Jakarta. Hari ini.
Sejak lama,
aku sudah tahu, bahwa sebenarnya aku hanyalah pilihan kedua di hidupmu. Bahkan
kini aku tak yakin, apakah masih ada aku di lingkaranmu. Aku hanya menjadi
titik kecil di luar lingkungan, yang tak pernah digunakan dalam hitungan.
Kawanku bilang, cukuplah aku menyiksa batinku sendiri dengan hal-hal tentangmu.
Kenangan bukan dijadikan hambatan untukmu maju ke depan.
Sejatinya, kamu akan pulang kepadanya, untuk mengingat ada
kisah masa lalu yang mungkin saja belum selesai.
Jangan jadikan ia batuan yang menghadang langkahmu untuk
berlari.
Meskipun itu akan menjadi penghalang, jangan biarkan lukamu
karena kejatuhanmu menjadi penghambat langkahmu.
Apa kabar kamu?
Di lantai
45 gedung
ini, terakhir kali aku memandangi riuhnya ibu kota. Terakhir kali kamu akan
menjadi hambatan-hambatanku. Mungkin, aku memang merindukanmu. Astaga,
bagaimana aku bisa melupakan kenangan-kenangan kita, sementara tak sedikitpun
semua itu menyedihkan.
Aku tak
mungkin akan melupakan saat-saat kita hanya berdua, berdendang tentang malam. Bercerita
tentang mimpi-mimpi ke depan. Membahas perihal kehidupan, yang sejatinya kita
sendiri tidak paham. Saat itu, yang di pikiran hanya hari itu.
Namun, aku
lelah kini. Merindumu yang tak kunjung pasti. Betapa hari mulai merangkak maju,
sementara aku masih berdiri mengenangmu. Menyedihkan memang, ketika aku hanya
terobsesi olehmu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin saja, aku hanya penasaran
tentang secercah perasaan yang tak kuutarakan. Seandainya aku bilang, engkau
dengar, dan menjawab, bisa menerima atau justru menolak. Aku mungkin akan lebih
lega, dadaku lebih lapang, tak ada himpitan selama tahunan. Namun, aku hanya
diam.
Tenang
saja, aku tak akan melupakanmu. Aku berjanji itu.
#
# #
Jogja.
Jakarta. Aku. Kamu. Kenangan kita. Hari ini tahun kesepuluh kita tak bertemu. Tahun
pertama, aku berusaha untuk membisikkan diriku sendiri: bahwa kenanganmu memang
indah, akan aku ingat, tapi sebagai bagian dari masa laluku. Aku harus bergerak
maju.
Dan hari
ini, aku akan ke Jogja. Bukan untuk mengenang kembali hal-hal romantis yang
kita ciptakan, atau menyusuri jalanan kenangan yang kamu tinggalkan. Aku pergi
untuk menjemput bintangku.
Besok
adalah Grand Opening Kedai Kaos cabang kedua. Yang diputuskan untuk dibuka di
Jogja. Setelah mencari-cari lokasi yang tepat, bernegosisiasi masalah
pembangunan dan dekorasi, mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjaga
‘mimpi kami di sana’, kita akan membukanya untuk kali pertama. Setelahnya, aku
dan kawan akan terbang ke Surabaya dan Makassar untuk survey lokasi. Membuka
cabang ‘mimpi-mimpi’ kami selanjutnya.
Di Jogja
nanti, aku akan ijin satu hari pada kawan. Untuk mengenangmu. Terakhir kali
mungkin aku akan mengingat semua detail tentangmu. Jalanan, kos-kosan,
tempat-tempat bersejarah buatku. Meski aku tahu, kamu tidak pernah menjadikanku
istimewa.
Untuk
terakhir, aku janji.
#
# #
Selamat pagi, Jakarta.
Sengaja
aku pergi sepagi mungkin, mengambil pesawat pertama hanya agar berharap aku
bisa lebih lama menikmati Jogja. Pagi ini, aku tidak berharap Jakarta akan
lebih bersahabat di jalanan. Biarkan saja ia seperti itu, toh aku telah memilih menetap di ibu kota. Jadi kuterima apa saja
pemberiannya. Justru di tengah kemacetan Jakarta, aku masih bisa melihat
keluar, menatap jalanan. Tidak lagi marah karena mobil tak bergerak maju. Pagi
itu, aku akan memulai mengingat-ingat kenanganku. Denganmu. Memulai dari
Jakarta, hingga Jogja. Terakhir kalinya.
“Lagi
senang, Mas?” tanya sopir taksi online yang mengantarkanku ke Bandara. Aku
membalasnya dengan senyuman. Hanya aku yang tahu, apakah hari ini kelabu atau
seru.
Perjalanan
ke Jogja yang awalnya kupikir akan menyedihkan, menjadi sangat menyenangkan.
Betapa pikiran kitalah yang mengendalikan apa yang terjadi hari itu. Seperti
rahasia yang ada di The Secret,
bahwa apa yang selalu kamu pikirkan akan menjadi kenyataan.
Apakah
benar?
Jadi,
sejak kuputuskan untuk menerima tawaran kawan, bahwa aku setuju untuk membuka
kedai di Jogja, kuputuskan juga untuk membuang semua pikiranku tentangmu.
Tentangmu, bukan kenanganmu. Kenanganmu terlalu mengendap, jadi kupikir aku
akan tetap menyimpannya. Begitu kiranya, kenangan diciptakan. Manis, pahit,
tetap akan seperti namanya. Hanya untuk dikenang. Kuputuskan juga untuk membuat
semua kenanganmu lebih menyenangkan, bahwa ada satu kisah di masa lalu yang
membuat hari-hariku seru.
Pagi ini
kuawali jalanan di Jakarta dengan senyuman. Maka, perjalanan ke Bandara meski
sedikit tersendat di tol dalam kota, kemudian menjadi sebuah awal untuk babak
yang baru.
Kuposting
foto di instagram, sinar matahari yang merangkak naik keluar dari horison di
ufuk timur, saat liburan ke Lampung melihat lumba-lumba. Kuberikan caption yang
kutulis dengan senyuman :: awal yang baru.
Dalam
perjalanan itulah, aku iseng berpikir, apa jadinya jika nanti kita bertemu.
Entah kapan, entah di mana. Apa yang akan aku ucapkan? Apa yang kamu ucapkan?
Mungkin kita akan berdiam lama, atau justru saling tertawa. Memikirkannya aku
mendadak kembali gila. Astaga, aku kembali tersenyum. Meski kamu telah
menyakiti hatiku, apa pantas aku melukaimu. Aku pasti akan tersenyum, membiarkan
dirimu tersenyum. Wahai pemilik senyuman yang dulu membuatku tidak bisa tidur
setiap malam, apa kabar?
Kudekap
sketsaku yang dulu akan kuberikan padamu. Mungkin jika kita benar-benar
bertemu, aku akan memberikan itu. Astaga,
mana mungkin kita bertemu.
Bandara
pagi itu masih lenggang. Tapi petugas-petugas sudah sigap berkerja, melemparkan
semangat kepada siapapun yang datang dengan senyuman. Aku menarik nafas
panjang, mengingat dulu saat pertama kali datang ke kota ini. Dulu, di bandara
aku menangis, karena aku tak bisa meninggalkanmu, dan Jogjaku.
Setelah
proses check-in yang berlangsung
cepat, aku melangkah mantap. Mencari kopi, sebagai pengawal hari. Kudatangi
kedai kopi paling terkenal seantero jagat, kupesan kopi favoritku jika ke sini.
Caramel Macchiato. Selalu ada pahit,
di setiap manis. Begitulah kehidupan.
“Ada
tambahan?” tanya petugas wanita kedai itu, lagi-lagi dengan senyuman. Aku
menggeleng. Mengapa hari ini semua orang tersenyum? Apakah karena aku mengawali
hari dengan senyum? Dan alam pun akan tersenyum sepanjang hari?
Betapa hari berkoneksi dengan alam.
Betapa apa yang dimulai dengan kemarahan, akan berakhir
kemarahan.
Maka Tuhan menghiasi pagi dengan burung-burung yang
bernyanyi.
Agar supaya siangmu tak tergerogoti emosi, soremu temaram
menjadi malam yang penuh bintang. Ditutup oleh tidurmu tanpa memikirkan, apa
yang terjadi?
Kutunggu
waktu boarding di ruang tunggu sambil
menyelesaikan beberapa desain untuk koleksi Kedai Kaos di khusus hari
kemerdekaan nanti.
Bahwa yang di bawah alam sadar selalu diamini oleh alam,
maka ayah mengajarkan agar apa yang kamu pikirkan
hanyalah senyuman. Ibu pulang membawa sebungkus roti
yang kuminta tadi pagi.
Dan kamu
menyapaku.
Kepalaku
tegak, beralih dari layar tablet sepuluh inchi ke senyuman kecil yang
malam-malam kemarin kurindukan. Bahwa mata ini sungguh tak ingin berkedip,
karena takut setelah membuka kamu tiada. Tapi ini nyata. Kamu berdiri, di
samping koper warna biru gelap bertempel stiker-stiker. Bahkan itulah dirimu
yang sebenar-benarnya.
“Hai,”
katamu. Mengapa selalu kata itu?
Ternyata kamunya masih sama, kitanya yang berbeda.
Senyummu masih seperti pohon randu
di siang yang terbakar oleh api sang mentari.
Jika
pertemuan ini terjadi, beberapa bulan lalu, mungkin saja aku tak akan membalas
senyumanmu. Tapi aku tahu, kini kamu sudah bahagia, apakah aku pantas
menodainya dengan kisah picisan tentang hati yang tersakiti.
Aku, kamu,
dan kita masa lalu. Terkoneksi oleh jalinan hati yang hanya aku yang tahu.
Tidak juga kamu. Buat apa aku melempar kemarahan saat ini, padahal yang kutahu
engkau datang tanpa sengaja. Bahwa Tuhan memang selalu memerintahkan alamnya
untuk mengamini setiap pikiran bawah sadar kita.
Aku pun tersenyum.
- A K S A -
dua koat yang punya kenangan di sana , siplah
ReplyDeleteYes, kenangan yang tidak ingin dilupakan oleh masing-masing...
DeleteJogjakarta selalu meninggalkan kenangan manis bagi siapapun yang pernah ke sana.
ReplyDeleteTrue...magis...
DeleteIya benar :)
ReplyDeleteSelalu ada tempat untuk mengingat tentang Jogja...