[SERIAL] MATA RANTAI (3)

BAB 3
Mata bulat warna biru milik Juna menatap ketiga wajah di depannya bergantian. Setelah itu, dia melihat hologram yang kini tampak duduk di atas kursi warna emas berukir naga. Juna menelan ludah karena menyadari bahwa hologram itu adalah Tuan Mata yang dikabarkan Arya telah meninggal dunia. Sementara dirinya tadi baru berpapasan dengan Tuan Mata di lobi perusahaan ini.
Hologram Tuan Mata diam saja. Namun, kedua matanya seperti hidup dan memandang Juna.
“Arwah seseorang yang belum empat puluh hari memang masih suka berdiam diri di ‘rumahnya’,” kata Ariana di tengah keheningan yang tercipta.
Juna menatap wanita di samping kanannnya itu. Wanita itu benar. Dia pernah mendengar hal ini. Tapi belum pernah mengalaminya sendiri.
“Ya mungkin benar,” ujar Juna lirih. Mata Juna melirik lagi ke arah hologram.
“Atau kecuali kamu memang benar-benar melihat….”
Arya menyela ucapan Ariana. “Ariana, mungkin dia belum bisa dijelaskan terlalu detail. Lebih baik kita langsung ke pokoknya saja. Waktu kita tidak banyak. Sudah hampir satu bulan kita mendiamkan perusahaan ini.”
“Ya, tentu saja. Jika tidak menginginkan perusahaan ini lebih bangkrut lagi, kita harus mengambil sikap,” Janero tampak tersenyum kecut.
“Jaga ucapanmu, Janero,” sambar Ariana. Matanya tajam menatap Janero. Janero membalas tatapan itu dengan senyum kecil.
Juna yang tak mengerti dengan pembicaraan orang-orang di depannya berdehem sebentar dan berharap orang-orang itu menyadari kembali kehadirannya.
“Maafkan percakapan ini, Tuan,” ujar Arya kepada Juna. Juna mengernyitkan kening tak mengerti. Lanjut Arya, “Kami akan melanjutkan penjelasan tentang Mata Rantai secepatnya.”
Arya menekan tombol remote di tangannya kembali. Ruangan menjadi gelap. Arya meminta orang-orang untuk menepi dan mengosongkan bagian tengah ruang. Ketika sudah kosong, ada cahaya yang keluar dari atas membentuk lingkaran ke bawah. Cahaya itu merapat sedikit demi sedikit, namun masih tembus pandang. Di dalam lingkaran cahaya itu ada hologram perusahaan Mata Rantai. Dan juga penjelasan tentang Mata Rantai dalam infografis 3D.
Juna memerhatikan dengan saksama. Telinganya juga mendengarkan. Dia berharap, penjelasan infografis itu akan mengerucut ke satu pertanyaan: Siapa dirinya dan apa yang terjadi dengan dirinya selama beberapa bulan ini?
Berdampingan dengan infografis itu, muncul suara seorang wanita yang menjelaskan secara detail tentang Mata Rantai.
Mata Rantai adalah perusahaan keluarga. Didirikan pada tahun 1935 di tengah carut marut keadaan negeri ini. Mata Rantai sebagai perusahaan nasional menangani beberapa kasus yang berhubungan dengan alam gaib. Awalnya perusahaan ini ditentang oleh pemerintahan karena dianggap sebagai paham yang menyesatkan. Akhirnya, Tuan Haryan Severado, Tuan Mata Generasi 1, menjadikan Mata Rantai tidak hanya bergerak dibidang jasa yang berhubungan dengan alam gaib, namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang lain.
Namun, di tahun 1946 setelah kemerdekaan negara ini, Mata Rantai mengalami kendala perijinan dan akhirnya di tutup untuk sementara. Dan dibuka kembali pada tahun 1965 oleh Tuan Mata ke-2, Tuan Haryan Januardo. Tuan Mata ke-2 membangun kembali perusahaan ini. Mata Rantai tidak hanya bergerak di bidang pelayanan jasa konsultan untuk pembangunan gedung-gedung yang biasanya membutuhkan pembebasan lahan dari alam gaib, namun juga di bidang alat berat dan perhotelan.
Kini, di tahun 2015, Mata Rantai telah memiliki 5 anak perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang perhotelan dan mall, konsultan, kontraktor, alat berat, dan lifestyle. Di bawah kepimpinan Tuan Mata Generasi 3, Haryan N. Juliandro, Mata Rantai sempat mengalami masa keemasan di tahun 2010 hingga 2012. Lalu perlahan-lahan mulai merugi ketika Tuan Mata mendadak sakit.
“Mendengar penjelasan ini, aku berasumsi bahwa perusahaan ini sangat besar. Namun, mengapa aku tidak pernah mendengar perusahaan Mata Rantai?”
“Mata Rantai adalah sebuah istilah. Kamu pernah mendengar Seen Moon, Building The Sun?” tanya Arya.
“Ya, mereka adalah raksana perhotelan dan kontraktor. Setahu saya mereka di bahwa bendera besar MR Haryan Corp,” ujar Juna. Lalu matanya melotot tak percaya, “Tunggu…jangan-jangan…”
“Tepat sekali. Masyarakat luas lebih mengenal MR Haryan Corp dibandingkan Mata Rantai. Nama Mata Rantai hanya digunakan untuk kalangan internal. Tidak pernah terpublikasi. Tetapi, jika kamu bergerak di bidang kontraktor, nama Mata Rantai sangatlah familiar. Kami menggunakan Mata Rantai untuk anak perusahaan yang bergerak di bidang konsultan….”
“Alam gaib,” ucap Janero melengkapi penjelasan Ariana. Lelaki itu melirik Ariana sambil tersenyum. Ariana tak menghiraukannya.
Juna menarik nafas perlahan. Semua penjelasan di atas, belum menjawab pertanyaannya. Dan kedatangannya ke sini, bukan untuk mencari ceramah tentang perusahaan ini.
“Lalu apa hubungannya semua ini denganku?” ucap Juna tegas. Dia mulai gerah berada di sini.
Terdengar Janero terkekeh, seolah mengejek.
Arya melihat ke arah Janero. “Jaga sikapmu, Janero. Sebentar lagi, jika dia lolos, dia akan menjadi….”
“Atasan kita?” tanya Janero pelan. “Dua puluh delapan tahun dan baru saja berkecimpung di dunia bisnis? Dia bahkan tidak tahu cara melihat hantu.”
“Maksud kamu, aku?” tanya Juna lantang.
“Cukup,” Arya menyudahi perdebatan, sebelum terlambat. Arya mengalihkan padangannya kepada Ariana di samping kanannya. “Ariana, tolong panggilkan Dilan.”
Ariana mengangguk dan berlalu dari ruangan itu.
Beberapa menit kemudian, dia datang bersama seorang lelaki tua. Juna menafsir bahwa umur lelaki itu 65 tahunan. Tinggi, kurus, dengan mata cekung dan hidung bengkok. Rambutnya sudah putih beruban, tetapi disisir dengan rapi. Kontras dengan orang-orang di sini, dia mengenakan jas warna putih dengan dalaman warna merah marun.
“Helo, Arya, Janero. Maaf tadi aku terlambat. Dan aku belum makan siang, jadi terpaksa aku makan dulu di bawah,” kata lelaki yang bernama Dilan itu. Logat bataknya sangat kental.
No Problem, Dilan. Kita belum terlalu lama,” ujar Arya.
Dilan mengambil tempat di samping Arya, berseberangan dengan Juna.
Dia berdehem kecil, lalu mengeluarkan sebuah amplop kecil dari saku dalam jasnya. Amplop berwarna hitam dengan tulisan tinta emas.
“Di mana dia?” tanyanya kepada Arya. Arya spontan melihat ke arah Juna. Dilan mengikuti arah pandang Arya.
“Oh, dia.” Dilan tersenyum kecil.
Juna tampak kikuk dipandangi orang tua macam Dilan. Dia membalasnya dengan sunggingan kecil (sebenarnya sangat kecil).
“Juna kenalkan ini Dilan. Dia adalah pengacara Tuan Mata.”
Dilan menjabat tangan Juna kuat.
“Sangat mirip dengan ayahnya. Lihat matanya, aku seperti melihat Juliandro sewaktu muda. Oh, aku jadi ingat sahabatku itu. Tak kusangka dia pergi secepat ini,” Dilan menyeka air matanya yang hampir jatuh. “Tapi sudahlah….” Dia menunjukkan amplop di tangannya ke depan. “Belum kubuka.”
Mata Janero, Arya, Ariana, dan Juna menatap ke amplop hitam itu. Dilan menurunkan tangannya dan hampir saja membuka amplop itu.
“Tunggu,” kata Juna. Semua mata melihatnya.
“Ya?”
“Aku mulai terlibat terlalu jauh. Tapi aku tak mengerti dengan semua ini. Arya, tolong jelaskan kepadaku secepatnya atau aku akan pergi dari sini. Pertama, mengapa kamu selalu mengatakan bahwa aku adalah penerus generasi Mata. Kedua, mengapa saya beberapa hari ini pusing dan melihat sesuatu yang aneh. Mungkin kita bisa mulai dari situ.”
Dilan tertawa kecil. “Darah Mata. Kamu benar-benar mirip ayahmu, Juna. Aku akan segera menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”
Juna mendelik.
“Jawaban pertama akan ketahuan jika kita membuka amplop ini. Jawaban kedua adalah karena kamu tentu memiliki ilmu mata ketujuh yang tentunya tidak dimiliki oleh sembarang orang di dunia ini.”
Tanpa memedulikan kebingungan di wajah Juna, Dilan menyobek amplop di tangannya dan mengeluarkan kertas berwarna emas dari dalam amplop.
“Oh, ini dia.” Dilan merentangkan kertas itu. Lalu membacanya.
Jika kertas ini telah di buka. Tentu aku sudah tiada. Maka, Mata Rantai akan diteruskan rantainya. Dia harus tetap berputar.
Rumput, katak, ular, elang, dan cacing.
Maka orang berdarah Matalah yang pantas meneruskan Mata Rantai, sesuai titah dari Generasi Pertama.
Semua hal, bentuk, peraturan, dan harta di Mata Rantai kini menjadi milik penerus berikutnya. Kuncinya akan aku serahkan sebentar lagi kepadanya. Kunci ke ruang rahasia Mata Rantai.
Dia memiliki jiwa seperti rumput, katak, ular, elang, dan cacing.
Selamat melanjutkan Mata Rantai, Juna Mata.
# # #

“Juna tunggu,” Arya mengejar Juna dengan berlari. Juna tampak berjalan sangat cepat menyusuri lorong berkaca. Tak dihiraukan Arya yang terus mengejarnya. “Hei, bukankah kamu belum tahu jawaban yang kedua.”
“Aku tak membutuhkannya.”
“Oh, come on,”
Juna terus berjalan cepat, sementara Arya sudah mengikuti di samping kanannya.
“Dengarkan penjelasanku,”
“Sudah terlalu bertele-tele, Arya. Dan dengar, aku tak ingin terlibat dalam perusahaan supranatural, atau gaib, atau apalah ini. Aku akan kembali ke hidupku, kembali ke perusahaanku, kembali menjalani hidup normal. Dan kuharap kamu mengerti dan tidak akan menggangguku lagi.”
“Oh, dengar, Arya. Kami berharap padamu. Kunci Mata Rantai tak akan terpasang dengan baik tanpa penerusnya. Itu berarti semua berkas, harta, dan segala hal tentang perusahaan ini tak akan ada yang tahu.”
“Itu bukan urusanku tentu saja.”
“Apakah kamu belum percaya bahwa kamu adalah anak kandung Tuan Mata?”
No,”
“Apakah kamu belum yakin?”
Not yet. Dan buat apa?” langkah Arya semakin lebar dan cepat.
“Kamu tidak ingin mengetahui mengapa kamu sering melihat hal-hal aneh belakangan ini?”
“Tidak lagi. Mungkin aku terlalu banyak begadang dan kerja, jadi aku sering berhalusinasi.”
Oh come on, Tuan Juna.”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
“Kamu memiliki indera ketujuh. Jadi kamu…”
Stop, Arya,” ucap Juna lantang. Juna berhenti dan memutar tubuhnya 90 derajat sehingga ia sempurna melihat Arya. “Aku tak ingin mendengar penjelasan lebih lanjut tentang Mata Rantai atau apapun itu. Kuharap kamu bisa mengerti.”
“Baiklah…baiklah.” Arya mengambil nafas. “Aku tak akan memaksa lagi.”
Good.”
“Tapi, aku akan mengatakan satu hal. Tolong dengarkan.” Arya menatap Juna, serius. “Ada satu orang yang mungkin bisa menjelaskan ini semua. Kamu pasti akan memercayainya. Aku mungkin tak akan kamu percaya lagi. Warisan yang dibacakan oleh Dilan mungkin juga tak akan menjelaskan semuanya. Tapi ada satu orang yang bisa menjelaskan hal ini selain kami.”
Juna tak bergeming. Tak acuh dengan penjelasan Arya.
“Ibumu. Tanyakan kepada dia, siapa ayahmu sebenarnya. Jika kamu sudah tahu, terserah apapun keputusanmu, kami akan terima.”
# # #

“Dia sudah pergi?” tanya Janero kepada Arya yang dibalas dengan anggukan. Arya kembali ke ruang Tuan Mata. “Baguslah. Aku masih ragu dengan dirinya. Dia masih sangat terlalu muda untuk memimpin perusahaan sekaliber Mata Rantai. Kalian tahu kan, bahwa perusahaan ini bukan perusahaan biasa.”
“Tapi kita harus menghormati keputusan Tuan Mata. Bukankah begitu, Dilan?” tanya Ariana kepada Dilan.
Dilan hanya mengangguk. Baginya, apa yang sudah diucapkan Tuan Mata kepadanya tidak bisa diubah lagi. Bahkan oleh orang-orang didepannya kini. Yang tentunya masih berharap akan dipilih untuk memimpin Mata Rantai.
“Lucu sekali. Seseorang yang tidak kita kenal, tidak tahu siapa dia, tahu-tahu dititahkan untuk memimpin Mata Rantai,” ucap Janero dengan tawa kecil.
“Janero, dia adalah putera kandung Tuan Mata. Ingat itu,” Arya menegaskan ucapannya agar teman asistennya itu ingat.
“Kalian tidak perlu munafik. Pasti kalian juga berharap dapat memimpin perusahaan ini, walaupun hampir bangkrut. Lagian dia hanya putera dari seseorang yang tak pernah dinikahi Tuan Mata.”
“Janero, jaga ucapanmu!” teriak Ariana.
“Dewan Sidanglah yang akan memutuskan nantinya. Disaksikan oleh semua orang. Dan keputusan Tuan Mata tidak bisa diganggu gugat. Siapkan saja diri kalian untuk membantu Juna Mata. Aku yakin dia kembali,” kata Arya yang diberi anggukan setuju oleh Dilan.

# # #

BAB 4
Juna Mata sudah bilang bahwa dia tak perlu dijemput di Changi Airport kepada maminya. Dia bisa berangkat sendiri ke apartemen maminya itu. Tetapi, seperti biasa, Nyonya Raya tidak pernah akan membiarkan putera pertamanya datang tanpa sambutan darinya. Siang ini, berbalut gaun warna merah metalik dengan sepatu warna merah juga, Nyonya Raya menjemput Juna seorang diri. Di usianya yang hampir berkepala enam, Nyonya Raya masih terlihat enerjik dan fashionable.
“Bukankah sudah kubilang, Mami nggak perlu menjemputku,” ucap Juna kepada maminya di dalam mobil.
“Dan bukankah sudah kubilang juga, Mommy tidak rela melihat anak kesayangan mami terlantar di bandara.”
“Mam, Juna sudah puluhan kali ke Singapore kali. Mengapa mami masih menganggapku seperti anak kecil.”
“Oh Dear, mami tidak pernah menganggapmu anak kecil.” Nyonya Raya mengusap rambut Juna.
“Hentikan Mam, kamu bisa merusak rambutku.”
Nyonya Raya terkekeh kecil. “Kamu memang tidak pernah berubah, Juna. Kita mau makan dulu, atau….”
“Ke apartemen langsung. Juna tidak punya banyak waktu sini. Besok harus kembali ke Jakarta.”
“Oh Dear, kamu tidak kangen sama mami?”
Juna tak menjawab. Sudah hampir sebulan lebih dia memang tidak mengunjungi maminya di Singapura. Hal itu bukan tanpa alasan. Kerjaannya memang sedang gila-gilaan di Jakarta.
“Papi ada?” tanya Juna kemudian.
Dia memandangi jalanan tanpa menoleh ke arah maminya yang sedang melihat ponsel. Dia masih heran, mengapa negara sekecil ini bisa makmur dan jalanannya tidak seruwet Jakarta. Juna kadang merasa tidak betah tinggal di Jakarta. Tetapi dia tidak mungkin juga pindah bersama mami dan papinya. Juna bukan tipe orang seperti itu. Ditempa dikeluarga seorang profesor dan bisnisman menjadikan dia sangat mandiri. Termasuk untuk urusan uang.
Robert Harjoko, papinya, adalah seorang profesor di universitas yang kini masih saja diminta mengajar padahal harusnya sudah pensiun. Namun karena ia menyukai dunia pendidikan, dia pun menyetujuinya. Sedangkan maminya adalah seorang pebisnis yang sukses dengan butiknya. Paduan ini menghasilkan seorang Juna yang perfeksionis dan disiplin untuk urusan pekerjaan.
“Masih mengajar. Mengapa? Ada yang perlu kamu ceritakan kepadanya?”
“Oh, tidak. Justru aku berharap dia tidak ada.”
Nyonya Raya melihat ke arah puteranya. “Apakah kamu menghamili gadis orang?”
Juna mendelik. Pertanyaan macam apa ini? “Mom, plis. Jangan berangan yang tidak jelas. Aku masih putera Tuan Robert dan Nyonya Raya yang baik.”
“Oh tidak Dear, kata Fernando, kamu selalu berganti-ganti pasangan di Jakarta.”
Fernando adalah asisten Juna di kantor. Dia adalah orang kepercayaan Juna dan Nyonya Raya.
“Ah, terkutuklah Fernando menyebar gosip yang tidak jelas seperti ini.”
“Darling, sudah waktunya kamu…”
Juna memilih pura-pura menutup telinga dan tidak mendengarkan nasihat Nyonya soal ‘Memilih Pasangan Hidup’. Nasihat itu sudah berulang kali dia dengar dan isinya selalu sama. Bahwa dia sudah waktunya untuk menikah, memiliki anak, mau mencari apalagi. Bukankah dia sudah memiliki karier yang bagus. Begitu kira-kira isi ceramah Nyonya Raya kepada anaknya. Nasihat yang sama dari ibu-ibu di negara manapun. Dan bagi Juna, hidupnya masih terlalu muda untuk memikirkan rumah tangga. Dia masih 28 tahun dan masih ingin mengembangkan perusahaan Digital Consultant-nya.
Jadi, Juna memilih kembali menatap jalan yang seolah-olah berair. Fatamorgana.
Tunggu…mengapa ada Tuan Mata di pinggiran jalan? Juna menoleh ke belakang. Orang itu masih berdiri di pinggir jalan mengenakan jas warna hitam. Persis seperti orang yang ia temui di lobi perusahaan Mata Rantai.
Oh tidak-tidak. Pasti ini hanyalah halusinasi.
Untuk saat ini, Juna lebih memilih mendengarkan maminya daripada melihat hal-hal yang aneh lagi.
“Jun…”
“Ya?” Juna menoleh ke arah maminya.
“Jadi kamu mau mami jodohkan dengan anak gadis teman mami? Cantik, kok?”
Oh shit…
# # #

Juna akhirnya meminta supir mami menghentikan mobil di sebuah restoran masakan cina. Dia sudah tidak tahan dengan nasihat-nasihat mami tentang pernikahan. Lebih parahnya, Nyonya Raya menunjukkan beberapa foto anak gadis temannya kepada Juna. Hal itu semakin membuat Juna muak.
Jadi di sinilah mereka kini. Restoran masakan cina di kawasan Marina Bay.
“Mom, plis stop membicarakan pernikahan. Nanti secepatnya akan aku bawakan gadis cantik ke hadapan mami dan papi. Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus Juna bicarakan.”
Promise Me.”
Juna mengacungkan tulunjuk dan jari tengahnya sambil berkata suer. Setidaknya maminya tak akan membicarakan tentang gadis-gadis itu lagi.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nyonya Raya setelah mereka duduk di dalam restoran.
Pelayan sudah datang untuk menanyakan pesanan. Setelah pelayan itu pergi, Juna langsung akan bercerita kepada maminya.
Juna menarik nafas panjang.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Singapura tadi, dia sudah memikirkan apa yang harus ia tanyakan kepada Nyonya Raya. Sepulangnya dari Mata Rantai kemarin, Juna tidak bisa tidur. Dia terus menerus dihantui oleh Mata Rantai. Warisan Mata Rantai kepada dirinya seperti sebuah bom atom. Cepat atau lambat akan meledak jika tidak ia bereskan. Di hati kecilnya yang terdalam, memang ada sedikit rasa percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arya.
Isi surat wasiat itu jelas, dia adalah pewaris tunggal Mata Rantai. Dia akan menggantikan Tuan Mata untuk memimpin perusahaan itu. Tetapi masalahnya, perusahaan itu berusuran dengan hal-hal gaib. Dan itu yang tak ia suka.
“Apakah mami kenal dengan Haryan N. Juliandro?” tanya Juna perlahan.
Nyonya Raya tampak terkejut dengan pertanyaan puteranya. Namun, dia bisa menenangkan dirinya. Nyonya Raya kembali anggun seperti biasa.
“Tidak,” jawab Nyonya Raya. Ekor matanya tidak menatap Juna.
“Mami yakin?”
“Kamu tak percaya?”
“Beberapa hari yang lalu, Juna didatangi oleh seseorang. Dia berkata bahwa dia adalah utusan Tuan Mata atau Tuan Haryan N. Juliandro. Aku dibawa olehnya ke daerah Sudirman di Jakarta. Ke sebuah perusahaan yang aku sendiri sampai sekarang tidak tahu keberadaannya. Mata Rantai, mami pernah dengar?”
Nyonya Raya menyeruput ocha panas yang tersaji di depannya. “Apa yang kamu bicarakan, Jun?”
“Dia juga bilang bahwa aku adalah pewaris tunggal Mata Rantai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia bilang aku adalah anak kandung Tuan Haryan.”
Nyonya Raya tersedak. Ada air yang menyembur dari mulutnya. Buru-buru dia mengambil tisue di meja dan menyeka bibirnya yang basah. Juna terdiam. Dia beranggapan bahwa maminya memang tahu tentang apa yang ia katakan.
“Kamu bicara apa…”
“Aku berharap mami bisa menjelaskan tentang hal ini. Karena beberapa hari ini, tiba-tiba aku sering merasa pusing dan melihat hal-hal aneh.”
Nyonya Raya terdiam.
“Dan perlu mami ketahui, Tuan Haryan N. Juliandro telah meninggal beberapa minggu yang lalu.”
“Apa?” suara Nyonya Raya meninggi.
“Aku asumsikan, pertanyaan itu menandakan mami tahu hal ini.”
“Seharusnya kita tidak bicara di sini,” Nyonya Raya berdiri dan meraih tasnya. “Ayo, akan mami jelaskan. Mungkin memang sudah saatnya kamu tahu.”
# # #

Album foto itu tampak usang. Juna membolak-balik halaman demi halaman dengan tatapan tak percaya. Di sana, banyak sekali foto maminya saat masih muda.
Sepulang dari restoran cina tadi, Nyonya Raya mengajak Juna ke butik. Di ruangan kerjanya, mami Juna mengeluarkan kotak berwarna merah dari dalam almari. Di dalamnya berisi album foto dan beberapa benda yang tak Juna mengerti.
Album itu cukup menjelaskan pertanyaan Juna. Tidak ada foto papinya di sana. Yang ada hanyalah foto seorang pria bertubuh tegap dan bersisir rapi. Dia seperti melihat dirinya dalam foto itu.
“Dia Haryan,” kata Nyonya Raya. “Ayah kandungmu,” ujarnya pelan.
Juna tak bergeming. Dia tak meminta penjelasan banyak. Foto-foto itu sudah cukup menjelaskan.
Nyonya Raya mengambil pensil dan sebuah kertas berukuran A3 yang berada di samping printer. Dia membentangkan kertas itu di meja, lalu dia menggambar sesuatu. Seperti sebuah silsilah. Juna tak mengerti.
“Mata Rantai adalah perusahaan yang didirikan oleh eyang buyutmu. Generasi pertama Mata. Dia diusir oleh keluarga besar karena dianggap menyimpang. Dia bisa melihat hal-hal gaib dan suka bersikap aneh. Oleh Haryan Pamungkas, ayahnya, dia dititipkan ke seorang sahabat. Sahabatnya itu seorang pebisnis ulung. Olehnya, Eyang buyutmu diajari cara berbisnis. Lahirlah Mata Rantai dari tangannya.
Mata Rantai tumbuh menjadi perusahaan besar sampai generasi ketiga yang dipimpin oleh ayahmu. Seperti pemimpin yang lain, ayahmu memiliki tangan dingin untuk urusan bisnis. Dia membesarkan Mata Rantai sampai memiliki aset trilyunan. Nasibnya sangatlah baik, namun tidak untuk urusan cinta.
Ayahmu jatuh cinta pada mami. Pun dengan mami. Kami memiliki cinta yang besar. Waktu itu, mami tidak tahu kalau ternyata ayahmu sudah memiliki seorang istri dan anak. Mami terlanjur jatuh hati padanya dan tidak peduli ketika mami tahu bahwa dia tak lagi sendiri. Kami menikah diam-diam, lalu lahirlah kamu. Sampai di satu titik, keluarga mami mengetahui kebenarannya. Ayah kamu yang sudah beristri dan bisnis alam gaib yang menurut mereka tidak wajar. Nenek kakek kamu, memaksa agar mami meninggalkan ayahmu. Jika tidak, mami tidak akan dianggap sebagai anak lagi. Saat itu, mami bingung harus berbuat apa. Tetapi akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan ayahmu. Bagaimanapun, mami tetap harus berbakti kepada orang tua. Mami lalu bertemu dengan Robert, dan akhirnya kami menikah dan dikaruniai anak perempuan. Adikmu, Vee.”
“Mami masih mencintai Tuan Mata?” tanya Juna.
Nyonya Raya mengangguk. “Kamu sangat mirip dengannya Juna. Sangat mirip. Tetapi mami takut, keluarga akan membenci kamu jika mami terus berhubungan dengan ayah.”
“Kenapa?”
“Saat itu umurmu masih empat tahun. Suatu sore, kamu hilang. Tak ada yang tahu ke mana perginya kamu. Sehabis jam enam petang, kamu ditemukan ada di sebuah pohon besar. Sedang menangis. Kamu bilang bahwa kamu sedang bermain dengan seorang anak. Anak itu lalu mengajakmu untuk pergi ke tempat dia di pohon itu.”
“Apa?”
“Kamu bisa pergi ke dunia lain. Dunia antara ada dan tiada. Sejak saat itu, mami yakin bahwa darah ayahmu mengalir ke kamu, Jun. Kamu bisa melihat makhluk-makhkluk tak kasat mata. Mami menanyakan itu kepada orang yang mengerti tentang hal seperti itu. Mereka pun berpendapat yang sama. Ilmu kamu akan semakin tinggi seiring dengan pertumbuhan usia kamu. Mami takut keluarga akan tahu tentang hal ini. Untung saja, ilmu itu tidak akan bisa digunakan sebelum kamu berumur 28 tahun. Selama ini, mami menyembunyikan hal ini dari keluarga, kecuali papimu. Dia tahu tentang hal ini.”
“Papi tahu?”
Nyonya mengangguk. “Tapi dia selalu support mami. Usiamu kini sudah 28 tahun. Mungkin, sudah waktunya ilmu itu digunakan Juna.”
Juna terdiam. Nyonya Raya mengambil nafas. Langit di luar sudah berubah gelap.
“Kamu memiliki darah Mata dan Indera ketujuh.”
# # #

Hanya semalam Juna berada di Singapura. Paginya, dia kembali ke Jakarta lagi.
Langit di Bandara Soekarno Hatta tampak menghitam. Mendung bergelayut. Hujan rintik mulai turun. Beberapa suara bergelegar tampak bergantian dengan deru suara pesawat.
Juna tampak berdiri di Terminal Kedatangan sembari menyeruput kopi hitam tanpa gula. Dia sangat mengantuk. Tadi malam dia tidak bisa tidur. Pun saat di pesawat tadi. Dia menunggu Fernando yang katanya sedang terkena macet di Tol Dalam Kota.
Pikirannya kalut. Penjelasan maminya memang tak masuk akal. Tetapi dia memercayai maminya sepenuh hati.
Juna merogoh Iphone 6-nya. Setelah menekan beberapa tombol, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.
“Halo, Arya. Kapan aku bisa mulai?”
# # #
[BERSAMBUNG]
Baca kelanjutannya di sini

4 comments

  1. di bagian dua umurnya ko 28, kalau yang ini sih cocok ama part 1 umurnya 25,,
    punya indera ke enam aja udah istimewa apalagi indera ke tujuh ya XD
    oke ditunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  2. Mulai nangkep ceritanya,,, duh hal gaib apa yg akan dipecahkan si Juna?

    Saran dikit:
    memerhatikan, dibahwa, napas, dua puluh delapan th (Juna 25 th kan?), memakai aku - saya dlm 1 dialog. memedulikan, memercayakan, apa pun,

    ReplyDelete