Kurasakan
mobil kami terguling ke samping, disusul suara derit panjang dari roda
belakang, dan jeritan keempat orang di dalamnya, kecuali Top. Dia mengucap
lantang nama Tuhan. Sebelum dahiku terbentur double blower mobil, kulihat 6 bungkus kopi yang Top pegang tampak berhampuran.
Aku belum sempat menjerit lagi. Karena serbuk kopi itu masuk ke mataku.
Membuatnya perih. Seperih hatiku, saat pertama kali mengikuti perjalanan lintas
bumi Andalas ini.
#
# #
Top tinggi
menjulang seperti Tugu Monas yang berdiri di belakangnya. Mungkin semua orang
yang ada di kerumunan sadar, dia selalu tersenyum dilengkapi dengan nyala mata
yang berbinar penuh energi. Aku pun memandangnya seperti itu, ikut tersenyum
kecil. Seolah tersuntik energi positif dari Top. Siapa yang tak mengenal dia? Tetapi energi
positif itu meredup, saat kupandang layar Iphone 6-ku yang menyala terang.
Samar-samar kubuka WA dari nama yang sudah kukenal.
“Bisa
kutelepon sebentar? Penting,” ujar orang yang mengirimiku pesan.
Tak
menunggu dia menelepon, kutelepon balik dirinya. Semenit berlalu, aku membisu.
Tatkala ia berujar dengan pelan, meminta maaf, mendeskripsikan semua keputusannya
dengan gamang. Rasanya, rotasi bumi berhenti berputar dan siang terik itu berganti
malam tak berhias bulan dan bintang. Dan aku terjebak di dinginnya kutub utara,
bahkan tak ada seekor beruang kutub pun yang menemaniku, saat ia bilang dengan
lirih—sedikit seperti merasa ada penyesalan, dan kurasa setelahnya, aku baru
sadar bahwa itu kebohongan—tanpa merasa bahwa aku akan baik-baik saja.
Aku
belum sempat menutup telepon, tetapi dia sudah tidak bersuara. Masih terngiang
suaranya yang bernada lembut, tetapi justru membuat dadaku melebar sesak. Layar
Iphone masih tak ingin meninggalkan daun telinga, saat kurasakan getaran WA
masuk. Lagi-lagi dari nama yang kukenal. Amira, sahabat dekatku, mencoba
mengirimiku sebuah gambar yang belum terunduh sempurna.
“Kamu
tahu ini?” Tulisnya. Kusentuh tombol unduh di layar. Gambar itu berubah menjadi
lingkaran yang berputar pelan, lalu perlahan berubah menjadi sebuah undangan
pernikahan dengan background yang
sangat familiar. Hidungku mendadak mencium aroma kopi di kedai. Tumpukan kopi dalam
balutan karung goni warna cokelat ada di sudut ruangan. Sengaja diletakkan agar
pengunjung dapat merasakan sendiri aroma harum kopi. Semua angan-angan itu
termigrasi menjadi selembar desain di Iphone. Berukir nama yang sangat kukenal,
bersanding dengan orang yang tak kumengerti.
Aku
tak pernah mencintai kopi, sampai aku bertemu dengannya dan aku dibuat jatuh
cinta oleh keduanya. Kopi & Andromeda, sama-sama candu di kehidupanku
kemudian. Sampai kami punya rencana panjang untuk membangun sebuah kedai kopi
sederhana di Jakarta Utara. Sebuah kedai yang menemaniku menjadi travel blogger. Dan ada dia di kedai yang
menjadi petugas operasional. Dia yang mengenalkanku akan bagaimana biji kopi Arabika
lebih kecil dan cenderung lonjong dari Robusta, namun memiliki rasa yang paling
enak. Dan Luwak akan memakan kopi selama 6 jam sebelum ia mengeluarkannya. Dia
mengenalkanku akan takaran Steamed Milk
harus lebih banyak dari Espresso ketika akan membuat Caffe Latte.
Tapi
siang ini, di awal perjalanan menjelajah Bumi Andalas yang kumenangkan dari
lomba blog, dia menghancurkan semuanya. Dia membuatku tak paham, apakah aku
masih bisa mencium kopi atau tidak.
#
# #
Kopi.
Kopi. Kopi ada di mana-mana. Harumnya sudah meretas menembus hidung ketika kujejakkan
kaki setelah perjalanan seharian lebih menembus Selat Sunda dan jalan lintas
Sumatera di Lampung. Akhirnya, kami tiba di persinggahan pertama perjalanan
ini, kota Liwa di Lampung Barat. Atribut-atribut bergambar kopi tersebar di
rumah-rumah. Kedai-kedai kecil menyambut tamu. Aku tak menemukan ada siapa pun
di dalam mobil, jadi aku turun. Dan aroma kopi langsung menyambut dan
mengingatkanku pada Andromeda.
Sial.
Mengapa aku harus mengikuti perjalanan ini?
Awalnya
memang aku mengingingkan perjalanan ini. Oke akan aku ralat, aku sangat
menginginkannya. Dan itu semua karena Andromeda mencintai kopi. Karena hadiah
dari lomba blog travel yang aku ikuti adalah menjelajah bumi Andalas dari ujung
selatan ke utara, sepanjang 3.600 Km, selama 15 hari, untuk singgah di tujuh
kota terbaik penghasil kopi di Sumatera. Apakah aku harus melewatinya? Tidak.
Karena pertama, aku tentu akan mengabadikan semua momen ini dalam foto dan
tulisan yang akan kupersembahkan untuk Andromeda. Kedua, karena hadiah tidak
bisa digantikan oleh siapa pun. Sembilan tim travel blogger dibagi dalam 3 mobil, masing-masing ditemani oleh 1
orang pemandu dan 1 orang driver.
Aku
memilih duduk di pinggir warung. Tanpa mempedulikan timku yang sedang
mewawancari penduduk setempat tentang Kopi Liwa. Kurapatkan syal merah yang
membalut leher. Udara dingin masuk dan membuat dadaku melempem. Bau kopi menyeruak
di mana-mana. Kemudian datang secangkir kopi di hadapanku dengan aroma wangi
yang berbeda.
“Minumlah.
Itu kopi campuran gingseng dan pinang. Salah satu yang khas dari Kopi Liwa.
Rasanya benar-benar ajaib. Proses sangrainya sangat lama dan memerlukan suhu
190 derajat agar mendapatkan kualitas dan warna yang sempurna.” Seseorang
menyodorkan secangkir kopi di depan hidungku. Kulirik tubuh tinggi yang kemarin
matanya tampak berbinar penuh semangat. Top kemudian duduk di sampingku. “Membuatmu
tenang. Minumlah.” Dia meraih tanganku dan memindahkan segelas kopinya di sana.
Aku
menggeleng. Dia menyipitkan matanya seolah berkata ‘yakin?. Aku mengangguk,
mengisyaratkan tak mau diganggu. Tetapi dia tetap duduk dan terus mengoceh
tentang kopi Liwa. Dia seolah tuan rumah. Mulutnya benar-benar tak berhenti,
dan kurasa dia sangat jenius karena tak sedikit pun detail yang terlewatkan.
Tunggu,
belum tahu siapa Top?
Ketik
di google. Top Ardhana. Kamu akan menemukan blog travelnya terpampang di page
pertama laman google. Fotonya jenius. Tulisannya memikat. Awal aku serius
menggarap blog travel karena aku membaca blognya. Dia adalah travel photography blogger yang sedang
naik daun. Saat aku mengetahui dia menjadi salah satu dari sembilan orang
blogger yang memenangkan perjalanan ini, ada dua perasaan yang muncul di dadaku.
Aku bangga. Tapi juga kesal. Bangga karena aku bisa bersanding dengan namanya
di nama pemenang. Kesal karena tentu dia akan menjadi sang pemenang. Siapa yang
bisa mengalahkan dia? Tapi sekarang, aku tak peduli tentang itu.
“Kulihat
sepanjang perjalanan kamu tidur atau mendengarkan musik. Seperti tidak tertarik
untuk menjadi pemenang dalam tulisan atau menyemangati tim kita agar menjadi
tim pertama yang sampai ke Titik Nol Kilometer dan memenangkan tim terbaik.”
Dia masih mengoceh. “Jika tidak tertarik, kenapa ikutan sih?”
Aku
mulai kesal dengan idolaku itu. “Kamu sendiri? Bukankah Top Ardhana, seorang travel blogger yang sudah menjadi idola
tak pantas untuk mengikuti perjalanan ini dan bersaing dengan blogger-blogger
pemula.”
“Yes, aku memang blogger terkenal dan
idola. No, aku tak merasa bersaing
dengan kalian. Karena seorang yang sudah jadi maestro pun menurutku harus tetap
belajar. DARI SIAPA PUN.”
Sial,
sombong sekali, pikirku. Aku tersudut. Dan memilih diam. Kulirik dia menyeruput
cangkir kopinya. Aku tak peduli.
“Semua
karena ini.” Dia menyorongkan segenggam kopi pekat yang belum disangrai. “Kopi
Liwa. Satu dari tujuh surga kopi di Sumatera. Kamu benar-benar tak ingin
mencoba yang asli dari tanah kelahirannya? Ini benar-benar nikmat.” Kulihat
hidung Top tampak mengembang mengempis, seolah memperlihatkan betapa nikmatnya
kopi Liwa.
Aku
menggeleng pelan. “Apa enaknya sih kopi?” Dan aku memilih pergi. Kudengar dia
berkata lirih kepadaku. “Nggak suka kopi kok ikutan lomba ini sih. Anak aneh.”
#
# #
Selepas
dari kota Liwa, kami menyelusuri lembah Sumatera selama 4 hari untuk sampai ke
persinggahan kedua. Kopi Lahat. Dan menurut pemandu tim kami, kami yang
tercepat sampai di sini. Kata Top, lagi-lagi dia tahu segalanya, dulu Lahat
sangatlah rawan keamanannya. Tapi kini jalanan mulai mulus dan sudah terang
oleh lampu-lampu di kanan kiri jalan. Tetapi aku belum menikmati perjalanan menyenangkan
ini. Bayangan Andromeda masih terus berkelebat. Sesekali kusapu air mataku yang
terlanjur jatuh tanpa sepengetahuan siapa pun. Semua orang tentu tertarik
dengan perjalanan kami, kecuali aku. Dan rasa patah hati ini semakin melebar
karena aroma kopi di sepanjang jalan.
Perjalanan
kami berlanjut ke kota ketiga, yaitu Kopi Pagar Alam. Letaknya 48 km dari kota
Lahat. Dari sepanjang perjalanan, kota ini yang menurutku paling indah. Kota
terbentang di lereng Gunung Dempo yang sejuk dan hijau. Lagi-lagi kami yang
tercepat sampai di tempat ini. Kami segera melanjutkan perjalanan lagi setelah
tim kami puas bertanya tentang Kopi Pagar Alam.
Sepanjang
perjalanan, tak henti-henti Top menjelaskan tentang kopi dan kopi. Niatnya adalah
membuat sebuah buku tentang kopi Sumatera dan perjalanan untuk mendapatkannya. Walaupun
dia terkesan sok pintar—atau mungkin karena dia memang pintar karena
pengetahuannya yang luas—dia juga suka melucu. Harus kuakui, untuk kemampuannya
yang satu ini dia sangat jago. Dia bisa mengocok perut kami berjam-jam
perjalanan. Tentunya kecuali aku, yang memilih untuk membisu. Walaupun kadang,
aku tersenyum juga karena ceritanya benar-benar lucu.
“Kamu
bisa tersenyum juga?” Dia melirikku dari bagian kemudi. Dia memaksa si driver untuk menjadi supir cadangan
karena melihat si driver mulai
kelelahan. Aku tak membalas dan hanya membalas dengan mata yang melotot. Dia
tertawa, jenis tawa yang renyah dan disukai semua orang.
Memasuki
kota keempat, rombongan semakin antusias. Sepanjang jalan, semua adalah kopi
yang terlihat. Bahkan lambang kota pun terbentuk dari kopi.
“Selamat
datang di Kopi Empat Lawang,” teriak Top sambil membuka kaca jendela dan
menjulurkan kepalanya keluar. Anak itu benar-benar membahayakan semua
penumpang. Sangat tidak pas dengan usianya yang sudah 27, pikirku. Di kota ini,
kami singgah cukup lama.
Teman
blogger yang lain sudah bergeriliya mencari info tentang Kopi Empat Lawang.
Mereka mengambil foto, mewawancarai penduduk setempat, sekaligus menikmati
kopinya.
Aku
memilih duduk di salah satu kedai yang menjual gorengan, tanpa menjual kopi. Akhirnya
aku bisa terbebas dari kopi. Terbebas dari hal yang kini kubenci karena
Andromeda penyebabnya.
“Gorengan
satu piring, Bu.” Suara yang kukenal. Tubuh jangkung Top melompat bangku yang
kududuki, lalu ia duduk di depanku. Di mulutnya ada sepotong pisang goreng yang
sudah setengah tergigit.
“Aku
sedang tak ingin diganggu,” ucapku. Aku berkata lirih, dan jujur. Tak ingin
berdebat, aku beringsut memutar badanku membelakanginya.
“Kamu
tahu, temanku pernah menulis di blog pribadinya. Orang yang sedang patah hati
itu seperti...”
“Siapa
yang patah hati?” aku menyambar.
“Dengarkan
aku dulu. Orang yang sedang patah hati itu seperti terkena Cotard’s Syndrom, sekarat dan tak ingin
hidup lagi. Dan Cortard’s Syndrom
akan menghancurkan hidup orang yang patah hati. Bahkan ia menulisnya lebih
menakutkan. Orang yang patah hati itu, seperti zombie. Setengah hidup, setengah
mati.”
“Sudah
kubilang, aku bukan sedang patah hati.”
Dia
terkekeh kecil. “Aku melihatmu dari sejak di depan Monas.” Dia memandangku
dengan sayu. Mata yang tak lagi benderang, tetapi menyejukkan. Aku menarik
nafas perlahan, seperti ingin menyembunyikan hal yang tak ingin kusembunyikan.
“Dan aku tahu, karena kamu tiba-tiba sangat tidak profesional di perlombaan
ini.”
Aku
mendelik. “Maksudmu?” suaraku meninggi.
“Kita
terpilih dari ribuan orang yang mendaftar. Kita dipercaya. Kita mendapatkan
amanah. Seperti cara mendapatkan biji kopi dengan kualitas yang terbaik, kita
ditempa oleh seleksi, alam, dan emosi. Kopi yang baik adalah kopi yang kadar
suhu saat menyangrai pas, ditanam dengan tinggi dataran tertentu, dibuat dengan
teknik yang tidak semua orang bisa. Blogger pemenang lomba ini juga seperti
itu. Ada kualitas, dibalik usaha yang maksimal.” Top menghela nafas,
menghabiskan sisa pisang gorengnya. “Dan seharusnya kamu tidak menyia-nyiakan
semua mimpimu di awal karena satu hal. Apalagi karena seseorang.”
“Kamu
tidak tahu. Kamu sangat-sangat tidak tahu apa yang kurasakan. Jadi jangan
pernah menghakimi aku kayak gini.” Aku berdiri marah.
“Jika
kamu marah, berarti semua perkataanku adalah nyata. Benar.” Dia menantangku.
Dan
untuk pertama kalinya, aku luruh dan menangis. Sore itu, entah bagaimana
semuanya berawal, aku bercerita kepadanya. Tentang Andromeda.
Top
bilang padaku bahwa aku tak sepantasnya membenci kopi. Seperti aku membenci
Andromeda. Kopi adalah kopi. Andromeda adalah Andromeda. Dua hal yang
seharusnya tidak dicampuradukkan oleh satu hal, yaitu hati. Tetapi,
Andromedalah yang membuatku jatuh cinta kepada kopi dan kini dia
mengkhianatiku.
“Dan
kamu juga akan mengkhianati kopi, seperti yang sudah mantan kamu lakukan
padamu?” tanya Top kepadaku. “Kamu mau tahu cara menyembuhkan rasa patah
hatimu?” aku menggeleng. “Kamu harus juara di sini. Dan bahagia.”
#
# #
Perjalanan
dari kota kelima, yaitu Kopi Bengkulu di Curup ke Mandailing Natal (Madina)
cukup menantang. Beberapa kali driver
dan Top bergantian. Di tengah perjalanan, Top mendadak sakit kepala dan
terpaksa harus ada di sisi kemudi. Lagi-lagi kami menjadi yang tercepat. Rute terpanjang adalah ketika harus menempuh
perjalanan ke tujuan kopi terakhir, yaitu Takengon atau orang lebih mengenal
dengan sebutan Kopi Gayo. Rute terpanjang selama perjalanan, yaitu 628 Km harus
kami tempuh untuk mendapatkan Kopi Gayo.
Aku
mulai bersemangat lagi menyisakan perjalanan ini. Kulupakan sejenak rasa sakit
hatiku. Top benar, ini semua hanya karena hati. Bahkan aku tak ingin hanya
gara-gara Andromeda, aku menghancurkan semua mimpiku. Top bilang bahwa tingkat
sekarat tertinggi orang yang patah hati adalah ketika ia kehilangan mimpinya. Aku
tak ingin dicap sebagai blogger kacangan karena tidak profesional menjalankan
amanah ini. Aku kembali menata hati. Kulihat semangat Top dan yang lain yang
membara. Mereka rajin membuat tulisan dan mengepostnya di blog saat ada sinyal
datang.
Dan
cara kerja Top adalah yang terbaik. Ia tak mengenal lelah. Saat semua orang
tidur, pernah kupergoki dia sedang mengedit foto. Atau saat semua orang sedang
bersantai-santai, dia merekap catatan wawancara di laptop. Dia selalu
tersenyum, semua penduduk asli yang mengobrol dengannya selalu tertawa oleh
leluconnya.
Satu
hal yang kutahu selepas dari Mandailing Natal, Top tak pernah mengejar juara
dalam lomba ini.
Dia
mengejar tujuh kopi dari surga kopi di Bumi Andalas, Indonesia.
#
# #
“Itu
tas apaan?” tanyaku kepada Top melihat tas merah yang selalu ada di
punggungnya. Top melepasnya, lalu membuka ikatannya dan menunjukkan kepadaku.
Ada enam bungkus cokelat di dalamnya. Kulihat lebih saksama. “Kopi?” tanyaku.
Dia
mengangguk. “Ini Kopi Liwa,” dia menunjukkan satu bungkus kepadaku. “Ini Kopi
Lahat, ini Pagar Alam, ini dari Empat Lawang lengkap dengan cap logo kota itu,
ini Kopi Bengkulu dari Curup favoritku. Coba kamu cium aromanya, surga.”
Matanya tampak berbinar. “Ini Kopi Mandailing. Semuanya harum, semuanya langka.
Semuanya dari tanah Andalas, Indonesia. Negeri kita yang kaya.”
“Dan
kamu menyimpannya setiap singgah ke kota-kota kemarin.”
“Semua
orang menyimpannya. Mungkin cuma kamu yang tidak karena kamu sedang patah
hati.” Dia terkekeh. “Aku memburu kopi-kopi itu. Dan tinggal satu, kopi Gayo.”
“Untuk?”
“Sebagai
penikmat kopi, ini adalah hal yang lumrah.” Dia berkata dengan mata berbinar.
“Kamu
bohong. Cepat katakan padaku.” Aku memaksa.
“Ini
hadiah untuk seseorang.” Dia tersenyum lebar. “Dia sangat mencintai kopi. Dan
aku sangat mencintai dia. Dia memiliki keinginan untuk memiliki kopi-kopi
terbaik dari tanahnya masing-masing. Ketika aku memenangkan perjalanan ini, aku
benar-benar tak berniat untuk menjadi juara. Mungkin jika aku juara, itu hanya
bonus atas kesungguhanku mencari tujuh kopi di perjalanan ini. Karena aku ingin
menghadiahi dia, tujuh kopi ini. Sebagai tanda sayangku padanya. Bukankah itu
bentuk mencintai yang sesungguhnya. Kita rela apa pun demi dia,”
Aku
tersenyum. “Dibalik sifatmu yang kekanak-kanakkan, kamu sebenarnya dewasa dan
romantis.”
“Dan kamu menjadi tertarik kepadaku?” tanyanya. Matanya
mengerling nakal.
Aku
menoyor pundaknya. “Jangan merayu.” Aku tertawa. Di sisa perjalanan ini, aku
merasa menjadi sangat dekat dengan Top.
“Dan
aku harus melengkapi keenam kopi ini dengan kopi Gayo agar lengkap menjadi
tujuh.” Dia bersemangat sekali. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, di depanku
dengan penuh semangat. Dia akan mewujudkan apa yang ia angan-angankan itu.
Tetapi,
hal itu tak terjadi.
#
# #
Suara
orang-orang berteriak-teriak di sekeliling mobil kami. Kurasakan tubuhnya
tertindih sesuatu, kepalaku pening terbentur pintu. Kulihat lamat-lamat
kopi-kopi Top berhamburan di mukanya yang penuh darah. Samar kurasakan tubuhku
mendadak ringan. Yang kuingat, driver
kami membanting stir ke kiri saat dari arah yang berlawanan sebuah truk
pengangkut kopi melintas. Mobil kami terpelanting menabrak semak-semak dan
terjatuh tak jauh dari sana.
#
# #
Top
tak pernah tahu bahwa kopi-kopinya telah berhamburan, berserakan tanpa bentuk.
Dan dia pun tak pernah kesampaian sampai ke Gayo karena luka berat di kepalanya
yang membuatnya harus dirawat intensif di Jakarta. Untung saja, semua orang
selamat. Hanya luka-luka kecil di sekujur tubuh. Top yang paling parah kurasa.
Aku
datang sore itu. Sebagai seorang teman perjalanannya. Membawa tujuh kopi
spesial yang kukumpulkan dari rekan-rekan blogger yang lain, yang sudah bisa
menyentuh dataran Nol Kilometer dengan kopi dan tulisan mereka. Tentu, aku tak
jadi pemenang. Tetapi perjalanan panjang yang kutempuh mengajarkanku banyak
hal, bahwa sepahit-pahitnya kopi lebih pahit rasa sakit hati. Tetapi pahit kopi
memiliki sisi lain, yaitu harum semerbak yang diburu di sepanjang dunia. Dan
pahit sakit hati memiliki sisi lain, yaitu kita harus bangkit agar semerbak dan
tak menghancurkan dunia dan impian kita.
“Untukmu,”
kuserahkan tujuh kopi itu di rumah sakit.
Top
mengernyitkan kening. “Apa ini?” tanyaku.
“Bukankah
kamu sudah berusaha untuk mencarinya. Untuk kamu hadiahkan kepada orang yang
sangat kamu cintai.” Aku tersenyum. “Ini tujuh kopi yang kamu inginkan.”
Mata
Top membelalak tak percaya. “Sungguh?” Aku mengangguk. “Kamu yang terbaik.” Dia
tersenyum lebar kepadaku. Senyum yang sama seperti kali pertama kulihat secara
langsung di depan Monas.
#
# #
Sore
itu, langit berlukis putih awan dan Top memintaku untuk menemaninya. Selepas perjalanan
lintas Bumi Andalas, kita memang menjadi sahabat dekat yang berbagi cerita
tentang kopi dan apa saja. Sudah kuputuskan, aku tak ingin membenci kopi karena
aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya. Meskipun setiap nafas yang kuhirup
bercampur dengan aroma kopi, seperti menambah kesesakan di hatiku. Lagi-lagi
aku harus melawan itu. Melawan kerapuhanku atas apa yang telah Andromeda
ciptakan.
“Ke mana?”
tanyaku. Dia tak menjelaskan segalanya. Keadaannya sudah normal untuk
mengendarai Pajero Sportnya ke daerah Jakarta Selatan. Sebuah gedung dengan
nuansa klasik. Top memarkir mobil tak jauh dari gedung yang tampak ramai.
“Kedai
kopi?” tanyaku. Apakah ini impiannya, membuka kedai kopi? Dan sore ini adalah grand opening? Mengapa dia tak pernah
cerita?
Kami
disambut oleh aroma kopi dan dekorasi seperti di kedai-kedai kopi.
Karung-karung kopi menjadi salah satu ornamen dekorasi, bahkan photobooth pun penuh dengan nuansa kopi.
Foto-foto kopi berukuran besar ada di mana-mana; tergantung di udara, dibingkai
cantik dan ditempatkan di dekat pintu masuk. Dan ada nama Top di pojok kanan
setiap bingkai. Itu foto hasil karya Top saat perjalanan kemarin.
Di
dekat foto gundukan kopi berukuran besar kumelihat ada foto sepasang pengantin
pria dan wanita yang tampak bahagia.
“Tunggu.”
Langkahku mengambang di udara. “Ini pernikahan...”
“Sesorang
yang kucintai.” Dia tersenyum. “Dan aku ingin menghadiahi ini.” Dia
mengacungkan sebungkus kopi yang kutahu didalamnya berisi tujuh kopi terbaik
dari dataran Sumatera.
“Apa
ini? Kamu....astaga,” aku menutup mulut tak percaya.
“Penyembuh
luka. Bukankah ini arti mencintai seseorang yang sesungguhnya?” tanya dia. “Bukankah
kamu juga membutuhkannya?”
Aku
menggeleng perlahan. Tak ingin melanjutkan langkahku.
“Percayalah,
aku akan menjaga hatimu,” ucapnya dengan pelan. Memantapkan hatiku. Dia
mengangguk, lalu menggenggam tanganku dengan erat.
Aku
tak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Apa yang ia perbuat. Ini gila.
Aku
mengikutinya sampai ke dalam gedung. Kulihat pengantin pria dan wanita tampak
begitu bahagia. Top menyalaminya dengan senyum lebar.
Tetapi
tidak denganku. Aku, tak bisa seperti Top. Pria di pelaminan itu mengingatkan
akan sakit hati yang kutanggung selama perjalanan lintas Sumatera. Pria yang
membuatku jatuh cinta dengan kopi dan kemudian meninggalkanku. Pria yang kini
ada di samping wanita yang pernah—atau masih Top cintai. Aku tak bisa seperti
Top yang tersenyum lebar sambil berkorban untuk hal yang membuatnya patah hati.
Top
memegang tanganku erat. Karena ia tahu, aku bisa saja menangis. Karena ia tahu,
ia pun membutuhkan peganggan agar tidak kalah dengan perasaan lamanya.
Kuputuskan,
aku tak menangis. Kuremas tangan Top agar memberiku kekuatan. Dia tersenyum.
Dan aku ikutan tersenyum.
Semua
ini mungkin sepahit kopi, namun aku harus menikmatinya.
PS :
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
bagus bangett. pagi-pagi sudah bikin galau aja..haha
ReplyDeleteTerima kasih :)
Delete