[DONGENG] TUJUH KOPI TANDA CINTA

Kurasakan mobil kami terguling ke samping, disusul suara derit panjang dari roda belakang, dan jeritan keempat orang di dalamnya, kecuali Top. Dia mengucap lantang nama Tuhan. Sebelum dahiku terbentur double blower mobil, kulihat 6 bungkus kopi yang Top pegang tampak berhampuran. Aku belum sempat menjerit lagi. Karena serbuk kopi itu masuk ke mataku. Membuatnya perih. Seperih hatiku, saat pertama kali mengikuti perjalanan lintas bumi Andalas ini.
# # # 
Top tinggi menjulang seperti Tugu Monas yang berdiri di belakangnya. Mungkin semua orang yang ada di kerumunan sadar, dia selalu tersenyum dilengkapi dengan nyala mata yang berbinar penuh energi. Aku pun memandangnya seperti itu, ikut tersenyum kecil. Seolah tersuntik energi positif dari Top.  Siapa yang tak mengenal dia? Tetapi energi positif itu meredup, saat kupandang layar Iphone 6-ku yang menyala terang. Samar-samar kubuka WA dari nama yang sudah kukenal.
“Bisa kutelepon sebentar? Penting,” ujar orang yang mengirimiku pesan.
Tak menunggu dia menelepon, kutelepon balik dirinya. Semenit berlalu, aku membisu. Tatkala ia berujar dengan pelan, meminta maaf, mendeskripsikan semua keputusannya dengan gamang. Rasanya, rotasi bumi berhenti berputar dan siang terik itu berganti malam tak berhias bulan dan bintang. Dan aku terjebak di dinginnya kutub utara, bahkan tak ada seekor beruang kutub pun yang menemaniku, saat ia bilang dengan lirih—sedikit seperti merasa ada penyesalan, dan kurasa setelahnya, aku baru sadar bahwa itu kebohongan—tanpa merasa bahwa aku akan baik-baik saja.
Aku belum sempat menutup telepon, tetapi dia sudah tidak bersuara. Masih terngiang suaranya yang bernada lembut, tetapi justru membuat dadaku melebar sesak. Layar Iphone masih tak ingin meninggalkan daun telinga, saat kurasakan getaran WA masuk. Lagi-lagi dari nama yang kukenal. Amira, sahabat dekatku, mencoba mengirimiku sebuah gambar yang belum terunduh sempurna.
“Kamu tahu ini?” Tulisnya. Kusentuh tombol unduh di layar. Gambar itu berubah menjadi lingkaran yang berputar pelan, lalu perlahan berubah menjadi sebuah undangan pernikahan dengan background yang sangat familiar. Hidungku mendadak mencium aroma kopi di kedai. Tumpukan kopi dalam balutan karung goni warna cokelat ada di sudut ruangan. Sengaja diletakkan agar pengunjung dapat merasakan sendiri aroma harum kopi. Semua angan-angan itu termigrasi menjadi selembar desain di Iphone. Berukir nama yang sangat kukenal, bersanding dengan orang yang tak kumengerti.
Aku tak pernah mencintai kopi, sampai aku bertemu dengannya dan aku dibuat jatuh cinta oleh keduanya. Kopi & Andromeda, sama-sama candu di kehidupanku kemudian. Sampai kami punya rencana panjang untuk membangun sebuah kedai kopi sederhana di Jakarta Utara. Sebuah kedai yang menemaniku menjadi travel blogger. Dan ada dia di kedai yang menjadi petugas operasional. Dia yang mengenalkanku akan bagaimana biji kopi Arabika lebih kecil dan cenderung lonjong dari Robusta, namun memiliki rasa yang paling enak. Dan Luwak akan memakan kopi selama 6 jam sebelum ia mengeluarkannya. Dia mengenalkanku akan takaran Steamed Milk harus lebih banyak dari Espresso ketika akan membuat Caffe Latte.
Tapi siang ini, di awal perjalanan menjelajah Bumi Andalas yang kumenangkan dari lomba blog, dia menghancurkan semuanya. Dia membuatku tak paham, apakah aku masih bisa mencium kopi atau tidak.
# # # 
Kopi. Kopi. Kopi ada di mana-mana. Harumnya sudah meretas menembus hidung ketika kujejakkan kaki setelah perjalanan seharian lebih menembus Selat Sunda dan jalan lintas Sumatera di Lampung. Akhirnya, kami tiba di persinggahan pertama perjalanan ini, kota Liwa di Lampung Barat. Atribut-atribut bergambar kopi tersebar di rumah-rumah. Kedai-kedai kecil menyambut tamu. Aku tak menemukan ada siapa pun di dalam mobil, jadi aku turun. Dan aroma kopi langsung menyambut dan mengingatkanku pada Andromeda.
Sial. Mengapa aku harus mengikuti perjalanan ini?
Awalnya memang aku mengingingkan perjalanan ini. Oke akan aku ralat, aku sangat menginginkannya. Dan itu semua karena Andromeda mencintai kopi. Karena hadiah dari lomba blog travel yang aku ikuti adalah menjelajah bumi Andalas dari ujung selatan ke utara, sepanjang 3.600 Km, selama 15 hari, untuk singgah di tujuh kota terbaik penghasil kopi di Sumatera. Apakah aku harus melewatinya? Tidak. Karena pertama, aku tentu akan mengabadikan semua momen ini dalam foto dan tulisan yang akan kupersembahkan untuk Andromeda. Kedua, karena hadiah tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Sembilan tim travel blogger dibagi dalam 3 mobil, masing-masing ditemani oleh 1 orang pemandu dan 1 orang driver.
Aku memilih duduk di pinggir warung. Tanpa mempedulikan timku yang sedang mewawancari penduduk setempat tentang Kopi Liwa. Kurapatkan syal merah yang membalut leher. Udara dingin masuk dan membuat dadaku melempem. Bau kopi menyeruak di mana-mana. Kemudian datang secangkir kopi di hadapanku dengan aroma wangi yang berbeda.
“Minumlah. Itu kopi campuran gingseng dan pinang. Salah satu yang khas dari Kopi Liwa. Rasanya benar-benar ajaib. Proses sangrainya sangat lama dan memerlukan suhu 190 derajat agar mendapatkan kualitas dan warna yang sempurna.” Seseorang menyodorkan secangkir kopi di depan hidungku. Kulirik tubuh tinggi yang kemarin matanya tampak berbinar penuh semangat. Top kemudian duduk di sampingku. “Membuatmu tenang. Minumlah.” Dia meraih tanganku dan memindahkan segelas kopinya di sana.
Aku menggeleng. Dia menyipitkan matanya seolah berkata ‘yakin?. Aku mengangguk, mengisyaratkan tak mau diganggu. Tetapi dia tetap duduk dan terus mengoceh tentang kopi Liwa. Dia seolah tuan rumah. Mulutnya benar-benar tak berhenti, dan kurasa dia sangat jenius karena tak sedikit pun detail yang terlewatkan.
Tunggu, belum tahu siapa Top?
Ketik di google. Top Ardhana. Kamu akan menemukan blog travelnya terpampang di page pertama laman google. Fotonya jenius. Tulisannya memikat. Awal aku serius menggarap blog travel karena aku membaca blognya. Dia adalah travel photography blogger yang sedang naik daun. Saat aku mengetahui dia menjadi salah satu dari sembilan orang blogger yang memenangkan perjalanan ini, ada dua perasaan yang muncul di dadaku. Aku bangga. Tapi juga kesal. Bangga karena aku bisa bersanding dengan namanya di nama pemenang. Kesal karena tentu dia akan menjadi sang pemenang. Siapa yang bisa mengalahkan dia? Tapi sekarang, aku tak peduli tentang itu.
“Kulihat sepanjang perjalanan kamu tidur atau mendengarkan musik. Seperti tidak tertarik untuk menjadi pemenang dalam tulisan atau menyemangati tim kita agar menjadi tim pertama yang sampai ke Titik Nol Kilometer dan memenangkan tim terbaik.” Dia masih mengoceh. “Jika tidak tertarik, kenapa ikutan sih?”
Aku mulai kesal dengan idolaku itu. “Kamu sendiri? Bukankah Top Ardhana, seorang travel blogger yang sudah menjadi idola tak pantas untuk mengikuti perjalanan ini dan bersaing dengan blogger-blogger pemula.”
Yes, aku memang blogger terkenal dan idola. No, aku tak merasa bersaing dengan kalian. Karena seorang yang sudah jadi maestro pun menurutku harus tetap belajar. DARI SIAPA PUN.”
Sial, sombong sekali, pikirku. Aku tersudut. Dan memilih diam. Kulirik dia menyeruput cangkir kopinya. Aku tak peduli.
“Semua karena ini.” Dia menyorongkan segenggam kopi pekat yang belum disangrai. “Kopi Liwa. Satu dari tujuh surga kopi di Sumatera. Kamu benar-benar tak ingin mencoba yang asli dari tanah kelahirannya? Ini benar-benar nikmat.” Kulihat hidung Top tampak mengembang mengempis, seolah memperlihatkan betapa nikmatnya kopi Liwa.
Aku menggeleng pelan. “Apa enaknya sih kopi?” Dan aku memilih pergi. Kudengar dia berkata lirih kepadaku. “Nggak suka kopi kok ikutan lomba ini sih. Anak aneh.”
# # #
Selepas dari kota Liwa, kami menyelusuri lembah Sumatera selama 4 hari untuk sampai ke persinggahan kedua. Kopi Lahat. Dan menurut pemandu tim kami, kami yang tercepat sampai di sini. Kata Top, lagi-lagi dia tahu segalanya, dulu Lahat sangatlah rawan keamanannya. Tapi kini jalanan mulai mulus dan sudah terang oleh lampu-lampu di kanan kiri jalan. Tetapi aku belum menikmati perjalanan menyenangkan ini. Bayangan Andromeda masih terus berkelebat. Sesekali kusapu air mataku yang terlanjur jatuh tanpa sepengetahuan siapa pun. Semua orang tentu tertarik dengan perjalanan kami, kecuali aku. Dan rasa patah hati ini semakin melebar karena aroma kopi di sepanjang jalan.
Perjalanan kami berlanjut ke kota ketiga, yaitu Kopi Pagar Alam. Letaknya 48 km dari kota Lahat. Dari sepanjang perjalanan, kota ini yang menurutku paling indah. Kota terbentang di lereng Gunung Dempo yang sejuk dan hijau. Lagi-lagi kami yang tercepat sampai di tempat ini. Kami segera melanjutkan perjalanan lagi setelah tim kami puas bertanya tentang Kopi Pagar Alam.
Sepanjang perjalanan, tak henti-henti Top menjelaskan tentang kopi dan kopi. Niatnya adalah membuat sebuah buku tentang kopi Sumatera dan perjalanan untuk mendapatkannya. Walaupun dia terkesan sok pintar—atau mungkin karena dia memang pintar karena pengetahuannya yang luas—dia juga suka melucu. Harus kuakui, untuk kemampuannya yang satu ini dia sangat jago. Dia bisa mengocok perut kami berjam-jam perjalanan. Tentunya kecuali aku, yang memilih untuk membisu. Walaupun kadang, aku tersenyum juga karena ceritanya benar-benar lucu.
“Kamu bisa tersenyum juga?” Dia melirikku dari bagian kemudi. Dia memaksa si driver untuk menjadi supir cadangan karena melihat si driver mulai kelelahan. Aku tak membalas dan hanya membalas dengan mata yang melotot. Dia tertawa, jenis tawa yang renyah dan disukai semua orang.
Memasuki kota keempat, rombongan semakin antusias. Sepanjang jalan, semua adalah kopi yang terlihat. Bahkan lambang kota pun terbentuk dari kopi.
“Selamat datang di Kopi Empat Lawang,” teriak Top sambil membuka kaca jendela dan menjulurkan kepalanya keluar. Anak itu benar-benar membahayakan semua penumpang. Sangat tidak pas dengan usianya yang sudah 27, pikirku. Di kota ini, kami singgah cukup lama.
Teman blogger yang lain sudah bergeriliya mencari info tentang Kopi Empat Lawang. Mereka mengambil foto, mewawancarai penduduk setempat, sekaligus menikmati kopinya.
Aku memilih duduk di salah satu kedai yang menjual gorengan, tanpa menjual kopi. Akhirnya aku bisa terbebas dari kopi. Terbebas dari hal yang kini kubenci karena Andromeda penyebabnya.
“Gorengan satu piring, Bu.” Suara yang kukenal. Tubuh jangkung Top melompat bangku yang kududuki, lalu ia duduk di depanku. Di mulutnya ada sepotong pisang goreng yang sudah setengah tergigit.
“Aku sedang tak ingin diganggu,” ucapku. Aku berkata lirih, dan jujur. Tak ingin berdebat, aku beringsut memutar badanku membelakanginya.
“Kamu tahu, temanku pernah menulis di blog pribadinya. Orang yang sedang patah hati itu seperti...”
“Siapa yang patah hati?” aku menyambar.
“Dengarkan aku dulu. Orang yang sedang patah hati itu seperti terkena Cotard’s Syndrom, sekarat dan tak ingin hidup lagi. Dan Cortard’s Syndrom akan menghancurkan hidup orang yang patah hati. Bahkan ia menulisnya lebih menakutkan. Orang yang patah hati itu, seperti zombie. Setengah hidup, setengah mati.”
“Sudah kubilang, aku bukan sedang patah hati.”
Dia terkekeh kecil. “Aku melihatmu dari sejak di depan Monas.” Dia memandangku dengan sayu. Mata yang tak lagi benderang, tetapi menyejukkan. Aku menarik nafas perlahan, seperti ingin menyembunyikan hal yang tak ingin kusembunyikan. “Dan aku tahu, karena kamu tiba-tiba sangat tidak profesional di perlombaan ini.”
Aku mendelik. “Maksudmu?” suaraku meninggi.
“Kita terpilih dari ribuan orang yang mendaftar. Kita dipercaya. Kita mendapatkan amanah. Seperti cara mendapatkan biji kopi dengan kualitas yang terbaik, kita ditempa oleh seleksi, alam, dan emosi. Kopi yang baik adalah kopi yang kadar suhu saat menyangrai pas, ditanam dengan tinggi dataran tertentu, dibuat dengan teknik yang tidak semua orang bisa. Blogger pemenang lomba ini juga seperti itu. Ada kualitas, dibalik usaha yang maksimal.” Top menghela nafas, menghabiskan sisa pisang gorengnya. “Dan seharusnya kamu tidak menyia-nyiakan semua mimpimu di awal karena satu hal. Apalagi karena seseorang.”
“Kamu tidak tahu. Kamu sangat-sangat tidak tahu apa yang kurasakan. Jadi jangan pernah menghakimi aku kayak gini.” Aku berdiri marah.
“Jika kamu marah, berarti semua perkataanku adalah nyata. Benar.” Dia menantangku.
Dan untuk pertama kalinya, aku luruh dan menangis. Sore itu, entah bagaimana semuanya berawal, aku bercerita kepadanya. Tentang Andromeda.
Top bilang padaku bahwa aku tak sepantasnya membenci kopi. Seperti aku membenci Andromeda. Kopi adalah kopi. Andromeda adalah Andromeda. Dua hal yang seharusnya tidak dicampuradukkan oleh satu hal, yaitu hati. Tetapi, Andromedalah yang membuatku jatuh cinta kepada kopi dan kini dia mengkhianatiku.
“Dan kamu juga akan mengkhianati kopi, seperti yang sudah mantan kamu lakukan padamu?” tanya Top kepadaku. “Kamu mau tahu cara menyembuhkan rasa patah hatimu?” aku menggeleng. “Kamu harus juara di sini. Dan bahagia.”
# # #
Perjalanan dari kota kelima, yaitu Kopi Bengkulu di Curup ke Mandailing Natal (Madina) cukup menantang. Beberapa kali driver dan Top bergantian. Di tengah perjalanan, Top mendadak sakit kepala dan terpaksa harus ada di sisi kemudi. Lagi-lagi kami menjadi yang tercepat.  Rute terpanjang adalah ketika harus menempuh perjalanan ke tujuan kopi terakhir, yaitu Takengon atau orang lebih mengenal dengan sebutan Kopi Gayo. Rute terpanjang selama perjalanan, yaitu 628 Km harus kami tempuh untuk mendapatkan Kopi Gayo.
Aku mulai bersemangat lagi menyisakan perjalanan ini. Kulupakan sejenak rasa sakit hatiku. Top benar, ini semua hanya karena hati. Bahkan aku tak ingin hanya gara-gara Andromeda, aku menghancurkan semua mimpiku. Top bilang bahwa tingkat sekarat tertinggi orang yang patah hati adalah ketika ia kehilangan mimpinya. Aku tak ingin dicap sebagai blogger kacangan karena tidak profesional menjalankan amanah ini. Aku kembali menata hati. Kulihat semangat Top dan yang lain yang membara. Mereka rajin membuat tulisan dan mengepostnya di blog saat ada sinyal datang.
Dan cara kerja Top adalah yang terbaik. Ia tak mengenal lelah. Saat semua orang tidur, pernah kupergoki dia sedang mengedit foto. Atau saat semua orang sedang bersantai-santai, dia merekap catatan wawancara di laptop. Dia selalu tersenyum, semua penduduk asli yang mengobrol dengannya selalu tertawa oleh leluconnya.
Satu hal yang kutahu selepas dari Mandailing Natal, Top tak pernah mengejar juara dalam lomba ini.
Dia mengejar tujuh kopi dari surga kopi di Bumi Andalas, Indonesia.
# # # 
“Itu tas apaan?” tanyaku kepada Top melihat tas merah yang selalu ada di punggungnya. Top melepasnya, lalu membuka ikatannya dan menunjukkan kepadaku. Ada enam bungkus cokelat di dalamnya. Kulihat lebih saksama. “Kopi?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Ini Kopi Liwa,” dia menunjukkan satu bungkus kepadaku. “Ini Kopi Lahat, ini Pagar Alam, ini dari Empat Lawang lengkap dengan cap logo kota itu, ini Kopi Bengkulu dari Curup favoritku. Coba kamu cium aromanya, surga.” Matanya tampak berbinar. “Ini Kopi Mandailing. Semuanya harum, semuanya langka. Semuanya dari tanah Andalas, Indonesia. Negeri kita yang kaya.”
“Dan kamu menyimpannya setiap singgah ke kota-kota kemarin.”
“Semua orang menyimpannya. Mungkin cuma kamu yang tidak karena kamu sedang patah hati.” Dia terkekeh. “Aku memburu kopi-kopi itu. Dan tinggal satu, kopi Gayo.”
“Untuk?”
“Sebagai penikmat kopi, ini adalah hal yang lumrah.” Dia berkata dengan mata berbinar.
“Kamu bohong. Cepat katakan padaku.” Aku memaksa.
“Ini hadiah untuk seseorang.” Dia tersenyum lebar. “Dia sangat mencintai kopi. Dan aku sangat mencintai dia. Dia memiliki keinginan untuk memiliki kopi-kopi terbaik dari tanahnya masing-masing. Ketika aku memenangkan perjalanan ini, aku benar-benar tak berniat untuk menjadi juara. Mungkin jika aku juara, itu hanya bonus atas kesungguhanku mencari tujuh kopi di perjalanan ini. Karena aku ingin menghadiahi dia, tujuh kopi ini. Sebagai tanda sayangku padanya. Bukankah itu bentuk mencintai yang sesungguhnya. Kita rela apa pun demi dia,”
Aku tersenyum. “Dibalik sifatmu yang kekanak-kanakkan, kamu sebenarnya dewasa dan romantis.”
“Dan kamu menjadi tertarik kepadaku?” tanyanya. Matanya mengerling nakal.         
Aku menoyor pundaknya. “Jangan merayu.” Aku tertawa. Di sisa perjalanan ini, aku merasa menjadi sangat dekat dengan Top. 
“Dan aku harus melengkapi keenam kopi ini dengan kopi Gayo agar lengkap menjadi tujuh.” Dia bersemangat sekali. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, di depanku dengan penuh semangat. Dia akan mewujudkan apa yang ia angan-angankan itu.
Tetapi, hal itu tak terjadi.
# # #
Suara orang-orang berteriak-teriak di sekeliling mobil kami. Kurasakan tubuhnya tertindih sesuatu, kepalaku pening terbentur pintu. Kulihat lamat-lamat kopi-kopi Top berhamburan di mukanya yang penuh darah. Samar kurasakan tubuhku mendadak ringan. Yang kuingat, driver kami membanting stir ke kiri saat dari arah yang berlawanan sebuah truk pengangkut kopi melintas. Mobil kami terpelanting menabrak semak-semak dan terjatuh tak jauh dari sana.
# # # 
Top tak pernah tahu bahwa kopi-kopinya telah berhamburan, berserakan tanpa bentuk. Dan dia pun tak pernah kesampaian sampai ke Gayo karena luka berat di kepalanya yang membuatnya harus dirawat intensif di Jakarta. Untung saja, semua orang selamat. Hanya luka-luka kecil di sekujur tubuh. Top yang paling parah kurasa.
Aku datang sore itu. Sebagai seorang teman perjalanannya. Membawa tujuh kopi spesial yang kukumpulkan dari rekan-rekan blogger yang lain, yang sudah bisa menyentuh dataran Nol Kilometer dengan kopi dan tulisan mereka. Tentu, aku tak jadi pemenang. Tetapi perjalanan panjang yang kutempuh mengajarkanku banyak hal, bahwa sepahit-pahitnya kopi lebih pahit rasa sakit hati. Tetapi pahit kopi memiliki sisi lain, yaitu harum semerbak yang diburu di sepanjang dunia. Dan pahit sakit hati memiliki sisi lain, yaitu kita harus bangkit agar semerbak dan tak menghancurkan dunia dan impian kita.
“Untukmu,” kuserahkan tujuh kopi itu di rumah sakit.
Top mengernyitkan kening. “Apa ini?” tanyaku.
“Bukankah kamu sudah berusaha untuk mencarinya. Untuk kamu hadiahkan kepada orang yang sangat kamu cintai.” Aku tersenyum. “Ini tujuh kopi yang kamu inginkan.”
Mata Top membelalak tak percaya. “Sungguh?” Aku mengangguk. “Kamu yang terbaik.” Dia tersenyum lebar kepadaku. Senyum yang sama seperti kali pertama kulihat secara langsung di depan Monas.
# # #
Sore itu, langit berlukis putih awan dan Top memintaku untuk menemaninya. Selepas perjalanan lintas Bumi Andalas, kita memang menjadi sahabat dekat yang berbagi cerita tentang kopi dan apa saja. Sudah kuputuskan, aku tak ingin membenci kopi karena aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya. Meskipun setiap nafas yang kuhirup bercampur dengan aroma kopi, seperti menambah kesesakan di hatiku. Lagi-lagi aku harus melawan itu. Melawan kerapuhanku atas apa yang telah Andromeda ciptakan.
“Ke mana?” tanyaku. Dia tak menjelaskan segalanya. Keadaannya sudah normal untuk mengendarai Pajero Sportnya ke daerah Jakarta Selatan. Sebuah gedung dengan nuansa klasik. Top memarkir mobil tak jauh dari gedung yang tampak ramai.
“Kedai kopi?” tanyaku. Apakah ini impiannya, membuka kedai kopi? Dan sore ini adalah grand opening? Mengapa dia tak pernah cerita?
Kami disambut oleh aroma kopi dan dekorasi seperti di kedai-kedai kopi. Karung-karung kopi menjadi salah satu ornamen dekorasi, bahkan photobooth pun penuh dengan nuansa kopi. Foto-foto kopi berukuran besar ada di mana-mana; tergantung di udara, dibingkai cantik dan ditempatkan di dekat pintu masuk. Dan ada nama Top di pojok kanan setiap bingkai. Itu foto hasil karya Top saat perjalanan kemarin.
Di dekat foto gundukan kopi berukuran besar kumelihat ada foto sepasang pengantin pria dan wanita yang tampak bahagia.
“Tunggu.” Langkahku mengambang di udara. “Ini pernikahan...”
“Sesorang yang kucintai.” Dia tersenyum. “Dan aku ingin menghadiahi ini.” Dia mengacungkan sebungkus kopi yang kutahu didalamnya berisi tujuh kopi terbaik dari dataran Sumatera.
“Apa ini? Kamu....astaga,” aku menutup mulut tak percaya.
“Penyembuh luka. Bukankah ini arti mencintai seseorang yang sesungguhnya?” tanya dia. “Bukankah kamu juga membutuhkannya?”
Aku menggeleng perlahan. Tak ingin melanjutkan langkahku.
“Percayalah, aku akan menjaga hatimu,” ucapnya dengan pelan. Memantapkan hatiku. Dia mengangguk, lalu menggenggam tanganku dengan erat.
Aku tak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Apa yang ia perbuat. Ini gila.
Aku mengikutinya sampai ke dalam gedung. Kulihat pengantin pria dan wanita tampak begitu bahagia. Top menyalaminya dengan senyum lebar.
Tetapi tidak denganku. Aku, tak bisa seperti Top. Pria di pelaminan itu mengingatkan akan sakit hati yang kutanggung selama perjalanan lintas Sumatera. Pria yang membuatku jatuh cinta dengan kopi dan kemudian meninggalkanku. Pria yang kini ada di samping wanita yang pernah—atau masih Top cintai. Aku tak bisa seperti Top yang tersenyum lebar sambil berkorban untuk hal yang membuatnya patah hati.
Top memegang tanganku erat. Karena ia tahu, aku bisa saja menangis. Karena ia tahu, ia pun membutuhkan peganggan agar tidak kalah dengan perasaan lamanya.
Kuputuskan, aku tak menangis. Kuremas tangan Top agar memberiku kekuatan. Dia tersenyum. Dan aku ikutan tersenyum.
Semua ini mungkin sepahit kopi, namun aku harus menikmatinya.

PS :
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

2 comments