Pernah dengar daerah Gunung Kidul, di Yogyakarta? Jika belum, sekarang
akan aku ceritakan. Dari daerah itu, cerita ini mulai kutulis. Jujur, ini murni
hanya cerita fiksi. Satu-satunya hal yang tidak fiksi adalah setting tempatnya,
Gunung Kidul.
Jadi, jika ada yang mirip dengan cerita ini, aku benar-benar tak
sengaja. Aku murni mengarang ini.
Cerita ini kuberi judul: OFFICE BOY
Mengapa? Karena ternyata jadi office boy nggak semudah yang
dibayangkan. Karena jadi office boy juga pekerjaan yang mulia. Karena office
boy pun bisa jadi orang sukses.
Baiklah, aku tak perlu lama-lama membual. Kita mulai saja cerita
ini.
Kamu boleh mulai membayangkan. Aku akan menceritakannya
dengan....menyenangkan. Tidak ada hantu di sini.
Namanya Bejo. Umurnya 23 tahun, saat itu.
Dia anak dari Pak Wiryo dan Ibu Sumiyati.
Mungkin namanya tidak bisa disandingkan dengan Andre, Andrew, Firman,
Vincent, atau pun nama-nama modern anak-anak remaja beranjak dewasa saat itu.
Namanya Bejo, dan hanya itu saja.
Pak Wiryo dan Bu Sumiyati jelas saja memiliki maksud tersendiri dengan
memberi nama anaknya BEJO. Dan hanya satu nama: BEJO.
Bejo berarti BERUNTUNG. Mungkin Pak Wiryo dan Bu Sumiyati ingin
anaknya selalu beruntung.
Mereka selalu membanggakan Bejo dimanapun mereka berada.
Baiklah, sebelum kulanjutkan cerita ini, akan aku ceritakan
terlebih dahulu tentang tempat tinggal Bejo.
Gunung Kidul adalah sebuah kabupaten
di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Ibukotanya adalah Wonosari. Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah
di utara dan timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Sleman di barat.
Jaman Bejo kecil, dia masih suka susah mencari air di sana. Dia harus
naik bukit untuk mendapatkan air bersih. Mandi juga lebih sering di kali. Tapi,
jangan tanya tentang pemandangannya. Pemandangan di sana begitu indah (kayak
judul lagu PADI ya hehe). Bejo kecil hanyalah anak remaja yang sehari-hari
membantu orang tuanya di sawah, lalu mengurusi sapi milik ayahnya. Dia biasa
memandikan sapi-sapinya di sungai, lalu mencarikannya rumput.
Tapi ternyata nasib Bejo belum seberuntung namanya. Belum se-bejo namanya.
Dia tidak bisa melanjutkan sekolah dasar karena masalah biaya,
kemudian dia hanya belajar di sebuah yayasan pendidikan non pemerintah milik
sebuah LSM di desanya. Bejo remaja lalu ikut program kejar paket B dan C agar
mendapatkan ijazah untuk mendukung ‘karier’nya.
Di saat umurnya 23 tahun, saat orang-orang seusainya mulai sibuk
melamar pekerjaan dan ikut tes perusahaan ini itu, Bejo pun melakukan hal yang
sama.
Dia ikut test.
Di sebuah perusahaan.
Menjadi seorang office boy.
Bejo hijrah ke Jakarta menjadi seorang office boy. Sehari-hari dia
harus berangkat jam 4 pagi karena kos-kosannya cukup jauh dari ‘kantornya’ dan
dia harus naik beberapa angkot. Dia masuk jam 6 pagi di saat orang-orang kantor
belum ada yang datang. Dia bertugas menyapu lantai, mengepel, mencuci piring,
membersihkan kaca. Saat orang-orang kantor datang, dia harus mendistribusikan
gelas berisi air minum. Kadang dia juga harus membuatkan kopi, disuruh
fotokopi, disuruh beli pulsa.
Tapi dia tak pernah mengeluh.
Dia bahagia bisa membantu orang-orang. Bisa membuat orang-orang
tersenyum. Dan yang terpenting, bisa mengirimi orang tuanya uang. Dia sangat
bahagia karena itu.
Siapa sangka, seorang Bejo yang dari kampung, bisa ke Jakarta, kerja
di perusahaan bertingkat walaupun hanya sebagai office boy. Siapa sangka,
seorang Bejo bisa berkenalan dengan karwayan-karyawan pandai di kantor itu. Siapa sangka dia bisa membaca majalah gratis, koran gratis setiap
pagi. Dan inilah yang mengubah hidupnya.
Setiap pagi, ada satu tugas rutin yang selalu ia kerjakan. Dia harus
mengambil koran dan majalah di pos satpam, lalu membawanya ke pantry, dan saat
atasannya datang, dia harus menyerahkan koran itu. Koran dan majalah itu selalu
datang pukul 6 pagi saat ia datang. Dan Bejo selalu menyempatkan membacanya,
sesaat. Membaca berita tentang Indonesia, tentang ekonomi, politik, seni, pertanian,
peternakan, apapun. Dia suka membaca, dia suka mendapatkan ilmu baru. Di saat
teman-temannya mengobrol tidak jelas di dalam pantry, dia justru duduk merenung
membaca koran dan majalah sesaat. Ya sesaat, karena dia hanya bisa membacanya
selama lima belas menit sebelum atasannya datang.
Dari situlah dia memperoleh pengetahuan, dia menjadi sedikit ‘tahu’ tentang
Indonesia. Tentang cara-cara menjual, tentang produk, tentang politik.
Entahlah, saya tak ingin melanjutkan cerita ini sebenarnya.
Karena endingnya terlalu klise.
Bejo mulai memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta karena dia ingin
hidup bersama orang tuanya. Diapun sudah menikah dengan seorang wanita cantik.
Bejo lalu membuka sekolah untuk anak-anak di daerahnya yang kesulitan biaya.
Dia juga aktif di LSM kemanusiaan.
Dia masih bukan siapa-siapa.
Hanya pemuda kampung biasa, yang karena rajin membaca kini bisa
memiliki peternakan sapi di kampungnya. Dia ingin kembali bersama sapi-sapinya.
Dia sangat beruntung.
Atau karena dia rajin membaca.
Atau karena dia mencintai orang tuanya.
Atau karena dia suka membantu dengan ikhlas.
Atau karena dia rajin bekerja.
Atau karena dia bernama BEJO.
Jadi, kamu tidak harus percaya.
No comments