Jogja atau Jakarta? Entahlah, hanya kamu yang tahu jawabannya.
Kamu. Jogja. Aku. Dan Kita. Lalu,
kenangan ini. Kamu ingat? Tidak, aku
yang ingat. Kisah ini. Apakah penting? Tidak, aku yang menganggapnya seperti
itu.
Tidak
apa-apa. Setidaknya, aku pernah punya kisah denganmu yang bisa kukenang hingga
nanti. Ini penting untukku, bahkan nanti akan aku ceritakan pada anak cucu.
Bahwa pada masa-masa dulu, aku pernah memiliki cinta yang begitu besar pada
seseorang. Seseorang yang sudah menyulutkan semangat, cinta, kesabaran,
keindahan, dan hari-hari penuh kenangan.
Sejatinya,
kisah kita tidak akan pernah usai. Tidak apa-apa. Novel yang selesai akan
ditutup, film di bioskop yang usai akan ditinggalkan. Mungkin nanti akan
dikenang. Kubiarkan saja ini menggantung, biar waktu yang akan membuatnya
selesai.
#
# #
Pagi
itu, dipertemuan kita di bandara kemudian berlanjut di sekian ribu kilometer
dari bumi penuh kenangan, kita saling bertanya kabar. Tuhan telah menyiapkan
skenarionya. Bahwa ternyata dia memang Sutradara Maha Indah.
Pagi
itu, aku dan kamu satu bangku.
Seperti
janjiku, aku hanya akan sibuk mendengarkan saja cerita-ceritamu. Seperti
dugaanku, kamu tumbuh menjadi orang hebat. Kamu bertambah dewasa. Kamu selalu
tetap mempesona. Kamu sudah menyelesaikan studi S2-mu di Inggris beberapa tahun lalu.
Sekarang kamu bekerja di salah satu perusahaan skala internasional yang
berlokasi di Jakarta. Astaga, bahkan kita pun satu kota selama ini. Mungkin
suatu hari, mobil kita bersandingan di jalanan ketika menikmati macetnya
ibu kota.
Mungkin suatu hari lalu, kita pernah di satu mall yang sama. Mungkin.
“Masih
mendengarkan Lagu Rindu?” tanyamu, sebelum kita berdua meninggalkan bandara.
Aku
hanya mengangguk. Aku malu jika harus mengakui bahwa aku mendengarkan jutaan
kali.
“Aku
duluan,” katamu, mengakhiri pertemuan kita. Setelah sekian tahun lamanya.
“Hai,
tunggu,” kataku. Cepat kuraih buku sketsa yang sudah sepuluh tahun kusimpan,
kutengok setiap malam. Mengingatkanku akan malam ulang tahunmu dulu. Tapi, ini
milikmu. Aku tak berhak menyimpan. Entah angin apa yang menyeretku,
tadi aku mendadak memasukkannya ke dalam tas. Jadi kuserahkan. “Buatmu, ini
hadiah ulang tahunmu dulu.”
Ragu,
kamu mengulurkan tangan. Kamu terima, kamu buka, kamu tersenyum kecil. Senang
rasa melihatnya. “Terima kasih.”
“Maaf
hari itu aku tidak datang. Sebenarnya...” Aku menarik nafas kecil. Diam
sejenak. Kamu ikutan diam. Lalu kulanjutkan, “Aku datang.”
“Aku
tahu,” katamu pendek. Lagi-lagi
kamu tersenyum.
Aku
menghela nafas panjang. Kuingat setiap cacian dari kawan. Bodoh, utarakan saja, apapun kenyataannya.
“Dulu
aku menyukaimu.”
“Aku
tahu,” katamu. Kamu terkekeh kecil. “Aku juga.” Kamu memandangku, lekat.
“Dulu…”
Matamu masih sama. Meneduhkan. “Hanya saja, kita bertemu di saat yang salah.”
Lalu
kamu pergi, meninggalkanku yang tak berhenti tersenyum.
Di
ujung pintu, pangeranmu telah menjemput. Bersama buah hati kalian. Aku
melambaikan tangan, tersenyum lebar. Menutup lembaran kenangan ini dengan satu
kelegaan.
# # #
Hari ini.
Pesawatku
mendarat di Jakarta. Meninggalkan kenanganku. Meninggalkan Jogja. Apakah aku
akan melupakan keduanya? Tidak. Tentu saja.
Jogja
adalah tempat untuk pulang. Tempatku untuk kembali mengingat-ingat, selalu ada
kisah di masa lalu yang tak pernah usai. Namun kuharap, hari ini selesai.
Terima kasih, kamu.
Untukmu,
Meski kisah kita tidak
berakhir indah, tapi buatku ini indah.
Kita hanya dua orang
yang bertemu di waktu yang salah.
Kamu dan Jogja sama
saja,
Menjadi tempatku pulang,
untuk mengingat kenangan.
Kamu dan Jogja sama
saja,
Terlalu istimewa.
Bikin baper 😄
ReplyDeleteYang nulis juga Baper hehe
Delete