[SERIAL] MATA RANTAI (2)


BAB 2
 Sejam setelah pertemuan dengan orang yang tak ia kenal di Bandung, Juna berada di X6 Sport Black Sapphire-nya menuju Jakarta. Perjalanan panjang di tol Pasteur di hari minggu cukup menguras emosi. Belum lagi rasa sakit di kepalanya yang tidak kunjung hilang menjadikan emosinya tak terkendali. Beberapa kali dia memukul-mukul stir mobil karena kesal dengan kemacetan Bandung di minggu sore.
Pikirannya cuma satu, siapa Aryandra Putera? Bagaimana dia bisa tahu dengan detail tentang dirinya? Dilihat dari cara berkomunikasi, orang itu pasti bukan tipe orang yang asyik diajak ke bar lalu berjam-jam berbicara tentang bisnis ataupun hal yang menyenangkan seperti Brandy, Port, Sherry, atau champagne.
Setelah Arya membeberkan beberapa hal, Juna memilih untuk meninggalkannya sendirian di restoran hotel. Dia sangat emosional sekali sampai-sampai dia lupa memberikan senyum nakal saat check-out kepada resepsionis wanita yang jelas-jelas menggoda. Not this time, Babe, batinnya tadi.
Setiap malam setelah kejadian di Bandung, Juna tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya mengembara ke semua detail yang diucapkan oleh Arya. Belum lagi rasa pusing yang mendadak sering muncul di tengah malam. Tak ada lagi teman-teman wanita yang ia kencani. Dia melupakan Bella, Sheira, dan nama-nama lain. Dan yang lebih fatal, dia mengacaukan tender dengan perusahaan telekomunikasi kelas kakap di hari Senin.
Seminggu setelah kejadian itu, tepatnya di satu sore yang cerah di daerah Jakarta Utara, Juna tengah duduk-duduk di tepian kolam renang di rumahnya. Matanya sibuk mengamati kartu nama Arya tanpa kedip. Dia sudah sejam di tempat itu dengan tindakan yang sama.
Mungkin dia bisa menjelaskan rasa sakit kepala yang beberapa hari ini menghantui. Mungkin dia juga bisa lebih mendetailkan siapa itu Haryan N. Juliandro, yang ia sebut-sebut sebagai ayah kandungnya.
Sampai detik ini pun dia tidak juga menghubungi Raya, mamanya, yang tinggal di Singapura. Dia tidak akan mencari tahu lebih detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, sebelum dia mendapatkan informasi lengkap dari Arya.  
Tangan Juna meraih Iphone 6, mengamati sebentar, lalu menekan nomer Arya dengan cepat. Dengan hentakan kecil, jempol kanan Juna menekan tombol hijau di layar ponsel.
“Akhirnya kamu menghubungiku. Butuh waktu seminggu lebih untuk berpikir?”
Sudah Juna duga, orang itu pasti tidak memiliki selera humor sedikit pun. Kaku sekali.
“Aku tak punya banyak waktu. Di mana aku bisa menemuimu?”
Terdengar helaan napas kecil.
“Sebelumnya ada satu pertanyaan yang ingin aku ajukan kepadamu.”
“Katakan!”
“Mengapa tiba-tiba berpikir untuk menghubungiku?
Juna terdiam. Harus kukatakan kepadanya.
“Apakah kamu masih pusing?”
“Tak hanya itu, Arya.”
“Lalu?”
“Beberapa hari, pandanganku mendadak kabur di malam hari. Dan aku beberapa kali seperti melihat…..sesuatu yang seharusnya tak kulihat.”
# # #

Dua jam setelah komunikasi via telepon, mereka berjanji untuk bertemu di dekat Monumen Nasional. Sesuai dengan perintah Arya, Juna tidak diperkenankan untuk menaiki mobil sendiri. Dia harus diantar oleh seseorang, naik taksi, atau busway. Pak Tedjo sedang cuti pulang ke Surabaya karena ada keluarganya yang meninggal, jelas dia tak mungkin mengantarkan Juna. Naik busway adalah pilihan yang salah karena di hari Minggu seperti sekarang, wilayah Halte Cempaka Mas adalah neraka. Penuh dan panas. Dia baru sekali naik busway, itu juga karena terpaksa. Selebihnya, dia kapok.
Kini Juna memutuskan untuk naik taksi.
13.2 km dari rumah Juna, Arya sudah menunggu seorang diri di depan pintu Monas sisi Jalan Silang Monas Tenggara. Dia ditemani oleh para tukang bajaj yang berjejer tak beraturan tepat di luar pintu gerbang.
Langit sudah mulai menghitam sekitar sejam yang lalu. Cahaya di monumen kebanggaan Jakarta itu mulai menyala dan mempercantik tubuh tegapnya.
Sebuah taksi berhenti di depan Arya, kaca kiri di sisi penumpang turun. Kepala Juna melongok ke luar.
“Mengapa memilih tempat seperti ini untuk bertemu?” Juna membuka pintu taksi lalu membantingnya emosi. “Dua jam dari Kelapa Gading, sinting.”
“Pertama, kamu sepertinya harus membiasakan diri untuk naik angkutan umum dan melihat lebih dekat kota Jakarta. Kedua, kamu harus belajar mengendalikan diri.” Arya tak menghiraukan Juna yang berdiri di depannya, dia berjalan mendahuluinya.
“Ke mana?”
“Halte busway,” jawab Arya.
What?”
Lima belas menit setelah menunggu di halte, Juna dan Arya kini berdesakan dengan penumpang lain di dalam busway menuju Halte Harmoni. Sepanjang perjalanan Juna tampak kegerahan dan memaki-maki Arya. Arya hanya diam tak membalas. Turun di Harmoni, mereka harus ganti busway lagi ke arah Blok M dan berhenti di Halte Dukuh atas.
“Ganti lagi?” tanya Juna kesal ketika mereka turun di halte dukuh.
“Tidak. Kita hampir sampai.” Arya berjalan duluan keluar dari halte. Juna mengejarnya dan segera menyeimbangkan langkah kakinya.
Mereka berdua melewati jembatan penyeberangan. Juna beberapa kali harus mengumpat lirih ketika hampir menabrak orang yang berjalan tergesa atau para penjual yang riuh ramai di sepanjang jembatan. Arya hanya melirik kecil dan tersenyum.
“Untuk menjadi seorang Mata Rantai, kamu harus mengendalikan emosimu, Juna.”
“Aku belum memutuskan sekarang.”
“Setidaknya kamu harus belajar dari jalanan,” ucap Arya di antara keriuhan orang. “Seorang Mata Rantai juga harus bisa mengenali jalan dan keadaan sekitar. Ada satu ilmu, yang nanti akan diajarkan kepadamu juga, tentang cara mengenali dan menandai keadaan sekitar. Tadi mungkin kamu tidak memperhatikan kilatan petir di atas Menara Monas karena terlalu sibuk dengan omelanmu, atau seorang pencopet di Halte Harmoni di samping kirimu, atau seseorang yang memanjat Monumen Selamat Datang di bunderan HI.”
Arya berhenti dan menoleh ke arah Juna.
“Mengapa memandangku?”
“Aku harus menekan tombol di depanmu.” Arya menunjuk ke arah tombol merah sebesar piring di depan Juna. “Kita sudah sampai.”
Juna memandang sekitarnya. Dia berada di depan pintu kaca seukuran lebar satu meter. Pagar tinggi membatasi ruangan, atau halaman, dengan trotoar tempat Juna berdiri sekarang. Beberapa meter di sebelah kanannya adalah pintu gerbang keluar masuk mobil yang dijaga ketat oleh orang-orang berjas rapi. Seekor anjing pelacak di dekat mereka. Mirip sekali seperti di hotel-hotel berbintang lima.
Arya menekan tombol di depan Juna. Pintu kaca mendadak menjadi jernih dan mereka bisa melihat keadaan di dalam pintu itu. Seorang penjaga yang mengenali Arya tampak tersenyum, meski kaku, dan menekan sesuatu di depannya. Pintu kaca itu mendadak buram kembali dan menyisakan bekas tangan bergaris merah. Arya menempelkan tangan itu ke sana.
Pintu terbuka.
“Selamat malam Tuan Arya,” sapa petugas yang memiliki badan besar, kulit hitam, dan hidung yang runcing. Di atas saku kirinya, tampak jelas namanya : Tora Widjajanto.
Mata Tora melihat ke arah Juna.
“Seorang kandidat,” ujar Arya seakan tahu pertanyaan Tora. Arya menyerahkan sebuah kartu kecil kepada Tora. Tora mengamatinya, lalu matanya beralih ke Juna. Dia mengangguk.
Arya tak mempedulikan Juna yang tampak kebingungan. Dia terus berjalan melewati lorong kecil yang di kanan kirinya rumput hijau terawat. Lorong itu terhubung dengan halaman luas dengan rumput yang tak kalah hijau. Sesampai di ujung lorong itu, mereka berdua disambut oleh sebuah tulisan besar di tengah air mancur setinggi 2 meter : MATA RANTAI.
“Selamat datang,” ucap Arya kepada Juna.
Halaman itu begitu luas dengan pohon –pohon rindang, kolam ikan, dan bunga-bunga berwarna-warni di sana. Setelah melewati kolam air mancur, ada sebuah rumput yang dipotong sangat rapi membentuk sebuah lambang yang belum terlihat jelas. Kata Arya, kita akan melihatnya jika sudah berada di lantai 2 gedung ini.
Di depan mereka, berdiri gedung megah dengan kaca-kaca besar sebagai dindingnya. Ada gedung utama dan dua gedung kembar di belakangnya. Ketiga gedung itu membentuk sebuah simetris sempurna. Kontras dengan kaca-kaca besar, dinding-dinding tanpa kacanya berwarna hitam dan putih—berselang-seling.
Di sepanjang jalan, Juna melihat orang-orang berpakaian sangat rapi: berjas, atau blesser, berwarna hitam—warna yang sangat ia benci—dan bersepatu sangat mengkilap.
Mereka masuk ke lobi yang luas dengan lantai marmer mengkilap. Meja resepsionis berada di antara tangga besar berlapis karpet hitam berukir emas. Tangga di kiri, meja resepsionis, dan tangga di kanan membentuk lagi-lagi membentuk simetris seperti gedung ini. Lukisan-lukisan besar dengan frame ukiran ada di beberapa sudut dinding. Batu-batu marmer membentuk aneka hewan, didominasi oleh naga, ular, dan belalalng.
Di belakang meja resepsionis, terdapat lambang yang entah apa artinya. Tak ada tulisan Mata Rantai di sana. Juna seperti pernah melihat lambang itu. Tapi ia lupa di mana.
“Ini perusahaan yang kata kamu mau bangkrut?” tanya Juna heran. Kantornya sendiri tak sebesar ini.
“Ya, biaya operasionalnya terlalu besar. Sekarang kita harus menekannya besar-besaran.” Penjelasan Arya terlalu singkat.
Juna masih melihat-lihat area lobi dan tidak menyadari bahwa Arya sudah menghilang dari depannya. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri. Ada seorang lelaki tua yang berdiri di dekat tangga. Seperti yang lain, dia berjas rapi dan sepatu mengkilap.
“Apakah kamu melihat seseorang yang bersamaku tadi?” tanyanya.
“Tuan Arya?”
Oh, dia mengenalnya.
“Ya, Arya. Kamu melihatnya?”
Lelaki itu menunjuk ke lantai dua. Juna mengangguk kecil lalu bergegas meninggalkan lobi. Padahal sebenarnya dia masih ingin berlama-lama di sana dan sedikit menggoda resepsionis. Dia melihat bahwa wanita-wanita itu sangat menarik.
Juna menaiki tangga dan tepat di anak tangga terakhir, dia melihat Arya sedang berbincang dengan seseorang.
“Juna, ke marilah!” Juna mendekat. “Kenalkan ini Janero Karsten. Salah satu asisten dari Tuan Mata. Janero, kenalkan ini Juna.”
“Sedang berkenalan denganmu Tuan Tuna,” ujar Janero sambil menjabat tangan Juna erat.
“Juna,” ujar Juna membenarkan pelafalan namanya.
“Zina?” kening Janero mengerut.
“Juna. Jennifer Lawrence, Ussy Sulistiawati, Nabila Syakieb, Ariana Grande,”
Excusme.” Janero tampak berpikir sebentar. “Oh, of course, Juna, Tuan Juna. Senang bertemu dengan Anda akhirnya. Anda ternyata lebih muda dari perkiraan saya. Anda sangat terkenal sekali saat ini di antara kami. Bukan begitu, Arya?”
Arya tak menghiraukan pertanyaan Janero.
Juna nyengir kecil. Apakah orang-orang di sini memang diciptakan untuk menyebalkan semua? batin Juna.
Mereka bertiga berjalan ke arah lift diiringi dengan obrolan yang lebih banyak didominasi oleh Janero. Seperti saat dipintu gerbang, lift diakses menggunakan telapak tangan. Mereka bertiga masuk. Dan tak sampai lima detik mereka sudah sampai di lantai paling atas gedung ini, lantai 17.
Di luar lift, Juna dikenalkan dengan beberapa orang yang ada di sana. Mereka tampak sungkan dan terdengar berbisik-bisik ketika Juna meninggalkan mereka. Dan persinggahan mereka adalah sebuah ruangan bundar besar dengan dinding kaca. Tak ada properti apapun di sana.
Seorang wanita berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Dia mengenakan blaser warna biru tua yang membungkus baju warna biru yang lebih cerah. Berbeda dengan beberapa wanita yang memakai blazer hitam.
Yang membuat mata Juna tak berhenti melirik adalah wanita itu mengenakan rok di atas lutut warna biru gelap. Terlihat kakinya yang jenjang dan putih, serta semakin cantik dengan paduan high heels setinggi 12 cm berwarna biru tua (lagi). Yang membuatnya tampak aneh adalah rambutnya yang dibuat sanggul kecil dan menyisakan rambut sedikit yang terurai di ujung sanggulnya. Hanya cara menata rambutnya inilah yang sama dengan wanita lain.
“Ariana, kenalkan ini Tuan Juna.”
“Ariana, tapi bukan Ariana Grande,” sambung Janero memotong ucapan Arya. Janero melirik ke arah Juna yang tampak kesal.
“Juna Janero.”
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Muda. Saya Ariana.”
Kaku dan tampak formal. Bukankah di awal Arya mengatakan bahwa perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang ilmu….gaib. Atau ia menyebutnya paranormal? Atau memang semuanya seperti itu. Mistis.
Juna menjabat tangan Ariana. Dan seperti yang ia lakukan kepada wanita-wanita lain, dia memegangnya sedikit lama dengan sentuhan jempol lembut ke punggung tangan Ariana. Ariana tampak memandangnya aneh.
“Senang berkenalan dengan Anda,” ucap Ariana seolah menegaskan bahwa ia ingin terlepas dari tangan Juna.
Buru-buru Juna melepaskan tangan Ariana.
“Baiklah, Tuan-tuan dan Nona. Kita tidak punya waktu banyak. Ada beberapa hal yang harus kita selesaikan hari ini. Dan Tuan Juna…” Arya memandang Juna. Juna menoleh. “Kita akan mulai penjelasan dari sini.”
Arya mengambil sesuatu dari saku jasnya. Sebuah remote kecil, seperti ponsel Iphone 5. Dia menekan tombol di sana. Sedetik kemudian  kaca-kaca yang mengelilingi ruangan itu menghitam, lalu terbuka. Lorong lebar ada di depan mereka yang menghubungkan dengan sebuah ruangan lain. Arya memimpin mereka melewati lorong yang medadak bercahaya terang. Mereka sampai di ruangan lain yang lebih kecil. Arya menekan tombol lain. Dan ruangan itu mendadak menjadi terang.
Meja kaca, kursi empuk besar, dan sebuah sofa di sudut ruangan menjadi pengisi utama ruang itu.
Arya berjalan ke arah tembok. Memencet tombol di remotenya kembali. Mendadak tembok itu menjadi seperti layar LED yang mengeluarkan simbol yang mirip seperti di resepsionis. Mata Arya mengarah ke simbol itu, seperti mencocokkan kode. Dan sebuah voice over kecil keluar dari LED itu : Akses diterima.
Layar LED itu menampilkan Gedung Mata Rantai dari sisi luar dan sebuah shortcut-shorcut yang belum Juna mengerti. Arya memencet beberapa tombol. Dan sebuah video keluar.
Seorang lelaki tua keluar dari LED seperti hologram 3D. Tersenyum kepada mereka. Lelaki itu tampak mengenakan jas dan berkaca mata.
“Selamat Datang di Mata Rantai,” ucap hologram itu seperti menyambut kedatangan mereka. Di belakang ia berdiri, ada gedung Mata Rantai yang megah.
“Mengapa orang itu ada di layar? Tadi aku melihatnya di resepsionis,” ucap Juna.
Ketiga orang yang berdiri di dekatnya menoleh bersamaan.
“Maksudmu?” tanya Arya.
“Ya, orang itu.” Juna menunjuk hologram itu lagi yang kini tampak duduk disebuah kursi yang sangat mirip dengan yang ada di ruangan ini. “Tadi aku melihatnya.”
“Kamu yakin?” tanya Ariana.
“Sangat yakin,” ucap Juna sambil melempar senyum kepada Ariana yang disambut dengan tatapan penuh keheranan. Juna merasa dirinya seperti dihakimi oleh semua orang. Tak hanya Ariana, Arya dan Janero juga menatap heran. “Tunggu, mengapa kalian melihatku seperti itu?”
“Tuan Juna. Mungkin penjelasannya akan kami awali sekarang. Hologram di depan kamu sekarang adalah pemilik perusahaan ini.”
Juna melihat ke arah hologram itu lagi.
“Dia adalah Tuan Mata, atau Haryan N. Juliandro. Dan beliau sudah meninggal sebulan lalu.”
# # #

[ BERSAMSUNG ] 
Baca kelanjutannya di sini

8 comments

  1. *nungguin kelanjutan ceritanya* :D

    Btw, salam kenal mas admin ^_^

    ReplyDelete
  2. Huaaaaa.. Kok bisa? Tuan Mata berwujud hologram, begitu kah?

    ReplyDelete
  3. ini gaib digabungkan dengan teknologi?

    ReplyDelete
  4. ini gaib digabungkan dengan teknologi gitu?

    ReplyDelete
  5. Makin ke sini, saya makin menikmati

    Typo: Selerea
    partikel pun dipisah: sedikit pun
    napas
    bundaran
    lapir, simtris, sedang berkenalan, apa pun, memenjet? memencet

    ReplyDelete