BAB 17
Ketika Ariana membuka mata, dia tak melihat
Juna di dekatnya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Yang ada hanya ruangan
gelap. Butuh waktu sekian detik untuk menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Ariana
mengerjap-ngerjapkan mata. Ia menenangkan diri.
Aku pernah
ke sini, aku pernah ke sini sebelumnya.
Ariana jarang sekali mengembara. Karena dia
tak ingin tersesat. Keputusan malam ini untuk menemani Juna sebenarnya adalah
hal yang sangat bodoh. Dia tak memikirkan segala resiko. Yang ia pikirkan
hanyalah ia tak ingin Juna mengalaminya sendirian. Itu saja. Karena hal ini
terkait dengan permintaan dari mendiang Tuan Mata.
Malam itu, beberapa malam sebelum Tuan Mata
meninggal. Ariana bahkan takkan mengira Tuan Mata akan pergi secepat itu. Tuan
Mata memanggil dirinya. Dia minta ditemani pergi ke mengobrol di kedai kopi.
Bagi Ariana, Tuan Mata sudah ia anggap seperti kakeknya sendiri. Maka, malam
itu dia seperti seorang cucu yang sedang mendengarkan kakeknya bercerita.
Tuan Mata mengulang cerita tentang pendirian
Mata Rantai. Bagaimana ia sangat bangga bisa membawa Mata Rantai menuju puncak
kesuksesan, meskipun akhirnya beberapa tahun terakhir kondisinya sangat parah. Beliau
juga bercerita tentang kondisi keluarganya, anak-anaknya, dan satu kisah
cintanya yang mungkin banyak orang yang tidak tahu.
Tuan Mata pernah menjalin cinta terlarang
dengan seorang pegawai Mata Rantai. Padahal Tuan Mata sudah memiliki istri dan
dua orang anak. Bak kata seorang pujangga lama, bahwa cinta memang sangatlah
buta. Benih-benih cinta antara Tuan Mata dan gadis itu terjalin cukup rapat dan
rahasia. Tak banyak yang mengetahui. Sampai suatu ketika, gadis itu hamil. Celakanya,
hubungan mereka kemudian diketahui oleh istri pertama Tuan Mata.
Terjadi perpecahan keluarga yang cukup
sengit. Tuan Mata seperti mendapatkan buah simalakama yang harus ia makan saat
itu juga. Dia tak mungkin meninggalkan istri pertamanya, karena tentu dia masih
sangat mencintainya, namun dia juga tak mungkin menelantarkan gadis yang telah
ia hamili. Kemudian dibuat suatu kesepakatan, gadis itu akan tinggal di Mata
Rantai sampai bayi yang ia kandung lahir.
Malam purnama, bayi itu lahir. Seperti
mendapatkan mukjizat, Tuan Mata yakin bahwa bayi itu memiliki darah Mata, darah
yang tak ia dapatkan pada kedua anaknya dari istri pertama. Namun, sesuai
perjanjian, ibu bayi dan bayinya harus pergi saat berumur satu tahun. Keluarga
besar Mata Rantai mengecam hadirnya bayi itu.
Bayi tak bersalah itu harus pergi. Bersama
ibunya. Secara sembunyi-sembunyi Tuan Mata masih memberikan uang, masih
menghubungi dan merawatnya. Karena ia tahu, bayi itulah yang akan mewarisi Mata
Rantai. Karena ia tahu, dua anaknya tak bisa melanjutkan Mata Rantai.
Benar saja, ketika besar, kedua anaknya tak
ada yang mau mewarisi Perusahaan Supranatural itu. Mereka bahkan cenderung
pergi dan meninggalkan Mata Rantai.
Dan malam itu, Ariana baru tahu bahwa bayi
yang telah dibuang oleh Tuan Mata adalah Juna.
Dan untuk menebus dosa-dosanya, Tuan Mata
mewariskan semua harta di Mata Rantai kepada Juna. Sesuatu hal yang tak Juna
tahu sampai sekarang. Ariana pun merahasiakannya.
Malam itu, Tuan Mata berpesan kepada Ariana. Jagalah dia untukku. Ariana tak
mengerti, mengapa Tuan Mata berpesan seperti itu. Tetapi, pagi hari, sebelum
malamnya Tuan Mata meninggal, Ariana menerima pesan pendek dari beliau.
Temui
aku nanti malam, aku ingin berbicara tentang Juna Mata.
Ariana tak tahu, apakah ada asisten lain
selain dirinya yang diberi mandat seperti itu oleh Tuan Mata. Mungkin Arya juga
diberi pesan seperti itu. Arya adalah tangan kanan Tuan Mata. Tuan Mata sudah
sangat percaya dengan Arya. Mungkin Tuan Mata juga menitipkan Juna kepada
dirinya.
Jadi malam ini, dia tak ingin Juna berkelana
sendiri di ruangan yang penuh dengan iblis dan jebakan.
“Mengapa kamu menghilang? Syukurlah, aku
menemukanmu,” Juna memegang tangan kanan Ariana. Ariana terkesiap dan menghela
nafas lega.
“Kita harus bergerak cepat. Ayo.” Giliran
Ariana yang menarik tangan Juna.
Mereka berdua berjalan di lorong berdinding
merah maroon dengan cahaya remang. Beberapa kali mereka bertemu dengan
setan-setan tak berbentuk yang menyeramkan.
“Kamu terlihat tidak takut, seperti pernah ke
sini sebelumnya.”
“I told
you before,” kilah Ariana.
Langkah mereka terhenti di sebuah percabangan
lorong. Banyak ‘orang’ di sana, sedang bergumam kencang. Seperti dengungan
lebah di sarang madu. Ariana mencoba mendekat dan bertanya kepada salah satu di
antara mereka.
“Ada apa?” tanya Ariana. Juna merasa
pertanyaan Ariana akan sia-sia. Bertanya
sama hantu, mana mungkin akan
digubris.
“Jangan ke sana. Ada Bapak memukul anaknya.
Jangan ke sana.” Orang yang ditanya Ariana melotot, matanya hampir keluar.
Setelah Juna perhatikan, ternyata dia hanya memiliki 1 telinga. Lubang telinga
satunya bocor, darahnya deras menngucur membasahi bajunya.
Juna yang lebih tinggi dari Ariana, berjinjit
mencoba untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar gerombolan itu. Dia
melihat sekilas.
“Ayo,” Ariana kembali menarik tangan Juna.
Juna menurut dan keduanya bersusah payah memilah-milah orang agar bisa mendapat
jalan. Setelah berhasil melewati gerombolan setan yang berteriak-teriak, mereka
melihat pemandangan yang begitu tidak mengenakkan.
Seorang bocah, kira-kira berumur enam tahun,
sedang mendekap kakinya. Tangannya memegang mainan kereta api kayu. Dia
menangis sesegukan seorang diri. Kepalanya berdarah. Tak ada yang menolong.
Juna hampir saja tergerak hatinya untuk menolong, namun buru-buru seorang bapak-bapak
dengan badan tambun datang berteriak-teriak. Ariana menarik tangan Juna,
berharap Juna mengurungkan niatnya. Juna mengangguk.
Bapak-bapak tambun itu mendekat ke arah anak
itu, lalu dia mengacungkan kayu besar.
“Tidak boleh ada yang menolongnya. Dia pantas
mendapatkannya. Apakah pantas seorang anak lelaki tidak bisa bermain bola.
Hah?” dia berteriak sambil memukul punggung anak itu. Anak itu menjerit sekali,
lalu menangis lagi.
Si bapak tambun pergi meninggalkan suara
serak memuakkan. Tinggallah anak itu sendiri. Dan masih tak ada orang yang
menolong.
Lalu, datanglah seorang pemuda berwajah
bersih dengan gaya sisiran rapi. Dia mendekati anak itu, membelainya, lalu
mendendangkan sebuah lagu.
Jangan
takut akan gelap, karena gelap melindungi hati kita…
Dia bernyanyi. Dia meminta anak itu berdiri,
lalu mereka bernyanyi, menari. Anak kecil itu mendadak ceria, bernanyi bersama.
Mereka tertawa riang tanpa henti.
Semua orang masih melihat. Tak ada yang
mendekat. Termasuk Ariana dan Juna.
Pemuda itu membawa anak kecil ke satu ruang
bergorden putih dengan sinar lampu terang. Yang terlihat hanyalah siluet tubuh
mereka ketika si pemuda berwajah bersih melucuti satu persatu pakaian si anak
kecil. Si anak kecil pasrah ketika pemuda itu mendorong tubuh anak kecil ke
atas tempat tidur. Siluet hitam menampakkan gerakan maju mundur tanpa henti.
Erangan kesakitan, lalu jeritan pasrah dari si anak kecil.
Dan lampu padam.
Juna dan Ariana tak bisa melihat apa-apa.
Mereka berpegangan erat.
Ketika ruangan kembali menjadi remang, mereka
berdua tak melihat siapa pun di sekitar mereka. Ruangan itu kembali kosong.
Tetapi tiba-tiba, muncul anak kecil itu dari balik tirai dengan wajah
menakutkan. Mata melotot dan muka pucat.
Juna dan Ariana mendelik, lalu saling tatap.
Anak itu Andika.
Andika berjalan terseok mendekati Juna dan Ariana, lalu tiba-tiba dia
berubah menjadi Andika besar yang dengan sigap menarik tangan Ariana. Ariana
terpelanting jatuh. Juna menubruk tubuh Andika, keduanya terjatuh di atas
lantai. Kesempatan itu, Juna gunakan untuk menendang Andika. Dia kemudian
berdiri, menarik lengan Ariana. Keduanya lalu berlari.
Andika mengejar.
Juna dan Ariana mentok di ujung gang. Jalan
buntu. Tetapi di ujung jalan itu, mereka melihat Gru menangis seorang diri.
“Astaga, itu Gru?” Jerit Ariana.
Mereka berdua mendekati Gru.
“Gru, mengapa ada di sini?” tanya Juna.
“Bukan waktunya bertanya, Juna. Kita harus
membawanya keluar dari tempat ini.”
Juna mengangguk.
Terlambat. Andika sudah datang.
“Bukankah sudah kubilang, bahwa kalian tidak
boleh mendekati Gru.”
“Dia bukan iblis sepertimu. Dia manusia,”
teriak Juna.
“Oh, aku mencintainya. Aku mencintai anak
kecil itu. Aku ingin ia merasakan apa yang aku rasakan waktu kecil.” Andika
menyeringai. “Gru kemarilah, Sayang. Kakak ingin bermain-main denganmu.”
Juna mengambil nafas panjang. “Dasar iblis.”
Dia berlari, menubruk Andika. Andika terperosok jauh ke belakang.
“Ayo, lari.”
Juna, Ariana, dan Gru berlari. Mencari pintu
bercahaya putih.
Mereka bertiga kembali ke dunia. Roh mereka
kembali ke tubuh mereka masing-masing.Tetapi tubuh Lenwa masih dirasuki oleh
iblis Andika. Tubuh itu meronta-ronta. Tangannya mencoba melepaskan diri dari
jerat. Kakinya memancal kuat.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Naya
ketakutan melihat suaminya meronta kesakitan.
Juna melirik kereta api mainan yang saat ini
pegang Gru.
“Perantara. Iblis mendekati manusia dengan
perantara. Aku merasa bahwa kereta api itu adalah perantaranya. Gordon, cepat
cari korek api. Lalu bakar mainan itu.”
Gordon dengan sigap mencari korek api.
Kemudian dia membakar mainan kereta api Gru. Api perlahan melahap kayu. Lenwa
meronta kesakitan. Rasa sakit yang sebenarnya datang dari iblis yang
merasukinya.
Di sampingnya, Naya tampak mendekap Gru. Dia
menangis. Tetapi Gru tidak. Gru memandang ayahnya dengan tatapan nanar.
“Ayah, aku mencintaimu,” ucap Gru.
Dan iblis itu pergi dari tubuh Lenwa.
# # #
Langit shubuh masih terlalu gelap saat mobil
Juna keluar dari daerah komplek perumahan di Kuningan. Tubuh Juna sangat lelah
dan dia berharap segera menemukan kasur. Ia ingin istirahat, karena tentu saja keesokan
harinya dia harus kembali bekerja. Tadi Ariana sudah mengingatkan bahwa jam
sepuluh dia ada meeting dengan para Chief Rantai untuk mengevaluasi Cost Reduction Program yang telah ia canangkan.
Andai
saja besok adalah hari minggu, ucap Juna dalam
hati.
Dodo, Dede, dan Gordon pulang menggunakan
mobil sendiri. Sementara Juna akan mengantar Ariana ke apartemennya terlebih
dahulu.
“Kamu tak perlu masuk besok,” ucap Juna. Ia
tahu, gadis di sampingnya kini juga cukup lelah. “Apakah kita batalkan saja meeting esok hari?”
“Jangan, Tuan. Semua orang sudah
mempersiapkan diri untuk meeting besok. Apakah Tuan ingin melihat wajah kecewa?”
“Bukankah mereka akan lebih senang.”
“Tapi perusahaan membutuhkan kita secepatnya,
Tuan.”
“Aku sangat lelah hari ini. Aku baru saja
mengalami peristiwa yang seumur hidup belum pernah aku alami. Berkelana ke
altar lain yang sangat-sangat menakutkan.”
“Itu nanti akan terbiasa, kan?” Ariana
tersenyum.
Juna melirik gadis di sampingnya. “Terima
kasih sudah menemaniku,” Juna ikutan tersenyum.
Ariana hanya mengangguk, lalu membuang muka. Aku tak mungkin akan terpesona, Playboy.
Please Ariana, jangan terpancing rayuannya. Terpedaya oleh pesonanya. Oke dia
ganteng, tapi plis. Oh wait, apa? Dia ganteng? Tidak, tidak. Tapi, iya sih.
“Mengapa senyum-senyum sendiri?” tanya Juna.
Ariana tampak gelagapan, seperti seorang anak
kecil yang ketahuan sedang makan es krim. “Oh, tidak, aku hanya sedang
memikirkan kejadian tadi.”
“Apakah kamu terpesona denganku. Oh, banyak
yang bilang, kalau aku akan lebih mempesona ketika belum mandi.” Juna
mengerling.
“Hanya wanita gila yang bilang seperti itu.”
Kilah Ariana.
Juan tertawa. “Akui sajalah kalau aku
menarik.”
“Maaf, thanks.”
Ariana membuang muka. Ambil nafas, ambil
nafas Ariana. “Oh iya Tuan, masih ada satu pertanyaan yang mengganjalku
sejak tadi.”
“Apa? Kamu ingin tidur di kamarku pagi ini?” Ariana
mendelik. Juna tertawa. “Baiklah, katakan.”
“Aku masih penasaran, dari mana Andika
muncul. Maksudku, iblis akan datang karena satu hal.”
“Bukankah sudah terjawab. Kereta api mainan.”
“Iya, tapi dia pasti hadir dari satu tempat.
Tapi sudahlah, kita sudah berhasil memusnahkannya. Lebih baik kita istirahat.”
“Ya, lebih baik seperti itu. Jadi?”
“Jadi?”
“Jadi tidur di tempatku?”
Ariana spontan mencubit pinggang Juna. Juna
sedikit menghindar dan dia menginjak rem mendadak.
“Mengapa wanita selalu sakit kalo mencubit.”
“Itu pembalasan untuk Tuan yang keganjenan.”
Ariana pura-pura cemberut.
“Hei, mengapa kamu terus menerus memanggilku
Tuan? Bukankah sudah kukatakan, aku tak mau dipanggil seperti itu.”
“Lalu apa?” Ariana pura-pura mendelik.
“Sayang. Kedengarnnya lebih bagus.”
Ariana siap-siap mencubit pinggang Juna lagi.
# # #
Beberapa kilometer dari mobil Juna, Janero
tengah membenamkan kepalanya di bawah bantal. Kepalanya seperti digelayuti oleh
berton-ton karung beras. Dia belum juga tertidur sejak pesta tadi malam. Dia
baru pulang jam dua pagi. Untung dia tidak terlalu mabuk, tetapi dia tetap
meminta seorang teman untuk mengantarkannya ke apartemen. Dan pagi ini, dia seperti
seorang pesakitan yang sedang berada di ujung kematiannya. Kepalanya berdenyut
sakit.
Tetapi rasa sakit kepalanya tidak bisa
mengalahkan rasa sakit hatinya mendengarkan percakapan dua orang yang sepertinya
sedang dimabuk asmara. Hatinya meluap kesal. Seperti dihantam oleh palu-palu
besar. Beberapa kali dia mengumpat.
Sungguh beruntungnya dia, kini dia bekerja di
bawah departemen teknologi sehingga dia bisa belajar bagaimana membuat penyadap
yang ia pasang di mobil Juna. Penyadap yang bisa dengan jernih mendengarkan
semua percakapan di dalam mobil Juna. Juga jerita manja Juna saat Ariana
mencubitnya tadi.
Dan hati Janero benar-benar terbakar
karenanya.
# # #
baca kelanjutannya di sini
No comments