[SERIAL] MATA RANTAI ( 7 )


BAB 10
Malam sudah larut menyisakan suara jangkrik dan deru angin. Baik Naya maupun Gru sudah tertidur di kamar, sementara Lenwa duduk seorang diri di teras rumah. Naya belum cerita apapun tentang apa yang terjadi, tetapi sejak kedatangan Lenwa tadi, dia mulai bersikap aneh. Terakhir dia mulai meracau sendiri yang tak jelas. Dia berkata bahwa Gru sudah datang, Gru sudah mandi, Gru sudah ingin makan. Itu tidak mungkin, jelas-jelas Gru baru saja
datang bersama dengan Lenwa. Akhirnya Lenwa meminta Naya untuk beristirahat menenangkan diri.
Lenwa menimbang ponsel di tangannya. Sejak terakhir kali ia mengirim SMS kepada pimpinan Mata Rantai setengah jam lalu, dia belum menerima balasan apapun. Dia menceritakan tentang kejadian malam ini. Lenwa yakin, kejadian malam ini bukanlah kejadian yang biasa. Naya pasti tidak berhalusinasi. Ini pasti ada hubungannya dengan makhluk-makhluk yang mengganggu belakangan ini.

Awalnya Lenwa berpikir bahwa dia kelelahan. Tetapi ternyata tidak, dia tidak kelelahan. Setelah merasakan pusing luar biasa beberapa kali, dia mengalami hal-hal aneh. Dia mendengar suara-suara yang berbisik di telinganya ketika ia tidur, melihat bayangan berkelebat di depannya dengan cepat, atau seperti merasakan ada seseorang yang menemani ketika ia duduk seorang diri. Dia juga suka melihat bayangan orang lain di dalam cermin.
Dan bayangan yang ada lebih banyak seorang anak kecil.
Jumat, minggu lalu, Lenwa pulang dari kantor di daerah Sudirman. Hari sudah larut. Pikirannya sudah dipenuhi oleh proposal desain untuk sebuah mall di Bekasi yang digarapnya. Memasuki komplek perumahannya, dia merasakan ada hal yang tidak beres. Mobilnya berhenti mendadak. Dia mencoba menyalakan mobilnya, tidak bisa. Beberapa kali dia mencoba, tetap tidak bisa. Akhirnya dia menyerah dan diam diri di dalam mobil sejenak.
Ketika pikirannya sedang kalut, ada seorang anak kecil—kira-kira seumuran Gru—berdiri tak jauh dari mobilnya. Anak kecil itu berambut sedikit panjang, menutupi telinga, dan berponi. Kulitnya putih bersih. Dia tampak sangat manis. Anak itu diam saja. Lenwa berpikir bahwa mungkin anak itu hanyalah seorang anak dari salah satu penghungi perumahan. Tetapi ternyata anggapannya salah.
Lenwa mengamati dari dalam mobil ketika anak itu berbalik arah, menjauhinya. Perlahan bayangan itu hilang. Tak berbekas.
Lenwa mengucek-ucek matanya. Memastikan bahwa apa yang ia lihat adalah salah. Dia memastikan sekali lagi, tetap tidak ada. Anak itu menghilang. Lenwa buru-buru keluar dari mobil dan berjalan mendekati tempat berdiri anak itu tadi. Tidak ada tanda-tanda bahwa anak itu ada. Lenwa memandang ke kanan dan ke kiri, tak ada siapapun. Bulu kuduknya berdiri ketika angin semilir menerpa tubuhnya.
Menyadari ketidakberesan yang terjadi, arsitektur itu memutuskan untuk kembali ke dalam mobil. Dia pasti kelelahan sehingga berhalusinasi ada seorang anak kecil di depan mobilnya yang mogok.
Lenwa membuka pintu. Tubuhnya kaku. Anak kecil yang tadi berdiri di depan mobilnya, yang kemudian menghilang, kini sudah duduk di dalam mobilnya. Mukanya pucat dan di pelipisnya ada darah yang mengalir.
Anak itu menoleh ke arah Lenwa. Dia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum kecil.
Lenwa membanting pintu mobilnya, lalu berjalan cepat ke belakang. Tubuhnya terjengkang karena ia berhati-hati. Dia menjerit, meminta tolong. Jeritannya semakin keras saat dia melihat anak kecil itu keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya. Lenwa mendadak pingsan.
Saat ia terbangun, Lenwa sudah dikelilingi oleh satpam komplek. Dia tidak melihat anak kecil itu lagi.
Apakah anak itu adalah anak yang sama dengan yang Naya lihat? Jika benar, apa yang diinginkan anak itu? Lenwa sudah menceritakan hal ini kepada kantor Mata Rantai. Dan Juna Mata sendiri yang mengabari bahwa Mata Rantai akan membantu untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi sampai hari ini, belum ada kabar kapankah mereka akan datang. Lenwa takut, suasana mencekam itu akan semakin mengganggunya. Dan Lenwa semakin yakin, rumahnyalah yang bermasalah.
Rumah ini ia beli setahun yang lalu, ketika ia mulai menerima honor dari proyek Galeri Mahakarya. Rumah yang ia beli dari seorang pengusaha garmen. Awalnya tidak ada yang aneh di rumah ini, sampai suatu ketika dia menemukan dirinya mulai dihantui oleh makhluk-makhluk halus. 
Lenwa memang belum cerita apapun kepada Naya. Tetapi melihat kejadian malam ini, dia pasti akan segera mengobrol dengan Naya. Dia tak ingin keluarganya ikut-ikutan diganggu oleh makhluk-makhluk yang entah datang dari mana.
Terutama Gru. Lenwa tak ingin menjadi ketakutan. Lenwa sangat menyayangi anak lelakinya itu.
# # #

Gru Alvando menarik selimutnya sampai leher. Sejak tadi dia belum bisa tidur, padahal latihan sore tadi sangatlah berat. Kak Bagas benar-benar membuat semua anak didiknya berlatih tanpa henti. Pertandingan bola antar klub anak-anak di bawah 10 tahun dua minggu depan memang pantas untuk diperjuangkan. Gru yang memang suka sepakbola mengharapkan dirinya dipilih menjadi seorang kapten, jadi dia berlatih sangat keras.
Seharusnya malam ini, dia langsung bisa tidur. Tetapi tidak. Di saat kelelahan seperti sekarang, dia malah tidak bisa tidur. Dia membolak-balik tubuhnya di atas kasur, menarik selimut, membukanya kembali, duduk, menyalakan lampu, memadamkan lagi. Dia sudah mencoba menghitung domba, tetapi sampai domba-dombanya beranak pinak, dia tetap tidak bisa tidur.
Gru memiringkan tubuhnya menghadap ke dinding. Dia kembali menghitung domba. Tetap tidak mempan. Tetapi, tubuhnya memang mulai letih dan matanya mulai mengantuk. Dia terus menghitung domba dan memejamkan matanya rapat-rapat.
Baru saja nyawanya ada diambang hidup dan tidur, ada seseorang yang memanggilnya.
Seorang anak kecil.
Suaranya pelan. Sangat dekat. Gru membuka mata perlahan, memasang telinganya.
“Mam…Pap…” Gru memanggil kedua orang tuanya. Tidak ada yang menyahut. Gru memejamkan matanya kembali. Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan sangat dekat.
Gru membuka matanya cepat. Suara itu terdengar sekali lagi, di bawah tempat tidurnya. Gru perlahan melongokkan kepala ke kolong tempat tidur. Tetapi, tidak ada siapapun di sana.
“Gru….”
Gru duduk. Melihat ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapapun. Suara itu terdengar lebih keras. Gru merasa bahwa suara itu berasal dari permainan kereta api yang ada di atas meja. Dia turun dari tempat tidur dan memeriksa mainan itu. Tak ada apa-apa.
“Jangan ambil mainan itu…”
Gru menoleh. Suara itu berkelebat di belakangnya, seperti ada seorang yang berlari. Namun, tidak ada siapa-siapa. Gru melihat mainannya, lalu membantingnya ke lantai. Dia ketakutan dan berlari ke arah pintu. Buru-buru ia menarik gagang pintu, namun tidak berhasil. Pintu kamar tidak bisa dibuka. Gru berbalik arah.
Di dekat mainannya, Gru melihat seorang anak kecil sedang jongkok. Matanya sayu dan pucat. Anak kecil berponi itu memandang ke arah Gru. Dia memakai baju tidur warna biru muda.
“Mau bermain denganku?” ucap anak kecil itu.
“Mama…Papa….” Gru menggedor-gedor pintu kuat-kuat.
# # #

Hari Senin. Pukul 10.00. Ruang Meeting lantai 7 gedung Mata Rantai. Ruang meeting yang hanya muat untuk 15 orang itu penuh terisi oleh para Chief Rantai dan Para Asisten Juna. Juna memerintahkan semua Chief agar datang ke Jakarta karena ada hal penting yang harus ia sampaikan. Ia tak ingin berbicara pada hologram saja. Dia ingin melihat mereka langsung.
Tak ada yang bersuara ketika memasuki ruangan meeting itu. Mereka tidak membahas apapun sampai Juna datang bersama Ariana. Meeting langsung dibuka oleh Juna sendiri. Ada 3 komponen besar yang langsung disampaikan oleh Juna. Pertama, akan ada pemotongan opex besar-besaran di semua lini bisnis. Cost Reduction Program jangka pendek dan jangka panjang akan dilaksanakan. Juna sudah memikirkan masak-masak bahwa cara tercepat untuk memulihkan kondisi keuangan perusahan ini adalah dengan melakukan pemotongan biaya. Jadi semua lini bisnis dari atas sampai bawah diberi tantangan untuk melaksanakannya.
Tentu saja Ronero tidak setuju jika lini bisnisnya juga mengalami Cost Reduction. Karena dari laporan keuangan tiga bulan terakhir, hanya dirinyalah yang mengalami pertumbuhan positif. Namun, Juna kali ini bersikeras bahwa semua Chief harus mematuhinya. Tak satupun bisa membantah. Beberapa kali, Ronero sempat berdebat dengan Juna. Juna mempertahankan apa yang sudah menjadi keputusannya, sedangkan Ronero tetap tidak setuju.
I’m your Boss, now. Seberapa tua Anda berada di Mata Rantai, atau seberapa banyak pengalaman Anda, sekarang sayalah yang tetap memutuskan.” Perkataan Juna langsung membungkam mulut Ronero. Juna sudah menahan diri untuk tidak mengatakan kalimat ‘I’m Your Boss’, namun dia sudah tidak tahu lagi bagaimana menghadapi para Chief yang usianya memang jauh di atas dirinya.
“Kedua, ada beberapa perombakan di asisten saya. Saya merasa bahwa selama ini, tugas masing-masing asisten masih kabur. Ada tumpang tindih dalam pembagian kerjaan. Jadi, saya ingin merombaknya.” Juna memandangi asistennya yang duduk berseberangan dengannya. Semua kepala asisten tampak mendongak. “Arya tidak lagi akan menjadi asisten. Dia akan menjadi penasehat utama. Kita tentu sudah tahu bahwa Tuan Mata sebelumnya sudah mempercayakan sepenuhnya perusahaan ini kepada Arya. Arya tahu seluk beluk tentang perusahaan ini. Jadi, saya mengangkat dia jadi penasehat utama. Tugasnya adalah mengontrol semua hal di Mata Rantai. Kasarnya, jadi orang kedua saya. Posisinya ada di atas para asisten.” Juna melihat Arya yang dibalas dengan anggukan. Menurut Juna, Arya pantas mendapatkan penghargaan ini.
“Dodo dan Dede tetap akan memegang konsultasi gaib. Namun kapasitasnya saya tambahi. Saya tak ingin hanya sebagai konsultan, namun juga sebagai seorang peneliti, seorang pengembang untuk aplikasi-aplikasi yang bisa membantu. Akan ada dana tambahan yang khusus saya berikan. Nanti Arya yang akan mengurus tambahan dana ini. Dibicarakan dengan departemen Finance dan Akunting.” Juna melirik Dodo dan Dede yang tampak sangat kegirangan.
“Eva tetap akan membantu saya untuk memilih baju, tak ada yang lebih hebat dari dia untuk urusan fashion di sini. Saya mempercayakan sepenuhnya pengaturan baju saya kepadanya. Dan Gordon akan tetap mengawal saya sampai kapanpun.”
“Dan Ariana,” Juna melirik ke arah Ariana. Wanita itu membalas tatapan Juna. “Ariana akan menjadi asisten pribadi saya.” Ariana membelangakkan mata. “Mengatur semua jadwal saya seperti biasa. Namun, sekarang dia khusus bekerja untuk itu. Tak perlu terlibat diurusan hal gaib, keuangan, atau fashion.”
“Lalu saya?” tanya Janero.
Juna menahan nafas sebentar, sebelum dia melanjutkan ucapannya. “Sudah saya bilang sejak awal tadi bahwa tidak akan ada lagi tugas asisten yang merangkap. Jadi…” Juna menarik nafas kecil. “Kamu akan saya perintahkan untuk menjadi asisten Dodo dan Dede di Departemen Gaib dan Teknologi.”
“Asisten….mereka?” Janero menunjuk ke arah Dodo dan Dede.
“Iya, ada masalah?” Juna memandang Janero.
Janero mendengus sebal. Dia tak berkomentar.
“Ada yang keberatan dengan keputusan saya?” Juna meninggikan suaranya. Tak ada yang bersuara. “Jika tidak ada, saya ingin melanjutkan ke hal ketiga yang ingin saya sampaikan. Ada satu kasus yang harus saya pecahkan. Bapak dan Ibu sudah tahu bahwa untuk ilmu gaib saya masih jauh, jadi saya ingin terus belajar. Dan kasus ini akan sebagai langkah awal saya untuk mendalaminya.”
Juna lalu menceritakan tentang kasus yang menimpa Ben Lenwa dan keluarganya. Beberapa minggu yang lalu, tepatnya saat peresmian Galeri Mahakarya, Lenwa menelepon dirinya. Dia berkata bahwa dia seperti diganggu oleh makhluk halus. Dia diteror terus menerus. Bahkan kemarin, tidak hanya dirinya yang diganggu. Namun juga keluarganya. Naya, istrinya, dan Gru, anaknya mulai didatangi juga. Dan Lenwa beranggapan bahwa rumahnyalah yang bermasalah.
“Lenwa tak pernah cerita apapun kepadaku,” ujar Alexa Crain.
“Dia memang belum cerita kepada siapapun. Kebetulan setelah kamu memperkenalkan kami di pembukaan Galeri Mahakarya, dia menghubungiku. Dia meminta tolong agar Mata Rantai membereskan kasus ini,” kata Juna. Lanjutnya, “Jadi saya akan konsentrasi untuk belajar. Saya tahu belajar hal ini tidak mudah, saya butuh konsentrasi. Jadi dua minggu ke depan, semua hal tentang Mata Rantai akan saya serahkan kepada Arya. Saya akan tetap memantau dan menerima laporan.”
Meeting siang itu berakhir saat makan siang. Tak ada perdebatan, walaupun Juna tahu, ada beberapa orang yang tidak menyetujui keputusannya.
“Tuan…” Arya menghampiri Juna yang tengah memberesi berkas di meja. “Boleh bicara sebentar.”
Juna mengangguk. “Katakan,”
“Apakah tidak berlebihan untuk pengangkatan saya….”
“Arya, tidak ada yang berlebihan. Lagian semua orang sudah setuju, bukan? Apa yang perlu dirisaukan.”
“Ada banyak orang yang lebih berhak untuk ini. Ronero misalnya, dia lebih senior. Atau Alexa Crain, atau…”
“Tapi Tuan Mata lebih mempercayaimu daripada mereka. Saya pun begitu. Jadi, bantulah saya.” Juna menatap Arya penuh arti. “Saya sangat membutuhkan bantuan Anda dan para asisten untuk mengatasi permasalahan Mata Rantai.”
Arya tampak terdiam. Lalu mengangguk. “Saya akan berusaha.”
“Tentu saja, Arya. Saya berharap lebih padamu. Oh iya, saya akan pergi ke butiknya Eva sebelum pergi ke rumah Ben Lenwa. Saya akan mengajak Ariana. Apakah kamu masih membutuhkanku?”
“Oh tidak, tentu tidak. Tuan bisa pergi sekarang.” Arya mengangguk kecil. Juna mengangguk juga, lalu pergi meninggalkan ruang meeting.
# # #

Mobil Juna melaju ke butik Eva di daerah Kemang. Hari ini, Juna memang sudah janji akan pergi melihat butik Eva setelah meeting. Dan dia mengajak Ariana untuk menemaninya. Eva sudah pergi duluan dengan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan antara Juna dan Ariana di dalam mobil. Keduanya tampak terdiam memandangi jalanan Jakarta siang itu yang mulai macet.
Sebenarnya Ariana ingin sekali mengajak Juna berbicara, namun dia memilih untuk diam saja. Sesekali dia melirik Juna yang juga diam. Lelaki di sampingnya kini sejujurnya sangatlah menarik. Ariana sempat terpesona olehnya. Dari semua hal yang Juna miliki, matanyalah yang menyiratkan pesona yang luar biasa. Mata yang bulat, bening, berwarna biru kehitaman. Dikelilingi oleh bulu mata yang panjang, walaupun tidak terlalu lentik, dan alis mata yang tebal. Jika memandang orang, mata itu seperti berbicara. Dan wanita manapun pasti akan tenggelam di dalamnya ketika diajak bicara. Maka, Ariana paling tidak suka memandang mata itu saat berbicara dengan Juna. Karena pasti dia akan kalah, dia akan tak sanggup bicara.
Selain itu, pipi Juna juga membentuk rahang yang kuat. Raut wajahnya tidak bulat, tapi lonjong dengan kedua pipi yang membentuk pahatan wajah sempurna. Pipi itu dilapisi oleh kulit yang tidak putih dan tidak cokelat, gabungan keduanya memberikan efek warna yang justru menarik untuk paras lelaki. Juna juga pasti rajin membersihkannya, karena mukanya tampak bersih bercahaya.
Beberapa kali berada di dekat Juna, membuat dada Ariana berdegup kencang. Lelaki itu sangatlah wangi. Wangi khas seorang pria yang kadang bercampur dengan asap rokok. Postur tubuh Juna yang tinggi dan lingkup dadanya yang kuat, menurut Ariana adalah tempat yang nyaman untuk bersandar. Berada dipelukannya pastilah menyenangkan.
Ariana tertawa kecil, menertawakan lamunannya yang tidak-tidak. Tapi jujur, Juna memang tipe orang yang mengintimidasi setiap wanita yang berada di dekatnya. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya.
“Mengapa kamu tersenyum kecil seperti itu?” Tahu-tahu Juna sudah memandang Ariana dengan muka datar. Alis kanannya terangkat sedikit.
Ariana seperti terperangkap. Dia mencoba menenangkan diri. Dia mengusap hidungnya yang tidak basah.
“Kamu gugup semobil denganku?” tanya Juna.
Ariana terkejut. Jika tidak ada pintu mobil di sisi kirinya, pasti dia sudah terlonjak ke belakang dan jatuh. Gugup? Ariana menelan ludah. Jika diingat-ingat, Ariana memang tidak pernah berduaan dengan Juna selama ini, di dalam mobil terutama. Jika mereka bersama, pasti selalu ada Dodo, Dede, atau Eva. Atau jika tidak, mereka sedang dalam diskusi tentang kerjaan yang serius. Bukan dalam suasana santai saat ini.
“Atau kamu masih teringat dengan warna boxerku waktu itu?” tanya Juna kemudian.
“Apa?” Ariana mendengus sebal mengingat peristiwa pagi itu. Dia benar-benar berada di suasana yang canggung. Kejadian di kamar waktu itu sebenarnya sangat memalukan. Bisa-bisanya dia dengan tenang berbicara dengan lelaki—dan itu bosnya—yang hanya berpakaian boxer saja. Mungkin saat itu pengecualiaan. Toh saat itu, Ariana dalam suasana yang leluasa. Bisa bergerak ke mana pun. Bukan seperti sekarang yang terjepit di dalam mobil.
“Apakah kamu sudah melihatnya?” Tanpa menunggu jawaban dari Ariana, Juna kembali bertanya. Ariana mengerutkan kening. “Tatoku, di pusar. Apa kamu melihatnya?”
Ariana mendelik. “Oh tidak, aku bahkan tidak menyadari kamu sedang bertelanjang dada waktu itu, Tuan.”
Juna mendesah kecil. “Ah, wanita selalu berpura-pura. Terlihat dari hidungmu yang sekarang merah. Akui saja, badanku memang bagus. Apalagi dengan tato di pusar yang keren. Kamu mau melihatnya sekarang.” Juna pura-pura akan mengangkat kemejanya.
“Jangan macam-macam.” Ariana mengangkat tasnya, membentengi diri. “Meskipun kamu adalah bosku…”
“Yeah, I’m Your Boss…”
“Bukan berarti bisa berbuat semena-mena. Nanti akan aku laporkan ke KOMNASHAM.”
Juna tertawa melihat reaksi Ariana.
“Nggak lucu,” Ariana mendengus sebal dan kembali menatap jalan, tak menghiraukan Juna.
“Habisnya kamu gugup, ngerti? Semobil dengan orang tampan memang selalu bikin gugup kok.” Juna melirik Ariana, tapi wanita itu tidak meliriknya sedikitpun. Juna menimpalinya lagi. “Mengapa kalau wanita selalu ngambek, justru aku semakin senang menggodanya?”
“Aku tidak ngambek,”
“Aku tidak bilang kamu ngambek,”
“Terserah,”
“Dan selalu bilang terserah.”
“Apa maumu?”
“Dan selalu bilang apa maumu,”
Ariana diam. Juna tertawa kembali. Tapi dia segera mengabaikan Ariana, karena mobilnya sudah memasuki pekarangan parkir butiknya Eva. Parkiran itu tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk 4-5 mobil saja dan beberapa sepeda motor. Sisanya biasanya parkir di tepi jalan. Untung hari itu tidak terlalu ramai, jadi mobil Juna bisa parkir tepat di depan pintu masuk.
Perdebatan di dalam mobil pun berakhir. Ariana tanpa mempedulikan Juna, keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam butik.
“Ini siapa yang jadi bos sih?” Keluh Juna saat melihat Ariana pergi. “Dasar wanita,”
Butik Eva bergaya tradisional modern. Dari depan tampak ornamen-ornamen dinding kayu yang dipadukan dengan lampu gantung warna perak. Jendela kaca besar memperlihatkan beberapa baju rancangan Eva. Ada kursi-kursi dari potongan batang kayu besar yang diletakkan berdampingan dengan meja kaca berkaki perak. Paduan yang sederhana namun keren. Di depan, ada plang besar bertuliskan BOUTIQUE BY EVAGE yang berwarna perak dan berlatar kayu cokelat.
Ketika masuk, kita akan disambut oleh ruangan besar dengan sofa rotan cokelat berbusa merah maroon. Meja resepsionis berada di ujung ruang dan tampak seorang wanita dan pria berada di balik meja.
Juna masuk dan mendapati Ariana sudah duduk di sofa bersama Gerry. Tak ada percakapan di sana.
“Hai…” sapa Juna kepada Gerry. Baru dua kali Juna bertemu dengan pacar Eva tersebut. Dan ternyata jika dilihat dari dekat, mirip dengan salah satu personelnya One Direction. Oke, mungkin Juna tidak tahu siapa saja personelnya One Direction.
Ariana memberi isyarat kepada Juna agar duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Juna menurut karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku nggak ngerti lagi harus gimana, Ariana. Emang Eva selalu gitu, ya? Dia belakangan ini jadi cemburuan. Padahal, cowok itu adalah temannya temanku. Kemarin dia minta diantar beli kemeja. Ya, karena seleraku memang bagus, aku mau aja. Aku bukan maksud apa-apa. Tapi Eva mempermasalahkannya,” ujar Gerry dengan muka sedih.
Juna tampak tak mengerti dan mencari tahu jawab dari Ariana. Ariana menggeleng pelan.
Gerry menatap Ariana. “Jadi aku harus bagaimana?”
Ariana yang ditodong pertanyaan seperti itu, tampak terkejut. Belum hilang keterkejutannya, Eva sudah datang dengan muka tampak lusuh. Make up-nya berantakan, sepertinya habis menangis. Dia mendatangi Gerry.
“Mengapa kamu masih di sini?” tanyanya kepada Gerry.
Gerry berdiri dan mencoba memegang tangan Eva. “Sayang, aku bisa jelaskan.”
“Cukup, aku nggak mau penjelasan apapun. Aku sedang banyak tamu, jadi plis, mending kamu pergi dulu.” Eva memandang Ariana dan Juna bergantian. “Oh, ada kalian. Maaf, aku sedang kalut. Jadi aku…”
“Tidak, kami yang salah. Kami akan datang lagi sore nanti. Sekarang selesikan masalahmu dengan Gerry terlebih dahulu.”
“Oh, tidak Ariana…”
“Tidak Eva. Kami pergi dulu. Bukan begitu, Tuan Juna?” Ariana memberi kode kepada Juna agar menyetujuinya. Juna yang tak tahu apa-apa hanya mengangguk kecil menyetujui.
Ariana dan Juna akhirnya minta ijin untuk pergi. Setelah di dalam mobil, Juna baru meminta penjelasan kepada Ariana.
“Haduh, kamu nggak peka banget ya jadi Lelaki. Eva dan Gerry sedang ada masalah. Eva menuduh Gerry berselingkuh. Gerry kemarin pergi sama teman lelakinya untuk belanja baju. Dan setelah itu, mereka sempat beberapa kali SMS-an dan jalan bareng. Eva jelas curiga. Aku tadi sempat dicurhati Eva sih sebelum meeting. Tapi aku nggak menyangka bakal serumit tadi. Lelaki memang begitu ya, suka mempermainkan wanita. Ya, kan?” Ariana menoleh ke arah Juna yang memandangnya heran. “Ya, kan?”
“Apa? Aku tak mengerti. Dari tadi kamu nerocos saja tanpa henti. Aku tak tahu apa yang kamu katakan. Tapi tunggu, aku mulai mengerti sekarang.”
“Kamu memang menyebalkan.”
“Aku?”
“Iya, kamu. Kamu harusnya peka sedikit jadi bos.”
“What, mengapa jadi aku yang dipermasalahkan. Tunggu, aku nggak tahu apa-apa masalah Eva. Dan permasalahan dengan pacar Gay-nya itu. Jadi aku tidak bisa berkata apa-apa.”
“Jangan pernah berkata seperti itu. Mereka pasangan biasa. Justru, cinta mereka itu luar biasa. Dan bahayanya, kalo sudah cemburu, bisa berabe. Sudah pernah dengar kan  beberapa kasus pembunuhan gara-gara cemburu cinta sesama jenis.”
Juna menarik nafas. Dia benar-benar tidak paham. “Oke, aku pusing sekarang. Aku lapar.”
Mobil Juna tahu-tahu sudah belok ke salah satu restoran di daerah Kuningan. Setelah mendapatkan parkir, Juna keluar dari dalam mobil tanpa mempedulikan Ariana. Saatnya balas dendam, batin Juna. Ariana berlari kecil mengejar Juna.
“Haduh, Tuan. Mengapa sih suka bikin rencana dadakan kayak gini.”
“Aku lapar. Kamu mau aku mati kelaparan.”
Seorang pelayan mencegat mereka di depan pintu. Juna memesan satu meja dan pelayan itu mengantarkannya ke salah satu meja. Baru beberapa langkah mereka masuk ke dalam restoran, langkah Juna terhenti. Tangannya menarik tangan Ariana. Ariana hampir marah, namun buru-buru Juna menutup mulutnya dengan telunjuk.
Juna menunjuk salah satu meja di dalam restoran.
“Sepertinya kita jangan makan di sini.” Juna menoleh ke arah Ariana. Ariana melihat ke arah yang ditunjuk Juna.
Ariana melihat ada Janero dan Ronero sedang makan dan berbincang di sana.
“Kita pergi saja,” ajak Juna sambil menarik tangan Ariana.
“Kenapa?” tanya Ariana pelan.
“Nanti kuceritakan.”
Juna dan Ariana keluar dari restoran dan tidak menghiraukan teriakan pelayan yang tadi melayani mereka.
# # #

Baca kelanjutannya di sini.

4 comments

  1. Err siapa hantu anak2 itu??? Masa ditabrak kereta???

    Err hrsnya juna sama arian nguping si jareno hihi

    typo beberapa kata, kaya: setujua, bukan? Apa yang perlu dirisaukan.

    Beberapa kalimat tanya diakhiri titik, hrsnya ?

    Aaa semangat belajar Juna!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe. Kamu mau ngelamar jadi editor? Thank you koreksinya. Jdi semangat belajar.

      Delete
  2. Masuknya Genre apa nih sob?

    Salam kenal ya ditunggu next cerita :)
    kunjungan baliknya nih kalau berkenan ^.^ dedimagination.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo

      Genre campur aduk sob.

      Salam kenal balik.

      Delete