Lelaki itu hanya mematung
memandangi riak-riak kecil di lautan luas dari atas rig. Sepertinya hanya itu
yang bisa mengobati rasa kesepiannya di tempat ini, di mana batas antara langit
dan laut hanya segaris pandang. Di mana 95% orang di tempat ini adalah laki-laki,
kecuali kepala dapur dan bagian administrasi yang sudah bersuami. Ia tak
mungkin bercinta dengan lelaki-lelaki itu, kecuali ia sudah gila. Dan pilihan
untuk menyendiri di pinggiran rig ataupun di kamar bersama berpuluh-puluh tisu
adalah suatu kewajaran.
Tak ada yang lebih baik, kecuali
menyendiri seperti ini di tengah lautan dan sesekali memejamkan mata dan
menghirup udara sedalam-dalamnya. Rasa sesak karena kangen pada gadis yang
telah menjadi tunangannya membuncah sampai ke ubun-ubun. Kapan harus bertemu?
Nanti, enam bulan lagi mungkin atau lebih. Setelah semua pendidikan di tengah
rig ini selesai dan dia terlebih dahulu dilempar ke AbuDhabi untuk tiga bulan
lamanya.
Baruna hanya punya satu cara
untuk berkomunikasi dengan Nagita, lewat internet. Itupun harus ia lakukan seminggu
sekali. Astaga, pendidikan ini sejujurnya membuatnya muak. Ia ingin segera
kembali ke Jakarta, bertemu dengan Nagita.
Lalu, ujian sebagai sepasang
kekasih yang dipisahkan oleh waktu, jarak, tempat hanyalah satu: kesetiaan.
Perputaran waktu yang bisa
menjawab semua ini. Terkadang pilu yang ia rasakan, karena jauh dari sang
pujaan hati. Dan hanya satu yang ia bisa katakan padanya, kesetiaan saja. Tak
perlu berkutbah tentang cinta dan tetek bengek lainnya. Ia hanya bisa berjanji
untuk setia. Itu saja. Walaupun ia sendiri tak tahu, apakah dia juga melakukan
hal yang sama.
# # #
NAGITA. Jakarta,
Juni 2012
Awalnya ia mengira menjadi
seorang bankir yang menganalisis keuangan dan tetek bengek lainnya bakalan
keren. Setidaknya itulah yang ia pikirkan saat ia memutuskan selesai kuliah
harus bekerja sebagai seorang bankir. Tapi nyatanya, dia tak lebih seorang kacung
yang harus bekerja mati-matian mengejar target yang agak gila. Mungkin
atasannya sedikit tidak peduli, atau memang dia dituntut untuk berperforma
seperti ini. Gila saja, target 1.5 milyar satu bulan untuk kredit gabungan di
perusahaan bukan hal mudah. Tapi, apalah arti keluhan jika kita tetap memilih
untuk mengerjakannya.
Dan akhir pekan adalah waktu yang
tepat untuk bersantai ria di coffee shop
favoritnya. Menikmati double espresso tanpa gula, laptop, film, headset, dan koneksi internet yang
lumayan cepat. Belum lagi dia bisa bertatap muka dengan Baruna tunangannya via
Skype.
Ah, Baruna. Beruntung sekali
Nagita bisa memiliki tunangan seperti dia.
Baruna adalah lulusan terbaik di
jurusannya, bahkan di universitasnya dengan index prestasi kumulatif yang
nyaris sempurna, 3.97. Gila, terbuat dari apa otaknya itu. Dia tidak pernah
sedikitpun menyentuh rokok dan alkohol. Tipe cowok yang tidak neko-neko. Belum
lagi hobi bermain sepakbolanya yang membuat tubuhnya tak usah diragukan lagi
ketangguhannya. Dia nyaris sempurna untuk ukuran lelaki yang keluar dari
universitas dan masuk dunia kerja. Semua itu ditambah dengan status
pekerjaannya kini: Engineering Analyst di
salah satu perusahaan minyak terbaik dunia.
Siapa yang tidak jatuh cinta
dengannya? Semua wanita pasti akan klepek-klepek jika berdekatan dengannya.
Lantas, apalagi yang dicari dari
lelaki seperti itu? Selain hanya bisa tetap setia sampai detik ini.
Nagita beruntung memilikinya.
Mereka berpacaran sejak semester empat. Dan kini hampir lima tahun lamanya. Lima
tahun yang penuh dengan rasa: manis, asam, asin, kecut. Lima tahun yang
berujung pada suatu malam, Baruna mengajaknya bertunangan sebelum bertugas ke Pekanbaru.
Namun, jauh darinya, apalagi
setelah hari-hari yang mereka alami di kuliah bersama-sama, terasa berat.
Meskipun setiap akhir pekan selalu berchatting ria, tetap saja rasanya beda. Nagita
merasa, lama-lama dia bukannya semakin kangen, namun justru seperti rasa bosan.
Tapi, begitulah kata orang, jika
sudah terlalu lama bersama, lalu sudah tahu segala hal tentangnya, yang
dibutuhkan hanya dua: bagaimana mempertahankannya dan setia. That’s why ada istilah namanya cinta
sejati. Dan itu juga mengapa, ada kisah Habibie dan Ainun.
Nagita menarik nafas. Coffee Shop sudah cukup sepi. Jam sudah
menunjuk angka sepuluh. Artinya dia sudah hampir tiga jam di tempat ini. Lebih
baik pulang, pikirnya. Dia membereskan barang-barangnya. Masih ada satu teguk
kopinya, ia teguk perlahan.
Lantas, apa jadinya jika
tiba-tiba ada seorang lelaki menghampirinya? Dan mengajaknya berkenalan.
# # #
LANDUNG. Jakarta,
Juni 2012
Anjing.
Keparat tuh orang. Landung mengumpat kecil. Dia menghapus ujung
bibirnya yang masih ada sisa darah. Rasa perih di ujung bibir itu tak lebih
sakit dari rasa perih ditipu orang, dan itu sahabat sendiri.
Keparat,
Leo. Keparat. Saking percayanya pada sahabatnya itu, dia memberikan setengah
dari tabungannya kepada Leo untuk alasan investasi. Awalnya dia tak curiga
sedikitpun. Namun, setelah beberapa kali Leo tak bisa dihubungi, dia baru sadar
kalo dia telah ditipu. Dan itu oleh sahabatnya sendiri.
Shit.
Apa yang harus ia katakan pada ayahnya. Berarti dia harus menuruti tawaran
ayahnya untuk mengurusi perkebunan teh di Bandung. Shit. Apa enaknya hidup di tengah perkebunan seperti itu. Lebih
baik dia di Jakarta, bekerja sebagai pegawai...yah...apapun itu, staf atau
kacung, atau apalah namanya, lalu dia bisa bermain trading sesuka hati, atau
bisnis, atau apapun. Yang jelas tidak hidup di tengah hamparan hijau perkebunan
teh warisan kakeknya. Apa enaknya.
Landung menendang kaleng cola
yang ia buang, ia mengejarnya, lalu menginjaknya. Kaleng itu ringsek seketika.
Landung benar-benar kesal.
Satu-satunya hal yang bisa
membuatnya membaik adalah ADRENALINE, coffee
shop favoritnya di kawasan Senopati. Sudah hampir jam sepuluh malam,
berarti masih ada sisa waktu satu jam untuk menikmati kopi di sana.
Landung menyeret tubuhnya ke
Adrenaline, setelah memesan double
espresso, dia meminta kepada pelayan untuk mengantarkan kopinya ke Smooking
Room di lantai 2. Landung mengambil rokoknya, memutar-mutarnya di jari sembari
menaiki tangga.
Dan tahukah kalian, apa yang bisa
membuat lelaki dewasa seperti Landung tiba-tiba menjadi tidak kesal setelah
kehilangan setengah dari uang tabungannya: Wanita Cantik.
Landung mematung di ujung tangga,
matanya terpaku pada seorang wanita yang tengah beres-beres. Wanita itu
berambut lurus hitam sebahu, berkulit putih, dan bertubuh langsing. Tipe
wanita-wanita kantoran, yang mungkin sedikit galak. Pikir Landung. Dari semua hal tentang wanita itu, yang paling
menarik adalah matanya. Mata gadis itu sungguh membuatnya terpesona.
Dan hal gila yang Landung lakukan
adalah mengajaknya berkenalan.
Oke, baiklah, ini mungkin sedikit
gila. Tapi, Landung memang gila. Dia tipe lelaki yang tidak ambil pusing, atau
mungkin dia memang tidak pernah berpikir tentang tindakannya.
Jelas saja wanita itu menolak. Didatangi
lelaki berjeans butut, sandal jepit warna hijau, rambut awut-awutan, dan rokok
di mulutnya, siapa yang tidak takut.
“Nama gue, Landung. Siapa nama lo?”
Bukan cara berkenalan yang baik. Tapi bagi play
boy seperti Landung, hal ini bukan masalah. Dia bisa memutar-mutar
perkataan hingga membuat semua wanita yang ia ajak kenalan menjadi terpesona.
Tapi tidak setelah dia kehilangan
setengah tabungannya.
Dan tidak juga untuk wanita ini.
Wanita itu hanya diam. Dan
sungguh wahai pria-pria di dunia, wanita tak suka dipaksa. Jangan pernah
memaksa wanita, apalagi saat malam pertama. Tapi Landung justru malah memaksa.
Jadi...
Wanita itu pergi. Dan Landung
mengejarnya sampai ke tempat parkiran.
“Dengar ya Tuan, saya akan
beritahukan nama saya jika nanti kita bertemu lagi untuk kedua kalinya. Jika
tidak, jangan harap saya memberitahu sekarang.”
Shit,
jual mahal. Pikir Landung. Digoyang
dikit juga pasti ketagihan, Landung tertawa keras sambil masuk kembali ke
Adrenaline.
# # #
NAGITA. Jakarta,
Juni 2012
Cowok
gila.
# # #
NAGITA. Bandung,
Februai 2013
Bank gila. Bukannya memberikan
ijin cuti, malah diminta untuk training di Bandung dua minggu. DUA MINGGU. Meskipun
trainingnya di hotel supermewah dengan fasilitas yang oke punya, tapi
mengobarkan liburan-liburan setelah proyek yang ia kerjakan sukses adalah
penyiksaan. Dia butuh istirahat, bukan training. Tapi tak ada alasan menolak
keputusan Si Moreno, atasannya, kecuali dia sudah tidak betah untuk kerja di
Bank itu. Huft. Hidup memang sebuah
pilihan.
Dan di sinilah dia, penginapan
super mewah di kawasan Lembang bersama 5 temannya. Mengikuti training tentang
keuangan negara dan kredit gabungan yang diadakan oleh induk bank tempatnya
bekerja yang ada di Singapura. Seminggu training, Nagita seperti wanita gila.
Dia benar-benar tidak konsen. Untung di akhir pekan, dia dan rekan-rekannya
mendapatkan liburan sehari. Terserah mau ngapain.
“Gue mau jalan-jalan ke perkebunan.
Atau apa kek. Yang jelas gue muak ketemu dengan bos-bos kita.” Yang lain
mengamini dan setuju dengan Nagita.
Nagita sebenarnya tidak pernah
percaya dengan yang namanya kebetulan. Baginya tidak ada kebetulan di dunia
ini, semua pasti sudah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa. Bahkan saat masih di
dunia sebelum rahim berada.
Tapi, bertemu dengan lelaki
yang...astaga...sepertinya dia pernah bertemu dengannya.
Di perkebunan itu, dia
melihatnya.
Dia yang...lain...
# # #
LANDUNG. Bandung,
Februai 2013
“Apakah ini jodoh?” Landung
memicingkan matanya. Dia masih mengingat mata itu. Mata wanita paling indah
yang pernah ia temui.
Landung mengulurkan tangannya. “Landung.
Nama gue Landung. Dan lo pernah berjanji akan memberi tahu nama lo, kalo kita
bertemu lagi. Masih ingat gue kan?”
#
# #
NAGITA. Bandung,
Februari 2013
Masih
ingat gue, kan?
Bagaimana dia bisa lupa, lelaki
gila yang pernah ia temui di Adrenaline
waktu itu. Tapi mengapa dia masih mengingat wajah itu? Mengapa? Kecuali ada
yang menarik dari dirinya.
Oh, iya. Dia memiliki alis mata
yang...ehm...berbeda. Tebal dan menukik ke atas. Iya, Nagita mengingat alis
mata itu. Tapi dari semua orang yang pernah ia temui, mengapa lelaki di
depannya ini yang harus ia ingat.
“Gue Nagita.,” ucap Nagita tanpa
menghiraukan uluran tangan Landung.
Landung hanya mengangguk kecil
sambil tersenyum.
“Bisa bertemu di tempat ini?””
ujar Landung.
“Lo sedikit lain. Lebih...rapi
dan santun.” Nagita memicingkan matanya. Lelaki di depannya kini memang sedikit
berbeda. Lebih rapi dengan stelan celana chino warna biru muda dan Polo Shirt
warna putih. Wajah Landung juga terlihat lebih bersih. Mungkin karena habis
bercukur. Dan berjarak hanya satu meter darinya, membuat Nagita jelas bisa
melihat dadanya yang bidang. Pasti akan
menyenangkan ada dipelukan cowok ini. Astaga, apa yang ia pikirkan.
Landung tertawa kecil.
“Mengapa kita bisa bertemu di
tempat ini?” tanya Nagita.
“Gue yang ngelola perkebunan ini.”
Nagita memicingkan mata kembali. Lelaki di depannya ini yang mengelola
perkebunan ini?
“Sedikit terpaksa awalnya. Itu semua
karena ayah yang nyuruh.”
“Aku nggak percaya kamu yang
mengelola.”
“Aku? Kamu?”
Nagita tersentak. Mengapa jadi
sok akrab gini dengan lelaki di depannya ini.
“Lo nggak usah GR. Gue hanya...gue
hanya...mencoba...ah lupakan,” Nagita gelagapan. “Gue harus pergi.” Nagita
mencoba berjalan, tapi Landung mencegahnya dengan kedua tangannya yang merentang.
Dan jarak mereka kini benar-benar dekat. Nagita bisa dengan jelas mencium
parfum lelaki itu. Dan dia juga bisa dengan jelas melihat setiap lekuk di
wajahnya. Jantung Nagita mendadak berhenti.
“Apa-apaan ini. Gue mau pergi,”
Nagita mencoba berpura-pura memberontak. Mengapa jadi deg-degan seperti ini?
“Gue boleh minta nomer telpon lo?”
tanya Landung.
Nagita menggeleng cepat. “Tidak.
Kecuali kita bertemu lagi untuk ketiga kalinya.”
“Kalaupun kita bertemu untuk
ketiga kalinya, berarti kita benar-benar berjodoh.” Landung terkekeh.
Nagita menatap lelaki di depannya
tajam.
# # #
BARUNA. Jakarta,
Juni 2013
Apapun akan ia lakukan untuk
wanita pujaannya. Termasuk meminta ijin cuti kepada atasannya yang super galak,
padahal proyek di rig sedang gila-gilanya. Semua orang memeras otak siang
malam. Belum lagi masalah kebakaran di rig dua yang terjadi beberapa waktu lalu
dan membuat atasannya mendadak menjadi singa lapar. Untung itu bukan tanggung
jawab Baruna, dan dia hanya sebagai tim penyokong. Tapi, alih-alih ikut
membereskan, dia malah meminta ijin cuti.
Itu semua ia lakukan untuk
Nagita. Astaga, cinta memang kadang membuat orang berpikir gila.
Nagita memintanya untuk pulang ke
Jakarta karena Silvi, sahabatnya, akan melangsungkan pernikahan. Nagita jelas
memaksa Baruna untuk pulang.
“Kamu tega membiarkan aku pergi
ke nikahan Silvi sendirian, lalu ditanya-tanya calon suami?”
“Lagian kamu nggak pernah pulang
sekarang. Nggak tahu apa aku kangen.”
Kalimat pamungkas dari Nagita
membuatnya tak tega juga.
Memang benar kata orang,
pernikahan Silvi adalah ajang untuk pamer. Ataukah memang ke nikahan orang
adalah ajang untuk menyudutkan orang yang belum menikah. Kasian sekali yang
memang belum menikah, atau yang benar-benar belum punya pasangan. Paling enggak
enak memang saat ditanya: kapan nyusul menikah? Shit.
Beberapa teman Nagita datang
membawa gandengan masing-masing dan dengan pamer masing-masing. Si A sudah
menikah dan punya anak 5, si B kerja di perusahaan multiinternasional dengan
gaji segambreng dan sekarang sudah jadi manajer, si C punya mobil 10. Belum
lagi gosip-gosip, ih si itu ganteng tapi belum nikah, si itu cantik tapi kok
pacarnya jelek. Shit, dosa-dosa
berterbangan di atas kesucian nikah orang. Tapi mungkin, kalo kita yang punya
pasangan oke, gaji oke, mobil oke, kita juga akan seperti itu.
Tak dinyana-nyana, Baruna juga
bertemu dengan teman-temannya. Kalau kata orang, dunia itu sempit, itu memang
benar. Dia bertemu orang-orang yang tak diduga. Baru mengenalkan mereka pada
Nagita, calon istrinya.
“Oh iya Git, kenalkan ini temanku
waktu SMA di Bandung. Namanya Landung.”
# # #
LANDUNG. Jakarta,
Juni 2013
“Masih ingat kata-kataku waktu di
Bandung kemarin? Jika kita bertemu untuk ketiga kalinya, kita berarti jodoh.”
Perkataan Landung menghantam
dinding hati Nagita. Semua orang sedang sibuk berfoto dan mengobrol. Baruna sedang
mengobrol dengan temannya. Dan Landung memanfaatkan itu untuk mengajak ngobrol
Nagita di halaman belakang.
Nagita tak menjawab. Dia diam.
Bahkan saat Landung menyentuh tangannya, lalu menariknya kepelukannya. Nagita
hanya diam, bahkan ketika bibir Landung mencium bibirnya.
# # #
NAGITA. Jakarta,
Agustus 2013
Baruna jauh, itu faktanya. Dan
sebagai wanita dia memang butuh perhatian, namun Baruna tidak bisa
memberikannya. Waktu enam tahun bukan waktu yang sebentar. Rasa bosan
membuatnya menerima semua bentuk perhatian Landung. Ya, Landung selalu ada.
Dan bersama Landung, Nagita
menemukan dunia yang lain. Dunia yang selalu ceria. Landung bertolak belakang
dengan Baruna. Landung urakan dan cuek. Namun, di dekatnya Nagita bisa menjadi
sangat bahagia.
Ataukah ini karena dia sudah
bosan dengan Baruna? Atau karena, jarak yang memisahkan mereka. Jarak yang
semilyar tahun cahaya. Sementara Landunglah yang selalu dekat dengannya.
Mengajaknya makan, bukan hanya
mengingatkan. Menjemputnya, bukan hanya menasehati agar hati-hati di jalan.
Dan jika di akhir tahun 2013,
Landung mengajaknya ke Bali, berdua saja, lalu mereka melepas cinta di hotel di
Nusa Dua, apakah dia telah benar-benar mengkhianati cintanya pada Baruna?
# # #
BARUNA.
Jakarta, Januari 2014
“Aku sengaja pulang untukmu.”
Baruna menatap Nagita.
“Aku juga ingin bicara denganmu.”
Nagita membuang muka.
Mereka sedang dinner di restoran roof
top salah satu hotel di Bunderan HI. Dinner paling romantis yang telah
disiapkan Baruna untuk calon istrinya. Lilin merah, mawar, cahaya lampu
remang-remang. Sempurna.
Dan kesempurnaan malam ini akan
dilengkapi oleh cincin perkawinan yang akan diberikan kepada Nagita,
menggantikan cincin tunangannya. Baruna sudah menunggu-nunggu saat ini. Sekian
tahun dia menjaga cintanya, tanpa goyah oleh godaan-godaan wanita lain yang—jujur—ada
di sekelilingnya. Tapi dia menjaganya. Dia menjaga sucinya janji setianya.
Baruna mengambil cincin dari
dalam saku jasnya, bersiap memberi kejutan kepada Nagita. Hampir dua tahun
setelah mereka tunangan. Segala penundaan telah mereka lewati: pendidikan
kantor, Baruna yang harus ke Abu Dhabi, San Fransisco, Italy, hidup di
Pekanbaru. Tapi ia tak bisa menunggu lagi. Mereka harus segera menikah.
“Aku ingin putus, Bar,” ucap
Nagita lirih.
Baruna melepaskan cincin ke saku
jasnya lagi, lalu menatap Nagita.
“Kamu becanda, kan?”
Nagita menggeleng.
“Why?” Baruna meninggikan suaranya.
“Aku bosan. Aku...” Nagita tak
melanjutkan ucapannya. Dia ingin menangis setelah apa yang terjadi padanya. “Mungkin
karena kita jauh.”
“Katakan alasan lain.”
“Ada pria lain di hatiku,” ucap
Nagita pelan.
# # #
NAGITA. Jakarta,
Januari 2014
Malam ini sangat berat. Nagita
memutuskan pulang sendiri dan tidak mau diantar Baruna. Dia ingin sendiri. Dia
tak ingin sepanjang perjalanan pulang menjadi perjalanan paling buruk selama
berhubungan dengan Baruna. Dia sudah memutuskan. Dan Baruna menerimanya,
meskipun awalnya sangat marah. Tapi akhirnya dia menerima alasan-alasan yang
disampaikan Nagita.
Alasan karena....jarak yang
semilyar tahun cahaya. Ah, lebay. Tapi, mungkin memang benar. Jarak yang
semilyar tahun cahaya hingga Nagita merasa jauh darinya.
Nagita menekan nomer Landung
meminta jemput di depan GI. Mati. Lalu menekan lagi. Tidak aktif.
“Ah, ke mana dia?”
Nagita terpaksa mencegat taksi.
# # #
BARUNA.
Pekanbaru, Januari 2014
Kita
memilih untuk mengikat rasa, jadi yang ada hanya rasa saling percaya. Kita
memilih untuk berbagi cerita, jadi yang ada hanya setia.
Baruna terkekeh kecil. Cinta yang
ia pertahankan percuma. Setia yang ia berikan percuma. Dia seperti seorang
lelaki pecundang yang kalah oleh rasa cinta. Hidupnya menjadi tak berguna.
Mengapa ia harus hidup?
Seminggu setelah kepulangannya
dari Jakarta, dia menjadi lelaki paling berantakan hidupnya. Dia tak peduli
dengan semua orang di sekitarnya. Dia tak peduli dengan tubuhnya.
Apakah benar cinta bisa membuat
orang gila? Jika benar, mengapa kita masih saja jatuh cinta?
Rig tampak sunyi. Deburan ombak
pelan. Angin laut pelan. Mereka menjadi saksi saat Baruna meneguk racun dan
menjatuhkan tubuh ke laut.
# # #
NAGITA.
Jakarta, Februari 2014
Pernikahan lagi. Undangan lagi.
Kali ini teman sekantornya yang menikah.
Tak ada Baruna kini. Landung juga
sedang ke Bandung. Jadi dia datang sendiri.
Masih seperti undangan-undangan
lainnya. Pertanyaan-pertanyaan klise dan menyakitkan masih ada: kapan nikah,
mana pasanganmu. Pernyataan-pernyataan pamer masih ada. Dan semua orang
menunjukkan kehebatan-kehebatannya. Itulah manusia, ego tetap ada. INILAH GUE.
Dan masih sama juga, dunia memang
sempit. Banyak teman yang tak terduga bisa bertemu. Teman kuliah yang ternyata
temannya teman kantor. Teman SMA yang ternyata pacarnya temannya teman kantor.
“Hai, Nagita. Apa kabar kamu? Ya,
ampun tambah cantik ya.” Dialah Viara, gadis cantik dan pintar semasa kuliah di
Bandung. Gadis yang selalu bisa membuat decak kagum semua lelaki. Dan detik
ini, dia masih sempurna. “Oh, iya kenalkan ini calon suamiku. Kami akan menikah
pertengahan tahun ini.” Viara menarik seorang lelaki dari kerumuman. Lelaki itu
menoleh, lalu menatap Nagita. “Git, kenalkan, ini Landung.”
Dan masih sama, dunia memang
terlalu sempit.
# # #
NAGITA.
Jakarta, Februari 2014.
Karma
does exist, tulisnya di blog pribadinya.
# # #
Jakarta,
8 Februai 2014
simply nice, mas :D
ReplyDeleteThank You :)
DeleteKeep Reading Dongeng Cinta dan Hantu-Hantu yaaa
mantap... semakin matang gaya berceritanya.. tapi koq kayak tenggelamnya van der wijk yah
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir dan membaca :)
DeleteMirip dari segi mananya?
Tp yg perlu kita tahu, tidak ada karya di dunia ini yang benar2 orisinal. Karya2 yg ada hanyalah memodifikasi karya sebelumnya. Hehehe
Keep reading Mr.
waahhh kereeeenn...tapi baruna kok...
ReplyDeleteAda apa dengan baruna? Hehehehe
DeleteKecewa baruna bunuh diri:v eh apa emang seneng diving kali yak haha
ReplyDeleteDia memang suka diving. Kerjanya di tengah laut soalnya :)
DeleteSalam kenal
uh! keren! suka banget sama gaya berceritanya yang lugas dan asyik dibaca ini kak :D
ReplyDeleteapalagi, perloncatan(?) dari sudut pandang satu ke sudut pandang yyang lain rapih banget :D
ah pokoknya ini keren lah!!! :D
Terima kasih atas apresiasinya.
DeleteSilakan dibaca dongeng yang lain :)