JADI BUMI ITU BULAT, DATAR, ATAU PRISMA TEGAK SEGITIGA?


Aku menelusuri jalanan sepi, berhenti di sebuah kedai kopi. Menata hati. Setelah dia pergi. Pelan-pelan aku mulai bermimpi, lagi. Seorang kawan datang, dengan senyuman. Kemarin dia baru saja mengumumkan bahwa dia naik jabatan. Jadi malam ini, aku terpaksa tak mengeluarkan uang. Makan-makan besar.

K : Sudah lama? (Dia bertanya setelah sejam yang lalu dia menginfokan bahwa ada kemacetan luar biasa di jalan protokol ibu kota. Kabarnya ada demonstran buruh yang menuntut kenaikan upah).
A : Tidak masalah. Aku yang ditraktir, jadi kupikir aku akan menunggu sampai kamu datang.
K : Oh iya, tentu saja. (Dia meletakkan tasnya). Dengarkan aku, aku baru saja menemukan hal yang luar biasa sepanjang perjalanan ini.
A : Sesuatu yang kamu sampaikan kemarin? Oh come on, aku tidak ingin mendengarkan apa-apa saat ini, kecuali cerita bagaimana akhirnya kamu bisa naik jabatan. Tentunya juga naik gaji. Oh God, harusnya aku tidak perlu bertanya. Kamu lulusan terbaik, saat ini sudah S2, dan kariermu cemerlang. Apa lagi yang harus kuketahui ?
K : Kamu berlebihan. Tapi sungguh, kamu harus tahu pendapatku tentang hal ini.
A : Apa? Ceritakan. (Aku memanggil pelayan restoran, memesan double expresso dan sepiring singkong goreng keju yang harganya kini bisa sepuluh kali lipat dari pisang goreng di depan kompleks perumahan).
K : Apakah sesuatu yang benar itu sudah benar?
A : (aku mengerutkan kening)
K : Apakah yang salah adalah salah? Bagaimana jika berkebalikan?
A : Bro, kita ke sini tidak ingin membahas hal seperti itu, kan? Percayalah, aku sudah terlalu pusing memikirkan bagaimana harus memotong budget pengeluaran bulanan di kantor, sementara jarak antara rumah ke kantor yang harusnya tiga puluh menit, kini harus dua jam lima puluh menit karena macet.
K : Ayolah, coba tanyakan pada dirimu sendiri. (Seorang pelayang datang, membawa pesanan kami. Dia meletakkannya di meja, lalu permisi). Apa ini? (dia menunjuk singkong goreng).
A : Come on, ini pertanyaan anak kecil. (Aku menyomot satu potong singkong goreng). Ini singkong goreng. Harganya empat puluh ribu. Kamu tahu? Dengan harga yang sama kamu akan mendapatkan tiga piring penuh jika membelinya di pinggir jalan.
K : Bagaimana jika itu bukan singkong?
A : (Aku mengerutkan kening). Kamu kebanyakan minum?
K : Bagaimana jika itu pisang, bukan singkong. Begini. Begini. Kita menghadap arah mana?
A : (Aku kembali mengerutkan kening). Utara (aku ragu).
K : Bagaimana jika utara ternyata bukan utara. Bagaimana jika ternyata utara itu barat dan barat itu timur.
A : Ayolah, kamu tahu itu hanya penamaan.
K : Kita telah ditipu selama ini. Aku, kamu, semua mungkin saja bukan manusia, atau memang manusia. Atau kita sebenarnya tidak hidup di sini, atau ada orang lain di luar sana, bukan, bukan orang—entahlah, siapa dia, yang membuat sebuah permainan, dan kita adalah tokoh di dalamnya. Kamu tentunya ingat Hunger Games, kan? Bagaimana jika Pluto itu bukan Pluto, dan jaraknya tidak sejauh yang kita kira?
A : Kamu terlalu lelah mengejar sesuatu, hingga begitu rumit memikirkan itu.
(terdengar teriakan-teriakan para buruh di luar kafe).
K : Apa yang ternyata kamu yakini selama ini benar, ternyata salah, atau ternyata memang benar. Kamu yakin itu benar?
A : Aku meyakini apa yang kuyakini. Sedangkan, ilmu pengetahuan itu bisa dibuktikan dengan fakta.
K : Sesuatu yang tidak sempurna, bisa saja disempurnakan. Bagaimana jika semua hal di dunia ini hanyalah sebuah ilusi, atau tipuan tingkat akbar.
A : Aku pulang.
K : Hah?
A : Aku mau pulang. Kita bicarakan nanti. (Aku berdiri, lalu memandangnya). Jawab pertanyaanku. Menurutmu, bumi itu bulat, datar, atau prisma tegak segitiga?
K : (mengerutkan kening) Sebelum menjawab itu, aku ingin bertanya apakah kamu percaya apa yang dikatakan olehku, atau orang lain?
A : Sudahlah, kita berhenti saja berteman.


- W -

2 comments