Ini lagu yang aku ciptakan untuk kamu sebelum aku meninggal. Sebelum aku kehilangan raga ini, bertemu dengan kegelapan, kesempitan, dan rasa sesal. Aku terpenjara oleh perasaanku sendiri jika mengingat lagu ini. Liriknya kubuat pada malam ketika kali pertama kulihat dirimu lagi, malam setelah sekian tahun kita terpisah jarak dan waktu.
Aku. Kamu. Saat itu, hanya ilusi yang
terbelenggu oleh kesalahan. Oleh kepedihan perasaan. Bagaimana bisa aku
terseret dalam pesonamu? Apakah ini kesalahan waktu? Atau kesalahan lagu, yang
kuciptakan untukmu, Talita.
# # #
Malam di mana bintang bercahaya terang. Nyala
api unggun menghangatkan malam yang dingin. Ada sekumpulan anak-anak remaja
kelas XI SMA, membuat lingkaran besar, mereka berpakaian cokelat muda serta tua
yang dipadukan. Dan aku salah satu di antara mereka. Duduk di pojokan,
memainkan lirih gitar. Sementara di tengah lingkaran, ada seorang lelaki
bertampang keren sedang memainkan gitar. Dia membuat semua gadis-gadis berbisik
lirih, sebagian menjerit senang, sebagian memuji. Dia sangat populer, sementara
aku tidak.
Aku tak bisa menikmati lagu yang anak lelaki
itu mainkan. Aku tak bisa melihat api yang menjilat-jilat. Aku bosan. Petikan
gitarku tak beraturan. Aku pun berjalan seorang diri, gitar kugantung di
pundak. Aku bilang pada seorang teman, aku ingin ke toilet. Tak ada yang
peduli, kecuali seorang gadis yang sedari tadi menatapku. Aku tahu, sejak awal
masuk SMA dia selalu memperhatikanku. Berkebalikan denganku, aku tak pernah
memperhatikannya.
Malam sedingin ini memang lebih enak menyulut
satu batang rokok ditemani segelas minuman beralkohol. Aku duduk di depan kamar
mandi. Kuisap rokok mentol perlahan. Segelas vodka di tangan kiri, kuteguk
perlahan. Pikiranku mengembara. Satu persatu jejak kehidupanku berloncatan di
pikiran. Ayahku yang suka memukul, otoriter, dan dengan segala dayanya
memaksaku untuk selalu memenuhi permintaannya. Ibuku yang terlalu penyayang kepadaku,
yang terlalu lemah untuk menghadapi kekejaman ayah. Dan aku, seorang remaja SMA
kelas XI yang belum tahu apa-apa, termasuk cinta. Karena cinta belum bisa
membuktikan padaku apakah dia bisa membuat manusia bahagia. Kedua orang tuaku
contohnya. Mereka disatukan oleh cinta, kan?
Aku tak percaya cinta. Sampai suatu kejadian
di malam itu. Karena dia.
Aku masih mendentingkan gitar. Lirih. Namun
suaranya tak mengalahkan suara dendangan kecil dari toilet cewek. Aku
menghentikan petikan gitarku, lalu berjalan pelan menuju arah asal suara.
Langkahku terhenti, saat suara itu semakin dekat. Kami bertemu di depan pintu.
Dia terlihat kaget. Begitu pun dengan diriku.
Mataku menatapnya ragu. Matanya balas menatapku. Mata yang indah. Bulu mata
yang lentik, mata yang penuh isi dan memperlihatkan kecerdasannya. Siapa di
sekolah ini yang tak mengenal dia? Pintar, cantik, selalu menyabet juara umum.
Dan terakhir aku baru tahu, dia memiliki suara yang indah.
“Hai,” sapanya. Dia tersenyum kecil. Mulutnya
belepotan sambal bubuk yang kurasa berasal dari makanan ‘lidi-lidian’ di
tangannya. Dia seperti menahan rasa pedas di mulut. “Mengapa tidak
bergabung dengan yang lain?”
“Seharusnya pertanyaan itu kuajukan kepadamu.
Mengapa cewek juara umum di sekolah ini tidak ikut berkumpul dan justru malah
nyanyi-nyanyi di toilet sambil makan ‘lidi-lidian’?” mataku melihat tangan
kirinya.
Dia mengangkat makanannya. “Mau?” tanyanya,
tak menjawab pertanyaanku. Dia mengambil sebatang, lalu menempelkannya di
mulutku.
Aku membuka mulut, lalu kugigit lidi itu.
Memang pedas ternyata.
Dia menyerobot gelas di tanganku. “Tapi tak
ada yang gratis, Anak Muda. Sorry, aku kepedesan.” Dia meminum air di gelas
itu. Aku baru saja akan berkomentar, namun terlambat. Dia seperti menyadarinya,
bahwa minuman itu bukanlah air mineral.
“Itu vodka,” ujarku lirih.
Dan dia menyemburkan air di mulutnya ke
mukaku.
# # #
Ada sebuah lirik di lagu yang kucipta untukmu
karena pertemuan kita.
Kita
bertemu karena satu kesalahan, tapi aku justru terperdaya.
Oleh
kamu, Cinta.
Bola
matamu yang berkata, bahwa cintamu boleh untukku.
Sejak malam itu, aku justru tertarik padamu.
Aku terpedaya oleh semua hal tentangmu. Tak pernah terbayangkan olehku, kita
yang beda kelas akhirnya justru sering bertemu. Di kantin, di halaman sekolah,
saat aku bermain basket. Senyumku selalu mengembang saat aku melihatmu, dan
kulihat kamu pun begitu. Oh, apakah saat itu kamu tertarik padaku? Aku tak
tahu.
Dan di setiap keheningan malam, di mana aku
tak pernah bisa tidur sesore mungkin, aku merenung di depan rumah. Seperti
biasa, kupetik gitar sambil kupandangi bintang yang menertawakanku. Akulah
lelaki yang kesepian karena mendambakan seorang wanita yang memiliki mata
indah.
“Tuhan, apakah aku bisa setiap waktu
melihatnya?” aku bertanya, sambil kupejamkan mata.
# # #
Aku sekelas dengannya saat kelas XII.
Sepertinya Tuhan mendengarkan doaku malam itu. Aku kini bisa melihatmu setiap
waktu.
Aku dan kamu semakin dekat saja. Apakah kamu
tahu, aku selalu deg-degan setiap kali berdua denganmu saja?
Namun satu yang tak pernah aku katakan padamu
hingga akhir perpisahan kelas XII, bahwa aku mencintamu. Aku menginginkanmu
jadi pacarku.
Ada sebuah padang rumput di belakang sekolah.
Di satu sisinya, berderet pohon-pohon rindang yang memberikan kesejukan saat
siang hari. Aku dan kamu sering nongkrong di situ untuk melepas penat. Kamu
sering bercerita bahwa kamu ingin sekali bekerja di FMCG, sementara aku
bercita-cita menjadi musisi.
“Coba kamu dendangkan satu lagu untukku,”
ucapmu waktu itu.
“Apa?” Jreeenggg…kugenjreng gitarku.
“Apa saja, yang asyik.”
Aku berpikir sejenak. “Baiklah,” Jreeenggg. “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga,
hai begitulah kata para pujangga….” Aku bernyanyi dengan cengkok yang kubuat-buat.
Kamu memukulku. “Maksudku, bukan yang seperti
itu. Mungkin bisa yang lebih romantis.”
“Aku tak bisa. Aku tak pernah nyanyi lagu
romantis.”
“Aku sering mendengar adik kelas kita sering
berbisik-bisik ‘Suka deh kalo Kak Aryo lagi main gitar trus nyanyi lagu
romantis, terkesan keren’. Apakah kamu tidak mau bergombal padaku seperti itu?”
Kamu memicingkan mata.
“Pasti mereka salah dengar.”
“Ayolah,”
Aku menggeleng.
“Kalau begitu, ciptakan satu lagu untuku.”
Kamu tersenyum. Matamu menatapku, lembut. “Ciptakan lagu yang romantis
untukku.”
Aku hampir mengangguk, tetapi anggukanku
kalah cepat oleh suara bel masuk kelas berikutnya. Tetapi aku berjanji dalam
hati, aku akan menciptakan lagu untukmu. Suatu hari. Dan aku akan
menyanyikannya untukmu.
Tapi itu tak pernah terjadi, sampai ajal
menjemputku.
# # #
Ini lagu yang kuciptakan untukmu sebelum aku
pergi.
Malam-malam kesepian selama hampir lima tahun
adalah malam menyiksa sepanjang hidupku. Kamu pindah ke Bandung ikut orang
tuamu, sementara aku masih tinggal di Yogya. Kita berpisah, tak pernah
berhubungan lagi seperti dulu. Hanya komen-komen nggak penting di facebook yang
menyatukanku denganmu. Itu pun hanya berlangsung sebentar. Karena dua tahun
setelah kepergianmu, kulihat status di facebookmu berubah. Kamu tak lagi
sendiri. Kamu pacaran dengan seorang kakak angkatan. Kulihat fotomu tak lagi
seorang diri. Kamu bersamanya.
Malam-malamku menjadi kelabu. Aku semakin
sering merokok, aku semakin sering menelan alkohol. Belum lagi kehidupan rumah
yang semakin memanas. Ayahku ketahuan selingkuh, dan ibuku hampir saja bunuh
diri. Aku kemudian melarikan diri dari rumah meninggalkan kepenatan. Aku pergi
ke ibu kota untuk bekerja sebagai pembantu umum di bandar udara.
Aku ingin melupakan Yogya. Aku ingin
melupakan rumah. Aku ingin melupakanmu.
Dua tahun aku di Jakarta. Suatu malam, aku
berjalan seorang diri di toilet bandara. Lalu aku melihatmu. Sungguh, aku masih
mengingatmu.
Sekarang parasmu semakin cantik. Kamu
berpakaian sangat rapi.
Aku pura-pura tak melihat, lalu aku ingin
berjalan cepat menjauhimu. Tetapi kamu memanggilku.
“Aryo,” panggilmu.
Aku menoleh. Berdiri kaku. Kulihat pakaianku
yang sangat berantakan hari ini. Sebagai seorang cleaning service mana mungkin aku bisa dandan rapi sekarang ini.
“Hai,” seruku.
Dia mendekat. “Masih ingat aku?”
Aku mengangguk. “Bagaimana aku bisa lupa
denganmu dan makanan lidi-lidian itu?” aku menunjuk tangan kirinya.
Dia tertawa. “Mengapa kita selalu bertemu di
toilet sih?”
Aku ikut tertawa.
# # #
Setelah lima tahun, aku dan kamu mengobrol
lama di bandara. Aku melupakan kerjaanku, dan tak peduli saat atasanku
mengontakku. Telepon aku matikan. Kamu juga melupakan rencana untuk segera
balik ke rumahmu di Pasar Minggu.
Kamu bercerita bahwa kamu adalah seorang
planner di bagian produksi di salah satu perusahaan FMCG, seperti cita-citamu
dulu. Kita mengingat-ingat saat masa-masa sekolah dulu. Kamu tersenyum, kamu
tertawa, kamu terharu.
Dan aku hanya bisa mendengar. Sambil menekan
perasaanku. Karena sampai detik ini pun aku masih mencintaimu. Karena sampai
detik ini, pesonamu masih membiusku. Aku hanya bisa menghisap rokok-rokokku
sambil terus mendengarnya, mengusir rasa sesak di dada.
“Kapan kamu berhenti merokok,”
“Sampai ajal menjemput.”
“Masih suka minum juga?”
“Kadang.”
Dia tersenyum kecil. “Kamu tak banyak
berubah.”
Aku terdiam.
“Kamu masih sendiri?” tanyamu tiba-tiba.
Aku mengangguk. “Kamu?” aku berharap dia
mengatakan hal yang sama.
Dia menggeleng. “Anakku baru dua tahun. Dia
sangat lucu. Namanya Boy.”
Aku tersenyum. Meskipun aku sudah menyiapkan
perasaanku selama 5 tahun ini, namun masih saja ada rasa sesak di dadaku.
Tanyaku kemudian, “Mengapa tidak mengundangku?”
Dia berhenti tersenyum. “Jika aku
mengundangmu, apakah kamu mau menyanyikan lagu ciptaanmu yang kau janjikan dulu?”
# # #
Hidup seperti sebuah novel dengan Tuhan
sebagai pengarangnya. Dia bisa menuliskan kapan kita lahir, Dia juga bisa
menuliskan kapan kita akan tiada.
Dan hari itu Dia menuliskan tanggal ajalku.
Hari setelah aku bertemu kembali denganmu. Hari setelah aku menuliskan lagu
untukmu. Hari di mana aku berjanji, tak akan mengingatmu lagi, tak akan
menemuimu lagi.
Suatu siang di tengah sibuknya suasana di
Bandara, aku jatuh pingsan setelah sejam sebelumnya aku terbatuk-batuk sangat
keras. Terakhir aku melihat aku mengeluarkan darah dari mulutku.
Aku tak ingat apa-apa. Yang kutahu, setelah
terbangun, aku melihat aku sudah di rumah sakit. Semua menangis. Aku berdiri di
samping tubuhku sendiri. Mukaku pucat. Detik kemudian dokter menutup seluruh
tubuhku. Dan seorang malaikat yang berdiri di sampingku menuntunku untuk menuju
sebuah pintu bercahaya.
Aku berjalan. Aku masih sempat membaca sebuah
poster di lorong rumah sakit “Peringatan Pemerintah : Merokok Membunuhmu”
dengan gambar ilustrasi paru-paru yang menghitam.
# # #
8 tahun kemudian. Namaku Talita.
Aku mengantarkan Boy, anakku, yang kini sudah
duduk di kelas 4 sekolah dasar. Ayahnya hari ini sedang tugas keluar kota, jadi
aku yang bertugas mengantarkannya. Anak itu tampak gembira berbaur dengan
teman-temannya. Sebelum dia pergi, aku sempat berpesan kepadanya di dalam
mobil.
“Ingat Boy, dilarang jajan sembarangan.”
“Tapi boleh minum es, kan?”
Aku mendelik.
“Cokelat?”
Aku semakin mendelik.
“Ah, Mami nih menghambat kebahagianku,”
Aku tertawa. Dari mana dia menemukan
kata-kata ‘sedewasa’ itu?
“Gorengan?”
“Boy,” aku pura-pura menggertak.
“Trus?”
“Harus selalu memperhatikan guru.”
“Lalu”
“Coba kamu sebutkan lagi pesan-pesan Mami.”
“Tidak boleh pulang sendiri. Trus…” Boy
mencoba mengingat. “Jangan lupa untuk berlatih gitar.” Dia tertawa.
Tawa itu seperti mengingatkanku pada
seseorang.
“Boy ingin menjadi seorang musisi,”
celetuknya. “Ingin seperti Ahmad Dhani.”
“Apapun, asal sekarang sekolah yang bener.
Cepat, sebutkan apalagi. Sebelum bel berbunyi.”
“Oh iya, jangan merokok atau dekat-dekat
orang yang merokok. Mami pernah cerita kan ada teman SMA mami yang meninggal karena
kanker paru-paru karena merokok? Aku juga tak ingin seperti dia. Nanti kalo aku
mati sebelum jadi musisi, aku bakal menyesal. Apalagi kalo aku belum menyatakan
cinta kepada Sisil, teman sekelasku. Upsss….” Boy menutup mulut.
Aku mengelus kepala Boy. Aku bukannya
mempermasalahkan dia yang sudah ikut-ikutan terbawa arus FTV yang mengajarkan
anak kecil untuk pacaran. Bukan itu. Namun karena dia mengingatkanku padanya. Seseorang
yang dulu pernah ada di hari-hariku saat SMA.
Boy berbaur dengan teman-temannya. Aku
merenung di dalam mobil.
Sebuah email masuk.
Dari: aryo.herlambang@gmail.com.
Aku tertegun. Aryo?
# # #
Aku
Aryo.
Kemarin aku bertemu dengannya, cinta pertamu
saat SMA. Dan aku ingin memberi kejutan padanya. Aku ingin mengiriminya sebuah
lagu lewat email di warnet samping kosan. Sebuah lagu yang kuciptakan untuknya
kemarin, sebuah janji yang ingin aku penuhi. Janji beberapa tahun lalu saat
kami berdua mengobrol di belakang sekolah.
Aku hampir saja menekan tombol sent di email. Lalu aku teringat
ucapannya kemarin saat kami bertemu lagi setelah sekian tahun.
“Aku
sudah menikah. Dan sekarang aku sudah punya anak. Namanya Boy. Boy Happi. Dia
sangat lucu.”
Aku tertegun. Apakah aku akan merusak
kehidupannya sekarang dengan kisah picisan masa lalu? Kisah seorang lelaki yang
tak berani mengungkapkan perasaannya? Kisah seorang pecundang?
Aku menjauhkan kursor dari tombol sent.
Tapi aku sudah berjanji padanya bahwa aku
akan membuatkan sebuah lagu. Aku tak ingin dia kecewa. Maka, kucari cara untuk
mengirimkan email dengan waktu yang kutentukan. Kuinstal sebuah plugin di akun gmailku.
Kuarahkan kursor ke arah tombol pengaturan pengiriman di email. Kuatur tanggal
pengirimannya untuk delapan tahun kemudian.
Sent.
Bertepatan dengan itu, aku terbatuk. Kututup
dengan tanganku. Beberapa hari ini aku memang suka batuk-batuk.
Saat tanganku terlepas dari bibir, kulihat
tangan itu ada bercak merah. Merah darah.
# # #
From : aryo.herlambang@gmail.com
Subject : Hi. Menepati janji.
Hai,
Apakah masih ingat dengan percakapan kita saat di belakang sekolah
dulu? Mungkin kamu lupa, tapi aku mengingatnya.
Kamu pernah memintaku untuk membuatkan sebuah lagu. Aku tak pernah
tahu, apakah kamu serius saat itu atau tidak. Tapi aku menganggapnya serius.
Aku hampir saja menyanyikan sebuah lagu yang kuciptakan saat itu juga, tapi
gagal karena keduluan bel masuk kelas.
Jadi setelah 5 tahun tak bertemu kamu, aku akan menepati janjiku.
Mungkin sekarang sudah 13 tahun yang lalu setelah kamu meminta. Tapi aku akan
menepatinya.
Semoga kamu suka.
Salam sayang dariku, yang mungkin sudah di surga.
Aryo Herlambang.
Aku menekan tombol download di sebuah file
lagu dengan nama ‘LAGU TENTANG KAMU’
Lalu aku mendengarkannya.
Lagu
tentang kamu,
Bulan
tak pernah tahu keindahan matamu, dia tak bisa menandinginya
Bintang
tak pernah tahu keelokan parasmu, dan dia tak bisa menandinginya
Betapa
rindu ini selalu menggebu
Kita
bertemu karena satu kesalahan, tapi aku justru terperdaya.
Oleh
kamu, Cinta.
Bola
matamu yang berkata, bahwa cintamu boleh untukku.
Apakah
selalu butuh alasan untuk mencintaimu?
Matamu
hanyalah sebuah materi, tentang cara mencintai,
Senyummu
hanyalah elegi, tentang perihnya rasa ini.
Jika
rindu ini hanyalah bayang-bayang semu
Biarkan
dia larut dalam belenggu waktu
Jika
cinta ini tak lagi bisa memberi
Biarkan
lagu ini yang memberikan arti
Jauhlah
cinta tak bisa memberi, tak bisa menerima
Karena
apa yang kita miliki, kadang bukan yang kita cintai
Jika
ini hanyalah kisah picisan
Biarkan
ini menjadi kenangan
Untuku
Di masa
itu
Karena
aku pernah mencintamu
Mataku meneteskan air mata. Suaranya masih
seperti ada di depanku. Dia masih seperti duduk di sampingku seperti saat dulu
di belakang sekolah.
Dia tadi bertanya apa? Aku melupakannya?
Tidak, aku tidak pernah melupakannya.
Aku ingat setiap detik bersama dia. Aku ingat
setiap obrolan bersamanya. Aku masih ingat bahwa aku pernah meminta sebuah
lagu.
Dan aku menunggu.
Aku selalu menunggu kamu mengungkapkan
rasamu, Aryo.
Tapi itu tak pernah terjadi. Tak pernah.
Apakah ini salah seorang wanita, yang harus selalu tersakiti karena menunggu.
Menunggu seorang pria mengungkapkan perasaannya?
Sampai rasa sabarku mulai memudar. Rasa
cintaku memudar. Aku tak lagi menunggunya. Karena aku bosan. Aku butuh
kepastian.
Padahal, aku tahu…aku juga pernah
mencintaimu, Aryo.
# # #
*untuk
mengingat seseorang di masa lalu. How I miss u.
wah ceritanya bagus :)))
ReplyDeleteThank you :)
DeleteDalem banget nih cerita. Oh ya, kunjungin blog gue ya.. saling feedback.
ReplyDeletesip...
DeleteIni kisah klasik, tapi sepertinya semua orang hampir mengalaminya, menunggu cinta...
ReplyDeleteIya, gak?
Kita bisa memilih untuk mencintai siapa...meskipun tak dimiliki. Right?
DeleteRapi banget ceritanya. Walau gregetan sama orang yang enggak punya keberanian buat ungkapkan perasaan. Jadi inget MV Taeyang yang Wedding Dress. Kurang lebih intinya sama, enggak berani bilang suka. :')
ReplyDeleteBetewe aku juga suka bikin cerita, maen ke blogku yah... ^^
Psst aku udah join site-nya loh...
Oke :)
Delete