Tuan Mata meninggal.
Aryanda Putera sudah menyiapkan diri untuk mengabarkan berita itu di depan para Chief Rantai dan para kolega. Meskipun beberapa diantara mereka hanyalah berupa hologram, namun rasa gugup itu tetap ada. Meeting kali ini mungkin akan terlihat berbeda dari biasanya. Tak ada laporan keuangan ataupun membahas strategi bisnis. Kenyataannya memang seperti itu. Arya harus menyampaikan berita itu. Meskipun dia mencoba untuk bersikap tenang, tetapi jauh di dasar hatinya masih ada rasa was-was untuk menyampaikan berita ini.
Aryanda Putera sudah menyiapkan diri untuk mengabarkan berita itu di depan para Chief Rantai dan para kolega. Meskipun beberapa diantara mereka hanyalah berupa hologram, namun rasa gugup itu tetap ada. Meeting kali ini mungkin akan terlihat berbeda dari biasanya. Tak ada laporan keuangan ataupun membahas strategi bisnis. Kenyataannya memang seperti itu. Arya harus menyampaikan berita itu. Meskipun dia mencoba untuk bersikap tenang, tetapi jauh di dasar hatinya masih ada rasa was-was untuk menyampaikan berita ini.
Semuanya sudah terjadi. Tak ada perdebatan
apapun dari mereka. Berita kebangkrutan perusahaan ini tentu bukan berita
kemarin sore dan sudah menjadi perbincangan di setiap meeting. Tiga bulan terakhir laporan keuangan terus menunjukkan kemunduran. Disinyalir ada hubungannya dengan Tuan Mata yang sakit-sakitan sejak
setahun lalu. Perusahaan mulai goyah dan beberapa proyek terbengkalai dengan
sendirinya.
Tak banyak yang menyangka bahwa perusahaan
yang sudah memasuki tiga generasi itu menunjukkan kehancurannya tiga tahun
belakangan ini. Kondisinya semakin parah setahun lalu, setelah Tuan Mata
beberapa kali masuk rumah sakit dan terpaksa harus melimpahkan beberapa
pekerjaannya kepada orang-orang kepercayaannya, termasuk Arya. Hanya saja, perusahaan
ini memang tak bisa diselamatkan lagi. Bahkan di detik terakhir kehidupan Tuan
Mata. Tuan Mata mengembuskan napas terakhir seminggu lalu. Dan hari ini, Arya sebagai
tangan kanan Tuan Mata, diberi tugas untuk menyampaikan berita itu kepada semua karyawan Mata Rantai.
Sesuai tradisi, kematian pemimpin Mata Rantai
tak boleh disebarluaskan. Pemakaman hanya dihadiri oleh sanak saudara terdekat.
Anak-anak Tuan Mata datang di tengah kesibukan mereka. Adalah Andra, anak
pertamanya, yang kini memilih untuk tinggal di luar negeri bersama istri dan
anaknya, dan bekerja di salah satu perusahaan multi international. Anaknya yang
kedua bernama Andrea dan kini ikut suaminya yang bekerja di Papua. Sedangkan istri Tuan Mata sudah meninggal tiga
tahun lalu.
Kehilangan istri tiga tahun lalu adalah titik
kelemahan Tuan Mata. Dia seperti kehilangan arah karena tak ada yang
mendukungnya untuk melanjutkan perusahaan keluarga ini. Kedua anaknya bahkan
dengan jelas menolak untuk menggantikan ayahnya. Hal itulah yang membuat Tuan
Mata sedih hingga akhir hidupnya.
Tak boleh ada berita yang bocor tentang
kepergian Tuan Mata. Pun dengan para kolega-kolega yang memang sudah menduga
bahwa hal ini akan terjadi. Dan sesuai tradisi juga, kematian itu baru dapat
diumumkan seminggu setelah pemakaman. Tepatnya hari ini.
Hari ini, para karyawan Mata Rantai, lima Chief Rantai, Kepala Departemen, kolega-kolega Tuan Mata bertatap muka. Ada yang berwujud nyata, ada pula yang hanya berupa hologram karena mereka berada di luar Jakarta. Mereka berkumpul di area utama perusahaan ini, tepat di lantai paling atas. Ruangan berbentuk bulat dan tampak luas karena di kelilingi oleh cermin. Atapnya terbuat dari kaca tebal yang tidak memancarkan panas matahari dan bisa digelapkan jika diinginkan. Jika langit cerah, orang yang ada di dalamnya bisa melihat awan putih berarakan. Dari satu sisi dinding, muncul siluet cahaya yang membentur dinding lain. Di sanalah, para hologram bermunculan.
Arya berdiri di panggung didampingi oleh para asisten Mata Rantai yang lain dan tentunya kedua anak Tuan Mata. Dia akan sudah membacakan surat terakhir dari Tuan Mata untuk para karyawan dan kolega. Karyawan yang lain berdiri di depan panggung.
Pengumuman yang tak pernah diketahui oleh siapapun itu, mengejutkan semua orang.
“Tak ada yang bisa menggantikan kepiawaian Tuan Mata membangun Mata Rantai. Dia pekerja keras.” Arya hampir menyeka matanya karena haru. Suasana di ruang meeting utama Mata Rantai tampak sendu. Semua orang yang datang tampak diam mendengarkan.
Hari ini, para karyawan Mata Rantai, lima Chief Rantai, Kepala Departemen, kolega-kolega Tuan Mata bertatap muka. Ada yang berwujud nyata, ada pula yang hanya berupa hologram karena mereka berada di luar Jakarta. Mereka berkumpul di area utama perusahaan ini, tepat di lantai paling atas. Ruangan berbentuk bulat dan tampak luas karena di kelilingi oleh cermin. Atapnya terbuat dari kaca tebal yang tidak memancarkan panas matahari dan bisa digelapkan jika diinginkan. Jika langit cerah, orang yang ada di dalamnya bisa melihat awan putih berarakan. Dari satu sisi dinding, muncul siluet cahaya yang membentur dinding lain. Di sanalah, para hologram bermunculan.
Arya berdiri di panggung didampingi oleh para asisten Mata Rantai yang lain dan tentunya kedua anak Tuan Mata. Dia akan sudah membacakan surat terakhir dari Tuan Mata untuk para karyawan dan kolega. Karyawan yang lain berdiri di depan panggung.
Pengumuman yang tak pernah diketahui oleh siapapun itu, mengejutkan semua orang.
“Tak ada yang bisa menggantikan kepiawaian Tuan Mata membangun Mata Rantai. Dia pekerja keras.” Arya hampir menyeka matanya karena haru. Suasana di ruang meeting utama Mata Rantai tampak sendu. Semua orang yang datang tampak diam mendengarkan.
“Pertanyaannya, siapakah yang akan
menggantikan beliau? Tuan Mata memiliki 2 orang anak, lelaki dan perempuan.
Namun, kabarnya mereka berdua tak mau meneruskan bisnis keluarga ini.” Ronero, Chief Rantai Perusahaan Kontraktor, Building The Sun, memotong ucapan Arya.
“Belum ditentukan,” ucap Arya. Sebelumnya dia melirik kedua anak Tuan Mata di sisi kirinya.
Terdengar gemuruh perbincangan di ruangan
itu. Arya memandang satu persatu yang hadir di sini. Mereka tampak berbincang
lirih satu sama lain.
“Secepatnya akan kami putuskan,” sambung Arya
kemudian. “Tuan Mata sudah menyebutkan beberapa kandidat yang akan menggantikan
beliau.”
Ronero menyela kembali. “Kami tak bisa
menunggu terlalu lama. Perusahaan ini harus segera mengambil sikap atas beberapa kekacauan setahun belakangan. Mungkin dengan mengurangi anak perusahaan, atau proyek-proyek bayangan yang tak menghasilkan.”
“Apakah proyek dan revenue di perusahaan Bapak sudah cukup positif?” tanya Alexa Crain, Chief Rantai Perhotelan & Mall. Dia dikenal bertangan dingin dalam urusan bisnis. Selain menjadi Chief salah satu anak perusahaan Mata Rantai, dia memiliki beberapa bisnis lain. Tak heran jika dia masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Beberapa orang sering bilang bahwa bekerja di Mata Rantai hanyalah sebagai sampingan saja. Di usianya yang ke-40 sekarang, dia masih bisa memperbesar kekayaannya. Hal ini ditunjang juga dengan kepiawaian dia berkomunikasi
dengan orang lain dan juga wajahnya yang rupawan. “Kecuali jika bisnis batu bara Bapak di luar Mata Rantai mulai bangkrut,” sambung Alexa.
Para Chief yang lain terkekeh. Alexa
melirik Arya seolah memberi isyarat agar dia tidak menghiraukan si arogan.
“Baiklah, meeting
kali ini saya cukupkan sampai di sini. Dan sesuai tradisi, Bapak-bapak
semua diperbolehkan untuk mengunjungi makam Tuan Mata setelah makan siang. Tentu saja bagi yang di luar kota bisa mengunjungi lain waktu. Terima kasih atas kerja samanya. Selamat siang.”
Orang-orang mulai berdiri dan saling berbicang.
“Tak perlu kamu hiraukan omongan Ronero, Pak
Aryanda.”
Arya menoleh dan mendapati si Alexa sudah berdiri di sampingnya. Dia tersenyum kecil. Beberapa orang yang lain mulai mengikuti arahan petugas untuk ke makam Tuan Mata yang ada di belakang gedung. Aryanda dan dua asisten lainnya--Ariana dan Janero--masih ada di ruangan ditemani oleh beberapa kolega.
“Saya turut berduka atas kematian Tuan Mata.
Berita ini sangat mengejutkan kami. Beliau adalah pemimpin yang baik. Saya belajar banyak dari beliau.”
“Ya, beliau orang baik.” Arya kembali
tersenyum, mencoba bersikap ramah kepada Alexa.
“Oh iya, sebenarnya hal ini tidak pantas saya
utarakan sekarang ini. Waktunya sepertinya tidak tepat. Tetapi mumpung saya ada
di sini, saya ingin menyerahkan ini.” Alexa mengulurkan sebuah undangan tebal
dengan kertas berteksur kepada Arya, Ariana, dan Janero.
“Galeri Mahakarya?” tanya Ariana.
“Proyek pribadi di Jogja. Sebuah galeri seni
koleksi milik pribadi yang saya bangun di lereng Merapi. Saya sangat menyukai
wilayah Merapi, maka saya pun berinisiatif untuk membuat sebuah galeri seni
yang bisa memajang koleksi pribadi dan sekaligus bisa menjadi tontonan bagi
masyarakat. Pendapatan dari galeri itu nantinya 100% akan saya sumbangkan untuk
panti asuhan di daerah sana.”
“Fantastis,” ujar Janero. “Kami usahakan akan
datang di pembukaannya.”
“Kalian harus datang sebagai perwakilan Mata
Rantai. Sebenarnya saya juga mengundang Tuan Mata, namun karena….ah sudahlah.
Saya tiba-tiba ikut sedih jika harus mengingat ini.”
“Akan saya agendakan, Tuan Alexa," kata Arya.
“Tentu. Mungkin kalian juga akan mengajak pemimpin
Mata Rantai yang baru nantinya. Jika sudah terpilih. Saya juga penasaran, siapa
sebenarnya para kandidat itu.”
“Tak lama lagi, saya akan mengundang Anda dan
para kolega untuk datang menyaksikan pengukuhan pemimpin yang baru. Seleksi
sedang dilakukan sekarang.”
“Bukankah seharusnya dari keluarga sendiri. Siapapun dia, saya harap para kandidat adalah orang yang tepat pilihan Mata Rantai dan akan melanjutkan nahkoda kepemimpinan di sini."
Arya memandang Alexa sekilas, lalu mengangguk
kecil. “Tentu saja,” ujarnya.
###
Para
kandidat?
Arya menertawakan sendiri kebohongan dirinya.
Ini adalah salah satu lelucon yang sudah ia siapkan hari ini untuk menutupi
fakta bahwa tak ada para kandidat, yang ada hanyalah kandidat utama. Tetapi
sesuai pesan dari Tuan Mata, dia tak boleh membocorkan rahasia ini kepada
siapapun. Termasuk kepada para karyawan Mata Rantai, orang-orang kepercayaan
Mata Rantai yang lain. Yang tahu hanya Tuan Mata, dirinya, dan Dilan--pengacara pribadi Tuan Mata.
Tepatnya dua minggu yang lalu, saat Jakarta
mulai diterjang dengan hujan lebat dan banjir menggenang di mana-mana, Tuan
Mata memanggilnya untuk datang ke kamarnya. Saat itu tepat pukul sepuluh malam
dan di luar rumah masih terdengar hujan turun.
Arya baru saja menyelesaikan pekerjaan di
Mata Rantai, sebuah kasus poltergeist
di daerah Jakarta Selatan. Dia sebenarnya ingin bersantai di kamarnya sambil
membaca Sherlock Holmes. Kamarnya adalah bagian dari bangunan Mata Rantai yang sengaja disiapkan untuk dirinya. Sudah hampir 25 tahun dia mengabdi untuk
Tuan Mata sebagai asisten kepercayaan.
Kondisi tubuh lima puluh tahunnya sekarang
memang tak bisa dipungkiri. Meskipun dia terlihat masih sangat tegap, tetapi
beberapa kali dia sudah harus istirahat jika bekerja terlalu keras. Uban di
rambutnya seharusnya menjelaskan kondisi tubuhnya, tetapi ia selalu menutupinya
dengan cat warna dan juga senyum
semangat yang tak pernah luntur. Hal yang diajarkan oleh Tuan Mata
kepadanya.
Perbincangan Arya dan Tuan Mata malam itu
dibuka dengan lelucon-lelucon kecil seperti biasa. Tuan Mata adalah orang yang
humoris. Dia juga sangat suka bercerita. Dan kedua orang ini seperti sebuah USB
yang menemukan portnya. Arya adalah pendengar yang baik, sementara Tuan Mata
adalah pencerita yang baik. Selama hampir dua jam mereka berbincang.
Arya beranggapan bahwa Tuan Mata memang
membutuhkan seorang teman untuk bercerita malam ini. Dia tampak lebih bisa
tertawa daripada hari-hari sebelumnya yang hanya terbaring dan sesekali bangun
untuk minum obat dari asistennya yang lain. Ternyata anggapan itu salah.
Setelah puas bercerita, Tuan Mata mulai
terlihat serius. Arya sangat ingat perubahan air muka Tuan Mata yang mendadak
tegang.
Dia mulai membicarakan kelangsungan Mata
Rantai. yang perlahan-lahan mulai hancur. Dia tampak sedih karena tidak
bisa meneruskan warisan generasi Mata di akhir hidupnya. Dan di akhir
perbicangan itu, dia juga membahas kematiannya dan juga kandidat untuk pemimpin
Mata Rantai selanjutnya.
“Kamu tahu Arya, hidupku tak lama lagi. Dan
harus ada orang yang menggantikan saya secepatnya. Kamu juga tahu bahwa
kematian saya ini tak boleh diberitahukan ke semua orang karena kematian
bukanlah awal dari kesedihan, namun justru awal dari kehidupan seseorang. Yang
juga ingin saya pesankan kepada kamu adalah kamu harus mencari seorang
kandidat, Arya.”
Tercipta keheningan sesaat. Detak jam dinding
terdengar. Suara hujan mulai melirih.
“Aku sudah menyiapkan nama.”
Tuan Mata mengambil secarik kertas yang
sedari tadi disembunyikan di bawah bantal lalu menyerahkannya kepada Arya.
Sebuah biodata diri singkat. Arya membacanya perlahan.
“28 tahun? Apakah tidak terlalu muda.”
Tuan Mata mengeluarkan napas panjang dari
hidungnya sehingga menimbulkan suara. “Kamu pasti akan langsung tercengang
ketika melihatnya.”
“Tuan sudah pernah melihatnya?”
“Saya selalu memantau dirinya. Seperti janji saya kepada ibunya, bahwa saya memang harus menjaganya.”
“Bukankah seharusnya Tuan Andra yang menjadi
kandidat utama. Dia adalah anak kandung tuan yang saat ini sudah siap menjalankan
perusahaan ini di umurnya yang tiga puluh. Dan Mata Rantai adalah perusahaan
keluarga yang harus diteruskan, bukan?”
“Arya, kamu tahu kan, bahwa Mata Rantai
bukanlah perusahaan yang sembarangan. Tidak sembarang orang juga yang memimpin
perusahaan ini. Hanya mereka yang memiliki darah Mata dan ilmu kebatinan khusus
yang bisa melanjutkan perusahaan ini. Andra tidak punya. Dia memang adalah
keturunan resmi Mata, tetapi dia tidak memiliki ilmu kebatinan seperti yang aku
utarakan. Lagian sejak dulu, dia tidak pernah menyetujui bisnis ini, kan?”
Kamar seluas enam kali enam meter itu semakin
terasa kosong dengan keheningan. Kedua orang itu sama-sama diam.
“Arya, saya tahu, kamu pasti ragu dengan
pilihan saya.”
“Iya, Tuan, saya ragu dia bisa mengembalikan Mata
Rantai kembali. Tuan tahu bahwa perusahaan ini sedang dalam masa-masa sulit dan
diperlukan tangan dingin orang untuk memulihkannya.”
“I
know, I know. Tetapi saya rasa saya sudah memilih orang yang tepat, Arya.
Aku sangat yakin. Kamu cari saja dia.”
Arya memandangi secarik kertas dan foto di
depannya. Sampai detik ini, dia bahkan tidak yakin pemuda ini akan bisa
memimpin Mata Rantai. Tetapi apa gunanya membantah keinginan Tuan Mata.
“Aku sudah menuliskan sebuah wasiat untuk
dirinya. Kamu yang memberitahunya.”
Arya mengangguk kecil. “Baiklah, Tuan. Segera
saya akan mencari Juna Januardo.”
# # #
BAB 1
Juna Januardo merasakan kepalanya sedikit
pusing. Ini pasti bukan karena dia terlalu banyak menegak Krug Clos du Mesnil. Karena secara ukuran gelas, wine ini jelas ditempatkan di tubuh gelas yang sempit
dan memanjang. Ukuran yang paling kecil dibandingkan dengan menegak white wine atau paling parah red.
Gelas itu dapat mempertahankan gelembung-gelembungnya dalam waktu yang lama.
Dia sudah terlalu biasa melihat visual cantik itu, dan itu tentu tidak
membuatnya pusing. Tadi malam dia hanya dua kali menegaknya, oh tidak, itu yang
dia ingat. Dia menegaknya lima kali. Apakah itu yang membuatnya merasa seperti
orang tak bernyawa pagi ini?
Bantal bulu angsa terbaik di hotel ini tidak
bisa membenamkan rasa pusingnya. Dan dia merasakan ini sejak shubuh tadi. Dia
terbangun dengan tubuh seperti melayang dan mata berkunang-kunang. Sensasi yang
sebenarnya mungkin saja ia rasakan ketika mabuk berat. Tetapi dia yakin tidak
terlalu mabuk tadi malam, karena dia masih bisa mendengar desahan kecil dari
Clara beberapa kali.
Gadis
itu sekarang pasti sedang menikmati cek yang ia kasih tadi malam.
Clara, ia temukan gadis itu tadi malam hanya
dengan pandangan mata sekali. Dan sejam setelah pesta bersama kolega-koleganya
di Lantai 18 Trans Luxury Hotel, dia bisa membawanya ke 6027. Di temani rokok
dan satu gelas sisa Krug Clos du Mesnil
yang ia nikmati bersama.
Dan tentu saja, hal-hal di atas tidak
membuatnya pusing.
Pukul 4 pagi dia terbangun dengan rasa pusing
yang menjadi-jadi. Pandangannya berkunang-kunang dan dia seperti mendengar
bisikan-bisikan di telinganya. Hampir setengah jam, dia berguling-guling di
kasur, padahal dia hanya mengenakan underpants
saja. Satu jam setelahnya, dia terlentang di atas permadani tebal dan lembut di
atas lantai. Perut six pack-nya
tampak mengkilap karena keringat, persis keadaan seperti ketika dia habis overtraining di gym.
Untung dia tidak muntah. Untung saja pandangan
dan pendengaran-pendengaran itu segera berakhir.
Mengapa
datang lagi?
Dia memejamkan mata dan menarik selimut
sampai ke lehernya. Masih jam sembilan pagi. Seharusnya dia bisa tidur dengan
tenang jika si pusing sialan itu tidak menerjangnya pagi ini. Waktunya liburan
di Bandung sudah berakhir hari ini. Sebenarnya ini bukan liburan. Selama
seminggu kemarin, dia menyelesaikan meeting
dengan beberapa klien di hotel ini. Efektifnya memang hanya tiga hari, sisanya
dia lebih banyak menikmati pesta-pesta di Bandung bersama teman-temannya. Hari
ini dia harus kembali ke Jakarta karena besok dia harus meeting dengan klien
lagi. Sebagai konsultan digital marketing yang memiliki beberapa perusahaan di
bidang digital, Juna sebenarnya bisa menyelesaikan kerjaannya di Bandung.
Bermodalkan laptop dan internet. Tetapi klien yang harus ia temui besok adalah
salah satu raja telekomunikasi di Indonesia. Dan dia tak ingin menyia-nyiakan
itu.
Lagian, dia sudah merindukan Sasha. Atau
Virsha. Oh tidak, pasti dia merindukan Bella.
Dering bel kamarnya mengagetkannya. Pintu itu
terlalu jauh untuk ia jangkau. Dia melirik celana pendeknya yang berserak
begitu saja di atas karpet, tepat di samping bungkus perak bertuliskan warna
orange ‘Sagami’ yang sudah tersobek. Juna menghembuskan napas perlahan.
Mengutuk siapapun yang datang pagi ini ke kamarnya. Tidak banyak yang tahu
bahwa dia menginap di kamar ini. Kecuali petugas hotel tentu dan asistennya.
Dia tak berniat untuk membuka pintu. Dia
justru semakin membenamkan kepalanya. Namun, suara bel itu semakin melengking panjang.
Dengan ogah-ogahan, Juna bangkit dari tempat
tidur, menggeliat sebentar, menyambar celana pendeknya di lantai, lalu memakai
jubah hotel seadanya. Ketika dia melintasi cermin besar di lorong sebelum pintu
kamar, dia sempat melirik tubuhnya yang tak karuan. Rambutnya yang biasanya
tersisir rapi, kini tampak tak beraturan.
Juna membuka pintu kamar perlahan dan tetap
membiarkan rantai pengaman ada di tempatnya. Dia mengintip. Tak ada siapapun. Shit, bahkan di siang hari bolong
seperti sekarang, otaknya masih saja konslet. Apakah tadi dia berhalusinasi
mendengar bel pintu kamar? Karena penasaran, Juna membuka pintu lebar-lebar.
Tetap tidak melihat siapa pun di sana.
Dia mendengus sebal.
Sekali lagi dia memastikan bahwa memang tidak
ada siapapun. Dia melongok ke lorong panjang kamar-kamar hotel, kanan dan kiri.
Yang ia lihat hanyalah karpet tebal berukir benang merah maroon yang melapisi
lantai dan juga dinding kamar berteksur seperti pohon berwarna cokelat tua. No one.
Matanya tertumbuk pada amplop tebal yang ada
di depan kamarnya. Sewaktu membuka pintu tadi, dia tidak menyadari ada amplop
itu. Kertasnya berwarna kuning kecokelatan yang tampak kosong dan diletakkan
begitu saja. Juna mengambil amplop itu.
Secarik kertas dengan tulisan yang kurang
jelas, tapi masih bisa terbaca. Dan sebuah foto dirinya yang sedang berciuman
dengan Clara tadi malam.
Jika
tidak ingin foto ini tersebar ke pacar-pacar Anda di Jakarta, temui saya di
Restoran lantai 3 hotel ini. Jam 10.00.
Oh iya,
saya juga tahu penyebab pusing Anda beberapa bulan belakangan ini.
-Arya-
# # #
Juna tak sempat untuk mandi. Dia hanya berganti
pakaian: celana pendek dan kaos polo. Dia mengambil sandal hotel secepat kilat
dan menyambar Iphone 6-nya yang tergelatak di meja kamar.
Bukan foto itu yang menariknya untuk datang
menemui orang yang sudah berani-beraninya mengerjainya pagi ini. Itu adalah
alasan keduanya. Toh, jika benar foto-foto itu tersebar ke pacar-pacarnya di
Jakarta, dia hanya cukup untuk mengeluarkan jurus maut, diajak belanja, dibelai
dikit. Beres. Stok wanita yang mau menemaninya kencan saat ini tak terbatas.
Siapa wanita yang akan menolak Juna Januardo, CEO sebuah perusahaan konsultan
digital marketing dan memiliki beberapa perusahaan di bidang printing. Di
umurnya yang masih 25 tahun, dia bisa mendapatkan wanita-wanita itu dengan
mudah. Belum lagi didukung oleh postur 180 cm dengan perut kotak-kotak yang
membuat ngiler semua wanita ketika dia sedang berenang di tempat gym.
Jadi foto itu tidak menjadi masalah utama.
Yang menjadi masalah adalah orang
itu—siapapun dia—tahu bahwa dia sering dilanda pusing. Itu masalahnya.
Juna memencet tombol angka 3, lift menuju
restoran hotel yang satu lantai dengan kolam renang hotel. Juna tidak
memerhatikan resepsionis yang menyapanya dan dia hanya menjawab nomer kamarnya
dengan tergesa.
Orang itu memberi kode bahwa dia memakai
blesser warna biru tua. Tak sulit menemukan orang itu karena orang yang sarapan
sudah tidak terlalu banyak. Waktu sarapan tinggal satu jam lagi. Dan Juna
bahkan tidak berselera untuk makan di sini. Dia hanya ingin menyelesaikan
urusannya. Lalu pergi.
“Duduklah!” orang itu menyuruh Juna untuk
duduk. Juna mengikuti. “Nama saya Arya.”
“Saya tidak perlu tahu nama Anda. Saya hanya
ingin tahu mengapa Anda mengiktui saya dan…..dan mengetahui bahwa saya sering
mengalami pusing yang luar biasa beberapa bulan terakhir.”
“Santai sedikit. Dan jangan terlalu
bersemangat. Kamu tidak ingin kan orang lain melihat kita?”
Arya memotong kue di depannya, lalu perlahan
memasukkannya ke dalam mulut.
“Saya tidak punya banyak waktu.” Juna mulai
gerah dengan sikap Arya yang terlihat santai. Arya meletakkan garpu dan
pisaunya di atas piring, dia mengusap bibirnya dengan tisu makan, lalu meneguk
air putih di depannya.
“Apakah saya terlihat punya banyak waktu
untuk Anda sehingga Anda terlihat santai sekali menemui saya?” suara Juna
sedikit naik.
“Apakah selain playboy ada predikat lain
dalam diri kamu, Juna?” Arya memicingkan mata. “Arogan? Pemarah?”
“Tidak ada urusan untuk membahas tentang saya
hari ini.”
“Tentu saja. Karena saya juga baru beberapa
minggu lalu mengetahui tentang biodata kamu. Dan jika bukan karena atasan saya
yang memerintahkan ini semua, saya tak akan menemui orang arogan seperti kamu.
Dan sepertinya atasan saya salah memilih kamu untuk memimpin Mata Rantai.”
Juna memandang Arya tak mengerti. Mungkin Krug Clos du Mesnil tadi malam
benar-benar telah meracuni dirinya.
“Mata Rantai?”
“Perusahaan Non-Government yang telah dilegalkan untuk menangani kasus-kasus
kejahatan, terutama yang berhubungan dengan dunia gaib. Orang umum biasa
menyebutnya dengan paranormal, atau yang lebih umum lagi dukun.”
“What?
Paranormal? Dukun?”
“Anda sering merasakan pusing? Dan sering
melihat atau mendengar sesuatu yang ganjil?”
Tak ayal, Juna mengangguk kecil.
“Yes,
tentu saja. Tuan Mata benar. Kamulah yang dia cari.” Arya bangkit berdiri.
“Segera kemasi barang kamu, kita langsung ke Jakarta. Saya akan jelaskan
nanti.”
“Wo…wo…wo, apa-apaan ini? Saya bahkan tidak
mengerti dengan apa yang Anda maksud. Saat ini memang banyak sekali kasus
penipuan, tapi bukan seperti ini caranya.”
Arya memandang Juna tajam. Orang ini
sepertinya tidak bisa dipaksa dengan cara yang biasa, pikirnya. Dia harus mengeluarkan jurus pamungkas. “Apa kamu
mengenal Nyonya Raya?”
Juna tampak kaget dan tak berkutik. “Saya
mengenalnya tentu saja. Dia ibu saja.”
“Apakah kamu juga mengenal ayahmu sebaik kamu
mengenal ibumu?”
“Tentu saja,” jawab Juna singkat. Meskipun
dia sendiri ragu dengan jawaban yang keluar dari mulutnya.
“Robert Harjoko. Dia ayahmu?”
Juna mengangguk.
“Dia bukan ayah kandungmu, Juna Januardo.
Saya tekankan itu. Dia ayah tirimu.” Arya sekali lagi memandang mata Juna. “Dan
ayah kandung kamu adalah Haryan N. Juliandro. Kamu tentu tidak mengenal dia.
Tapi dia mengenal baik kamu. Jika kamu tidak percaya dengan hal ini atau curiga
dengan saya, sebaiknya sekarang kamu telpon ibu kamu.” Arya menyodorkan ponselnya
kepada Juna. “Saya sudah mempelajari kamu terlalu banyak.”
Juna mematung. Fakta-fakta yang diungkapkan
oleh orang di depannya sebagian masuk logika.
“Tuan Haryan, atau Tuan Mata, sudah meninggal
tiga minggu lalu. Dan dia mengutus saya untuk mencari kamu.” Arya mengambil
napas kecil. “Dan Kamu adalah calon
tunggal yang akan memimpin Mata Rantai saat ini.”
Wah ceritanya seru, semacam misteri gitu ya... jadi kepo nih ama lanjutannya
ReplyDeletetapi jam 76.66 itu apa ya ? ;)
Halo Ratna, ditunggu yah kelanjutannya malam minggu nanti. jam 20.00.
DeleteJam 76,66 sebelah manakah??
wow, suka ceritanya, saya ngebayangin juna itu cowok yang tampan, mungkin kaya herjunot ali, hahaha
ReplyDeleteceritanya gak sampai disini saja kan? saya follow blognya ya,, mau tau kelanjutannya, ditunggu loh sambungannya :D
Thank you.
DeleteNanti ada kuisnya lho Juna versi kamu. Ditunggu aja.
Ditunggu juga cerita kelanjutannya yah, setiap malam minggu jam 20.00.
Wah bagus nih ceritanya, jadi penasaran sama cerita selanjutnya apa janu ntar mau jadi penerus mata rantai atau tidak? wah penasaran nih pak hha
ReplyDeleteYuk baca episode 2
DeleteWooo bikin penasaran euy! Apalagi ada hubungannya sama mistis-mistis hahaha
ReplyDeleteYuk baca yg episode dua :)
DeleteHahah.. Bacanya kok malah deg-degan yak.. Ada magisnya kali. :D Tapi ada cukup banyak kata 'ini' dan 'itu' sih..
ReplyDeleteIya. Terima kasih kritiknya. Ini masih belajar. Yuk baca episode 2.
DeleteWah maaf.. Tidak bermaksud mengkritik..
DeleteMenarik yah, pantes wa e dibuat GA
ReplyDeleteMasukan dikit:
Apa pun dipisah
napas
Anda pakai kapital
typo emmang
mengembuskan
memerhatikan
Thank you banget untuk koreksinya.
DeleteSepertinya saya memang booth editor hehehe.