Mari
kita mulai tulisan ini dengan cerita singkat peristiwa yang terjadi kurang
lebih 16 tahun yang lalu. Tahun 2005. Tepatnya, Selasa, 22 Februari 2005.
Gunung
sampah itu meletus, menyemburkan 'lahar' sampah yang meluluhlantahkan dua
pemukiman di Desa Leuwigajah, Bandung: Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.
Layaknya lahar panas dari gunung berapi, lahar sampah itu juga melenyapkan dan
menimbun dua pemukiman itu. Ledakan bak gunung berapi itu meletus sekitar pukul
02.00 WIB, kemudian diikuti oleh longsor ‘lahar’ sampah yang mengular di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah.
157
orang meninggal dunia akibat letusan gunung sampah tersebut. Beberapa orang
bahkan tertimbun puing-puing rumah yang runtuh oleh ‘lahar’ gunung sampah dari
TPA.
Mengapa
gunung sampah di TPA itu bisa meledak dan longsor? Gunung sampah seluas 200
meter dan setinggi kurang lebih 60 meter itu goyah karena guyuran air hujan
yang turun semalaman. Lahar sampah di dalamnya sudah tidak kuat lagi menahan
gunung tersebut, hingga terpaksa meluncur, menyembur, dan menghancurkan dua
pemukiman di sana. Gas metana (CH4) yang dihasilkan oleh sampah organik
kemudian bereaksi dengan udara. Saat gunung sampah itu tidak mendapatkan
paparan oksigen, gas itu akhirnya terbakar sehingga menimbulkan ledakan.
Sampah. Sampah. Dan Sampah.
Seolah
permasalahan tentang sampah ini tidak lekang oleh waktu. Peristiwa 16 tahun
yang lalu itu hanyalah sebuah momentum untuk mengingatkan kita bahwa persoalan
sampah ini bukan masalah yang sederhana. Hingga kini, sampah merupakan salah
satu permasalahan lingkungan yang sangat serius.
Gunung
sampah di TPA Leuwigajah bukan hanya terbentuk oleh sampah anorganik seperti
plastik, kertas, gabus, ataupun kayu, namun juga tersusun oleh sampah organik,
termasuk sampah makanan. Dari berbagai komposisi sampah, popularitas sampah makanan mungkin tidak seterkenal sampah plastik. Namun nyatanya, justru sampah
makananlah yang menduduki peringkat pertama dibandingkan sampah-sampah yang
lain.
Di
tahun 2018, Food Sustaible Index
terbitan The Economist Intellegent Unit
bersama Barilla Center For Food and
Nutrition Foundation merilis data yang mencengangkan. Rata-rata setiap
penduduk Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan per tahun. Yang lebih
mencengangkan lagi, data ini menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil
sampah makanan No. 2 di dunia, setelah Arab Saudi. Bahkan mengungguli
negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat (tirto.id).
Sungguh
ironi sekali. Di saat begitu banyak makanan yang dibuang, masih banyak penduduk
Indonesia yang kelaparan dan kekurangan makanan bergizi.
Menurut
Food and
Agriculture Organization (FAO), sampah makanan (food waste) merupakan makanan yang dapat
dikonsumsi manusia tetapi tidak dikonsumi dan dibuang dengan alasan-alasan
tertentu (FAO, 2011).
Mungkin
kita menjadi salah satu penyumbang 13 ton sampah makanan itu. Tanpa disadari,
kadang kita juga melakukan hal yang sama. Membuang sampah makanan, entah itu
karena busuk di kulkas, makanan basi yang kelewat tanggal kadaluwarsanya, atau
sisa-sisa makanan lainnya.
Padahal
nyatanya, sampah
makanan saat ini menjadi isu lingkungan di berbagai negara. Hal ini karena
dampak yang ditimbulkan oleh sampah makanan begitu dahsyat. Jika tidak ditangani dengan tepat, sampah makanan akan
menimbulkan berbagai ancaman lingkungan.
Sampah makanan mungkin saja tidak dapat dihilangkan. Hal ini karena sampah makanan,
sudah menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan kita. Yang dapat kita
lakukan adalah bersahabat dengan sampah makanan. Langkah ini dapat menjadi
sebuah solusi untuk mewujudkan gaya hidup bebas sampah makanan. Meskipun
faktanya, kita mungkin saja tidak dapat benar-benar bebas. Tapi, kita bisa
mengurangi dan menanganinya.
Nah,
untuk mewujudkan gaya hidup bebas sampah makanan dapat dilakukan dengan sebuah
campaign sederhana, yaitu AYO #BERGERAK.
AYO
#BERGERAK adalah sebuah gerakan untuk mewujudkan gaya hidup bebas sampah makanan melalui 6 hal sederhana. BERGERAK
juga merepresentasikan sebuah ajakan untuk BERGERAK MENGURANGI DAN MENANGANI SAMPAH MAKANAN dengan tepat yang
dimulai dari diri sendiri.
Sudah siap untuk BERGERAK?
Beberapa
waktu lalu, saya membaca sebuah postingan yang cukup menarik, yaitu tentang
tata letak SUPERMARKET yang membuat konsumen melakukan impulsive buying.
Impulsive buying adalah fenomena membeli barang yang tidak terencana
atau tidak terkontrol. Kebiasaan inilah yang dimanfaatkan oleh manajemen supermarket
dalam menata barang-barang belanjaan. Pernah nggak sih kamu berpikir bahwa kadang ada Supermarket yang letak
barangnya sangat random?
Hal
itu bukan tanpa sengaja dilakukan. Namun, justru ini disengaja. Dengan tata
letak yang sedemikian rupa, konsumen ‘dipaksa’ untuk melewati beberapa barang.
Alhasil, ada barang-barang yang tadinya tidak ada di list belanjaan, tiba-tiba
masuk ke keranjang. Pernah mengalaminya?
Nah,
salah satu cara untuk mengurangi sampah makanan adalah menerapkan sikap
‘BERBELANJA DENGAN BIJAK’. Saya sekarang mulai membiasakan diri untuk mencatat
barang-barang belanjaan di ponsel, kemudian memberikan tanda centang di setiap
barang yang sudah kubeli. Diluar catatan itu, sebisa mungkin saya tidak akan
membelinya.
Dulu saya
juga punya prinsip: membeli barang grosir atau dalam jumlah yang banyak adalah
cara yang efektif. Hal ini termasuk bahan-bahan makanan yang masuk ke kulkas.
Alhasil, kadang ada barang yang lupa tanggal kadaluwarsa, membusuk, atau bahkan
lupa kalau pernah beli. Membeli barang dalam jumlah yang banyak mungkin cocok
untuk barang-barang yang lumayan awet, misal sabun, sampo, dll. Tapi tidak
untuk bahan makanan.
Pagi
itu, tiba-tiba ada pemberitahuan di grup kosanku. “Selamat Siang. Hari ini Ibu
dan Mbak mau bersih-bersih kulkas yah. Kalau ada makanan yang mau diamankan,
silakan diamankan terlebih dahulu. Makanan yang busuk akan Ibu buang.”
Iseng
saya pun ikut membantu Ibu Kosan membersihkan kulkas bersama. Aku baru sadar,
ternyata kulkas kosan penuh sekali dengan barang-barang. Ada daging, sayuran,
minuman kaleng, susu, dll. Yang lebih mencengangkan, ternyata ada beberapa yang
sudah busuk, berubah warna, dan juga sudah lewat tanggal kadaluarsanya. Usut
punya usut ternyata salah satu penyebabnya karena peletakkan bahan-bahan tadi
yang tidak beraturan. Ada makanan yang baru saja dibeli diletakkan di paling
depan sehingga menutupi bahan lain yang sudah lama dibeli. Hal ini menyebabkan
makanan atau bahan yang sudah lama dibeli jadi tidak terlihat. Alhasil, banyak
penghuni kos yang lupa. Jadinya mereka mengambil yang terlihat saja. Aku pun
kadang lupa.
“Oh, pernah beli ini yah. Oh, pernah beli itu yah.”
Nah,
salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi sampah makanan adalah
dengan metode First In First Out (FIFO).
FIFO adalah salah satu metode persediaan stok barang. Seperti namanya, artinya
barang yang masuk pertama maka harus keluar pertama. Misalnya saja, bahan-bahan
makanan yang baru saja dibeli harus disimpan di bagian belakang kulkas,
sehingga bahan yang sudah lama tersimpan dapat digunakan terlebih dahulu.
Cara lain untuk mengurangi sampah makanan adalah
membeli bahan-bahan makanan dengan efektif dan efisien. Artinya, belilah bahan
makanan yang memang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Istilahnya sih ‘jangan
cepat lapar mata’. Sebelum kita membeli sesuatu lebih baik catat terlebih
dulu barang-barang yang memang kita butuhkan. Apa bahan yang habis, apa yang
kurang? Sehingga kita tidak akan lapar mata ketika berada di supermarket. Hal
ini untuk menghindari pembelian barang yang tidak perlu atau tidak kita
butuhkan.
Dengan menerapkan metode ini, kita dapat mengurangi
sampah makanan di rumah kita.
Sampah makanan memang tidak dapat kita hindari,
namun kita bisa menguranginya. Salah satunya adalah dengan mengubah sampah
makanan menjadi pupuk kompos. Pupuk kompos merupakan jenis pupuk yang dibuat dengan
cara mendaur ulang sampah, misalnya sampah makanan ataupun sampah organik.
Selain berguna untuk menyuburkan tanaman, pupuk kompos/organik juga turut serta
dalam mengurangi produksi gas metana.
Cara lain untuk mengurangi sampah makanan adalah
dengan mengawetkan bahan makanan agar memperpanjang umur simpan serta
menghindari pembusukan. Namun, sebelum mengawetkan bahan makanan, kita harus
mengenali bahan-bahan mana yang dapat kita awetkan. Hal ini karena tidak semua
bahan makanan itu dapat diawetkan.
Nah,
metode terakhir untuk mengurangi
sampah makanan adalah kenali tanggal kadaluarsa bahan makanan. Sebelum membeli
bahan makanan, kita wajib untuk cek tanggal kadaluarsa dari bahan makanan,
terutama bahan-bahan yang cepat membusuk misalnya telur ataupun daging. Aku
sendiri tipe orang yang membeli barang dengan mengecek tanggal kadaluarsa, kalo
bisa sih yang paling lama masa simpannya.
Selain itu, secara berkala cek juga
tanggal kadaluarsa dari bahan-bahan yang sudah kita simpan agar kita bisa
langsung mengolahnya. Sehingga, bahan makanan tersebut tidak menjadi busuk atau
lewat tanggal kadaluarsanya.
Permasalahan
sampah makanan ini adalah masalah kita bersama. Seperti yang sudah disampaikan
di awal tulisan ini, ada banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh sampah
makanan. Oleh karena itu, sampah makanan adalah tanggung jawab kita bersama.
Salah satu program yang peduli terhadap permasalahan sampah makanan adalah
program dari Bandung Food Smart City.
BandungFood Smart City merupakan wujud kolaborasi antara Rikolto veco, Fisip
Unpar, dan Pemerintah Kota Bandung dalam rangka mewujudkan Bandung menjadi kota
yang cerdas pangan untuk mengurangi terjadinya sampah makanan. Beberapa program
yang dijalankan adalah food racing (kampanye melalui games di
sekolah-sekolah), food sharing (melalui digital platform), dan urban
farming (pertanian kota). Untuk mengenal lebih jauh tentang Bandung Food
Smartcity dan program-programnya, bisa cek di link berikut yah.
Gaya hidup minim sampah makanan harus dimulai dengan kesadaran diri sendiri. Campaign
AYO #BERGERAK tidak akan berjalan jika tidak ada kesadaran dari diri
kita. Mungkin metode ini terkesan sederhana, namun dibutuhkan konsistensi dan
tanggung jawab dari setiap individu.
Kampanye
AYO #BERGERAK ini harus dimulai dari kita sendiri. Jika bukan kita, siapa
lagi kan? Saya yakin dengan kesadaran dan tanggung jawab setiap individu untuk
mengurangi sampah makanan, maka perlahan permasalahan ini dapat kita atasi.
Intinya adalah tanggung jawab dan konsistensi.
Saatnya, AYO
#BERGERAK dimulai
dari diri kita sendiri.
No comments