[DONGENG] MATA KAMU PALSU


Mata kamu palsu, Raka. Ketika kamu memandangku, kamu tidak sedang benar-benar memandangku. Jadi, apa yang sebenarnya kamu lihat? Apakah kebohongan-kebohongan yang kamu sembunyikan dariku? Pertama, kamu tidak pernah mengakui siapakah dirimu sebenarnya, sampai aku tahu sendiri siapakah kamu. Kedua, kamu tidak pernah benar-benar bilang mencintaiku, sampai aku tahu yang sebenarnya. Ketiga, mata kamu memandangku, tapi aku tahu, kamu hanya ingin menyenangkanku.
Apakah kamu pernah mencintai seseorang? Namun kamu dicuekin? Dan kamu tetap mencintainya, tetap suka, segalanya tentangnya adalah benar, segala tentangnya adalah indah? Kamu rela berkorban untuknya, semua demi dia? Aku mengalaminya. Aku benar-benar jatuh cinta kepada Raka. Aku mengenalnya tanpa sengaja. Aku duduk di lobi kampus, dan Raka menghampiriku. Just it. Begitu simpel. Tetapi ternyata, pertemuan itu tidak berarti apa-apa. Hanya seperti pertemuan biasa. Misalnya, kamu bertemu dengan seseorang di tempat keramaian karena kamu menjatuhkan es krim yang kamu beli. Lalu, tak terjadi apa-apa. Kamu pergi, dia pergi. Bukan seperti di FTV-FTV, yang kemudian bertemu lagi, jatuh cinta, lalu sakit hati.

Pertemuan dengan Raka tak pernah spesial. Kita juga ternyata tak pernah sekelas. Dia beda program studi denganku, namun masih satu jurusan. Dia Teknik Mesin, aku Teknik Industri. Tak ada yang spesial dengan pertemuan kami, kecuali satu hal yang masih kuingat sampai detik ini. Matanya. Dia memandang dengan indah ke semua orang. Aku hanya berbisik kepada diriku sendiri : cowok ini, bagus ya matanya. Itu saja. Tak ada yang lain. Dan dia pun pergi, begitu juga denganku yang saat itu kemudian menghamburkan diri bersama rekan yang lain di kelas.
Tak ada yang spesial. Aku sibuk dengan kelasku sendiri, dengan mata kuliah-mata kuliahku : Matematika 1, Fisika 1, Pengantar Teknik Industri, Ergonomi Kognitif, Pengantar Desain Produk. Sebagai seorang mahasiswa semester satu, aku harus bergerak cepat. Jadi, aku melupakan pertemuan dengan Raka, bahkan matanya. Namun, bukankah memang selalu seperti itu.
Bukankah cinta memang bermula dari ‘tak ada apa-apa’ lalu berlanjut.
Aku kemudian bertemu lagi dengannya, saat kuketahui ternyata di semester kedua aku sekelas dengannya: kelas Matematika 2. Aku tak sengaja duduk di sampingnya. Dia jelas-jelas tak mengingatku. Aku hanya sekilas berpikir : sepertinya aku mengenalnya. Dan kami pun diam selama mata kuliah berlangsung. Aku sesekali melirik apa yang sedang ia lakukan. Ia mencatat dengan detail alogaritma, integral, integral tingkat sekian, dan tak banyak cakap dengan orang di sekitarnya. Sedangkan aku, aku hanya memperhatikan sekilas. Lalu berniat untuk meminjam catatan saja kepada temanku. Aku justru sibuk mengurus jualan baju rancanganku sendiri di onlineshop.
Ternyata, kami juga kembali satu kelas saat Fisika Lanjutan. Seperti saat di Matematika 2, dia juga sangat tekun mencatat. Melihat bagaimana rumus-rumus bangunan, keseimbangan, gaya. Astaga, dia sepertinya menyukai pelajaran eksak seperti itu. Aku cukup takjup kepadanya. Jadi, aku pun mulai memperhatikannya.
Raka, begitu aku mengenalnya, adalah cowok yang cuek. Bukankah semua cowok seperti itu? Baiklah, mungkin terlalu mudah untuk mengeneralkan bahwa cowok = cuek. Benar? Tetapi ternyata, dia tak secuek yang kubayangkan.
Saat ada acara inisiasi Jurusan, kami bertemu dan dia menyapaku.
Inisiasi Jurusan adalah acara musik jurusan yang dibungkus dengan bazar. Acara ini sangat ditunggu oleh semua orang. Sebagai mahasiswa baru, kami masih menyukai acara kumpul-kumpul seperti ini. Jurusan disulap dengan lampu hias yang menggantung-gantung di pohon. Begitu indah. Musik mengalun pelan. Sudut-sudut taman menjadi sangat romantis.
Malam itu, aku bertemu dengannya kembali.
Saat itu aku sedang duduk seorang diri, menjauh dari hingar bingar musik. Mendadak kepalaku pusing, aku memang selalu seperti itu. Pusing mendadak saat dehidrasi atau berada di kerumunan orang. Maka, kuputuskan untuk pergi sejenak.
Raka datang membawa secangkir kopi, rokok, dan juga mata indahnya. Gitar menggantung di pundaknya. Dan taukah kalian, cerita kami memang bermula dari kombinasi ini : kopi, rokok, gitar, dan matanya. Mata yang semakin lama kuperhatikan ternyata berwarna keabu-abuan. Jika memandang, dia seperti mata seekor kucing. Dalam, menghanyutkan.
“Sendirian? Namamu Clara, kan? Anak Industri?” Dia mendadak duduk di sampingku.
Dia tahu namaku.
“Aku yakin kamu juga tahu namaku. Kita beberapa kali duduk bersebelahan di kelas.” Dia tersenyum kecil, lalu senyum itu kembali menghilang. “Sedang apa di sini?” tanyanya kepadaku.
“Aku suka pusing kalo ada di kerumunan. Jadi aku menghilang sejenak.”
“Pusing bisa disembuhkan dengan meminum kopi panas. Nih, buatmu. Aku nggak terlalu suka.” Dia menyodorkan kopinya kepadaku.
“Nggak suka kok bikin.”
“Cewekku yang bikinin. Kalo aku nggak minum, dia bisa ngambek.” Dia memetik gitarnya. “Kutemenin deh. Aku juga malas di suasana hingar bingar seperti itu. Lebih asyik duduk sendiri, sambil mainan gitar. Mau mesen lagu apa?” tanyanya kepadaku.
Aku tertawa kecil. “Dangdut?”
“Asal bukan itu.” Dia terkekeh.
Aku meledak tertawa. Aku lupa dengan pusingku. “You and Me, Lifehouse?”
Dia mengangguk, kemudian dia bermain gitarnya. Setelah satu lagu, dia berhenti. Ternyata suara dia lumayan merdu.
Dia menyalakan rokoknya. “Suka minum kopi?”
“Ya, aku suka kopi, tapi nggak suka asap rokok.”
Dia seperti merasa disindir. Namun, dia malah menghisap rokoknya dalam, lalu menghembuskannya tepat di depanku. Aku terbatuk, dan dia tertawa.
Aku pura-pura cemberut. Tapi kemudian ikutan tertawa. Malam itu, aku melupakan pusingku. Aku menghisap pelan kopiku. Dia menghisap rokoknya. Dua hal yang berbeda.
Dan cinta memang selalu bermula dari perbedaan dan pengorbanan. Meskipun….sepahit kopi, dan sesesak asap rokok?
Aku sebenarnya membenci bau rokok. Baunya membuatku ingin muntah. Namun, malam ini, aku justru menikmatinya. Aku menikmati saat dekat dengan Raka.
Kami mengobrol berdua sampai acara selesai.
Mungkin Raka tak pernah menganggap spesial malam itu. Rokok, kopi, lagu…itu hanya angin lalu. Bukan sebuah kenangan yang bisa untuk dibuka kembali nanti. Tapi buatku, malam itu seperti sihir. Rokok, kopi, lagu, dan mata Raka saat itu adalah alunan kenangan.
Hari berikutnya, aku bertemu dengannya kembali. Dan dia terlihat cuek kepadaku. Tak menyapa. Rokok, kopi, lagu…apa pun itu…menjadi angin lalu. Tapi bagiku, Raka menjelma menjadi pelangi di hatiku. Aku mendadak jadi sering kepikiran dia. Terutama matanya. Bagaimana bisa matanya menyihirku dengan pesona?
Aku kangen. Aku mendadak kangen. Awalnya aku tak terlalu suka untuk mengikuti kelas Matematika 2 dan Fisika Lanjutan. Namun, demi bertemu dengan Raka, aku bersemangat untuk datang. Aku berharap bisa duduk bersebelahan dengannya. Bukankah memang selalu seperti itu. Mendadak kita bersemangat mengikuti segala kegiatan karena ada dia, orang yang kita suka. Meskipun kegiatan itu tak benar-benar kita suka.
Karena aku mendadak rindu. Rindu apa ini?
Jika kata orang rindu itu indah, namun bagiku ini sangat menyiksa (Dari lirik, Bimbang – Melly Goeslow).
Tuhan sengaja menciptakan jarak. Tak hanya jarak dalam arti sesungguhnya. Namun juga, hati. Dan itu mengapa ada kata RINDU.
Aku datang pertama kali di kelas Fisika Lanjutan. Kelas belum ada orang. Aku berharap bertemu Raka, namun dia tak ada. Tak lama, dia datang. Dengan cueknya, dia menghampiriku, duduk di sebelahku.
Dan apakah kamu tahu, bagaimana rasanya dihampiri oleh orang yang kita suka? Jungkir balik. Senang, pengen teriak, deg-degan. Semua jadi satu.
Badannya bau rokok. Seharusnya aku muntah, atau minimal pusing, tapi aku justru seperti menyukainya.
Inikah cinta? Saat kita berkorban untuk sesuatu. Bahkan ketika kita dada kita sesak karena sakit, karena kita tahu dia tak mungkin kita miliki. Karena ada seseorang di hatinya, di belakangnya.
Kami mengobrol. Dia tak lagi cuek, bahkan dia meminta nomer teleponku.
“Kamu seru juga dijadikan adik, ya?” katanya. Dia menoyorku. “Jadi, mulai sekarang aku memanggilmu adik? How?”
Dan dengan bodohnya, aku mengangguk. Aku terpedaya oleh tatapan matanya yang sayu dan abu-abu.
# # #

 “Dik, bisa ke kosanku. Aku sakit. Bawain makanan ya?”
Raka meneleponku siang itu. Aku yang sedang mengerjakan tugas di kampus, mendadak kayak orang kesetanan. Aku segera pergi ke parkiran, mengambil motor, menembus hujan lebat untuk membeli makanan.
Sakit apa dia?
Astaga, pantas dari pagi tidak ada di kampus?
Sepanjang perjalanan aku mengkhawatirkan dia. Maka, aku pun bergegas untuk ke kosan dia. Kubawakan dia nasi padang kesukaannya. Sesampainya di kosan dia, aku langsung menuju kamarnya. Seperti yang tadi ia instruksikan.
Tetapi, dia tidak sendiri.
Di depan kamarnya, ada sepatu wanita warna merah muda. Kudengar lamat-lamat seorang wanita sedang berusaha menyuapinya.
“Ini makan nasi padangnya. Aku suapin deh.”
Aku mundur beberapa langkah. Kuletakkan nasi padang, tepat di samping sepatu wanita itu. Lalu aku pergi.
# # #

“Halo,” ucapku. Aku berusaha menekan perasaanku yang mendadak sakit.
“Susah sekali menghubungimu,”
“Aku sibuk.” Aku berbohong. Padahal aku sedang menangis di toilet kampus.
“Katanya mau ke kosan, membelikanku makan?” tanyanya.
Aku sudah ke sana, dan ada pacarmu. Apakah itu kamu sengaja? Aku berkata dalam hati.
“Aku sedang mengerjakan tugas.”
“Tadi kamu ke sini? Aku menemukan nasi padang di depan pintu.”
Aku tak menjawab.
“Mengapa tak masuk? Aku menunggumu. Kamu sungkan karena ada Nura?”
Itu kamu tahu.
“Dia sudah pulang. Kamu mau ke sini sekarang? Aku kesepian.”
Ingin kujawab tidak, namun yang keluar justru. “Baiklah. Aku akan segera ke sana.”
Astaga, bodohnya aku.
# # #

Apa yang tersembunyi di matanya sehingga aku terpedaya? Begitulah aku yang begitu sangat mencintainya sehingga rela melakukan apa aja. Apa sebutan untuk orang sepertiku selain kata ‘bodoh’?
Aku terlalu asyik tenggelam dalam matanya sehingga melupakan hatiku yang harus kujaga. Aku terlalu asyik bercengkerama dengan suaranya sehingga melupakan perasaan sakitku. Aku terlalu asyik terbuai oleh perasaan cintaku sendiri sehingga lupa kenyataan bahwa dia sudah tak lagi sendiri.
Ada seseorang di belakangnya.
Tapi, inilah cinta yang sesungguhnya. Ketika kita berkorban untuk orang yang kita sayangi, meski tak kita miliki.
# # #

Ternyata aku tak benar-benar mengenalmu, Raka. Di semester kelima, kamu mendadak menghilang. Sebelumnya, sebulan setelah masuk semester ini, kamu putus dengan pacarmu.
Oh iya, aku dan dia masih seperti dulu : masih bersama, meski tak memiliki. Dia masih suka memanggilku adik, dan aku masih suka bermain bersamanya. Kita saling bercerita tentang mimpi-mimpi kami. Satu hal yang tak ia ceritakan adalah tentang hubungannya dengan pacarnya. Dia tak pernah menceritakan padaku. Ngomong-ngomong masalah mimpi, aku dan dia adalah dua tipe orang yang sangat ambisius.
Ilmu yang aku dapat dari Teknik Industri aku gunakan untuk memperbesar bisnis onlineku. Aku mulai serius. Rancangan bajuku ternyata banyak yang suka, dan aku pun jadi semangat untuk menjual baju-bajuku di toko online.
Sementara dia, dia berambisi untuk melanjutkan kuliah S2 dan S3. Dia ingin menjadi seorang profesor. Suatu cita-cita yang membuatku tercengang. Seorang Raka—si cuek itu—bercita-cita menjadi profesor? Namun, di semester lima kami, mendadak dia menghilang.
Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.
Semua orang curiga dia sakit.
Semua orang tiba-tiba mewawancaraiku. Aku dianggap tahu karena aku dekat dengan Raka. Jujur, aku tak tahu ke mana dia pergi. Dia tak memberitahuku.
Namun, sebelum ia pergi, kami memang sempat pergi berdua saja ke Bukit Bintang. Malam itu jam 10, aku belum tidur karena masih mengurusi toko online-ku. Mendadak dia meneleponku.
“Kamu sedang sibuk?” tanyanya saat itu. Aku jawab, tidak. “Aku jemput sekarang. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Sudah kuberitahu berulang kali, ketika kita jatuh cinta kepada seseorang, kita akan melakukan apa saja yang ia perintahkan. Baik, atau buruk.
Dia menjemputku lalu membawaku ke satu tempat yang penuh bintang. Kami berdua menikmati dinginnya udara malam sambil bercengkerama bersama. Bercerita. Dia masih sama, menghirup rokok. Dan aku pun masih sama, meminum kopi yang kupesan dari penjaja yang ada di sana. Tetapi malam itu, dia berbicara tanpa memandangku. Selama kami ada di situ, dia terus berusaha membuang pandangannya. Dia tak memandangku. 
Kamu bercerita tentang proyek pribadimu dan ambisi-ambisimu. Tetapi malam itu, tumben-tumbennya kami berdiskusi denganku tentang politik. Hey, sejak kapan kamu peduli dengan politik Raka. Kamu menjelek-jelekkan pemerintah, Raka. Itu yang tiba-tiba tak kusuka darimu. Kamu kecewa dengan para pejabat, kamu meluapkan emosimu. Dan malam itu, mendadak matamu seperti iblis: menyalak merah. Kamu menakutiku.
Mata kamu seperti palsu, Raka. Dan aku tak menyadari bahwa malam itu adalah malam terakhir aku bertemu denganmu.
Semuanya seperti mimpi kemarin sore yang menggoncang hidupku. Raka menghilang setelah malam itu.
Aku seperti kehilangan satu bagian dalam hidupku, satu belahan jiwaku yang menghilang tak ada kabar. Rumput gersang di hatiku menjadi kering setelah kamu tak ada. Sudah lama tak kau sirami dengan teduhnya matamu, Raka.
Astaga, ke mana kamu Raka. Aku tak tahu.
# # #

Isu gerakan terselubung yang menggedor Indonesia seperti gerakan terencana oleh organisasi tertentu. Mereka merekrut orang-orang dengan idealisme, mereka yang kecewa dengan pemerintah. Gerakan underdog mereka seperti sebuah sumbu yang disembunyikan dalam sebuah tabung gas besar. Sumbu itu disulut perlahan, nyalanya pelan, namun perlahan merasuki tabung itu dan kemudian tabung itu meledak. Begitulah gerakan itu.
Berita tentang anak muda-anak muda berprestasi yang mendadak hilang adalah berita hangat. Awalnya aku tak peduli dengan berita tentang gerakan itu, aku pikir hal itu adalah gerakan biasa. Namun, setelah pemerintah mengeluarkan fatwa bahwa organisasi itu ilegal dan sedang menggerogoti Indonesia, tiba-tiba aku teringat Raka dan mimpinya.
Sebenarnya, Raka tak pernah benar-benar pergi begitu saja tanpa meninggalkan apa pun. Dia meninggalkan sebuah video buatku.
Tapi aku tak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena aku tak ingin aku semakin sakit saat mereka bertanya. Biarkan aku saja yang tahu, biarkan aku saja yang memahami ini.
Raka, di video itu, kamu menatapku dengan tatapan kosong. Matamu seolah palsu. Aku tak lagi melihat secercah cahaya yang dulu kulihat. Cahaya yang sempat membuatku tak bisa tidur karena terus menerus memikirkanmu. Cahaya yang juga sekaligus membuatku sakit karena aku tahu, kamu tak pernah kumiliki, bahkan hingga saat ini. Cahaya yang selalu kulihat di kelas Fisika Lanjutan dan Matematika 2. Cahaya indah kulihat saat Inisiasi Jurusan dan kamu bermain gitar.
Raka, aku mencintaimu karena cahaya itu. Aku merindukanmu, matamu. Matamu adalah candu, Raka. Tapi mengapa hal ini justru membuatku sakit.
Di video itu, kamu berpakaian hitam-hitam. Kamu memakai jaket tebal, syal hitam, dan juga penutup rambut hitam. Kamu lagi-lagi bercerita tentang mimpimu. Tentang ambisimu.
Dan tentang organisasi itu.
Kamu bilang bahwa kini kamu ikut organisasi itu, Raka. Organisasi itu telah mengajarkanmu satu hal : kebebasan dan kehidupan yang sangat indah setelah kamu berkorban untuk sesuatu. Kamu terus menggebu-gebu bahwa kehidupanmu akan baik-baik saja. Karena kamu akan melakukan satu hal untuk negara ini. Kamu seperti mencintai organisasi itu. Kamu terlihat sangat mencintainya. Kulihat nyala di matamu saat kamu menceritakannya.
Begitulah cinta, dia membuat kita rela berkorban. Untuk apa pun. Seperti diriku. 
Jika kamu melihat video ini, mungkin aku telah tiada. Kamu berkata sambil tersenyum dan memandangku, kosong.
Tubuhku mengejang, aku menangis. Raka, apa yang kamu lakukan.
Di akhir video, kamu membuka jaket tebalmu. Kamu menunjukkannya kepadaku sambil berkata bangga.
Akan kumusnahkan mereka-mereka yang telah merampas kebahagiaan rakyat dengan bom ini. Para koruptor-koruptor itu. Mereka akan melakukan pertemuan besar, dan aku akan datang ke sana. Membawa bom ini. Astaga, Clara. Aku sangat bangga bisa melakukannya untuk rakyat Indonesia.
Aku tak bisa berkata apa-apa kecuali menangis.
Kamu seperti salah mengartikan sesuatu Raka. Bukan sikap seperti itu yang harusnya kamu ambil. Raka, kamu seperti diriku. Rela berkorban, meskipun itu salah. Itu sakit.
Aku menangis. Aku semakin menangis. Ketika berita di hari-hari berikutnya menyebutkan bahwa ada seorang pemuda melakukan bom bunuh diri saat pertemuan akbar kenegaraan, aku semakin menangis.
Raka, I miss you.
# # #

Raka, kebohongan apa yang telah kamu perbuat padaku. Aku tak pernah tahu bahwa orang tuamu adalah seorang pejabat negara yang dijebloskan ke penjara setelah dituduh korupsi. Aku tak tahu siapa yang salah, siapa yang benar. Namun, banyak yang bilang bahwa ayahmu hanyalah sebagai kambing hitam dari orang-orang. Apakah kamu sakit hati karena itu Raka? Dan kamu bergabung dengan organisasi itu, belajar merakit bom dengan ilmu-ilmumu? Tetapi, mengapa pikiranmu terlalu dangkal.
Raka, kini aku yang sakit. Aku tak tahu, kebohongan apalagi yang kamu katakan padaku. Aku ternyata tak benar-benar mengenalmu.
Di akhir videomu, kamu bilang padaku : “Maafkan aku. Aku tak bisa terus menjagamu, Dik. Tapi, setelah sekian lama bersamamu, baru kusadari, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Maafkan aku karena kini tak bisa ada di dekatmu.”
Kamu menatapku, kosong. Aku tak tahu, apakah kamu serius atau hanya membuat penutup video agar dramastis. Yang kulihat, matamu saat melihatku seperti palsu, Raka.

# # #

Baca juga dongeng yang lain :

5 comments