedikit. Juna seperti melakukan sesuatu. “Sudah hampir jam 6 sore, dan kamu masih bekerja?”
“Aku tak ingin hari mingguku diganggu oleh dering telepon.” Ariana terkekeh.
“Pantas saja Tuan Mata menyukaimu. Kamu pekerja keras.”
Meski tak terlihat Juna, muka Ariana mendadak bersemu merah.
“Apakah malam ini ada acara?”
Ariana terpaku. Apakah ini ajakan kencan untukku? Oh, tidak, aku harus menenangkan diri.
“Aku masih ada beberapa pekerjaan.” Jelas saja Ariana berbohong. Ia tak ingin dianggap sebagai seorang wanita yang terlalu bersemangat diajak untuk berkencan. Apalagi oleh atasannya sendiri.
Terdengar nafas kecewa dari seberang telepon. “Baiklah, aku sebagai Tuan dan Bos kamu memerintahkan kamu untuk berhenti bekerja malam ini. Temui aku di lobi satu jam lagi. Oh iya…” Ariana tercekat. Dia tak tahu apa yang akan Juna katakan setelahnya. “Dandan yang cantik. Eva sudah menyiapkanku satu stel bleser warna biru tua buatku. Kuharap kamu memakai gaun yang terbaik.”
Klik. Sambungan telepon itu mati.
Ariana tampak terkejut dengan apa yang barusan ia dengar. Dia membuang muka dan melihat wajahnya di cermin yang sengaja ia letakkan di dalam ruangannya. Mukanya benar-benar berantakan. Dan ia hanya punya waktu satu jam untuk berbenah.
“Dasar lelaki, apakah ia selalu memperlakukan semua wanita seperti ini?” Ariana tampak cemberut.
# # #

Ariana menekan tombol lift menuju lantai 1. Gedung apartemennya adalah gedung kembar yang berada di belakang  gedung utama Mata Rantai. Untuk menuju lobi, ada dua pilihan jalan. Pertama, halaman yang dipenuhi dengan rumbut hijau dan bunga. Atau lewat lorong yang menghubungkan antar gedung. Pilihan kedua adalah pilihan yang sangat tepat mengingat kali ini Ariana mengenakan pakaian yang tidak biasa. Stelan blus warna merah maroon dengan payet sederhana di bagian lengan. Rambutnya ia biarkan terurai rapi, sedikit berombak. Ia memoles sedikit wajahnya, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan. Entah magnet apa yang telah menariknya, tetapi malam ini ia ingin tampil cantik. Heels 12 cm membuatnya sedikit lebih jenjang dan langkah kakinya terlihat lebih menawan.
Sepanjang perjalanan menuju lobi, ia tak bisa membayangkan apa yang akan Juna katakan padanya. Apakah ternyata atasannya itu hanya mengerjainya saja, atau dia memang ingin benar-benar ditemani malam ini. Sejak terakhir kali menghubunginya tadi, Juna belum menghubunginya kembali. Bahkan pesan singkat pun tidak. Hal itulah yang membuat Ariana was-was. Apakah ini hanyalah tipuan belaka.
Ternyata Juna menepati janjinya. Ariana melihatnya sedang berdiri di dekat jendela sambil menatap keluar. Malam hari, halaman Mata Rantai dipenuhi dengan lampu-lampu taman yang cantik. Sangat menyenangkan dan menenangkan. Ariana sering berpikir, bagaimana ide awal Tuan Mata menyulap perusahaan supranatural menjadi semenyenangkan ini.
Ariana semakin dekat ke tempat Juna. Dan semakin dekat, ia bisa melihat penampilan Juna sekarang. Blazer warna biru tua yang dipadukan dengan polo shirt warna putih mengesankan formal namun tetap sporty. Sepatu sneakers warna hitam menambah kesan santai. Rambut Juna tampak baru dipotong rapi dan kini klimis. Wajahnya tampak berseri, tidak tampak kelelahan seperti yang Ariana lihat di setiap meeting. Eva pasti yang memberikan sentuhan di semua detail tubuh Juna.  
“Hai,” sapa Ariana.
Juna menoleh dan tersenyum saat mengetahui Ariana sudah berada di dekatnya. Senyum yang sontak membuat jantung Ariana berhenti berdetak, aliran darah membeku, dan nafasnya tercekat. Selama beberapa detik, Ariana terpesona dengan senyum Juna yang tak pernah semenarik sekarang. Pria playboy yang urakan itu, malam ini terkesan sangat menggiurkan. Ariana menelan ludah untuk menetralisir keadaan.
“Sudah siap?” tanya Juna.
Ariana mengamati tubuhnya. Detak jantungnya mendadak berpacu cepat. “Seperti yang kamu lihat. Mau ke mana kita?”
“Suatu tempat yang tinggi.” Juna mendekat ke arah Ariana. Dia memposisikan diri di samping Ariana dan berharap Ariana akan memegang tangannya.
Dengan canggung Ariana meraih tangan Juna dan meloloskan tangannya sendiri ke dalam tangan Juna. Karena sedekat inilah, kini Ariana bisa mencium wangi semerbak dari tubuh atasannya itu. Dia menelan ludah.
Aku harus menenangkan diri.
Menit kemudian, mereka sudah membelah Jakarta dan berhenti di salah satu hotel di daerah Sudirman. Juna kemudian membawa Ariana ke restoran hotel itu yang terletak di lantai paling atas. Dari tempat itulah, Ariana bisa melihat dengan jelas Monas, Tugu Selamat Datang, dan keindahan kerlip lampu Jakarta. Juna sengaja memilih bagian luar restoran agar bisa melihat keindahan Jakarta. Tak berapa lama pelayan datang. Juna memesan beberapa menu, begitu pun dengan Ariana.
“Seformal ini makan malam kita?” tanya Ariana setelah pelayan itu pergi. “Jujur, aku tak biasa. Aku biasa makan di….”
“Syuuuut.” Juna menempelkan telunjuknya di bibir. “Apakah kamu bisa untuk tidak secerewet biasanya.” Dia tersenyum.
Ariana menghela nafas pendek. Lelaki di depannya ini, mengapa harus tersenyum. Sorot lampu temaram, lagu-lagu romantis dari Live Music, dan pemandangan indah kota Jakarta malam hari, pastilah menjadi magnet yang semakin membuat Juna terlihat menarik. Dan Ariana harus bisa mengendalikan diri.
“Maaf, Tuan, aku….”
“Apakah kamu ingin aku benar-benar memecatmu karena selalu memenggilku seperti itu. Oh, come on.” Mendadak sifat asli Juna keluar.
Ariana tiba-tiba berdiri.
“Mau ke mana?”
“Aku ke toilet sebentar.” Ariana membutuhkan nafas bebas sekarang.
Ariana tak membutuhkan ijin Juna, dia langsung bergegas pergi. Melewati sepasang kekasih yang sedang saling pandang di dalam restoran, seorang pelayang yang membawa botol wine warna gelap, dan beberapa orang yang sedang menyaksikan berita di televisi. Di tempat seperti ini, masih ada yang melihat berita? Ariana sempat melirik berita itu. Seorang pejabat yang ditangkap di sebuah hotel oleh penyidik KPK. Pejabat itu memang sudah lama diselidiki karena kasus korupsi pembangunan sarana olahraga International di Surabaya dan Palembang. Akhirnya hari ini, dia ditangkap.
Arian tak mengacuhkan berita itu, dia melebarkan langkah kakinya dan segera pergi ke toilet. Di sana, dia hanya memandangi tubuhnya lewat cermin lebar. Malam ini, dia sudah berdandan sempurna. Hal yang tak pernah ia lakukan. Buat apa? Ariana bertanya kepada dirinya sendiri.
Ia kemudian teringat dengan percakapannya bersama Tuan Mata beberapa tahun lalu. Saat itu, dia baru semester 6. Dan Tuan Mata telah mengajarinya banyak hal tentang kehidupan ini. Malam itu, tiba-tiba Tuan Mata menanyainya tentang suatu hal yang sangat pribadi.
“Kamu sedang dekat dengan seorang pria?” tanya Tuan Mata.
Ariana yang tak terbiasa dengan obrolan santai dengan Tuan Mata, mendadak terkejut. Ia tersipu. Dia menahan senyum yang justru membuat Tuan Mata semakin ingin mengorek hal yang tak ia ketahui.
“Katakan, aku tak mungkin menceritakan pada siapa pun. Kamu tahu, bahwa aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri.” Tuan Mata tersipu malu.
“Saya tak sedang dekat dengan siapa pun Tuan. Maksudku untuk saat ini saya sedang sendiri.” Ariana menahan diri untuk mengatakan yang sebenarnya.
“Sungguh hanya itu yang kamu ingin katakan?”
Ariana merasa terpojok. Tuan Mata sepertinya punya bakat menjadi seorang psikolog. “Saya baru saja ditinggalkan oleh dia. Dia memilih untuk bekerja ke luar negeri. Dan kami rasa hubungan jarak jauh adalah sulit. Jadi, kami berpisah baik-baik.”
Tuan Mata mengangguk-angguk. “Aku tahu, aku tahu.” Dia merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. Sebuah foto. Dia menyodorkan foto itu kepada Ariana.
Ariana menerimanya. Foto itu menunjukkan seorang pria dengan t-shirt warna putih dan bercelana pendek. Tampak santai. Dia mirip sekali dengan Tuan Mata. Terutama di bagian mata. Dan harus Ariana akui bahwa lelaki di foto itu menarik. Rambutnya dipotong pendek dan sengaja dibuat berantakan, kulit mukanya terlihat bersih, dan dia memiliki daya tarik di bagian mata dan senyumannya.
“Itu Juna. Aku sering menceritakannya padamu, bukan?”
Ariana menoleh ke Tuan Mata. Ariana mengerti dengan perasaan Tuan Mata sekarang. Bagaimana pun, Tuan Mata berusaha untuk tetap menjadi ayah yang baik bagi anaknya.
Ariana belum pernah ditunjukkan wajah asli Juna Januardo. Dan malam itu, Tuan Mata menunjukkannya untuk pertama kalinya.
“Apakah dia menarik?” tanya Tuan Mata, dia memicingkan mata. Menggoda.
“Menarik?” tanya Ariana balik.
“Kamu tahu maksudku pasti. Aku selalu beranggan bahwa suatu saat aku bisa melihatnya menikah dengan seseorang yang baik. Kamu baik, aku rasa.”
Ariana terkejut. Dia tak menyangka Tuan Mata akan mengatakan hal ini kepadanya. Tetapi dia bukan terkejut untuk dirinya, tetapi untuk Juna. Setelah beberapa tahun, Tuan Mata meninggalkannya, Juna pasti tidak akan dengan mudah menerima permintaan Tuan Mata. Terutama untuk hal yang sangat krusial bagi hidupnya. Dijodohkan oleh orang yang menelantarkannya? Meski pun orang itu adalah ayah kandungnya, pasti Juna akan menolak keras.
“Tuan terlalu serius malam ini,” Ariana mencoba membelokkan pembicaraan.
“Aku serius.” Tuan Mata mengeluarkan sesuatu yang lain dalam sakunya. “Aku telah membuatkan kalian sebuah cincin dari Aquamarine, sebuah batu dengan warna biru yang melambangkan percintaan dan kasih sayang. Aku juga sudah mengukir nama kalian di sini.” Tuan Mata menyodorkan batu itu kepada Ariana.
Batu cincin yang indah, pikir Ariana.
“Tuan, apakah Tuan yakin dengan hal ini. Jika aku menjadi Juna….”
“Aku tahu, aku tahu.  Sebagai ayah, aku tak bisa memaksakan kehendaknya. Tetapi sebagai ayah, aku ingin memilihkan seseorang yang baik untuknya. Saya rasa, kamu adalah orang yang tepat dan spesial. Tapi…..” Tuan Mata menatap Ariana serius. “tenang saja, aku tak akan memaksakan hal ini. Aku akan memberikan cincin ini, nanti. Ketika kalian berdua benar-benar jatuh cinta.”
Perkataan Tuan Mata malam itu serasa sebuah keyakinan bahwa Ariana dan Juna akan bertemu suatu saat nanti. Dan sekarang kejadian. Ariana bertemu dengan Juna. Dan Ariana jadi teringat dengan percakapan malam itu.

Ariana melihat wajahnya di cermin. Apakah kini dia jatuh cinta? Dia sendiri tidak tahu. Toh, sekarang Tuan Mata juga sudah tidak ada di dunia ini. Jadi, percakapan malam itu hanya sebuah cerita usang. Tak ada yang tahu selain dirinya.
Ariana kembali ke meja. Di sana makanan sudah tersedia dan Juna sedang menikmati segelas red wine-nya.
“Lama sekali, makanan sampai sudah datang.”
“Tadi lihat berita sebentar,” Ariana berbohong. “Kamu mengikuti kasus Joko Susilo?”
“Pejabat yang dicurigai korupsi itu?”
“Iyap, tepat sekali. Sore tadi dia ditangkap.”
Dan percakapan tentang Joko Susilo itu menjadi pembuka percakapan-percakapan selanjutnya. Malam itu, Juna terlihat lebih santai dan terbuka. Dia menceritakan masa kecilnya. Menceritakan pekerjaannya di Digiforyou dengan lebih detail.
“Sekarang ceritakan tentang hidupmu. Selama ini, aku tak pernah tahu tentang dirimu.”
“Kamu tak perlu tahu,” kilah Ariana.
“Ayolah. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”
Ariana terpana menatap wajah Juna. Ingin mengenal lebih dekat? “Baiklah. Mungkin aku bisa memulai dengan kakekku.”
Dan Ariana pun menceritakan tentang kakeknya, lalu kedua orang tuanya, kariernya, apa yang menjadi minatnya sekarang. Satu hal yang tak ia ceritakan adalah kedekatannya dengan Tuan Mata. Belum saatnya Juna tahu, pikirnya saat ini.
Malam ini, menjadi malam yang panjang untuk mereka berdua. Hampir pukul sebelas mereka turun dari restoran dan kembali menjelajah kota Jakarta. Mereka tidak lekas kembali ke Mata Rantai, namun berputar-putar sebentar melewati Senayan, Bundaran HI, Medan Merdeka.
“Monas terlihat cantik jika malam hari,” kata Ariana.
“Kamu seperti tidak pernah melihatnya saja, Ariana.”
“Aku selalu kagum dengan seni arsitektur yang indah. Monas salah satunya. Dulu waktu aku masih kuliah, aku sering pergi ke Monas, bahkan naik sampai atas.”
“Oh, ya? Apa yang kamu lihat?”
“Kamu belum pernah ke sana?”
Juna menggeleng.
“Manusia modern sepertimu memang selalu disibukkan dengan urusan materi dan lupa dengan hal-hal seni. Monas adalah salah satu keindahan yang wajib kita kagumi. Aku sangat senang melihat kota Jakarta dari puncaknya. Menarik, meskipun harus berdesakan bersama anak-anak sekolah ketika akan naik. Tetapi rasanya sangat puas. Meskipun bukan puncak tertinggi di Jakarta, namun melihat kota Jakarta dari atasnya sangatlah indah. Tingginya hanya 132 meter. Dikelilingi oleh gedung-gedung pemerintahan. Diciptakan dengan konsep pasangan universal yang abadi; Lingga dan Yoni. Lingga adalah sebuah obyek tegak, tinggi dan melambangkan falus atau penis. Lambang kesuburan. Yoni berarti kandungan atau rahim. Dalam buku Kama Sutra, yoni berarti pasangan lingga yang merupakan simbol dari alat kelamin wanita. Penciptaan Monas dengan mengadaptasi kedua konsep ini, berarti Monas adalah lambang dari penciptaan yang sempurna. Hasil perkawinan Lingga dan Yoni. Sebuah konsep sederhana, kelahiran. Diciptakan karena untuk mengenang perlawanan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan. Sebuah kelahiran.”
Juna tampak takjub dengan penuturan Ariana tentang Monas yang detail. Dia tak menyangka Ariana bisa tahu sedalam itu.
“Di jaman internet seperti sekarang, mendapatkan informasi seperti menghirup udara. Gratis,” Ariana tertawa. “Dan ada satu impianku sejak dulu tentang Monas.”
“Apa itu?”
“Aku ingin menaikinya saat malam. Pasti sangat indah.”
“Bukankah tadi kita sudah berada di salah satu puncak tertinggi di Jakarta?”
“Beda. Sangat beda. Berdiri di atas Monas seperti berdiri di atas pusat kota. Jantung Jakarta.” Ariana menyentuh dadanya sambil terpejam.
“Kamu benar-benar seperti Arya. Dia selalu mengagumi hal-hal seperti itu. Dia pernah mengatakan padaku bahwa sebagai seorang Mata Rantai, aku harus lebih peduli dengan hal-hal di sekitar. Bahkan kata dia, banyak hantu-hantu bergelantungan di mana-mana, jika kita peka.”
“Tepat sekali. Kamu harus melatihnya dengan berputar kota Jakarta.”
Dan malam itu, mereka berdua menghabiskan sisa malam dengan berputar-putar kota Jakarta.
# # #

Di gedung Mata Rantai, Janero tampak berdiam diri di dalam ruangannya sambil mendengarkan percakapan antara Juna dan Ariana melalui sebuah alat penyadap. Sesekali dia mendengus cemburu.
Saat dia sedang fokus mendengarkan cerita Ariana tentang Monas yang menurutnya sangatlah membosankan, ponsel pintarnya bergetar. Dari nomer yang sangat ia kenal.
“Apakah kamu sudah menemukannya?” tanya orang di sebarang telepon.
“Belum. Seharin aku sudah mencarinya di komputer, namun aku belum menemukannya. Tetapi aku menemukan sesuatu yang menarik.”
“Apa?”
“Peta 3D Mata Rantai.”
“Kedengarannya menarik. Tetapi untuk saat ini, aku tidak membutuhkannya. 30 Juni sebentar lagi, dan aku tidak punya cukup waktu untuk menunggu. Kuharap besok aku sudah mendapatkannya. Karena botol-botol itu sudah datang dan aku harus memproduksi secepatnya. Apakah bayaranmu kurang untuk melakukan hal ini?”
“Tidak, tidak. Baiklah, aku akan mencarinya lagi besok. Bersabarlah.”
Hubungan jarak jauh itu terputus.
Janero mematikan ponselnya.
Suara tawa Ariana di mesin penyadap semakin membuatnya panas. Sesekali suara Ariana diselingi oleh tawa Juna.
Dia harus mencarinya malam ini. Dan harus ketemu. Dia sudah tidak sabar ingin melihat kehancuran Juna.
# # #

Beratus kilometer dari kota Jakarta. Di Galeri Mahakarya.
Alexa Crain menutup ponselnya. Tikus kecil itu belum menemukannya. Dia takut detik kabisat akan segera lewat. Detik kabisat kali ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Pada 30 Juni 2015, jam-jam komputer di seluruh dunia secara bersamaan akan “menambah waktu” sebanyak 1 detik pada saat pukul 23:59:59. Dimaksudkan untuk menghilangkan selisih antara standar waktu internasional (UTC) dengan waktu rotasi bumi yang sebenarnya, karena 1 hari tidak berlalu tepat dalam 24 jam. Kabar yang beredar, dunia internet akan mengalami kekacauan hebat. Jaringan internet pada dasarnya mengandalkan satuan waktu yang tepat dan seragam agar jutaan komputer yang tergabung di dalamnya dapat saling berkomunikasi dengan baik. Beberapa jaringan akan terputus atau error dan tidak bisa diakses.
Crain akan memanfaatkan detik kabisat dan kekacauan internet untuk melakukan aksinya. Dan dia membutuhkan Janero untuk segera menemukan apa yang ia butuhkan.
Crain memandangi botol-botol bening seukuran botol mineral 600 ml yang kini berjalan di atas Conveyor belt. Botol-botol itu melewati penyemprot air bertenaga rendah. Setelah melewatinya, botol itu tampak bersih. Selanjutnya mereka akan dikeringkan di pengering otomatis dan segera dimasukkan ke dalam kardus.
Crain dibantu oleh dua orang untuk melakukan pekerjaannya itu. Dia sendiri hanya mengamati saat para pekerjanya merapikan kardus berisi botol-botol yang siap untuk dikirim ke Jakarta.
Oh tidak, sebenarnya Crain tidak dibantu oleh ‘orang’. Jika diperhatikan dengan saksama, para pekerja Crain berwajah pucat dan kelopak matanya putih semua. Mirip seperti Hantu Anak Bermata Hitam di Texas. Mereka tampak menuruti apa yang Crain perintahkan. Karena di tangan Crain, ada batu berwarna-warni yang memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan kehidupan. Batu Mata Rantai. 
# # #

Mobil Juna Mata memasuki pelataran Kota Tua. Tadi Ariana bilang bahwa kawasan Kota Tua saat malam hari sangatlah cantik. Jadi Ariana mengajak Juna untuk pergi ke sana. Jam sudah hampir tengah malam saat mereka datang. Namun, suasana di sana masihlah sangat ramai.
“Apakah kita tidak aneh datang ke sini dengan berpakaian seperti ini?” Juna melihat blasernya.
“Lepas saja,” ucap Ariana. Dia sendiri tidak peduli dengan penampilannya sekarang.
“Mau ngapain sih?”
“Jalan-jalan saja. Bukankah tadi kamu yang bilang bahwa hari ini harus jalan-jalan.” Ariana sudah mendahului Juna jalan.
Juna berlari dan menjejeri Ariana. “Selain cerewet, kamu juga ngeselin.”
“Tidak sengeselin playboy.”Ariana tertawa.
Ponsel pintar Juna bergetar. Dia meminta Ariana berhenti, tetapi Ariana justu menghampiri penjual jagung rebus dan memesan jagung itu.
“Halo,” ucap Juna.
Juna tampak berdiri kaku mendengar berita yang disampaikan penelepon.
“Kapan?” tanya Juna.
Raut mukanya berubah dingin.
“Baiklah, aku akan segera ke sana.” Dia menutup ponsel pintarnya.
Juna berjalan mendekat ke arah Ariana.
“Siapa? Wanita-wanita yang meminta penjelasan karena malam ini tak kamu temani?” tanya Ariana sambil tertawa.
“Bukan. Arya.”
“Arya? Ada apa dia mencarimu selarut ini? Ada hal penting?”
“Sangat penting.”
Ariana menyadari perubahan muka Juna. “Ada apa?”
“Dilan meninggal.”
# # #

BACA KELANJUTANNYA KLIK DI SINI



No comments