[SERIAL] MATA RANTAI (12)



BAB 15
Malam sudah hampir larut di rumah Lenwa.
Juna duduk di beranda rumah seorang diri, sementara yang lain sudah ada di ruang tengah untuk menyiapkan ‘perburuan’ malam ini. Mata Juna terus menerus mengamati rumah teman Gru. Rumah itu tampak sepi. Setiap Juna melihat ke rumah itu, mendadak pandangannya sedikit mengabur dan kepalanya pening sesaat. Dia seperti merasakan hawa panas di sana. Sejak sore tadi, pikirannya terusik oleh teman Gru yang sejak kali pertama melihatnya langsung menyedot perhatian Juna.
Siapa anak kecil itu?
Juna mendesah. Sebaiknya dia tidak memikirkan hal lain selain kasus Lenwa. Dia harus menyelesaikan malam ini. Menurut Ariana, malam ini Juna harus mencoba untuk menjelajah ke altar lain. Ariana yakin bahwa iblis yang mengganggu keluarga Lenwa pastilah berasal dari tempat antara dunia dan akherat. Tempat di mana para arwah penasaran tinggal. Mungkin saja, iblis itu sebenarnya adalah arwah seseorang yang terperangkap di tempat itu. Dia ingin terlepas, lalu meminta keluarga Lenwa untuk membantu. Dia datang, mengganggu, dia ingin merasa dianggap.
Alasan Ariana cukup meyakinkan Juna. Meski pun dia belum tahu lebih dalam tentang hal-hal seperti ini, namuan Juna merasa bahwa Ariana ada benarnya. Malam ini, dia akan mencoba untuk ‘berkelana’. Walaupun dia masih ragu. Karena dia tidak tahu, tempat apa yang nantinya akan ia tuju. Apakah sebuah tempat gelap dengan lorong-lorong sempit, atau justru ruangan luas dengan cahaya terang. Dia tak tahu.
Satu hal yang ia tanyakan kepada Ariana untuk memastikan saja, dan pertanyaan itu membuat Ariana tertawa.
“Apakah di sana ada kecoa?”
Muka Ariana mendadak merah seperti kepiting rebus karena tertawa.
Juna merapatkan jaketnya, dia masuk ke dalam rumah dan mendapati anak buahnya sedang duduk-duduk. Dia menghampiri Dede yang sedang mengamati layar dua laptop untuk mendeteksi keberadaan iblis di rumah ini. Layar pertama menampilkan beberapa ruangan di rumah Lenwa. Di setiap sudut memang sudah dipasangi kamera pengintai. Sementara layar laptop kedua adalah layar yang menampilkan aplikasi pelacak hantu.
Mendadak Juna mendapatkan ide.
“Berapa jarak yang bisa kamu jangkau?” tanya Juna.
“Pelacak hantu memiliki bintik pelacak GPS yang akan terus menerus mentransmisikan lokasi daerah-daerah yang lebih panas dari lokasi sekitarnya. Gelombang elektromagnet yang ditangkap akan ditranfer ke satelit global penyedia jasa provider dan akan muncul di layar ini. Jaraknya bisa lebih 5-10 meter, namun saat ini aku terus menyempurnakannya.”
“Apakah aku boleh meminjam penguat sinyalnya?” tanya Juna.
Dede mengangguk. Dia menyerahkan alatnya yang lebih mirip sebuah remote AC bertombol besar. Juna membawa alat itu keluar rumah. Jarak antara rumah Lenwa dan rumah anak itu mungkin 10 meter. Jadi kalau dia berdiri di tepi jalan, sinyal Pelacak Hantu pasti akan menjangkau rumah itu.
Tiba-tiba alat itu berbunyi. Lampu kecil di ujung antene berkedip. Dia menoleh ke rumah Lenwa. Di depan rumah, Dede berdiri memegang laptopnya sambil melihat Juna dengan tatapan tidak percaya.
“Aku merasa ada sesuatu di rumah itu,” Juna menunjuk rumah anak itu.
Juna kembali ke dalam rumah, lalu bertanya kepada Gru tentang siapa sebenarnya teman yang tinggal di depan rumah. Gru berkata bahwa anak itu hanyalah teman biasa yang baru saja pindah. Mereka memiliki hobi yang sama, yaitu mainan kereta api mini. Juna menjelaskan kepada semua orang bahwa Pelacak Hantu menandai rumah teman Gru dengan warna merah menyala.
“Apakah anak itu sering main ke rumah ini?”
“Beberapa kali dia bermain dengan Gru. Namun dia memang terlihat sangat pendiam. Ada apa sebenarnya?”
Juna terdiam. Dia merasa ada sesuatu yang menyangkut anak itu yang berhubungan dengan rumah Lenwa. Sesuatu yang harus ia pecahkan malam ini.
Dia menjelaskan secara singkat tentang kecurigaannya. Ia mencoba meyakinkan semua orang bahwa apa yang ia yakini adalah benar.
Rumah teman Gru ditandai warna merah oleh Pelacak Hantu. Asumsinya ada 2. Rumah itu memang berhantu, atau anak itu adalah hantu. Dan Juna merasa asumsi nomer dualah yang benar.
# # #

Juna meminta para asistennya menyiapkan peralatan manual untuk berhubungan dengan iblis itu. Baskom berisi air, pensil, kertas. Ia sangat yakin bahwa anak itu bukan sembarang anak kecil yang suka bermain kereta api. Pasti dia adalah iblis yang sudah mengganggu rumah Lenwa. Mencoba untuk datang ke sini karena merasa kesepian. Dan ia bertemu dengan Gru, anak kecil lain yang juga menyukai kereta api.
Untuk memanggilnya, Juna sengaja meletakkan kereta api mainan Gru di samping peralatan yang lain. Juna sudah membaca beberapa buku tentang kehidupan alam gaib pemberian Ariana. Ia juga sudah mempelajari beberapa kasus yang sudah dipecahkan Mata Rantai. Dan dia harus siap untuk malam ini, apapun yang akan ia hadapi nanti.
Semua orang duduk mengelilingi meja bundar, kecuali Lenwa yang saat ini memilih untuk tidur di kamar. Ia merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Mata Rantai sia-sia. Ia menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa di rumahnya kini. Semuanya sudah selesai. Tetapi Naya memaksa agar Mata Rantai tetap melakukan pembersihkan terhadap rumah mereka.
Tepat pukul 23.00, ritual pembersihan itu pun dimulai.
Selama lima belas menit tak ada tanda-tanda apa pun. Kertas putih masih tetap putih. Air di baskom masih tetap tenang.
“Tunjukkan tanda-tanda jika kamu ada,” ucap Juna pelan. Tapi tetap tak ada reaksi apa pun.
“Mungkin harus orang yang dekat dengan anak itu yang memanggilnya,” tukas Ariana tegas. Dia memandang Gru seolah mengisyaratkan anak itu untuk melakukan apa yang ia katakan.
Gru hanya mengguk kecil. Dia mendekat ke arah baskom, lalu memanggil temannya itu.  
Pet. Nyala lilin padam. Angin berubah sangat kencang. Pensil di atas meja bergerak-gerak, lalu menulis di atas kertas putih. Mendadak ada bau menyengat yang menyeruak. Bau itu timbul tenggelam seiring dengan hembusan angin.
Juna mengambil kertas, lalu memasukkannya ke dalam baskom. Perlahan, tulisan di sana terlihat.
Hai Gru…apakah kamu akan mengajakku bermain?
Semua mata saling memandang. Juna memegang tangan Gru.
“Apakah kamu ada di sini?” tanya Gru.
Pensil itu bergerak lagi, lalu menuliskan sesuatu. Juna perlahan mengambilnya dan memasukkan kembali ke dalam air.
Aku di belakangmu.
Gru perlahan menoleh ke belakang. Tak ada siapa pun di sana. Tetapi, tangannya merasa ditarik oleh sesuatu yang sangat panas. Gru mencoba melepaskannya, tetapi tarikan itu sangat kuat. Tubuhnya terdorong ke depan. Dengan cepat, Juna meraih tangan Gru. Terlambat.
Tubuh Gru melayang di udara, lalu menubruk pintu depan. Juna berlari dan meraih kaki Gru dengan sigap. Untung saja dia belum terlambat, Juna menangkap kaki itu lalu menariknya dengan kuat. Gru terpelanting ke lantai. Dia menangis.
Naya berlari ke arah Gru sambil berteriak lantang.
Juna meraih tubuh Gru lalu mendekapnya erat.
“Cara ini tak mungkin di lakukan lagi. Aku harus pergi ke dunianya,” ujar Juna kepada asisten-asistennya.
“Tetapi kamu belum pernah mencobanya, Tuan. Aku takut kamu akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Sebaiknya kita berkomunikasi dulu kepadanya lewat media ini. Toh, kita memiliki Pelacak Hantu yang bisa membantu,” kata Ariana was-was.
“Terlambat, sinyal Pelacak Hantu merah. Tak bisa digunakan,” kata Dodo sambil mengamati layar laptopnya yang mendadak hitam.
“Apa boleh buat. Kalian harus membantuku,” ujar Juna mantap. Matanya menunjukkan keseriusan.
Semua orang kembali mengelilingi meja bundar. Di atasnya masih ada baskom, kertas, dan pensil. Dodo menyingkirkan benda-benda itu dan menggantinya dengan mainan kereta api. Harus selalu ada media yang digunakan untuk berkomunikasi. Dan Juna merasa, kereta api itu adalah alasan anak itu datang ke mari. Datang menemui Gru.
Juna berkonsentrasi. Menurut buku pengetahuan alam gaib di Mata Rantai yang ia baca, dia harus memusatkan pikirannya di satu titik. Ia harus seolah-olah memandang titik kecil di ruangan yang hitam dan gelap. Titik itu perlahan-lahan akan semakin memudar.
Juna menarik nafas.
Tubuhnya terasa ringan.
Suara di sekitar telinga semakin keras dan berbisik-bisik. Kepalanya berdenyut. Tetapi dia masih terdiam dan berkonsentrasi.
Mimpi itu kembali datang. Ruangan gelap berubah menjadi gedung Mata Rantai yang megah. Orang-orang berjubah hitam. Langit mendung bergelayut. Suara dengungan orang-orang membuat kepalanya pening. Lalu, Mata Rantai runtuh. Tanpa sisa. Menyisakan ruangan berlorong sempit dengan cahaya seadanya. Dan hanya ada dia di sana.
Juna membuka mata. Dia melihat ke kanan kiri. Tak ada siapa pun kecuali dinding kokoh berwarna merah maroon. Juna berjalan pelan menyusuri lorong tak berujung. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Hidunya mencium bau menyengat, seperti bau busuk dari binatang yang sudah mati beberap hari. Semakin jauh ia berjalan, semakin bau itu menyeruak ke hidung dan dengungan di telinga yang semakin keras.
Di ujung lorong, dia bertemu dengan ruangan besar. Di sanalah ia bertemu dengan orang-orang bermuka datar tanpa ekspresi. Muka mereka putih pucat. Ada yang hanya berdiri saja, ada yang duduk, ada yang meraung, ada yang menangis.
Juna bertanya kepada setiap orang yang berpapasan dengannya. Tak ada yang menyahut. Dia terus berjalan. Mungkin inilah tempat yang Ariana katakan : tempat di antara dunia dan akherat. Tempat para arwah penasaran tinggal. Tempat iblis-iblis berkeliaran dan berusaha untuk melarikan diri dengan kabur dan mencoba kembali ke dunia lagi. Para iblis yang menggoda manusia sebagai bentuk kesenangan mereka. Agar manusia-manusia itu bisa meninggal dengan cara-cara tak wajar, agar tempat ini dipenuhi oleh iblis-iblis seperti mereka. Agar mereka tidak merasa kesepian.
Juna terus berjalan sampai dia menemukan seorang anak yang terduduk lesu sambil mendekap mainan kereta api. Anak itu menatap Juna, lalu kembali menundukkan kepala sambil terisak. Anak itu adalah teman Gru, Andika. Akhirnya Juna menemukannya.
“Hai…,” Juna menyapanya.
Andika tak menanggapi. Dia terus menangis.
“Mengapa kamu menangis di sini?”
Andika mendadak berhenti menangis. Dia mengusap air matanya. Mukanya mendongak menatap Juna. Juna tersontak saat melihat muka Andika yang penuh dengan darah.
Andika menyeringai. Giginya yang kekuningan menambah kesan menyeramkan. Dia berdiri.
Juna mundur satu langkah.
Andika berlari menjauhinya. Juna mengejarnya. Lorong itu semakin gelap. Juna kehilangan jejak. Andika menghilang. Juna kebingungan melihat ke kiri dan ke kanan. Yang ada hanya ruang kosong, hitam.
Saat ia mencoba menyesuaikan diri, muncul seorang pria. Kira-kira berumur 20 tahun. Tak seperti orang-orang di sini yang beraut pucat, orang itu tampak segar. Dia seperti manusia pada umumnya. Juna menghela nafas pelan.  Apakah orang itu seperti dirinya, memiliki kemampuan untuk menembus tempat ini.
“Hai, maaf. Apakah kamu melihat seorang anak kecil berlari ke sini?” tanya Juna kepada orang itu.
Orang itu menggeleng. “Akulah anak kecil itu.” Dia menyeringai.
Juna terkesiap. Matanya membelalak. Meskipun muka orang itu tidak semenyeramkan beberapa orang yang ia temui sebelumnya, namun Juna merasa bahwa orang di depannya ini adalah iblis yang sangat menakutkan.
“Siapa kamu?” tanya Juna lantang.
“Andika. Bukankah kamu mencariku?”
Mata Andika melotot, warna putihnya berganti menjadi merah.
“Bukan, kamu pasti bukan Andika.”
“Sebaiknya kamu tidak menggangguku lagi. Dan cepat tinggalkan Gru.”
Andika berjalan mendekat ke arah Juna, tangannya meraih cepat leher Juna. Lalu menekannya keras. Nafas Juna tertahan.
Juna dengan sigap meremas tangan Andika dan menendang perut Andika dengan dengkulnya. Andika terjengkang ke belakang. Namun, dia masih bisa berdiri kembali. Dia tertawa keras sekali. Beberapa detik kemudian, mukanya yang segar berubah menjadi pucat pasi. Dia memandang ke arah Juna dengan ganas. Detik kemudian, muka itu perlahan berubah. Sedikit demi sedikit. Hidung berganti, mata berganti, rambut pun berganti.
Muka itu bermetamorfosis menjadi muka Ben Lenwa.
Juna menelan ludah.
“Siapa kamu?” tanya Juna.
Orang itu kembali tertawa. Matanya yang merah memandang marah ke arah Juna. Dia berlari ke arah Juna, lalu dengan cepat meraih leher Juna dan kembali mencekiknya. Kali ini cekikannya lebih kuat. Juna meronta. Keduanya ambruk di lantai. Ruangan yang temaram menjadi penghalang Juna untuk meloloskan diri. Dia mencoba menggapai apapun yang ia bisa. Tapi gagal. Tangan Andika semakin kuat mencekeram.
Tubuh Juna terbanting dan Andika menekannya dengan kedua lututnya. Juna meronta. Nafasnya tercekat. Dia menggunakan lutut kirinya untuk menendang Andika dari belakang. Andika sedikit lengah, Juna kembali menendangnya. Kali ini, tubuh Andika terpelanting ke depan.  
Kesempatan itu Juna gunakan untuk melarikan diri. Dia berlari, kembali ke lorong panjang berdinding merah maroon. Dia terus berlari dan berlari, berharap segera kembali ke dunianya.
Dia terus bertanya dalam hati, siapa sebenarnya orang itu? Andika? Lenwa? Pikirannya terus mengembara. Namun dia tetap berlari.
Juna melihat pintu bercahaya di ujung lorong. Juna mempercepat larinya, lalu menerobos pintu itu.
Juna tak tahu bahwa Andika yang berlari di belakangnya pun, kini ikut melompat. Menembus altar, ke dunia yang sebenarnya.
# # #

Di bawah temaram lampu dan suara menghentak dari DJ Everdeen, Janero menggoyangkan tubuhnya tak beraturan. Dia tak mengikuti alunan musik, tubuhnya meliuk pelan padahal musiknya berdentam keras. Pikirannya melayang ke beberapa hal belakangan ini. Rasa cintanya pada Ariana yang jelas-jelas masih ada, namun wanita pujaannya itu tidak lekas membalas. Justru lebih terkesan mencampakkannya. Prestasinya di Mata Rantai yang mendadak turun karena Juna memindahkannya menjadi asisten Dodo dan Dede. Dan kehidupannya yang mulai terasa sepi di Jakarta di usianya yang hampir menginjak kepala tiga.
Dan malam ini, ketika semua orang pergi menyelesaikan kasus Lenwa, dia memilih untuk pergi ke club seorang diri. Dia menegak beberapa gelas minuman beralkohol, bergoyang tanpa henti meskipun tidak mengikuti alunan musik, dan duduk sambil bercerita lepas dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya. Kesepian, dicampakkan.
Ini semua jelas-jelas karena kedatangan Juna di Mata Rantai. Semua menjadi kacau karena kehadiran pemimpin muda itu. Janero seperti tersingkir dari beberapa hal. Termasuk kedekatannya dengan Ariana. Ariana lebih sibuk melayani bos barunya daripada menemaninya untuk duduk minum kopi atau pergi nonton. Selain itu, gara-gara Juna juga dia kehilangan posisi penting di Mata Rantai.
Kini ia terpuruk. Apa yang lebih buruk dari nasib seorang lelaki yang kehilangan wanita pujaannya dan karier? Tak ada. Semuanya seperti berkonspirasi untuk menjauh dari kehidupannya.
Dan iblis sepertinya menyukai orang-orang yang sedang dalam keputusasaan. Iblis akan tertawa saat melihat mereka yang terpuruk dan kehilangan arah hidup. Maka malam ini, seorang manusia bernama Janero, sedang dalam kegundahan yang luar biasa besar. Dia dihubungi oleh seseorang yang memintanya untuk menyelesaikan suatu tugas. Janero menjauh dari suara bising di dalam club.
Janero yang terpuruk pun menyetujui permintaan orang itu. Apalagi tugas itu berhubungan dengan orang yang kini sangat ia benci.
“Apakah kamu membencinya, Janero? Aku tahu kamu sangat membencinya,” kata orang itu. Suaranya diberat-beratnya.
Iblis mendekat, mendekap erat telinga Janero, lalu membisikinya perlahan. Kamu memang membencinya, mengapa tidak kamu bunuh saja dirinya.
“Ya, aku sangat membencinya,” jawab Janero dengan nada marah.
“Langkah ini adalah untuk menghancurkan kehidupannya, Janero. Dan tentunya mengembalikan kesuksesan kamu di Mata Rantai. Seperti yang sudah aku katakan padamu, waktu itu. Dia masih terlalu muda untuk memimpin Mata Rantai. Kita tidak bisa diperbudak olehnya. Apakah kamu mau diperintah oleh anak bau kencur itu?”
“Tidak,” teriak Janero. Hatinya mulai panas.
“Kudengar dia sekarang juga sedang dekat dengan Ariana.” Suara orang di seberang sana sedikit melemah, seperti sedang memberi waktu Janero untuk berpikir. “Itu sangat menyakitkan, Janero.”
Tangan Janero mengempal keras. Iblis di sekitarnya bersorak sorai gembira.
“Lakukan apa yang kuminta, dan aku akan memberikanmu imbalan. Tentunya aku bisa dengan mudah mengembalikan posisimu di Mata Rantai, saat Juna Mata sudah terguling nanti. Kurasa untuk mencurinya, kamu memiliki waktu yang cukup. Karena sekarang kamu berada di departemen yang tepat. Bersyukurlah.”
# # #

baca kelanjutannya di sini.

No comments