[DONGENG] SETELAH SENJA


Aku mengenalnya setelah senja. Waktu itu, tak ada yang spesial darinya. Dia hanyalah pemuda biasa yang turun dari angkot kota, di dekat wilayah Mirota Kampus. Mungkin dia warga asli Yogyakarta, mungkin juga bukan. Aku belum bisa menebaknya waktu itu. Yang jelas, dia berkulit cokelat, namun bersih. Yang jelas dia berambut hitam rambut, cepak, namun klimis dan ditata rapi. Yang jelas dia hanya memakai celana pendek yang membuat bulu-bulu kakinya terlihat berserakan di mana-mana. Yang jelas dia memiliki bibir paling seksi yang pernah kulihat, merah merekah dan sedikit....kenyal jika dilumat. Aku baru saja pulang kuliah waktu itu, lalu mampir sejenak ke Mirota Kampus membeli barang-barang keperluan pribadi. Dan aku melihatnya di perempatan jalan saat Jazz-ku dihentikan oleh lampu merah.
Aku berpisah juga dengannya setelah senja. Saat dia tak kutemukan lagi hari itu. Saat semua orang Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 diguncang gempa. Paginya aku melihatnya sejenak, lalu kami berpisah. Setelah senja, seminggu setelah kejadian itu.

Dialah Banyu, pemuda asal Yogyakarta ternyata, yang kukenal dikemudian hari. Tuhan mempertemukan kami sore itu lagi, saat Jazz-ku bocor di tengah kota dan dia menolongku. Astaga, dia begitu baik. Dia menolongku setelah aku benar-benar kesal tidak bisa mengganti ban yang bocor sendirian. Dia datang menolong. Yang kutahu, dia berkali-kali tersenyum dan menasehatiku agar aku belajar mengganti ban. Dan astaga, bau badannya justru membuatku bergidik gerah. Ada naluri wanita yang tiba-tiba mencuat dan membuatku melayang. Belum lagi saat dia berbicara, bibirnya terlihat basah dan sangat menggoda untuk disentuh, diraba, dan dicium. Dan oh astaga, dia juga memiliki bidang bodi yang padat dan sepertinya kokoh jika aku bersandar di sana.

Dan dialah Banyu, yang kemudian menjadi sering bertemu denganku. Dialah yang kemudian menyeretku ke pesonanya. Aku benar-benar terpesona oleh kelaki-lakiannya.

Suatu senja sore itu, beberapa hari sebelum kejadian 27 Mei itu terjadi, dia mengajakku pergi ke pantai. Berdua saja kami duduk menikmati senja. Dia mendekapku erat seolah tak ingin melepaskanku, padahal kami belum berpacaran. Kami hanya dua manusia yang diikat oleh rasa cinta, namun tak bisa saling memiliki. Karena kami sama-sama telah memiliki pautan hati. Aku telah bersuami, dia telah bertunangan.

Kami hanya dua manusia yang diam-diam mencintai. Dan betapa sakitnya saat kita mencintai orang lain, yang salah.

Dan betapa sakitnya saat kita mencintai, namun tak bisa memiliki.

Dan semuanya terjadi saat senja.

Dan senja menjadi bukti cinta kami melebur jadi satu. Tubuhnya menindih tubuhku. Bibirnya melumat bibirku. Jari-jarinya bermain-main di lekuk tubuhku. Dia yang bertubuh cokelat ternyata mampu membuatku terbang ke langit ketujuh. Dan kalian tahu, bermain-main dengannya yang berotot padat membuatku terengah-enggah dan keringetan. Asli, jika ada yang bilang wanita susah orgasme, malam itu aku tak percaya. Malam itu, aku berkali-kali mengalaminya.

Lalu semua cerita kami berakhir setelah senja, kala itu. Pagi, 27 Mei 2006, Yogyakarta berduka karena gempa 5.9 skala richter. Rumah-rumah rata dengan tanah. Anak-anak kecil menjerit menangis. Kemudian mereka tinggal di tenda-tenda darurat.

Aku yang kuliah sebagai seorang perawat, mencoba untuk menjadi relawan di daerah Bantul. Menginap di tenda darurat kesehatan yang dibangun oleh aparat. Aku sempat bertemu dengannya. Dia tak lagi bercahya. Raut mukanya kacau. Aku berusaha membuatnya tertawa, namun tak bisa. Dia hanya bilang: aku baik-baik saja. Aku bertanya, rumahmu baik-baik saja. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Walaupun aku tahu, itu bukan jawabannya. Aku mencoba ingin membantu. Tapi dia menolak. “Jangan, nanti Ria tahu.” Ria adalah tunangannya. Shit.

Astaga, betapa sakitnya hatiku saat itu. Saat kita menyadari, kita bukan siapa-siapa. Hanya bisa mencinta saja. Tanpa bisa memiliki. Rasanya seperti dihantam berpuluh-puluh belati.

Suatu malam, saat aku baru saja bertemu dengannya. Sebenarnya aku ingin terus bersamanya, aku ingin memeluknya. Aku pulang ke tenda darurat sendiri saja saat itu. Malam telah larut. Malam-malam setelah 27 Mei begitu mencekam di desa-desa di Bantul. Belum ada listrik dan kadang hujan. Belum lagi cerita-cerita orang tentang mayat-mayat yang bergelimpangan karena peristiwa itu. Semua hal mendadak menjadi menyeramkan.

Aku bukan tipe wanita yang penakut, tapi juga bukan murni pemberani. Apalagi harus berjalan seorang diri. Kabar-kabar tentang si Pak ini meninggal tertimbun dinding, Bu ini meninggal tertimpa genteng, Lek ini meninggal karena gegar otak, lalu satu persatu warga melihat orang-orang yang kabarnya telah meninggal, seperti sugesti yang santer di otakku.

Aku berjalan seorang diri. Lampu belum ada, aku hanya bermodal senter. Hujan turun sedikit. Terkutuklah Mirna yang tak mau menjemputku karena takut, dan sangat menyiksanya hatiku karena Banyu tak bisa mengantar karena harus bertemu Ria. Uhf, bagaimana mungkin setelah bibir kenyalnya menciumi sejengkal-jengkal tubuhku, lalu berpindah ke bibir wanita lain. Bagaimana tidak sakit, setelah lidahnya bermain-main di leherku serta belakang telingaku, dan kemudian dia berlumatan dengan orang lain. Siapa yang bodoh? Cinta kadang bodoh. Cinta kadang tak pernah punya logika. Karena jika berlogika, pasti sudah masuk soal matematika.

Untungnya aku tiba di tenda darurat dengan keadaan selamat. Maksudku, aku tak menemui ‘siapapun’. Aku tak bertemu siapa-siapa, meskipun itu aparat yang seharusnya berkeliaran menjaga desa. Ke mana mereka? Kelelahan mungkin setelah seharian bekerja. Harap maklum. Tenda sudah sepi. Semuanya sudah tertidur pulas. Jam tidur memang mendadak maju. Pukul delapan malam, semua orang sudah masuk ke tenda masing-masing.

Kuputuskan untuk mencuci muka dulu di toilet umum yang dibangun aparat. Kubasuh wajahku agar segar.

Kudengar orang memanggilku lirih.

Suaranya sangat lirih, hingga kadang tersapu angin.

Aku diam. Kudengarkan lagi. Tak ada orang kecuali aku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku pucat pasi. Kulihat sesosok bayangan putih di depanku. Diam saja. Tak bersuara. Mulutnya beku, mukanya beku. Dia memandangku kosong. Wanita itu hanya diam, memandangku. Aku kaku, kakiku kaku. Lalu aku melangkah mundur selangkah, dan memutar tubuhku. Aku berlari ke arah tenda, lalu tidur di samping Mirna. Astaga, apa yang kulihat barusan. Buru-buru aku memejamkan mata. Namun suara itu masih lirih terdengar, lamat. Lalu mendekat.

# # #

Dia menghilang tak ada kabar. Mungkin cintanya juga. Mungkin dia telah menikah dengan  Ria. Astaga, mengapa rasanya sesak sekali dada ini memikirkannya. Tak ada yang tahu keberadaannya. Tak ada. Aku sebenarnya juga tak tahu harus bertanya kepada siapa.

Setelah senja, dia menghilang.

Kuputuskan untuk melupakannya. Aku kembali sibuk dengan rutinitasku menjadi istri dan mahasiswi keperawatan. Aku kembali mencintai suamiku seutuhnya. Suami yang dipilih orang tuaku. Dan kalian harus tahu, rasa sakit juga akan ada saat kita harus dipaksa mencintai orang yang bukan pilihan kita. Harus terbiasa? Mana bisa. Konsep cinta tak semudah itu. Tak semudah bilang, aku cinta kamu, aku terbiasa denganmu. Bukan cinta namanya, jika hanya searah. Cinta itu dua arah. Kalo cuma searah, itu jalan raya. Bukan cinta.

Namun ada yang berubah. Setelah peristiwa suara dan hantu wanita malam itu, aku seperti diikuti sesuatu. Setiap malam aku mendengar suara-suara lirih minta tolong. Di kamar, di kamar mandi, di kampus. Di manapun. Kadang aku juga mengalami kejadian-kejadian ganjil. Tiba-tiba saja ada seorang perempuan di dalam kamarku, berdiam diri di pojok kamar. Diam saja, tak bersuara. Rambut panjangnya menutupi sebagian muka. Mukanya pucat pasi. Lalu saat kulihat di cermin yang memantulkan bayangannya, dia tidak ada. Tapi kudengar suaranya lirih, memangil-manggilku.

Aku juga lebih sering mendengar suara bayi. Lebih sering. Suara tangisan yang memenuhi gendang telingaku. Astaga apa ini.

Akupun pergi ke ‘orang pintar’. Katanya aku diikuti. Mungkin seseorang yang menjadi korban saat gempa 27 Mei kemarin. Yang jelas, aku diikuti.

Setelah senja, waktu itu, aku masih duduk seorang diri di lobi kampus. Kuputuskan untuk lebih sering ada di keramaian, agar suara-suara itu tak menggangguku. Aku mematung di antara keributan teman-temanku yang membicarakan tentang ujian akhir S2. Di sana ada Elish, Sita, Rida, dan Tuti yang bercanda. Namun, pikiranku tak ada di sana. Aku mengembara. Apakah benar aku diikuti? Lalu kuedarkan pandangan. Satu-satu teman kupandangi. Mereka tertawa riang.

Tapi, mengapa Rida memandangku aneh seperti itu. Dia seperti melihat keanehanku. Aku memang aneh. Setelah kepergian Banyu, setelah dia nggak ada. Aku seperti kehilangan cahaya dan arah. Aku pilu. Belum lagi dengan kejadian-kejadian super aneh akhir-akhir ini.

“Rin, kamu kenapa?” tanya Tuti kepadaku.

Aku melamun. Lalu hanya menggeleng pelan.

“Kamu ikut, kan?” tanya Elish.

“Ke mana?” tanyaku, lemah.

“Astaga, jadi sejak tadi kamu nggan ndengerin kami bicara? Kamu nglamunin apa sih?” Sita merangkul pundakku. “Kita memang harus tegar sih Rin, kita harus kuat. Tapi kita harus lebih tegar daripada keluarga Rida.”

“Keluarga Rida?” tanyaku. Kupandang Rida yang duduk di belakang Elish. Dia tersenyum kecil. “Kenapa?”

“Loh kamu itu nggak tahu? Rida kan meninggal dunia karena kecelakaan kemarin. Dia tertabrak truk di Jalan Kaliurang.”

Aku tersentak kaget seperti tersengat listrik tegangan tinggi.

Di belakang Elish, Rida tersenyum kecil kepadaku. Senyum yang entah mengapa, mendadak pilu. Dipelipisnya penuh darah. Dari mulutnya keluar cairan berwarna hitam gelap.

# # #

Aku memutuskan menemui ‘orang pintar’ lagi. Peristiwa Rida di kampus benar-benar membuatku syok. Aku benar-benar melihatnya. Bahkan saat aku melayat ke tempatnya, aku masih melihatnya. Apakah aku bisa ‘melihat’?

Aku tak kuat dengan suara-suara dan kejadian aneh beberapa hari ini. Orang pintar itu menyarankan aku agar aku ke daerah Bantul, ke daerah tempatku menjadi relawan. Menurutnya, aku harus ke suatu makam, karena si pengutitku berasal dari sana. Dia yang bernama Indah. Untuk kejadian Rida, orang pintar itu menduga kini aku memang bisa sedikit ‘melihat’. Mungkin karena Rida adalah teman dekatku, jadi aku bisa merasakannya. Tapi, bagaimana jika itu terjadi setiap hari. Namun, kata orang pintar itu semuanya akan selesai jika aku pegi ke makam penguntitku, si Indah.

Kuputuskan hari ini ke sana ditemani suamiku.

Setelah senja.

Makam itu tak berpagar. Banyak makam masih baru di sana. Bau kemenyan dan mawar menyerbak. Makam Indah ada di antara makam-makam korban lain. Kabarnya memang para korban 27 Mei dikubur bebarengan. Begitu juga indah. Ada sekitar 6 orang yang dikubur bersamanya. Empat laki-laki, dua perempuan.

Sekilas, aku melihat Indah di sana. Berdiri. Dia tersenyum. Tersenyum kecut.

Semoga dia tenang di sana. Aku minta maaf, bisikku dalam hati.

Suamiku ada di sampingku menemani. Aku memang sering pingsan sekarang. Jadi suamiku terpaksa ikut karena khawatir.

Kubaca satu persatu nama yang tertulis di batu nisan. Gunawan. Setiabudi. Anjar. Fatima. Indah Riawati.

Dan terakhir....

Mulutku menganga. Aku kaku.

Dan terakhir....Banyu Perwira Aditama. Aku mengejanya. Ba...nyu...

Ba...nyu....

Indah Ria..

Ria??

Astaga. Aku menutup mulut.

Angin semilir berhembus. Bulu kudukku berdiri.

Mereka meninggal 27 Mei 2006.

Aku menegang. 27 MEI? Lalu, siapa yang bercinta denganku seminggu setelah itu? Dikejauhan, kulihat Banyu menatapku. Menatap kosong. Di belakangnya, ada Ria, atau Indah, yang menyeret tangannya pergi.

# # #

No comments