[SERIAL] MATA RANTAI (Episode Terakhir)


Juna terperangah melihat tubuh Crain ambruk di atas rumput basah. Setetes keringat bergulir dari sela rambut cepaknya. Dia menelan ludah. Mendadak suasana berubah menjadi sunyi. Bahkan rumput pun ikutan menelan suara, melihat Crain tak berdaya di atasnya.
Sementara itu, langit Jakarta mulai menghitam pekat. Asap turun perlahan. Mengepung Monas. Ada seseorang yang membangunkan tidur panjang iblis-iblis di dunianya.
Juna melangkah maju, memastikan Crain telah benar-benar tiada.
“Langit telah berubah. Aku harus memastikan bahwa tidak akan terjadi apa-apa di sini,” Juna memandang satu persatu asistennya. Tangan kirinya merogoh batu mata yang sempat ia sematkan di saku jas tadi. “Aku harus menghentikan ini,”
“Tidak, Juna. Aku tak mungkin membiarkan kamu mengorbankan dirimu sendiri.”
“Ariana benar, Tuan. Kita tak mungkin membiarkan Tuan berkelana lagi. Ini sangat berbahaya. Mungkin kita bisa melakukan bersama-sama.”
Juna berpikir sejenak. Tetapi tekadnya sudah bulat. “Hanya aku yang bisa menghentikan ini.” Dia tersenyum kecil. “Terima kasih, selama ini kalian telah membantuku melewati saat-saat sulit. Masih selalu ada untukku meskipun aku tahu aku belum mampu memimpin Mata Rantai dengan baik.”
“Tuan adalah pilihan yang tepat untuk Mata Rantai. Dipilih oleh Tuan Mata,” ujar Dede.
Juna menggeleng. “Aku bahagia bisa bersama kalian. Tetapi….” Juna menoleh satu persatu ke asistennya. “Aku harus menyelesaikan ini.”
Ariana berlari kecil, menghamburkan tubuhnya ke dekapan Juna. “Aku akan ikut denganmu,”
“Jangan bodoh,” sambung Juna. Dia memegang pundak Ariana. “Mana mungkin aku membiarkanmu dalam bahaya,”
“Aku sudah terlalu sering ikut denganmu. Aku akan baik-baik saja.”
Juna menggeleng. “Tidak, percayalah padaku. Aku akan baik-baik saja.”
Ariana memandang Juna dengan tatapan nanar. “Aku tak ingin kehilanganmu.”
Juna terkekeh. “Apakah aku cukup bodoh untuk kehilanganmu?” Dia membelai rambut Ariana. “Tunggulah aku di puncak Monas, aku sudah berjanji padamu akan membawamu ke sana. Mungkin malam ini, aku akan benar-benar membawamu.”
“Berjanjilah akan kembali.”
Juna mengangguk. Dia menggenggam mantap batu mata di sakunya.
# # #

Tikar itu terpampang di rumput basah. Di atasnya duduk para anggota Mata Rantai.
Angin berhembus cukup kencang. Menerbangkan debu-debu kecil, rumput-rumput kering, dan sampah-sampah.
“Jaga tubuhku,” ucap Juna sebelum matanya menutup. Semua asistennya mengangguk. Juna memejamkan mata perlahan, memusatkan perhatiannya pada satu titik di kegelapan.
Pikirannya satu persatu berloncatan, ke kenangan. Ke satu hari, dimana ia baru bangun dengan kepala yang sangat sakit di salah satu hotel di Bandung, ia bertemu dengan Arya yang mengatakan bahwa ia adalah pewaris tunggal Generasi Mata. Ia tidak ingat detail pertemuan itu, tetapi semenjak saat itu hidupnya telah berubah.
Dan semuanya menjadi sangat tidak beraturan. Ia pun tidak beraturan.
Aku harus menyelesaikan kekacauan ini.
Juna merasakan tubuhnya semakin ringan. Ia paham kondisi ini. Tetapi, ada semacam angin yang mengaburkan tubuhnya. Ia seperti terpelanting ke sana kemari. Ia tak boleh membuka mata. Membuka mata sama saja dengan bunuh diri. Dia harus memastikan tubuhnya telah sampai ke tempat yang ia tuju. Tubuhnya semakin ringan. Saat pantatnya seperti menyentuh lantai dingin, sangat dingin, perlahan ia membuka mata.
Dan terkejutlah ia. Di depannya, ribuah iblis sedang menunggu dengan mata merah menyala. Bentuk mereka rupa-rupa. Besar, kecil, hitam, bertangan panjang.
Juna yakin bahwa ini adalah tempat yang sama dengan yang biasa ia temui. Mengapa banyak sekali iblis di depannya?
Juna berdiri tergopoh.
Iblis-iblis itu seperti ingin menelannya. Mulut mereka mengaga.
Sepertinya aku harus berlari.
Dan Juna pun berlari. Ia berputar, ia harus segera menjauh dan membakar batu mata rantai. Itu satu-satunya cara untuk membuat semua iblis-iblis itu terbakar dan menjauh.
Derap langkah Juna semakin lama semakin lebar, suaranya terdengar menggema. Ia tak berani menoleh ke belakang. Suara iblis mengejarnya.
Tenang Juna, tenang. Juna menenangkan dirinya sendiri.
Ia merogoh kantongnya, batu itu masih ada. Lorong hitam membawa Juna pada sebuah ruang sempit dengan bau yang sangat busuk. Juna berhenti, menoleh ke belakang. Iblis itu semakin mendekat.
Juna memandang ke sekeliling. Mayat-mayat bergelimpangan di sana dengan keadaan yang sudah sangat mengenaskan. Lalat-lalat berterbangan rendah, hinggap di tubuh-tubuh manusia yang sudah tak berbentuk. Bau anyir menyeruak, membuat Juna mual. Dia yakin semua yang ia lihat kini adalah makhluk-makhluk yang di dunia mati dengan tidak wajar. Bulu tekuk Juna berdiri.
Terdengar bunyi dengungan mendekat. Iblis itu telah dekat ke ruang sempit itu. Juna dengan cepat merogoh batu mata dan korek. Karena tergesa-gesa dan gugup, Juna menjatuhkan salah satu batu mata rantai. Batu itu menggelinding menjauhinya dan berhenti tepat di salah satu tumpukan sampah yang tak kalah berbau busuk.
“Sial,” umpatnya keras.
Iblis semakin dekat, ada di ujung lorong. Mata mereka menatap Juna dari kejauhan.
Juna hampir saja melangkah mengambil batu mata yang jatuh. Langkah kakinya terhenti di udara saat matanya melihat binatang kecil yang keluar dari tumpukan sampah. Awalnya hanya satu ekor, tetapi kemudian satu ekor itu seperti magnet bagi teman-temannya yang lain. Mata dan sungut binatang itu menantang Juna. Sayapnya yang kecil siap terbang.
Juna menelan ludah saat ratusan kecoa kini ada di depannya, di dekat batu mata.
# # #

Di waktu yang sama, Ariana kini telah berdiri di ruang paling atas di Monas. Ia memandang Jalan Thamrin dan Sudirman di depannya. Suasana dua jalan itu sangat lenggang, berbeda sekali keadaannya saat siang hari. Ia jadi teringat percakapannya dengan Juna setelah Juna mengajaknya makan malam beberapa waktu lalu. Ia berkata pada lelaki itu bahwa ia ingin sekali bisa pergi ke pucak Monas pada malam hari.
Dan aku ingin ke puncak itu bersamamu, Juna. Ucapnya dalam hati waktu itu, menyambung ucapannya sendiri.
Ia memang ingin pergi ke tempat ini, memandang  kota Jakarta pada malam hari. Ia ingin menantang Jakarta yang sibuk di malam hari. Jakarta pada waktu malam sangatlah tenang, menyenangkan.  Dan ia sangat ingin ke sini bersama orang yang sangat ia cintai. Dan itu adalah Juna.
Awalnya dia ragu dengan perasaannya sendiri. Mungkinkah ia mencintai orang yang awalnya ia benci? Ia benci dengan sikap Juna yang arogan dan kekanak-kanakkan. Ia sempat tidak yakin Juna akan bisa memimpin Mata Rantai. Tetapi ia menjaga sikapnya, karena Juna adalah pewaris Generasi Mata. Orang yang telah dipilih oleh Tuan Mata. Dan Tuan Mata juga yang sudah merawat dirinya.
Semua tampak begitu sulit. Tetapi, Juna bisa membuktikan bahwa ia adalah orang yang pantas untuk dicintai. Dan ia memang mencintai Juna. Ia bahkan sakit hati saat Juna dengan dengan orang lain.
Kini orang yang ia cintai itu sedang berjuang sendiri di bawah sana. Ariana meminta yang lain untuk menjaga Juna. Ia tak tega melihatnya  seorang diri. Ia memilih pergi dan menunggu. Ia akan menunggu. Dan itulah yang justru semakin meresahkan hatinya. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu, termasuk menunggu Juna untuk mengutarakan perasaannya. Apakah itu mungkin?
Ariana menggigit bibir bawahnya? Ia hanya bisa pasrah. Pertarungan di alam antara dunia dan akherat tentunya sangat berat. Ia hanya bisa berdoa agar Juna bisa selamat. Setidaknya ia bisa lega melihatnya kembali memimpin Mata Rantai.
“Aku kini tak berharap lagi kamu mencintaiku, aku hanya ingin melihatmu lagi,” ucap Ariana lirih, berkata pada dirinya sendiri.
# # #

Juna seperti terjebak di antara dua hal yang sangat ia benci. Di depannya ratusan kecoa sudah menyalakkan sungutnya. Seolah mereka tahu bahwa Juna membenci mereka. Dan kini mereka akan balas dendam atas teman-temannya yang Juna bunuh dengan sapu lidi, guling, ia injak.
Dan di belakangnya, para iblis sudah menunggu. Ia tak punya banyak waktu. Keringat dingin keluar tubuhnya yang panas.
Kecoa-kecua menggerakkan kaki perlahan, Juna mundur selangkah.
Ia teringat kejadian saat ia berumur enam tahun. Saat itu, ia sedang dihukum untuk membantu bersih-bersih di rumah. Juna kecil yang nakal dihukum oleh ayahnya. Ia cemberut saat harus menyapu halaman belakang rumah. Dengan kesal, dia menggerakkan sapunya kasar. Di belakang rumah mereka, ada semacam gudang yang jarang sekali dikunjungi. Juna yang kesal, pergi ke gudang itu. Ia duduk seorang diri, berharap tak ada orang yang menemukannya. Tiba-tiba ada hewan kecil yang merambati tangannya. Ia tersentak. Seekor kecoa kecil menatapnya dengan senyum. Juna mengibaskan tangannya, jijik. Dia memukul kecoa itu, tetapi kecoa itu justru terbang. Ia mengejarnya dengan membawa sapu. Dia pukul-pukul kecoa itu, tetapi tetap saja si kecoa tidak mati. Juna menyerah dan keluar dari gudang dengan rasa kesal yang menumpuk. Malam harinya, kecoa itu datang kembali. Kali ini, bercampur dengan bubur ayam buatan mamanya. Sepertinya, Juna telah mengusik kecoa itu dan teman-temannya sehingga para kecoa balas dendam. Malam itu, keluarga Juna sibuk menyemprot kecoa di seluruh ruang. Dan Juna pingsan karena sempat memakan kaki kecoa di buburnya.
Sejak saat itu, Juna paling takut dengan kecoa.
Tapi saat ini, ia tak ada pilihan lain. Ia harus mengalahkan rasa takutnya. Ia harus membunuh fobia yang sudah bersemayam dalam dirinya seumur hidup. Jika tidak, ia akan kalah oleh semuanya. Ia kalah dengan kecoa, ia juga pasti kalah dengan para iblis yang telah menghadangnya.
Tanpa melihat para kecoa yang  mengelilingi batu mata rantai yang jatuh, Juna melompat di antara mereka, mengambil batu mata dan melompat lagi ke depan menjauhi kecoa-kecoa. Ada satu kecoa yang berhasil hinggap di tangannya, Juna mengibaskannya. Kecoa itu terbang.
Juna menghela nafas lega. Kini di tangannya ada empat batu mata. Para iblis seolah tahu kalau Juna akan membakar keempat batu mata. Mereka berhamburan ke depan, mendekati Juna. Juna mengangkat batu mata. Para iblis tidak berani mendekat.
“Mendekatlah, aku akan membakarnya,” teriak Juna.
Para Iblis mengeram. Mereka diam di tempat.
“Majulah,” Juna menantang.
Aku akan menyelesaikan ini. Aku harus kembali ke Mata Rantai.
Juna menyalakan korek apinya. Api berkilat kecil menerangi gelapnya ruangan. Para iblis mengeram semakin keras. Juna mendekatkan korek ke telapak tangannya. Timbul percikan api dari keempat batu mata. Api itu semakin lebar. Juna melemparkannya ke depan. Keempat batu meledak bersamaan, membakar para iblis. Ada kilat dengan cahaya putih menyilaukan mata. Juna menuutp mata dengan tangan kanannya. Ia merasakan kepalanya mendadak pusing. Rasa pusing yang sudah lama tak ia rasakan.
Juna merasa tubuhnya ringan. Saat ia membuka mata, ia ada di sebuah ruangan yang serba putih, tanpa batas. Ia seorang diri.
“Hai Juna,”
Juna menoleh ke arah asal suara. Di sana, ada seorang kakek tua berambut putih panjang dan berpakaian serba putih.
“Siapa kamu?”
“Apakah kamu tak mengenalku?”
Juna mengerutkan kening.
“Bukankah kamu seperti melihat dirimu sendiri beberapa tahun ke depan,”
Juna menelan ludah, terpana. “Tu….Tuan Mata?”
“Ayahmu,”
Juna belum bisa mencerna apa yang ia lihat kini. Orang yang kini ada di depannya benar-benar mirip dengannya. Ia memang pernah melihat Tuan Mata di dalam foto. Namun, ia merasa bahwa foto Tuan Mata tidak sedikitpun mirip dengannya.
“Bukankah anda telah me…” perkataan Juna menggantung. Ia tak tahu harus melanjutkan atau tidak.
“Janganlah bersikap kaku dengan ayahmu.” Tuan Mata terkekeh. “Apakah aku boleh meminta sesuatu sekarang?”
Juna mengangguk kecil.
“Bolehkah aku memelukmu?”
Juna tak tahu harus menjawab apa, tetapi ada dorongan dalam hatinya yang memintanya untuk mengangguk. Ia pun mengangguk kecil.
Tuan Mata merengkuh tubuh Juna dengan tangannya yang keriput. Dia membelai rambut Juna perlahan.
“Maafkan ayahmu ini, Nak.” Ada isak tangis di sela ucapan Tuan Mata. “Apakah kamu mau memaafkanku?”
Lagi-lagi Juna mengangguk. Ada dorongan lain yang memintanya kembali.
“Sudah lama aku merindukan untuk memelukmu, Nak. Aku sangat merindukanmu.”
Juna merenggangkan pelukannya. Ia menatap Tuan Mata di depannya. “Mengapa kita bisa bertemu di tempat ini?”
Tuan Mata mengusap air mata yang jatuh di pipinya. “Karena tentu saja kamu memiliki darah mata. Aku yang menginginkan pertemuan ini, karena kita tak mungkin bertemu di Mata Rantai.”
“Mata Rantai telah hancur,” ujar Juna perlahan. “Maafkan aku,”
Tuan mata menggeleng. “Kamu tentu tidak salah atas semua kejadian ini. Aku sudah tahu bahwa ini semua akan terjadi. Ayah justru berterima kasih kepadamu karena kamu telah bersusah payah membangun dan melindungi Mata Rantai. Semua anak buahmu pasti bangga kepadamu.”
Juna terkekeh. “Aku bukan pemimpin yang baik.”
“Siapa bilang? Semua asistenmu bangga kepadamu. Dan ingatlah satu hal, kamu telah melakukan yang terbaik.” Tuan Juna tersenyum kecil.
“Aku harus pergi. Aku tahu kita tidak diperbolehkan bertemu di tempat ini.”
Tuan Juna mengangguk. “Aku sangat bangga padamu.”
Juna mengangguk kecil untuk kesekian kali.
“Memimpinlah dengan hati, Juna. Memimpinlah dengan hati nurani.”
Kali ini Juna tidak mengangguk, dia berbalik dan menjauh. Kemudian dia berhenti kembali dan menoleh kepada Tuan Mata. “Aku juga merindukanmu, Yah.” Lalu dia kembali berjalan.
# # #

Ariana memandang ke depan. Langit sudah hampir pagi. Jakarta hampir bangun. Awan hitam berangsur-ansur telah menghilang.
Apakah dia telah berhasil? batin Ariana.
Dari kejauhan terlihat gedung Mata Rantai yang terlihat sepi diantara gedung-gedung tinggi yang lain. Bentuknya yang khas membuatnya mudah dikenali. Sudah bertahun-tahun Ariana hidup bersama Mata Rantai. Baru kali ini, ia merasa sangat tak ingin kehilangannya.
Bukankah itu bentuk loyalitas tertinggi dar suatu hal. Ketika kita, tak ingin kehilangan sesuatu itu. Ketika kita merasa sangat memilikinya.
Ia kini sangat tak ingin kehilangan Mata Rantai. Kekacauan akhir-akhir ini telah memperbesar rasa cintanya pada perusahaan supranatural itu. Dan malam ini, ia sebenarnya benar-benar sangat lelah.
Kini ia harus menunggu. Hanya menunggu.
Ariana melirik jam tangannya yang tertutup lengan blessernya. Sudah dua jam ia menunggu. Tetapi ia sengaja, tak turun ke bawah. Ia pasrahkan semuanya.
“Bukankah kamu tidak suka menunggu?”
Suara serak itu membuat Ariana menoleh. Ada rasa lega saat mendengarnya. Karena Ariana tahu pemilik suara itu.
“Untuk alasan tertentu, aku tentu akan menunggu.”
“Jadi, apa alasannya?” tanya Juna dengan tersenyum.
Ariana tampak berpikir sejenak. Lalu, dia membelakangi Juna. “Karena aku ingin menikmati Jakarta dari atas sini. Sudah lama aku menginginkannya.
Juna berdiri di samping Ariana. “Maaf telah membuatmu menunggu terlalu lama, Ariana.” Juna menggenggam tangan kiri Ariana.
Ariana tersentak. Ia menoleh dan mendapati wajah Juna sangat dekat dengannya.
“Terima kasih sekali lagi,” ucap Juna pelan.
Ariana seperti kehilangan nafas. Ia kini benar-benar dekat dengan Juna. Belum pernah ia sedekat ini. “Untuk apa?” tanyanya terbata.
“Untuk semuanya. Sudah menjadi partner yang baik selama ini. Maaf kalau aku tidak sempurna dalam memimpin Mata Rantai.”
Ariana menggeleng. “Sudah kukatakan padamu, kamu yang terbaik.”
“Terima kasih juga karena sudah menungguku.”
“Aku senang menunggumu.”
“Bukankah kamu tidak suka menunggu.”
“Tetapi aku senang menunggumu.”
“Apakah kamu menungguku juga untuk jujur bahwa…bahwa aku sangat mencintaimu?”
Ariana menelan ludah. “Apakah aku perlu menjawabnya?”
Juan tersenyum. Jenis senyum yang sangat melegakan.
Ariana merasakan tubuhnya menegang. Seluruh panas tubuhnya berkumpul di satu titik di kepalanya. Ia tahu, Juna pasti akan menciumnya. Ariana memasrahkan bibirnya. Ia membasahinya perlahan.
Juna menyentuh pipi Ariana, lalu memoles bibirnya. Ia hampir saja mencium Ariana jika saja tidak ada suara lagu yang sangat ia kenal. Juna menoleh ke arah asal suara. Ariana pun demikian.
Keduanya melihat Gordon sedang berdiri tak jauh dari mereka, sibuk mematikan dering ponselnya.
Gordon terlihat gugup. “Oh, maafkan aku. Aku tak tahu siapa yang meneleponku pagi-pagi buta seperti ini. Ternyata istriku di rumah. Dia menanyakan kabarku, apakah aku baik-baik saja.” Gordon berkata dengan nada terbata. 
Juna dan Ariana tertawa, bukan tertawa karena mendengar perkataan Gordon yang gugup. Tetapi mereka tertawa karena lagu yang mereka dengar. PARTY, SNSD. Juna semakin akrab dengan lagu itu. Lagu itu juga yang telah menyelamatkan dirinya dari para tuyul-tuyul. Juna tertawa semakin keras mengingat kejadian itu.
“Aku permisi,” tanpa diminta Gordon pergi meninggalkan Ariana dan Juna.
“Dia lucu,” kata Ariana setelah Gordon pergi.
“Dia sangat lucu.”
“Ya, dia sangat lucu.”
“Kamu juga lucu.”
“Mengapa jadi aku?”
“Apakah aku jadi boleh menciummu?”
Ariana mencubit pinggang Juna membuat Juna tertawa semakin keras. Pagi itu, Jakarta mendadak menjadi indah.
# # #

EPILOG
Seminggu setelah semua kejadian di Monas.
Suasana bandara Soekarno Hatta pagi itu sangat ramai. Antrian mengular sejak di pintu masuk keberangkatan. Begitu juga saat proses check-in.
Ariana dan Juna berdiri di depan pintu masuk. Pagi ini, Juna akan pergi ke Singapura.
“Aku harus meninggalkanmu sebentar. Aku benar-benar butuh liburan dan tentu saja aku merindukan Mama. Banyak hal yang harus aku ceritakan padanya. Kamu jangan merindukanku,”
“Apakah aku terlihat akan merindukanmu?”
“Mengapa kamu selalu menanggapi suatu hal dengan pertanyaan?”
Ariana tersenyum. “Hari ini aku bertindak sebagai asistenmu, bukan kekasihmu, Tuan. Kuharap kamu bersikap profesional.” Ariana menjaga jarak dengan Juna.
Juna pun ikut menjaga jarak, dia merapikan pakaiannya, bersikap sopan. “Sebagai atasanmu, kamu kuperintahkan untuk menciumku sekarang.” Juna menyodorkan pipinya ke Ariana.
“Ih, maunya.”
“Kamu menolak permintaan Bos?”
“Apakah kamu harus meminta?” Ariana memeluk Juna, lalu mencium pipinya. “Ariana bakal kangen kamu. Cepatlah kembali.”
Juna mengangguk. Pagi itu, dia untuk pertama kalinya, tak ingin meninggalkan Jakarta.
Pesawat Juna terbang sejam kemudian menuju Singapura. Di dalam pesawat, Juna tampak melamun, membayangkan kejadian-kejadian yang beberapa bulan ini terus menghantuinya. Ia teringat saat dulu datang ke Singapura, memastikan bahwa apa yang dikatakan Arya adalah benar. Dan mamanya membenarkan.
Juna menarik nafas. Perjalanan ini terasa berat. Tetapi, ia harus melewati proses ini. Proses yang telah menguras tenaga dan pikirannya.
Ia menikmatinya.
Bahkan ia melupakan rasa sakit di kepalanya, yang kini telah berangsur hilang. Yang telah berangsur-angsur menjadi hal yang biasa.
Juna yakin, perjalanan ini belum berakhir. Ini adalah permulaan di Mata Rantai.
Tanpa sepengetahuan orang yang duduk di sebelahnya, Juna meraba tato di pusarnya. Tato yang dulu ia buat di Bali. Di sebuah toko. Ia tak menyangka bahwa tato itu adalah simbol-simbol di Mata Rantai.
Tato itu telah mendarah daging di tubuhnya. Ia membiarkannya. Karena perlahan ia mencintainya. Seperti kini, ia pun mencintai Mata Rantai.
Juna memandang jauh ke luar pesawat. Di antara arak-arakan awan, ia melihat Tuan Mata berdiri dengan senyum. Untuk kali pertama, Juna membalas senyum itu.
# # #

  - T A M A T -

4 comments

  1. Wah selamat ya udah mau dibikin versi cetaknya ^^b

    ReplyDelete
  2. mas...episode pertamanya di postingan bulan apa yah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa dicek di link berikut ya episode pertama :

      http://www.wignyawirasana.com/2015/03/p-r-o-l-o-g-aryanda-putera-sudah.html

      Delete