[DONGENG] AKU LUPA CARA MERINDUKANMU, JOGJA

Jalan rindu yang kutempuh kini bernama kenangan-kenangan. Setelah berhari-hari kulalui di tanah asing ini dengan kesendirian, malam itu aku berdiri di ambang batas jendela sambil menantang langit. Kubertanya padanya, apakah yang kamu lakukan di sana. Kuselip satu pertanyaan tabu tentang rasaku yang mengendap menjadi kerak tentangmu, masih adakah rindumu padaku seperti kegilaanku pada setiap kenanganku padamu.
Maka satu persatu kulewati tahun-tahun di sini tanpa mengenangmu, karena sungguh bertahun hidup di tanahmu seperti menggores luka sendiri di hati. Sulit kuhapus, tak gampang kuingat.
Apakah ada yang lebih menghangatkan darimu, dari sekumpulan orang-orang yang bercerita di pinggir jalan sambil menegak segelas kopi dan satu cerita tentang cinta? Apakah ada yang lebih menyemangatkan, dari melihat sepeda-sepeda tua dikayuh oleh kaki-kaki cokelat yang kuat, dari selatan ke utara dan sebaliknya? Apakah ada yang lebih menetramkan, melihat seorang ibu-ibu tua tersenyum—dipunggungnya berat dirasa setumpuk barang dagangan yang dibawa ke pasar, padahal harimu kelabu? Apakah ada yang lebih mengasyikkan bermain air di sungai jernih dengan hamparan hijau petak-petak sawah yang menyejukkan mata?
Jalan-jalan di sekitar UGM mungkin tak lagi dipenuhi adegan-adegan tentangku yang mengembara mencari tempat fotokopian di saat ujian, atau repotnya mencari makan buka puasa saat Ramadhan tiba. Tetapi kenangannya masih sama. Tempat persewaan DVD di Jalan Kaliurang dan Gejayan mungkin tak lagi didatangi olehku yang mencari kesibukan di tengah kemelutnya tugas dosen. Tetapi kenangannya masih sama. Pantai-pantaimu di selatan mungkin tak lagi dipenuhi teriakan-teriakanku melepas penat setelah ujian tiba. Tetapi kenangannya masih sama.
Mungkin aku akan sedikit lupa rasanya mereka. Mungkin tak ada yang bisa merasakan kesederhanaan kita berhuh-hah ria di Mang Kobis sambil mengelap keringat tanpa penat. Atau jalan-jalan saja berdua sambil cekikikan di rentetan kios-kios buku depan SMA 6, atau di Shopping Beringharjo sana. Mungkin tak ada yang merasakan kegilaan kita, mencari tempat-tempat makan murah di Pogung, dari nasi uduk sederhana, oseng-oseng mercon, Inyong, hingga Lumpia Boom kesenengan kita.
Mungkin kamunya masih sama, akunya tidak. Atau kita sama-sama telah berubah?
Sekarang aku tinggal di kota yang penuh dengan kepalsuan, antara batas cinta dan uang yang menjadikanku gila karena setiap malam hanya ada bayanganmu yang menyejukkan. Pernah kudengar nasihat dari seorang kawan, pergilah maka kamu akan menemukan kawan-kawanmu yang lainnya, karena diammu di kotaku hanya akan menjadikanmu memilukan. Apa bedanya kamu dengan air yang diam, tak menghasilkan? Justru akan keruh menjadi genangan.
Tetapi pertanyaannya, apakah yang akan aku lakukan padamu? Meninggalkan, lalu perlahan melupakan. Dan hanya pulang sesekali untuk melepas rindu. Padamu.
Dan dia menjawab, bukankah itu rindu yang sebenarnya. Ketika kamu sudah benar-benar kehilangan, lalu bertemu di satu waktu dan melepas kerinduan.
Maka pulang adalah jawaban dari setiap kerinduan karena berjauhan.
Setidaknya aku masih ada rasa memiliki. Memilikimu meski jauh di sini. Karena setiap rinduku padamu malam-malam itu adalah jawaban atas apa yang kutanyakan. Bahwa kamu terlalu spesial, tak akan tergantikan.
# # #

Sore itu adalah perpisahan paling memilukan antara kita.
Malam semakin larut saat kudengar lengkingan kereta api yang mendekat. Satu persatu pelukan kulepaskan, tetapi tidak denganmu. Kamu begitu erat merambat dari kaki sampai ubun-ubun, mencengkeram hati yang tak ingin pergi. Apakah perlu kutangisi perpisahan ini?
Setelah sekian tahun kita bersama-sama, tak pernah kubayangkan akan menghirup udara tak lagi bersama. Kuhirup udara sedari kecil bersama, dan kini sesak yang kurasa. Kuingat aliran sungai yang membelah kampungku, Sungai Opak yang bermuara di Pantai Selatan sana. Menentramkan hati yang dipenuhi impian-impian masa kecil tentang dewasa. Dan kini, aku lupa.
Kuingat panjangnya Jalan Parangtritis yang menemani setiap putaran roda jeruji yang berderit-derit saat pagi dan sore hari. Jalan yang tak berdebu karena bersamamu adalah seru. Dan kini, aku lupa.
Kutelusuri semua kenangan kita. Dan aku lupa. Aku, kamu, dan setiap kenangan yang kuhasilkan darimu, menjadikanku setengah gila karena aku hanya bisa mengingat, satu-satu. Dan kini pun aku lupa.
Aku sudah terlalu lupa bagaimana caraku bangun di pagi hari, dan menghirup udara bersamamu. Aku mungkin sudah terlalu lupa bagaimana sang mentari muncul di sisian timur, lalu menghilang meninggalkan semburat jingga di ufuk barat pantai selatan, menikmatinya bersamamu. Aku lupa  bagaimana sepinya jalan, jika ramai, itu hanya senyum-senyum dari orang-orang yang duduk di pinggiran.  Aku lupa nikmatnya makan dan minum kopi sambil berdendang hingga malam, di samping stasiun. Aku kini hampir lupa caraku menikmati hidup bersamamu. Tetapi dengan kelupa-lupaanku itu semua, kenangan tentangmu adalah indah.
Dan malam adalah cara terbaik untukku mengingat semua keping tentangmu.
# # #
Jogja, masih adakah satu ruangku untukku pulang? Setelah apa yang kulukakukan, meninggalkanmu sendirian. Tapi sungguh, aku merindukanmu. Kamu terlalu spesial. Tak tergantikan.
Karena aku lupa, bagaimana rasanya bangun pagi di kotamu, Jogja.

Jakarta, 15 Mei 2016

10 comments