"Kita berada dalam buku yang sama tapi halaman berbeda,"
Kalimat ini menjadi salah satu adegan fenomenal dari film Box Office Indonesia, Habibie &
Ainun 3, yang cukup menggelitik pikiran saya. Di adegan pamungkas itu, Ibu
Ainun muda yang diperankan oleh Maudy Ayunda mengakhiri hubungannya dengan
Ahmad yang diperankan oleh Jefri Nicol. Adegan itu melekat erat di ingatan saya
karena digambarkan dengan metafora yang sangat baik, bahkan menjadi bahan
perbincangan di media sosial.
Ahmad bercita-cita untuk hengkang dari Indonesia karena merasa jemu
dengan keadaan di negeri ini, sementara Ibu Ainun memilih untuk bertahan dan
ingin turut membangun Indonesia meskipun dengan berbagai macam keadaan.
Meskipun saya sangsi dengan adegan yang sesungguhnya, namun adegan pamungkas
film tersebut terus membekas di pikiran.
Pesimisme tokoh Ahmad tentu saja juga dialami oleh beberapa orang di
Indonesia. Di media sosial contohnya, banyak orang yang tidak percaya dengan
kemampuan bangsa kita Indonesia, dan memilih untuk bertengkar, berdebat untuk
hal-hal yang tidak positif, dan memilih menyalahkan keadaan.
Saya jadi teringat perbincangan saya dengan Faris Rahman, Co-Founder
and CTO Startup di Indonesia: Nodeflux beberapa waktu lalu.
“Sebagian orang Indonesia itu mudah pesimis, kayak nggak mungkin. Padahal kan, kita,
Indonesia, memiliki potensi yang luar biasa dari ujung Sabang sampai Merauke.
Pak Habibie contohnya. Beliau adalah contoh orang Indonesia yang percaya bahwa
Indonesia bisa, sementara yang lain berkata tidak. Beliau membuat pesawat
terbang, sesuatu yang seperti tidak mungkin. Itulah yang susah, membangun
kepercayaan diri orang Indonesia bahwa kita mampu. Untuk itu kita butuh tools untuk membuktikan diri.”
“Dan itulah mengapa, Mas Faris & tim membangun Nodeflux yang
bergerak di bidang Artificial
Intelligence?” tanya saya waktu itu.
Dia terkekeh di akhiri dengan senyuman kecil. “Ya, itu salah satu motivasi kami saat mendirikan Nodeflux. Kan sepertinya tidak mungkin, Indonesia memiliki teknologi yang bergerak di bidang kecerdasan buatan. Padahal faktanya teknologi ini berkembang cukup pesat di Indonesia. Itu nyata, data yang membuktikan.” Di akhir kalimatnya, dia sempat menerawang sejenak, seolah meresapi kata-katanya sendiri.
Saya jadi ikutan terhenyak, menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Mas Faris benar adanya
“Mimpi kami di Nodeflux sederhana, Mas,” lanjutnya mantap, “Kami ingin memajukan Indonesia dan mengubah dunia lewat teknologi kecerdasan buatan. Meskipun ini tidaklah mudah,”
Mimpi ini seperti benang-benang yang Mas Faris dan Tim Nodeflux rajut hingga menjadi baju, yang kemudian mereka kenakan sebagai penyemangat saat mereka menjalani hari-hari untuk mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Dari mimpi inilah hikayat tentang kisah perusahaan rintisan lokal ini dimulai. Mimpi yang berkobar dan menjadi penanda tonggak berdirinya Nodeflux. Layaknya sebuah jalan untuk menggapai mimpi, tidak pernah ada jalan yang mulus. Senantiasa ada kerikil, batu, atau lubang besar yang menghadang. Begitu juga apa yang dialami oleh Nodeflux.
Jadi, mari bersama-sama kita berjabat tangan dan berkenalan lebih jauh
dengan Nodeflux: Startup di bidang
teknologi kecerdasan buatan, atau Artificial
Intelligence (AI), dari Indonesia yang kini telah mengguncang dunia.
INGIN MENGUBAH DUNIA DENGAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE
Hari itu, saya janjian untuk bertemu dengan Mas Faris di sebuah kedai
kopi di Jakarta Selatan. “Wah Mas, harusnya kita ketemu jangan di akhir pekan, jadi bisa main-main ke kantor
Nodeflux. Kalo akhir pekan gini, kantornya tutup,” ucapnya sambil tertawa
menyambut kehadiran saya. Seperti tertular dengan sikap positif Mas Faris, saya
menjadi bersemangat untuk menggali lebih dalam tentang Nodeflux.
Baru beberapa menit mengobrol dengannya, saya sudah merasakan aura
positif dari setiap pembicaraannya. Namun di luar perkiraan saya, justru tahun
angkatan kuliah Mas Faris dan umurnya berada di bawah saya.
“Loh, jadi tuaan saya to?” tanya saya seloroh sambil tertawa. Hal itulah yang semakin membuat saya kagum dengan semangatnya, terutama saat saya menanyakan hal dasar kepadanya: Apa yang melatarbelakangi berdirinya Nodeflux?
“Bisnis itu nomer sekian, Mas, tapi bagi kami di Nodeflux, kami ingin membuat tools untuk membuktikan diri bahwa kita, Indonesia, juga bisa bicara di kancah dunia, terutama di bidang teknologi kecerdasan buatan,” ujarnya semangat.
“Kami ingin mengubah dunia,” sambungnya, kali ini ada keseriusan dari nada bicaranya.
Saya terhenyak sesaat, seolah energi positif dari Mas Faris telah
memancar siang itu, memompa semangat saya untuk terus menyelami kisah
perusahaan rintisan lokal ini. Saya hanya mengangguk-angguk kecil, terpana
dengan semangatnya yang membara. Tidak banyak yang memiliki cita-cita seperti
itu. Ingin mengubah dunia? Bagaimana
caranya? Saya sendiri bertanya-tanya dalam hati.
Menurut Mas Faris, saat ini kehadiran kecerdasan buatan sangat penting
di era perkembangan teknologi yang kian pesat. Kecerdasan buatan akan
memudahkan aktivitas dan pekerjaan manusia, bahkan membantu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat.
“Banjir, kecelakaan lalu lintas, dan tindak kriminal adalah beberapa permasalahan sosial di kota-kota besar yang bisa ditangani salah satunya dengan teknologi kecerdasan buatan. AI akan mengubah dan memajukan dunia,” ujarnya.
“Kami di Nodeflux ingin menjadi bagian dari perubahan itu.”
JATUH BANGUN NODEFLUX UNTUK MEMAJUKAN INDONESIA
Beberapa bulan terakhir, tanah air dihebohkan dengan K-Drama yang
memecah belah penikmatnya menjadi dua kubu: TIM NAM DO SAN dan TIM HAN
JI PYEONG. K-Drama ini menjadi menarik untuk diikuti karena mengangkat
salah satu tema yang jarang sekali dipakai: PERUSAHAAN RINTISAN atau STARTUP di bidang teknologi. Jatuh
bangun Nam Do San dkk dalam membangun perusahaan rintisan ini sangat menarik
untuk diikuti. Bagaimana mereka harus meyakinkan para investor terhadap
teknologi yang mereka ciptakan, membangun kepercayaan terhadap tim, dan
sejumlah masalah yang dikemas dengan sangat menarik.
Kisah Nam Do San dkk ini mengingatkan saya terhadap perbincangan saya
dan Mas Faris siang itu. Bagaimana Mas Faris dan Tim di Nodeflux harus
terseok-seok di awal berdirinya Nodeflux. Setali tiga uang dengan Nam Do San
dkk, Nodeflux pun sangat kesulitan untuk meyakinkan orang-orang terhadap
teknologi yang mereka ciptakan dan mencari sumber daya yang tidak banyak
tersedia di Indonesia. Hal ini karena produk-produk dari kecerdasan buatan
belum terlalu membumi di negeri Jamrud Khatulistiwa ini.
Terjunnya Nodeflux ke dunia perusahan rintisan di bidang kecerdasan
buatan ternyata bukan tanpa kesengajaan. Sejak awal, di tahun 2016, Nodeflux
telah memilih big data analytics sebagai
cara untuk memecahkan berbagai masalah. Namun kesulitannya adalah bagaimana
Nodeflux dapat menjual produk-produk yang mereka kreasikan kepada calon klien.
Banyak klien yang tidak yakin dengan ‘kemampuan’ perusahaan rintisan lokal
tersebut, apalagi dengan produk yang memang belum terlalu familiar. Nodeflux
akhirnya memilih untuk memonetisasi produk mereka sambil paralel bekerja untuk
mencari klien yang ingin bekerja sama.
Pada waktu itu, teknologi kecerdasan buatan memang terbilang baru di
Indonesia. Oleh karena itu, Nodeflux pun ‘seperti’ menciptakan market baru yang
bersumber pada permasalahan yang ada di Indonesia saat ini. Dengan teknologi
yang terdisruptive ke market baru inilah, Nodeflux mendapat beberapa tantangan
ke depannya saat akan mengembangkan teknologi ini di masyarakat.
Meskipun ada partner yang akhirnya ingin bekerja sama, namun Nodeflux masih kesulitan untuk mengembangkan bisnis mereka. Belum lagi sikap-sikap apatis dan pesimistis dari orang-orang sekitar. Namun, Nodeflux tetap percaya bahwa bidang yang mereka tekuni adalah sebuah masa depan. Mereka kemudian merancang produk yang akhirnya mulai berkembang hingga sekarang.
“Membangun bisnis di bidang teknologi di Indonesia itu banyak tantangannya. Dan itu bukan perkara mudah,” ujar Mas Faris.
“Apa tantangan utama yang dihadapi Nodeflux selama ini?” tanya saya
kemudian.
“Sumber Daya Manusia,” jawabnya, sambil menerawang, seolah
mengingat-ingat jatuh bangun Nodeflux di awal-awal merintis bisnis di bidang
teknologi ini.
Tenaga kerja di bidang kecerdasan buatan ternyata masih jarang, bahkan dari perguruan tinggi ternama sekalipun. Tidak semuanya menyediakan lulusan yang siap pakai. Hal ini karena kurikulum pendidikan di Indonesia belum bisa masuk dengan teknologi yang mereka tekuni. Kalaupun ada, masih harus mengikuti training. Nodeflux pun terpaksa mencari orang Indonesia yang belajar di luar negeri untuk diajak berkarya di Indonesia. Stok SDM yang melimpah di Indonesia saja belum cukup mumpuni untuk menggarap teknologi ini. Yang dibutuhkan adalah SDM-SDM unggulan yang terbarukan dalam hal teknologi, terutama di bidang kecerdasan buatan.
Mas Faris sendiri memang sudah terbiasa untuk membuat software sejak
kuliah di ITB. “Sudah biasa main-main software,
dan cari tahu. Toh, ilmu AI ini di
internet banyak sekali. Dan itulah yang penting, para mahasiswa harus mau untuk
mencari tahu dan ngoprek sendiri
teknologi-teknologi terbaru agar siap pakai. Ya, karena memang secara kurikulum
belum ada.”
Selain itu, peran pemerintah di Indonesia belum terlalu banyak.
Regulasi tentang teknologi ini belum ada. Itu adalah tantangan tersendiri. Kisah
ini mirip dengan awal-awal berdirinya perusahaan Gojek di Indonesia. Secara
regulasi belum ada, tetapi produk telah dikenal oleh masyarakat.
“Inovasi bisa tumbuh asalkan regulasinya mendukung, lebih
tersosialisasilah. Meskipun sekarang, perlahan-lahan teknologi ini mulai dipergunakan
bahkan oleh pemerintah sendiri sekalipun.”
Dengan semangat untuk memajukan Indonesia, ide yang cemerlang, serta
eksekusi yang terencana, Nodeflux mulai menjajaki produknya ke para investor.
Meski sebenarnya sudah ada beberapa kompetitor yang bermain di segmen ini,
seperti perusahaan-perusahaan rintisan dari China, Jepang, dan Inggris, namun
akhirnya Nodeflux berhasil meyakinkan investor untuk mendanai bisnis mereka.
Salah satu pendanaannya berasal dari perusahaan modal ventura East Venture,
salah satu perusahaan modal
ventura asal Indonesia. Rasa nasionalisme terhadap Indonesia memang
membuat Nodeflux sangat ‘pilih-pilih’ dalam menentukan investor.
Kini, Nodeflux telah dibangun dari semangat dari kurang lebih 73 karyawan lokal. Padahal di tahun 2016, Nodeflux baru memiliki 3 karyawan. Engineer-engineer di Nodeflux sendiri berasal dari berbagai lulusan, seperti UGM, ITB, UI, Binus, dan sebagainya. Nodeflux juga diperkaya dengan engineer lokal yang working remote dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, Aceh, Sukabumi, dan Cianjur.
Lantas, apa yang dilakukan Nodeflux hingga sampai mengguncang dunia
dengan teknologi kecerdasan buatan? Apa yang mereka tawarkan untuk Indonesia
dan dunia?
INTEGRASI ARTIFICIAL
INTELLIGENCE UNTUK SMART CITY
Bagi warga ibu kota, siapa yang tidak mengetahui Pintu Air Manggarai?
Pintu air Manggarai menjadi salah satu momok bagi banjir di Jakarta.
Sebelumnya, belum ada teknologi yang dapat memberitahu ketinggian pintu air di
sana secara otomatis, ketika air telah melebihi ambang batas. Pengamatannya
masih secara manual. Akibatnya ketika air sudah melebihi ambang batas,
pemerintah tidak secara real time
dapat menanggulangi kemungkinan terjadinya banjir. Namun kini, permasalahan ini
dapat ditanggulangi salah satunya dengan teknologi kecerdasan buatan.
Nodefluxlah yang akhirnya mengembangkan teknologi untuk menganalisis dan memantau
ketinggian muka air di Pintu Air Manggarai Jakarta.
Nodeflux bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (PemProv) DKI Jakarta
menerapkan teknologi kecerdasan buatan di Pintu Air Manggarai melalui program
Jakarta Smart City. Sistem ini akan
memonitor dan mendeteksi tinggi muka air. Apabila tinggi muka air telah
melebihi batas, sistem akan langsung memberi tahu petugas terkait. Dengan
teknologi ini, kemungkinan banjir bisa langsung ditangani sebelum makin meluas.
Tidak hanya sebatas pada penanganan pada banjir di ibu kota, Nodeflux juga membantu Pemerintah untuk mewujudkan konsep Smart City melalui platform teknologi bernama VisionAIre. Dengan VisionAIre, Nodeflux menawarkan berbagai kemampuan berdasarkan pemindaian visual, seperti mendeteksi pengenalan wajah, menangkap nomor plat mobil dari kamera CCTV, menghitung kerumunan massa di satu area tertentu, pelacakan kendaraan whitelist/blacklist, mendeteksi jumlah kendaraan di ruas jalan raya, memonitor parkir liar, pemantauan sampah di sungai, hingga mendeteksi pola pergerakan seseorang yang dianggap mencurigakan.
"Kecerdasan buatan itu sumber datanya sangat banyak. Misalnya, teks, suara, gambar, ataupun video. Nah, Nodeflux masuk ke area data image dan video.”
Selain penerapan Smart City,
platform teknologi dari Nodeflux juga turut membantu dalam pelaksanaan Asian Games
2018. Saat itu Nodeflux menggunakan teknologi pengenalan wajah agar perhelatan
olahraga terbesar se-Asia tersebut berjalan lebih aman. Nodeflux juga sukses
mengimplementasi solusi kecerdasan buatan saat pelaksanaan IMF-World Bank Group
Annual Meeting 2018 di Bali.
Saat ini, teknologi dari Nodeflux juga telah mengintegrasikan data kependudukan Indonesia dengan menggunakan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Nodeflux menyediakan platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keamanan dan perlindungan data, sehingga menghindari adanya fraud.
Keakuratan Intelligence Video
Analytic (IVA) dari Nodeflux kini sudah di atas 90% dan akan terus
ditingkatkan, misalnya saja untuk face
recognition tingkat keakuratannya telah mencapai 99,3%. Teknologi IVA berfungsi untuk
memproses stream video dari CCTV
menjadi sebuah informasi yang nantinya dapat diolah menjadi insight yang lebih
berguna.
Nodeflux berharap implementasi teknologi kecerdasan buatan dari mereka dapat menjadi solusi berbagai kemudahan dan efisiensi di berbagai sektor kehidupan, terutama dalam membantu pemerintah mengatasi atau memonitor persoalan sosial yang terjadi di Indonesia.
Sebelumnya, penyedia solusi berbasis kecerdasan buatan masih berasal dari luar negeri seperti China, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya.
“Kini, Indonesia pun bisa dan mampu,” kata Mas Faris penuh semangat.
INOVASI TIADA HENTI UNTUK MAJUKAN INDONESIA
Perjalanan mimpi Nodeflux tidak berhenti sampai pada teknologi yang telah disampaikan sebelumnya. Seperti slogan mereka “Extending Vision Beyond Imagination”, Nodeflux ingin memperluas cakrawala inovasi mereka dengan terus mengembangkan teknologi-teknologi terbaru berbasis Artificial Intelligence, termasuk di situasi Pandemi Covid-19 seperti sekarang.
Salah satu inovasi terbaru dari Nodeflux adalah “Public Mobility Monitoring” yang memanfaatkan kecerdasan buatan berbasis computer vision. Produk terbaru dari Nodeflux ini membantu pemerintah dalam memantau penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta. Teknologi ini dapat memantau kepadatan kendaraan dan orang di wilayah yang menerapkan PSBB. Teknologi ini telah diintegrasikan di hampir 1.500 kamera pengawas (CCTV) di seluruh Jakarta, mencakup 44 kecamatan dan 267 kelurahan.
Nodeflux juga mengembangkan sejumlah solusi layanan
terkait Covid-19, yakni “Social Distance
Monitoring” dan “Face-Mask Monitoring”. Social Distance
Monitoring adalah sistem pemantauan untuk
memastikan jarak aman antara satu dengan lain. Solusi ini dapat
diimplementasikan untuk pengelolaan area perkantoran, toko, atau tempat umum
lainnya. Sementara, Face-Mask Monitoring dapat memberi
peringatan dan mendeteksi adanya manusia yang
tidak mengenakan masker wajah yang tertangkap oleh CCTV..
NODEFLUX BUKTIKAN ANAK BANGSA BISA GO INTERNATIONAL DI BIDANG TEKNOLOGI
Perjuangan Nodeflux selama ini ternyata berbuah manis. Segala usaha,
kerja keras, dan semangat dari setiap tim member menghasilkan beberapa prestasi
baik nasional maupun internasional. Seolah ini adalah sebuah mimpi yang menjadi
kenyataan, akhirnya Nodeflux, startup
teknologi dari Indonesia, bisa berbicara di kancah internasional.
Nodeflux, secara resmi menjadi bagian dari program
NVIDIA-Metropolis Software Partner Program (Nvidia-MSPP). NVIDIA-MSPP
adalah program pemanfaatan kecerdasan buatan untuk smart city. Nodeflux menjadi
perusahaan kecerdasan buatan dari Indonesia pertama
yang masuk dalam daftar ini, bersanding dengan 24
perusahaan AI papan atas dari seluruh dunia. Pencapaian ini telah
menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara maju dunia yang telah lebih dulu
menerapkan AI, seperti Amerika Serikat,
Tiongkok, Inggris, dan Israel.
Nodeflux juga telah tampil dalam South
by Southwest (SXSW), di Austin, Texas, Amerika Serikat, 8-17 Maret 2019.
Dalam konferensi tahunan untuk media interaktif ini, Nodeflux mendemokan fitur face recognition yang mampu mendeteksi garis wajah seseorang disesuaikan dengan wajah
60 karakter wayang Indonesia.
Prestasi Internasional lainnya adalah Nodeflux mewakili Indonesia sebagai pembicara resmi dalam forum pameran teknologi dunia, CeBIT, di Australia pada akhir Oktober tahun 2019. Sebelumnya, Nodeflux juga dipercaya menjadi pembicara World Summit Artificial Intelligence 2019 di Belanda.
Prestasi Nodeflux melalui penerapan kecerdasan buatan semakin tak
terbendung. Di tahun 2020, Nodeflux menjadi pemuncak peringkat di kategori
"Private Sector" pada ajang
Indonesia Enterpreneur TIK (IdenTIK 2020) yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan
Informatika. Melalui pencapaian ini, Nodeflux beserta karya terpilih
lainnya akan mewakili Indonesia pada ajang ASEAN ICT Awards (AICTA) 2020.
Berkat inovasinya, Nodeflux juga berhasil menggondol penghargaan 9th SATU Indonesia Award pada tahun 2018 yang diselenggarakan oleh Astra, di bidang teknologi. Berkat Satu Indonesia Award dari Astra, Nodeflux mendapatkan dukungan dari Astra, terutama dalam hal publikasi bahkan hingga saat ini. Dukungan dari Astra menjadi salah satu karpet merah buat Nodeflux untuk terus memajukan Indonesia.
“Kami jadi bertemu dengan finalis-finalis lain dari berbagai daerah yang memiliki passion yang sama: yaitu memajukan Indonesia. Salah satu kunci dalam memajukan Indonesia adalah jika generasi mudanya mau berkolaborasi, kan?”
Tim Nodeflux yakin bahwa teknologi kecerdasan buatan mampu memajukan Indonesia dan mengubah dunia. Kecerdasan buatan masih akan terus berkembang dan Nodeflux pun berusaha mengimplementasikannya untuk memecahkan permasalah-permasalahan di Indonesia. Nodeflux ingin membangun kecintaan terhadap Indonesia melalui soft power dengan penguasaan teknologi.
“PR-nya ke depan masih banyak, dan kami akan terus bersemangat untuk berinovasi untuk Indonesia,”
Menurut Mas Faris, ke depannya segala sesuatu yang terlihat tidak
mungkin bisa mungkin terjadi. Yang perlu dihilangkan adalah sifat pesimistis
dari generasi muda untuk terus berkembang. Hal inilah yang terus menyemangati
Nodeflux untuk terus semangat memajukan Indonesia. Seperti Ibu Ainun di film
Habibie Ainun 3 yang memilih untuk berkarya untuk Indonesia, akhirnya Nodeflux
akan turut memajukan Indonesia lewat produk-produk berbasis kecerdasan buatan.
Seiring berjalannya waktu, Nodeflux kian menggaung dan menjadi salah satu perusahaan rintisan di bidang teknologi yang membanggakan Indonesia. Melalui teknologi kecerdasan buatan, Nodeflux pun ingin menjadi katalis kemajuan teknologi di Indonesia.
“Dan yang paling penting, kita harus percaya, bahwa Indonesia itu bisa,” ujar Mas Faris mengakhiri obrolan kami siang itu.
#SemangatMajukanIndonesia dari
Nodeflux patut ditiru oleh generasi muda Indonesia lainya.
#SemangatMajukanIndonesia #KitaSATUIndonesia
*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta Astra 2020
*) Tulisan ini diolah dari deep interview dengan narasumber dan dari berbagai sumber
Aku baca ini kayak ikutan bangga gitu mas. Ga nyangka aja di Indonesia sudah mulai ada teknologi begini, dan buatan anak lokal pula.
ReplyDeleteAku udh pernah baca sih teknologi AI. Tapi ternyata kegunaannya itu bisa banyak bangetttt yaaa.
Jadi inget Ama salah satu film Hollywood di mana antagonisnya mengejar suatu teknologi yg mana itu bisa mendeteksi seluruh manusia di muka bumi. Ga akan ada orang yg bisa bersembunyi lagi. Kirain itu cuma khayalan film. Tapi ternyata sekarang mah udah ada teknologinya yaaa :D
Iya bangga banget, Indonesia bisa bicara di kancah International di bidang teknologi. Teknologi AI memang sedang berkembang.
Delete