[DONGENG] TUHAN, AKU PATAH HATI


Jika sudah tahu sakitnya patah hati, mengapa masih berani untuk jatuh cinta? Karena Tuhan menjanjikan kita hati yang tepat, suatu hari nanti. Iya, suatu hari. Saat hati kita telah siap, saat kita tak lagi berharap. Karena Dia akan mengirimkannya di waktu yang tepat.
Dan kini, aku patah hati. Aku seperti terserang demam tinggi berhari-hari. Dia yang awalnya kucintai, mendadak mengkhianati hati. Kukira dia akar serabut, mencengkeram ke dalam tanah hatiku. Akar yang bercabang-cabang, mencengkeram dengan kuat. Kugenggam akar itu karena aku percaya, cinta kami akan tumbuh seperti halnya biji-biji berkeping satu. Kuat seperti kelapa. Akan tumbuh dan berguna semua bagiannya. Aku berharap aku dan dirimu laksana satu. Laksana kelapa, laksana padi. Berjanji setia sehidup semati.
Namun, ternyata kamu hanyalah rerumputan. Rerumputan ternyata memiliki akar serabut juga, yang mencengkeram tanah. Tetapi tak bisa dijadikan pegangan saat terhanyut. Aku kamu, seperti itu. Berpegangan, tetapi hanyut. Kamu melupakanku, melupakan cintaku.
Mari kita berhitung. Satu-satu. Kapan kita bertemu.
# # #

Ini adalah pertemuan terpayah dari kisah cinta melankolis. Tragis.
Di rintik hujan, aku terdiam memandang air yang turun perlahan. Kuhitung satu-satu, untuk melepaskan kesepianku.
Aku terpesona cara Tuhan menurunkan Rahmat-Nya saat hujan. Kehidupan seperti dianalogikan seperti hujan. Sebelumnya datang mendung bergelayutan, menghitam. Seperti masalah yang datang, menghujam. Lalu datanglah hujan, bersambut petir. Seperti masalah yang hadir bertubi-tubi. Tetapi Tuhan mengijinkan kita untuk berdoa. Bahkan Tuhan berjanji akan mengabulkan doa-doa saat hujan turun. Setelah hujan reda, pelangi datang, seperti keindahan. Menjawab doa-doa.
Maka, hujan kala itu aku berdoa. Aku berdoa untuk bertemu denganmu cinta.
Aku berdiri termangu menunggu angkutan umum di halte depan kampus. Menunggu memang pekerjaan yang menjemukan. Tetapi menunggu adalah cara Tuhan mengajari kita arti kesabaran. Jadi aku menunggu. Sambil menghitung hujan.
Dan di sanalah kamu berdiri. Di bawah hujan, meski tak tersenyum tetapi bibirmu menyungging kecil.
Di halte aku sendiri. Kamu sendiri, berlari. Jaket BEM warna hitam memayungi.
Sesampainya di sampingku, kamu tertawa kecil.
“Sore hari hujan turun, Tuhan sepertinya sedang menguji kesetiaan seseorang,” dia berkata, entah kepada siapa. Tetapi aku menoleh, dan diapun menoleh.
“Kesetiaan?” tak terbendung, aku bertanya kepadanya.
“Ya, bukankah kita berdua adalah manusia-manusia yang setia dengan kampus kita.” Dia tersenyum lagi.
Aku mengangguk setuju. Memang, hujan sore itu seperti diturunkan sengaja. Menguji para pekerja, menguji para mahasiswa. Seperti kata-Nya, saat menguji, justru Dia sedang mencintai.
“Hai, aku Le. Dari Teknik Arsitektur.” Tahu-tahu dia sudang mengulurkan tangannya.
Ragu, kusambut tangan itu. Kasar. Mungkin dia memang selalu menggambar. “Aliya. Dari Industri.”
“Jadi kita sama-sama anak Teknik?”
“Mungkin aku adalah anak setengah Teknik. Bukankah semua orang bilang bahwa Teknik Industri bukan teknik sesungguhnya.”
Dia tertawa, menampakkan gigi-gigi putihnya. “Ya, aku sering mendengar lelucon seperti itu. Mungkin para punggawa teknik sedikit tersentil, saat anak-anak Industri dipenuhi oleh bidadari-bidadari cantik sementara teknik yang lain kebanyakan laki-laki.”
Bidadari-bidadari cantik. Dia mengucapkannya dengan lugu.
Aku termangu. Hujan masih belum reda.
“Bukankah arsitektur juga banyak bidadarinya?” aku bertanya.
Dia termenung, seperti menerawang. Dan aku bisa melihat bahwa dia memiliki jakun yang sedikit menonjol. Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar berat.
“Ya banyak. Tetapi belum ada yang bisa membuatku tersenyum indah seperti sekarang.” Dia menoleh. Kali ini tak tersenyum.
Berani sekali, pikirku. Di pertemuan pertama. Aku terdiam. Sore itu, aku ingin menerobos hujan. Mungkin aku telah dibuat seseorang jatuh cinta dengan satu kalimat pendek.
Bukankah Tuhan memang ajaib, suka memberi kejutan?
# # #

Jadi, mengapa dia membuatku patah hati sementara dia pernah membuatku jatuh cinta. Mengapa aku membiarkan rasa di hatiku berbunga sementara aku tahu dia mungkin suatu saat akan membuatku terluka.
Cerita-cerita indah tentangnya seperti sebuah album kenangan.
Setelah sore itu, kami seperti disengaja untuk bertemu lagi. Di mushola kampus. Kali ini, tanpa hujan. Dan karena tanpa hujan itulah, aku bisa dengan jelas melihat keelokan parasnya. Tidak, dia bukan sejenis pria dengan dandanan super keren. Dia tak memakai mobil. Dia hanya bersepeda. Dan dia juga tidak sangat sederhana. Caranya berjalan, caranya berpakaian. Caranya memandang. Tetapi di matanya, aku seperti melihat mimpi. Sebuah ambisi.
Sore itu sehabis sholat ashar. Aku memakai sepatu di depan mushola kampus. Dan kulihat dia sedang memarkirkan sepedanya tak jauh dari tempatku duduk.
Dan detik berikutnya, dia melihatku. Aku melihatnya. Dia sempat terdiam sebentar, seperti mengamatiku. Lalu dia tersenyum dan berjalan ke arahku.
“Sungguh kebetulan bertemu denganmu lagi di sini.”
“Hai, Le.”
“Dan sungguh kebetulan kamu mengingat namaku.”
“Tidak sulit untuk mengingat nama unik yang hanya terdiri dua huruf. El dan E.”
“Dan aku pun tidak kesulitan mengingat namamu yang terdiri dari lima huruf. Lebih hebat mana?” Dia duduk di sampingku.
Lebih hebat cinta kita, Le. Karena sehari setelah pertemuan sore itu, kami pun bertemu lagi. Dan bertemu lagi. Pertemuan intensif yang memupuk cinta kami. Memupuk rasa yang ada.
Sampai setahun kemudian terjadi.
Aku dan kamu harus berpisah.
# # #

“Jakarta masih di Indonesia,” ungkapku padanya.
“Dan aku akan tetap menulis email kepadamu. Setiap hari. Kuharap London tak sejauh itu.”
Aku menggeleng.
Dia akan pergi ke London, melanjutkan S2. Cita-citanya masih sama. Ingin menjadi dosen. Bukan seorang arsitektur. Sementara aku masih dengan idealisme yang sama: bekerja di perusahaan oil and gas di ibu kota. Mengejar mimpiku.
“Aku tak mengharapkan kamu mengirimkan kabar setiap hari,” kataku.
“Mengapa?”
“Agar aku selalu kangen padamu.”
“Aku akan selalu kangen padamu.”
“Biar ada hal yang selalu kita bicarakan. Jadi jangan menghubungiku setiap hari.”
“Sungguh, aku akan selalu kangen padamu.”
“Semoga itu benar.”
# # #

Dan dia memang mengirimi kabar setiap hari. SETIAP HARI. Di tiga bulan pertama.
Lalu tiga hari sekali. Di tiga bulan berikutnya.
Dan seminggu sekali. Di setahun kemudian. Lalu aku menyesal karena telah bilang bahwa ia tak perlu menghubungiku setiap saat. Karena ternyata aku butuh. Aku luruh.
Dan di genap saat satu tahun dia pergi. Aku didekati oleh orang lain. Namanya Valdo. Teman sekantorku. Butuh waktu sebulan untuk membuatnya jera mengejarku. Tetapi dia bukan tipe pria yang pantang menyerah.
Dia memberiku perhatian.
Dia mengantarku pulang.
Dia menemaniku makan.
Dan dia membuat hariku selalu tertawa. Tetapi aku tetap menjaga jarak. Karena masih ada Le di hatiku. Aku tak ingin berkhianat. Aku tak ingin membuat niat.
# # #

Suatu malam di Jakarta. Le menghubungiku. Jarang dia menghubungiku. Tetapi kali ini dia menghubungiku. Video Call.
Basa-basi singkat tak menyurutkan kecurigaanku malam itu. Lebih tepatnya kecurigaan sebulan terakhir. Dia yang mulai jarang menghubungi.
“Aku selingkuh,” ucapnya datar. “Dengan seorang mahasiswa dari Indonesia juga. Dan….” Dia menggantungkan kalimatnya.
Aku terpaku, tetapi tidak menangis. Aku tidak menangis saat itu. Aku tersenyum. Dia lalu membuat pernyataan-pernyataan.
Telingaku tersumpal.
Di akhir pembicaraan, dia mengakhiri semuanya. Semuanya. Memporak-porandakan kesetiaan.
# # #

Tuhan, aku patah hati.
Detik ini aku menangis. Bukan karena aku gagal mempertahankan cintaku, tetapi justru karena aku terlalu mencintainya.  Aku terlalu sangat mencintainya. Apakah itu salah?
Apakah ini yang seharusnya terjadi? Atau karena ini adalah bentuk teguran darimu. Tidak, aku tidak akan menangis. Karena Kamu telah berjanji padaku. Menjanjikan hati yang tepat, suatu hari nanti. Iya, suatu hari.
Aku membiarkan dia pergi. Meski dengan dada sesak, dengan pahit di hati. Setahun aku menghilang darinya, melupakannya. Sulit, tetapi harus kulakukan. Mengapa harus berlarut-larut, sementara hidup tak kan surut.
Hidup berputar. Dan saat kita hanya diam, kita akan tergilas. Tergilas hidup yang bagai roda.  
# # #

Sore ini sepulang kantor. Aku menunggu Gojek di lobi. Hujan mulai reda. Seharian Jakarta dibasahi oleh hujan. Kuhitung hujan untuk menepis kebosanan. Di langit yang masih menghitam, kulihat semburat warna-warni pelangi. Menemani. Sore itu. Aku tersenyum. Tuhan selalu memberikan keindahan setelah kegelapan.
Sedan warna putih berhenti di depanku. Kaca sampingnya membuka.
“Menunggu hujan? Atau menunggu seseorang?” tanya si pemilik mobil.
Aku menggeleng.
“Mau bareng?” dia menawariku.
Hanya kamu pembaca yang bisa mengakhiri ceritaku, apakah aku menerima ajakan atau menolak permintaan Valdo.
# # #



10 comments

  1. Gantuuuuungggg!!! ending yg kayak gini tu menyebalkan.... nyesek jdnya... :')
    suka sama pilihan katanya, jempol pokoknya...

    ReplyDelete
  2. patah hati itu bukan halangan karena cinta tidak pernah kapok dengan rasa sakit.. nyus

    ReplyDelete
  3. Makanya sblm dia pergi s2. Langsung di ajak nikah aja.. hhehe

    Tapi masih mending cwo nya ngaku kalo dia selingkuh ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hidup kadang suka nggak sesuai perkiraan Brur...hehe...

      Delete
  4. waktu yg akan menyembuhkan lukamu kak. fighting

    ReplyDelete