[DONGENG] SAMUDERA : BILA RASA INI RASAMU


INTRO
Soundtrack : Bila Rasa Ini Rasamu, oleh Kerispatih
Aku memang terlanjur mencintaimu, dan tak pernah kusesali itu. Seluruh jiwa telah kuserahkan, menggenggam janji setiaku. Kumohon jangan jadikan semua ini, alasan kau menyakitiku. Meskipun cintamu tak hanya untukku, tapi  cobalah sejenak mengerti.
Tinggal menghitung menit usiaku bertambah.
Aku menghitung mundur, setiap detiknya aku nikmati dengan nafas memburu. Aku tidak sabar untuk membuka mata, meniup lilin yang kunyalakan, lalu membuka satu persatu ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari—entah dari siapapun mereka. Sejak satu jam lalu, aku tiduran saja di atas kasur. Memejamkan mata. Lampu kamar sengaja kumatikan. Kue ulang tahun sudah ada di atas meja, di sampingnya ada korek api.
Kuhitung detik demi detik. Kurasakan nafasku semakin memburu. Ini adalah ulang tahunku yang ketujuh belas. Ada dua orang yang kutunggu-tunggu untuk mengucapkan ulang tahunku. Pertama, ayahku yang sudah sangat lama tak kutemui. Kedua, nama yang hanya ingin kunikmati sendiri, aku tak ingin mengucapkannya. Aku berharap mereka akan mengucapkannya, menelponku, atau memberikan kejutan lainnya. Atau ternyata mereka memberi kejutan bersama teman-teman. Datang ke rumah, mengetuk pintu, aku pura-pura terkejut, dan mereka membawa kue dan hadiah.
Baiklah, baiklah. Tinggal beberapa detik lagi. Tigapuluh, duapuluh sembilan, duapuluh delapan...aku menghitung mundur. Aku tak tahan untuk membuka mata, menyalakan lampu, menyalakan lilin, membaca pesan-pesan.
Lima...empat...tiga...dua...satu...
Aku menyalakan lampu, menyalakan lilin, kupanjatkan doa kepada Tuhan.
Aku menutup mata lagi, berdoa dengan khusuk. Tuhan lindungi ibuku. Dimanapun dia berada. Lindungilah dia.
Lindungilah dia...dia yang bernama Samudera. Ya Tuhan, bahagiakanlah aku. Amin.
Kubuka handphone perlahan. Belum ada pesan. Satu pun. Baiklah. Mungkin sebentar lagi.
Aku tersenyum kecil. Duduk di tepi ranjang. Kubuka lagi handphoneku. Ada satu pesan, ah dari Ava, teman dekatku. Pantas saja. Lalu...mana ayah, mana Samudera. Baiklah, aku tunggu saja.
Tak ada. Hingga jam 6 sore hari ini.
# # #

Pernahkah kalian suka pada teman sekelas kalian? Yang duduknya hanya di depan kalian, yang sukanya minjem pulpen dan tip-X. Yang kadang suka ngajak ngobrol juga. Pernah nggak, kalian tiba-tiba dekat dengan si dia yang duduk di depanmu itu, yang punya senyum sejuta pesona. Tipe cowok yang irit senyum, namun sekalinya senyum bikin lumer hati. Tipe cowok yang kalo dilihat sekilas, langsung bikin jantung mau copot ke tanah. Tapi ternyata, deketnya hanya deket saja.
Aku pernah. Namanya Samudera.
Awalnya kami biasa-biasa saja. Dan mungkin, dia juga menganggapku biasa-biasa saja. Tapi, ternyata kalau suka sama seseorang itu nggak bisa dipaksa. Ya, mengalir begitu saja. Sering ngobrol berdua, ngerjain PR bareng, sering ke kantin bareng, lalu tiba-tiba ada satu titik dimana hati kita tiba-tiba kesengat lebah cinta. Tiba-tiba kita jadi sering senyum-senyum sendiri di depan cermin, sering melamun, sering suka salting. Tiba-tiba semua tentang dia adalah indah dan benar.
Namanya Samudera. Orang-orang memanggilnya Sade.
Sade bukan tipe cowok pintar di kelas dengan peringkat nomer wahid. Bukan. Dia biasa-biasa saja. Sade bukan tipe cowok yang dandannya rapi jali, rambut selalu disisir, dan pakai parfum. Bukan. Dia cenderung orang gila yang selalu memakai sepatu butut, diinjak bagian belakangnya, yang pakaiannya nggak pernah sekalipun menyentuh setrika, yang kalo deket dia justru bau keringat daripada parfum. Tapi Sade adalah tipe cowok yang menyenangkan, cowok yang mencintai ibunya lebih dari apapun—ayahnya sudah meninggal, tipe cowok yang selalu melindungi siapapun—cewek ataupun cowok. Dan di samping dia aku merasa nyaman.
Sungguh aku jatuh cinta kepadanya. Mungkin ini efek dari aku sering bertemu dengannya. Mungkin ini efek karena aku merindukan sosok seperti Sade, yang melindungi, yang menyayangi. Yang tak pernah kudapat sejak aku berumur sepuluh tahun.
Atau aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dan dia tak sedikitpun tahu tentang itu.
Atau aku hanya butuh orang yang aku sayang, karena aku tak lagi punya ayah. Bukan, ayahku bukan meninggal. Ah, mungkin saja dia memang meninggal. Dia memang meninggal di balik jeruji. Karena dia membunuh ibu.
# # #

Aku tinggal bersama Pak Lik Sukardi dan Bu Lik Sumi. Orang-orang tak ada yang tahu orang tuaku di mana. Mereka hanya tahu bahwa orang yang bernama Sukardi adalah ayah dari Wening Senja Rini, dan Sumiyati adalah ibunya. Tak ada yang tahu bahwa hati kecil anak yang berusia lima tahun waktu itu, terkoyak saat melihat ibunya bersimbah darah di lantai. Tak ada yang tahu bahwa sebulan setelah ibunya meninggal ditusuk perutnya, ayahnya dimasukkan ke penjara. Dialah pelakunya.
Ayah tak suka ibu mengurusi semua urusannya. Mereka sering cekcok di rumah. Apalagi setelah ketahuan ayah sering mabuk-mabukkan dan main wanita.
Aku sudah melupakan itu semua. Semua hal-hal pahit yang masih membayangiku hingga sekarang, namun aku berusaha untuk melupakannya. Aku ingin mereka hilang satu persatu. Kenangan tentang ayah dan ibu adalah buruk, tapi aku tak pernah membenci mereka. Mereka yang telah menghadirkan aku ke dunia ini.
Meskipun sampai detik ini, aku tak bisa melupakan peristiwa malam itu. Saat ayah pulang tengah malam dengan keadaan mabok. Ibu terjaga untuk membukakan pintu, dan akupun ikut terjaga. Aku melihat dari balik pintu kamarku saat ibu tergopoh-gopoh berjalan ke arah pintu depan. Ayah datang. Mereka berdua terlibat pembicaraan. Aku tak cukup mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi ayah tiba-tiba menampar wajah ibu. Ibu menangis, aku ikut menangis. Dan kejadian itu begitu saja terjadi. Ayah mengambil pisau yang ada di meja makan dan menghunjani ibu dengan pisau itu. Tepat di dada. Ibu sempat berteriak sekali, lalu terdiam. Aku berlari ke arahnya. Dan ayah terpaku di tempat. Kulihat dia menurunkan pisaunya, lalu tertunduk lesu di lantai. Aku menangis memeluk ibu yang saat itu telah tiada.
Kelakuan ayah mengajarkanku tentang arti kehadiran seorang lelaki. Aku takut berdekat-dekatan dengan mereka. Aku takut disakiti, seperti ibu. Aku takut dikhianati, seperti yang dialami ibu. Aku takut aku akan lebih sakit hati.
Walaupun aku tak pernah membenci ayah. Aku tak ingin membenci orang yang telah membuatku ada di dunia. Meskipun dia telah membunuh ibu. Aku mencintai mereka berdua.
Tapi mengenal Sade adalah pengecualian.
Atau mungkin, aku memang harus (sudah) jatuh cinta.
Walaupun Sade sudah milik orang lain?
# # #
Aku dan Sade berteman dekat. Sade sering main juga ke rumahku dan mengajakku pergi. Jika kami sedang berdua, dia selalu bercerita tentang banyak hal. Terutama tentang impiannya menjadi seorang arsitektur. Dia suka membuatkanku sketsa-sketsa suatu bangunan. Dia juga suka menggambarkan wajahku yang tersenyum. Kata dia, senyumku sangat manis.
Sade sangatlah pandai bercerita. Bersamanya waktu tak pernah terasa. Tau-tau sudah tiga jam bersama. Tau-tau kita sudah menghabiskan semangkuk soto dan es buah di kantin. Dia pandai memainkan kata-kata dan membuatku tersenyum, tertawa, kadang cemberut nggak jelas. Kadang dia juga membuatku suka jengkel-jengkel yang menyenangkan. Misalnya, dia tiba-tiba menaruh sambal di hidungku. Menjengkelkan, tapi menggemaskan. Dia terbahak tertawa, aku pura-pura cemberut. Pura-pura saja, karena jujur aku suka diperlakukan seperti itu.
Setiap malam, dia selalu menyempatkan untuk menelponku. Setiap jam sembilan malam, pas ketika aku sudah selesai belajar. Kami bercerita lagi. Tentang hal-hal aneh, lucu, menyeramkan, dan hal-hal kecil lain. Di pagi hari, dia juga sering tiba-tiba SMS untuk membangunkanku.
Banguuunnnn kambing.
Aku dipanggil kambing. Lalu kubalas.
Udah dong. Bangun mandi sana kebo.
Dibalas.
Mending kebo sering mandi...daripada kambing takut air...
Tuh kan, dia menyebalkan. Tapi aku suka he he he.
Tapi...itu semua berubah. Saat dia mulai mengenal, Kiara.
# # #
Kiara datang tiba-tiba di tengah-tengah persahabatan kami. Dia adalah anak pindahan dari Bandung. Berparas ayu, rambut sebahu, kulit putih bersih. Mirip sekali dengan barbei. Dia tipe wanita yang setelah dewasa akan menjadi kandidat unggulan untuk mengikuti ajang Puteri Indonesia. Smart dan santun.
Dan posisiku terancam.
Sade menyukainya. Dia terang-terangan bilang kepadaku siang itu saat kami pulang berdua.
“Kamu mengenal Kiara anak 11E?”
“Ya. Kenapa?”
“Aku berhasil meminta nomernya.”
“Lalu?”
“Hei, tidakkah kamu melihat bahwa kakakmu ini sedang jatuh cinta?”
Oke tunggu.
Pertama, apa katanya tadi. Kakak? Apa? Kakak. Jadi, selama ini aku hanya dianggapnya hanya....adik? saudara?
Kedua, apa katanya lagi? Dia sedang jatuh cinta? Dengan siapa tadi?
Kiara?
Kini aku lebih sering melihat Sade tak lagi sendiri. Aku lebih sering dia bersama dengan Kiara. Di taman sekolah, di kantin, di depan kelas. Setiap pulang sekolah, dia akan terlebih dahulu mengantar Kiara, daripada aku yang hanya seorang adik.
Dia semakin jarang menelponku setiap jam 9 malam.
Walaupun setiap pagi dia masih mengirimiku SMS nggak jelas.
Aku kehilangan dia. Dan aku juga cemburu. 
Aku cemburu melihatnya tersenyum...dan itu bukan senyum untuk aku. Aku cemburu melihatnya menatap dengan mata berbinar....dan itu bukan tatapan untuk aku. Aku cemburu melihatnya bercerita sambil tertawa...dan cerita itu bukan lagi untukku.
Semua itu untuk Kiara. Kiarapun sepertinya tak ingin jauh-jauh dari Sade. Astaga, wanita itu ternyata selalu ada di samping Sade. KEMANAPUN. Mungkin dia sudah menempelkan magnet kutub utara di pantat Sade, dan kutub selatannya ia pegang.
Sementara aku?
Aku memegang kutub yang sama seperti Sade, kutub utara.
# # #
 Aku kangen kamu Dek.
Deg. SMS Sade siang ini seperti sengatan listrik berpuluh-puluh volt. Aku membacanya berulang-ulang. Aku kangen kamu...
Aku tak membalasnya. Kumasukkan ponsel di dalam laci meja. Saat ini sedang pelajaran Matematika dengan Pak Gunawan sebagai pengajarnya. Kamu tahu kan kalau guru matematika itu selalu super WOW. Termasuk Pak Gunawan yang tak mungkin membiarkan anak didiknya main-main dengan ponsel.
Ponselku bergetar lagi.
Aku lagi sakit, kamu nggak perhatian bener jadi adek. Ke sini dong sore. Bapak Ibu lagi ke luar kota nih.
Oh iya, hari ini Sade tidak berangkat karena demam. Aku berlagak sok nggak peduli sejak pagi dan mencoba menikmati hari ini dengan sangat luar biasa ceria—yang sebenarnya kubuat-kubuat. Tapi ternyata tidak bisa, aku masih memikirkan Sade. Kulirik Kiara di mejanya, dia juga terlihat gelisah.
Baiklah, aku harus ke rumahnya sore ini.
Oke, nanti aku datang. Balasku.
Sip, bawakan aku nasi padang, hehe. Kelaperan sangat. Cuma makan bubur dari tadi. Balasnya.
# # #
Rumah Sade sepi sore-sore begini. Kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Aku mengucap salam, tidak ada jawaban. Pasti dia sedang tiduran di kamar. Kutelepon dia.
“Masuklah,” ucapnya.
Aku langsung menuju kamar Sade dengan hati ceria. Sepertinya aku kangen padanya. Tiba di depan pintu kamar Sade, langkahku terhenti. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Kudorong perlahan. Dua kepala menoleh ke arahku, Sade dan Kiara. Sade sedang duduk di kasur dan Kiara ada di sampingnya sedang menyuapinya...dengan nasi padang. Buru-buru kusembunyikan nasi padang yang kubawa di belakang tas. Aku pura-pura tersenyum.
“Hai...” sapaku, basa-basi.
Aku tak suka dengan hal ini.
# # #
Sudah tiga hari Sade tidak berangkat. Dan semenjak kejadian sore kemarin, aku sedikit sok tidak peduli dengan Sade. Meskipun kadang, aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Dia juga tidak merasa bersalah telah membuatku cemburu. Ah, pasti dia tidak tahu aku cemburu. Pasti itu. Dia bersikap biasa saja, seolah tidak ada apa-apa. Padahal dalam hatiku terasa panas dan sakit.
Siang ini kelas Biologi terasa membosankan buatku. Kelas tiba-tiba mendadak porno karena Bu Ilyas, yang terkenal genit pada cowok-cowok, mengajarkan tentang anatomi tubuh manusia. Lalu dengan sengaja dia menyerempet membahas tentang sex. Terang saja kelas jadi gaduh tidak karuan. Apalagi cowok-cowok tertawa terbahak-bahak saat Bu Ilyas membahas tentang kondom. Yang cewek-cewek terkesan malu-malu saja, walaupun aku tahu sesekali mereka mencuri dengar. Apalagi kalau pembahasan sudah mengarah ke masturbasi dan organ genital.
Oke, harusnya aku tidak di tempat ini.
Kubenamkan kepalaku di buku tulis di meja. Bu Ilyas tak akan menegur karena dia akan lebih mempedulikan cowok-cowok ABG itu daripada seorang siswi yang patah hati dan membenamkan kepala di buku.
Rasa sakit di kepalaku sudah diubun-ubun. Belum lagi melihat adegan supermesra di kamar Sade sore kemarin. Saat Kiara menyuapi Sade dengan sok manja. Belum lagi sikapnya yang sok perhatian ke Sade.
Aku menghela nafas pendek. Sial, aku benar-benar cemburu.
Kulirik Kiara di mejanya. Wajahnya tampak sumringah.
Sementara aku?
# # #
“Kiara tunggu...” Siang itu aku ingin bicara dengannya.
Kiara berhenti. “Ya, ada apa?” ucapnya dengan senyum kecil.
“Sore ini kamu mau ke rumah Sade? Kalau iya, aku mau bareng,” ujarku berbohong. Aku berharap dia tak ke rumah Sade.
“Sepertinya tidak. Aku mau les bahasa inggris. Maaf.”
Aku tersenyum penuh kemenangan.
Akhirnya, tak ada yang menganggu.
# # #
Sore hari di rumah Sade. Demamnya masih cukup tinggi. Aku datang pukul 5 sore. Telat dua jam dari waktu yang kujanjikan dengan Sade. Sore ini aku menang. Aku datang seorang diri ke rumah Sade yang masih sepi, orangtuanya masih bekerja dan biasanya balik setelah maghrib.
Sade masih terbaring di tempat tidurnya. Meskipun mukanya masih terlihat pucat, dia masih sangat tampan. Aku duduk di tepi tempat tidurnya. Kami mengobrol lagi seperti dulu. Dia kembali menjadi Sadeku yang dulu. Dia tertawa, dia bercerita, dia menggodaku.
Aku merindukan hal ini.
Aku merindukan saat-saat seperti ini. Saat berdua dengannya.
Tiba-tiba dia tidur semakin dekat dengan tempatku duduk. Kurasakan sentuhan tubuhnya di tubuhku. Dia meringkuk, seperti orang kedinginan. Tapi dia tersenyum.
Aku merasa, aku tubuhku seperti menyentuh sesuatu. Menyentuh daerah yang harusnya tak kusentuh. Sesuatu dibalik celananya. Aku diam. Dia diam. Bayangan pelajaran biologi  Bu Ilyas tadi siang berputar-putar di otakku. Aku lalu berdiri menenangkan diri.
# # #
Sade sudah kembali sekolah setelah empat hari istirahat. Dia sudah kembali ceria seperti sedia kala. Dia berkumpul dengan geng-geng cowoknya. Istirahat dia ke kantin bersamaku.
“Ada apa sih, kok dari tadi liatin ponsel mulu,” tegurku. Sejak masuk ke kantin, dia terus berSMS dengan entah siapa. Pasti Kiara.
“Kiara. Dia dari tadi nggak bisa dihubungi. Katanya sejak kemarin dia tidak masuk. Aku jadi khawatir, jangan-jangan dia sakit lagi.”
“Ya udah, disamperin aja,” ucapku terdengar agak ketus. Aku iri dia perhatian gitu ama Kiara.
“Boleh deh. Nanti sore temenin aku ke tempat dia ya.”
Aku mengangguk terpaksa.
“De, udah terima belum?” Arka, teman sekelasku, nyamperin kami dan berbicara kepada Sade.
“Apaan?” tanya Sade.
“Video video.” Arka tertawa. Sade mengerutkan kening. “Udah deh, nggak usah berlagak tolol.” Arka membisiki Sade. Sade tertawa kecil, lalu mengangguk.
Walaupun berbisik, aku masih sedikit mendengar apa yang Arka katakan. Aku menatap keduanya. Keduanya tertawa.
“Biasa kali Senja. Setiap cowok juga pasti demen lihat bokep,” Arka balas menatapku.
Aku bergidik. “Dasar kalian cowok-cowok ABG.”
# # #
“Ah, kamu nih pakai acara harus ke rumah segala. Hujan kan,” keluhku sambil mengibas-ibas bajuku yang basah karena air hujan. Sore ini, Sade memaksaku untuk menemaninya ke rumah Kiara. Rumah Sade masih sepi. Orang tuanya pasti masih bekerja.
“Iya, bentar sih. Aku harus ambil barang bentar.” Sade menyopot sepatunya, melemparnya dengan asal di samping pintu. Dia lalu masuk ke rumah, dan menyelonong ke kamarnya. Aku ragu untuk mengikutinya dan memilih untuk menunggunya saja di ruang tamu. Bajuku sudah basah karena tadi bonceng Sade nggak pakai mantel. Hujan yang lumayan deras membuat baju seragamku basa.
“Kamu mau ganti kaos nggak? Bajunya basah, kan?” teriak Sade dari kamar.
“Boleh, deh. Nggak enak nih bajunya basah”
“Ya udah sini aja ganti di kamar mandi.”
Aku berjalan ke kamar Sade sambil mengibas-ibas rambutku yang basah. Huft, pakai acara hujan segala. Aku masuk ke kamar Sade, tapi langkahku berhenti di depan pintu.
Untuk ukuran pertemanan, oke Sade mungkin menganggapku adiknya, aku belum pernah melihat Sade telanjang dada. Tapi sore ini, dia terang-terangan telanjang dada di depanku dan hanya mengenakan celana boxer bergambar batman. Terlihat jelas bentuk dadanya yang meskipun tidak six pack, namun cukup menggairahkan untuk ukuran badan anak cowok kelas 2 SMA. Tipe badan yang kurus, tapi terlihat oke. Kulitnya yang tidak terlalu hitam dan juga tidak putih membuatnya justru semakin menarik. Aku menatapnya tak berkedip. Pandanganku lalu  beralih ke kaki Sade yang telanjang juga dan rambut-rambut lembut kakinya yang lurus seperti habis direbonding karena terkena air.
Aku menelan ludah. Astaga, pemandangan apa ini. Aku yang menaruh hati pada Sade sebenarnya sangat beruntung bisa melihatnya seperti sekarang.
“Kenapa? Masuk sini. Itu bajumu di atas kasur. Ganti saja di kamar mandi.” Dia gantian memandangku. Aku sedikit risih. Dengan baju seragam yang basah seperti ini, sebenarnya dia bisa dengan sangat jelas melihat isi dalam bajuku. Kulitku terlihat menempel di baju, juga braku yang berwarna merah muda. Tonjolan di dadaku justru semakin terlihat, meskipun belum terlalu besar.
Aku mengangguk dan mengambil kaos yang ditunjuk Sade. Aku hampir saja membalikkan badan, sebelum pundakku tiba-tiba disentuh oleh Sade. Aku menoleh dan mendapati Sade tepat di depanku. Jarak kami hanya kira-kira dua puluh senti. Dia memandangku lekat, dan aku hanya diam saja.
“Aku mau ganti....”
Tangan Sade menyentuh bibirku. Aku terdiam. Dia menyentuh bibirku perlahan, lalu ke pipi. Tangannya bermain-main di atas pipi dan berhenti di bibirku lagi.
“Bibirmu lembut,” ucapnya.
Aku masih terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Dia mendekatkan badannya, lebih dekat denganku. Tangan kirinya yang terjuntai, mendadak menyentuh pinggangku dan kami benar-benar sangat dekat. Nafasku memburu. Saat bibirnya menyentuh bibirku, yang kurasakan hanya kehangatan. Kehangatan yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh.
“Aku melihat adegan ini di video yang tadi kulihat di kamar mandi,” ucapnya. Aku mengangguk.
Tangan kirinya menyingkap rok seragamku.
Entahlah, yang kurasakan saat itu hanya rasa sakit awalnya. Rasa sakit yang sangat panas. Rasa sakit yang berganti-gantian dengan rasa enak yang tiba-tiba menjalar di sekitar perutku. Dan aku mengerang kecil beberapa kali.
# # #
Kurang satu menit lagi jam 12 malam. Itu berarti hari ulang tahunku segera selesai. Tak ada ucapan dari Sade. Sampai detik ini. Mungkin dia lupa. Tak mungkin, tak mungkin dia melupakannya. Aku menggeleng pelan. Tadi di sekolah dia terlihat biasa-biasa saja. Tapi dia seperti menghindariku, setiap berpapasan denganku dia berusaha untuk membuang muka.
Ataukah dia ingin memberi kejutan malam ini? Dia akan mengucapkan selamat ulang tahun di detik terakhir. Sebagai seorang terakhir? Dia mungkin tak ingin jadi yang pertama, tapi dia ingin menjadi yang terakhir.
Aku tertunduk lesu di pojok kamar.
Dentang jam 12 malam berbunyi. Dan tak ada ucapan dari Sade.
Aku terdiam.
Sade, aku mencintaimu.
# # #
“Sade tunggu,” ucapku sambil mengejarnya yang sedang menuju tempat parkir motor. “Kamu mau kemana? Aku ingin bicara.”
Sade mengenakan helm-nya.
“Aku buru-buru.”
“Apakah tidak bisa kita bicara sebentar?”
“Aku buru-buru.”
“Mengapa waktu kamu meniduriku kamu tidak buru-buru?” aku memandangnya.
Dia mengentikan gerakannya, lalu menatapku.
“Aku mau mencari Kiara,” ucapnya.
Aku termenenung. Jadi, dia masih memikirkan Kiara setelah kejadian kemarin? Jadi yang ada di otaknya hanyalah Kiara.
“Kamu ngapain mencari Kiara?”
“Aku mencintainya,”
“Setelah apa yang kamu lakukan padaku?”
“Aku baru sadar, aku sangat mencintainya.” Dia menghela nafas. “Tadi orang tuanya ke sekolah, dan kabarnya dia sudah tidak pulang seminggu ini.”
Aku terdiam. Aku tak peduli.
“Jadi kamu lebih mementingkan dia?” tanyaku lirih.
“Senja, please. Aku lagi tak ingin berdebat denganmu. Aku lagi pusing banget.”
“Setelah apa yang kamu lakukan kemarin, kini kamu mencampakkanku?”
“Iya, aku mengaku salah. Nanti kita bicara, tapi tidak sekarang.”
“Bahkan kemarin aku ulang tahun saja, kamu tidak ingat, kan?”
Sade terdiam.
“Aku tahu di mana Kiara,” ucapku lirih.
Sade memandangku.
“Apa katamu?”
Aku terdiam. Aku membuang muka. “Lupakan, aku becanda. Silakan saja kalau kamu mau mencari dia.”
# # #
Aku tahu dimana Kiara. Temui aku di gudang kosong di samping Supermarket Hemat yang terbakar. Datang sendiri.
Sent. Kukirim SMS ke Sade.
# # #
Suasana gudang di samping Supermarket Hemat tampak sepi. Supermarket Hemat terbakar satu tahun yang lalu karena arus listrik pendek. Dan sampai saat ini belum direnovasi lagi. Ada satu gudang kosong di samping supermarket yang entah milik siapa. Dan aku menemui Sade di sana.
 “Di mana Kiara?” tanya Sade. Dia menepati Janjinya untuk datang seorang diri.
Aku menggeleng.
“Apa maksudmu?”
“Dia tak ada di sini,” ucapku pelan.
Sade menatapku heran. Aku membuang muka.
Aku mendekat ke arah Sade. “Apakah kamu tidak ingin melakukan hal yang sama seperti sore itu, De?”
Sade mendelik ke arahku. Aku menyopot perlahan kancing atasku.
“Kamu mau apa?”
Aku mencopot satu persatu kancingku. Dan kini semua kancingku terbuka. Aku sengaja tidak memakai bra agar Sade bisa dengan jelas memandangi payudaraku yang masih belia.
“Bukankah kamu senang menciumi leherku?” Aku memegang tangan Sade, lalu menaruhnya tepat di atas payudaraku. Dia tersentak, lalu mengibaskan tangannya.
“Kamu gila, Senja.” Dia mundur selangkah. “Di mana Kiara?” Dia menyentakku.
“Mengapa kamu masih peduli dengannya?”
“Aku mencintainya.”
“Mengapa kamu tidak mencintaku?”
“Senja, tolong. Mungkin kita kemarin melakukan kesalahan yang sangat besar. Dan jujur aku menyesal. Kamu tahu sendiri, aku mengeluarkannya di luar.”
“Tapi, kamu membuatku tidak perawan.”
Sade terdiam. “Iya, aku tahu. Tapi sejak sore itu, aku jadi tahu bahwa aku sangat mencintai Kiara.”
“STOP NGOMONG KIARA DI DEPANKU. AKU TAK INGIN MENDENGARNYA.” Aku berteriak. Aku memejamkan mata dan menutup kedua telingaku. Nama Kiara membuatku muak. Aku terisak. Aku tersedu. Aku menunduk lalu terjatuh di atas tanah. “Aku mencintaimu Sade. Aku mencintaimu. Apakah kamu tidak tahu itu.” Aku tergugu. Kurasakan tubuhku diangkat olehnya, lalu dia memelukku.
“Maafkan aku,” ucapnya lirih. Dia memeluk erat tubuhku.
Tapi...
BUUUUKKKKK....
“Senja, apa ini?” Sade memegangi kepalanya yang berdarah karena kupukul dengan batu.
# # #
“Kiara sudah tenang di neraka Sade.” Kutatap mata Sade.
“Lepaskan aku.” Dia berteriak, memintaku untuk melepaskan ikatan tangan dan kakinya.
Aku duduk di atas tubuhnya. Lalu kuusap wajahnya dengan jari-jariku. Sengaja bajunya kucopot agar aku bisa melihat dengan jelas dadanya yang bersih. Agar aku bisa melihat pusarnya yang mulai dikelilingi bulu-bulu lembut. Kumainkan jari-jariku di atasnya.
“Bukankah kamu menyukai ini?” Aku tertawa.
“Lepaskan aku. Di mana Kiara?”
“Kiara?” Aku tertawa terbahak. “Kamu ingin bertemu Kiara?” Aku tersenyum menyeringai. Lalu kudekatkan mulutku di telinga kirinya. “Dia telah mati, Sadeku sayang. Dia telah mati.”
“Apa maksudmu?”
“Dia telah kubunuh sore itu. Saat dia mau les bahasa inggris. Ingat kan, sore itu aku telat datang ke rumahmu. Karena aku mengajak Kiara ke sini dulu Sade Sayang. Kuajak dia ke gudang ini, lalu sepertimu tadi. Dia kupukul dengan batu. Lalu kukoyak-koyak dadanya dengan belati. Ha ha ha. Kuambil hatinya Sade. Kuambil hatinya yang telah mengambil hatimu. Aku tak rela namamu ada di hatinya, maka kuambil hatinya lalu kuhancurkan dengan pisau. Lalu kukubur dia di sini.”
“Tidaaaakkkkkkkk....kamu gilaaaa....kamu gilaaaaaaa....”
“Sekarang, kamu sepenuhnya milikku Sade. Sepenuhnya sayang. Kita bisa bersenang-senang terus di sini. Aku mencintaimu, kamu mencintaku juga kan.”
Kulihat dia tergugu menangis.
Aku menatapnya. “MENGAPA KAMU MENANGIS? KAMU COWOK YANG KUSUKA TIDAK BOLEH MENANGIS. KAMU MENANGISI KIARA? KAMU MENANGISI KIARA?” Kupukul-pukul kepalanya. Dia mengerang kesakitan. “Tapi tenang Sade sayang, aku tak akan menyakitimu. Aku mencintamu. Kamu tahu kan?”
Dia masih terisak.
“KAMU TAU KAN? BILANG KALAU KAMU MENCINTAIKU JUGA? BILAAANG” Kubentur-benturkan kepalanya di lantai.
Dia berhenti menangis.
Dia berhenti.
Mulutnya terkatub. Tapi matanya juga.
“Sade...Sade...jawab Sayang. Sade....” Kugoyangkan tubuhnya. “Kusentuh dadanya. Tak ada detak.
“Sade...bangun sayang. Aku mencintaimu.
“Sade....”
Aku terpaku. Ada darah mengalir dari kepala Sade.
“Sade.” Kupanggil dia lirih sebelum sebuah pisau menancap di perutku.
Aku tertunduk. Kurasakan perutku diaduk-aduk.
Pandanganku kabur.
Tapi aku masih bisa melihat, di kejauhan, ayahku sedang menusuk-nusuk dada ibu dengan pisau.
# # #

No comments