[SERIAL] MATA RANTAI (11)


BAB 14
551 km dari kota Jakarta, tepatnya di lereng Gunung Merapi, Alexa Crain sedang menikmati secangkir kopi pahit di lantai paling atas Galeri Mahakarya, yaitu sebuah tempat terbuka dengan kolam kecil di tengahnya. Crain duduk seorang diri sambil memandang ke arah puncak Merapi yang tampak bersih berlatar warna biru. Sudah dua hari dia berada di Yogya karena dia ingin melepaskan sejenak suara-suara bising kemacetan Jakarta. Seperti kata Sudjiwo Tedjo, bahwa pergi ke Yogya adalah cara orang untuk menertawakan kesibukan orang-orang Jakarta. Benar saja, ketika di Yogya, pikiran Crain mulai tenang. Dia mulai bisa berpikir kembali tentang rencana-rencana membangun bisnisnya, terutama untuk mengusir kesepiannya.
Di usianya yang menginjak angka tiga puluh enam, Crain memang masih sendirian. Dia tidak tampak terlihat sedang dekat dengan seseorang. Tak ada yang mengusik tentang kesenangannya. Kesendiriannya tertutupi oleh prestasinya di beberapa bisnis dan jabatan yang tinggi di Mata Rantai. Belum lagi, dia termasuk dalam daftar 50 besar orang terkaya di negeri ini. Sebenarnya, dia bisa saja memacari siapa pun yang dia mau. Tetapi, dia memilih sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa dirinya mengalami trauma percintaan yang luar biasa, sehingga dia memilih untuk tidak bersama siapa-siapa saat ini. Tetapi hanya dia yang tahu, mengapa kini ia masih sendiri.
Jauh sebelum ia sesukses sekarang ini, Crain hanyalah seorang introvert yang  terlahir dari keluarga yang biasa saja. Ibunya adalah seorang pegawai negeri sementara ayahnya seorang kuli angkut di Pelabuhan Tanjung Priok. Crain besar di Jakarta Utara, di sela-sela para preman yang berseliweran di Tanjung Priok. Tumbuh di lingkungan yang sangat keras, tak lekas membuat dia menjadi pribadi yang kuat. Crain justru terlahir sangat rapuh, dia hampir setiap hari menangis dan mengurung diri di kamar. Itulah yang membuatnya sering dimarahi oleh ayahnya.
Crain kecil sering mendapat perlakuan kasar dari ayahnya. Memar di bagian mulut adalah hal lumrah. Dia juga sering merasakan bau anyir di sekitar wajahnya yang timbul dari pekatnya darah yang mengucur di ujung bibir. Matanya pernah berwarna biru sekali karena mendapat tamparan dari tangan kasar ayahnya. Ada satu luka yang membengkas sampai Crain dewasa, yaitu sebuah luka pisau yang menyayat di bagian dada atas.
Sejak saat itu, Crain kecil selalu membenci ayahnya.
Pada malam tahun baru sewaktu Crain berumur sembilan tahun, bunga api membumbung tinggi di saentero Jakarta. Langit Jakarta berubah warna warni. Kemeriahan terdengar di setiap sudut. Konser musik di Ancol tampak bising. Namun Crain kecil hanya meringkuk seorang diri di kamarnya. Dia hanya memandang bunga-bunga api dari balik Jendela.
Ayahnya datang malam itu dengan bau alkohol di sekujur tubuh. Badannya sempoyongan, menabrak pintu depan, dan menghancurkan kursi ruang tamu yang memang sudah rapuh. Istrinya menyambut dengan muka marah. Malam itu, mereka berdua terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran itu berujung pada suara keras yang timbul dari kepala si istri, seperti sebuah bata yang dibenturkan ke dinding. Crain keluar dari kamar dan melihat ibunya sudah tertidur lemas di lantai dengan luka kepala. Crain tidak berani menjerit, dia hanya memandang dengan perasaan terluka melihat ibunya tak bernyawa lagi.
Seperti dirasuki oleh iblis, Crain pergi ke dapur dan mengambil pisau panjang yang biasa ibu gunakan untuk memotong daging. Dia pergi ke ruang tamu dan mendapati ayahnya tengah tertidur karena mabuk. Muka ayahnya tak menunjukkan rasa sesal sedikit pun karena telah menghabisi nyawa istrinya.
Crain berjalan perlahan. Mendekati ayahnya. Tangan kanannya mengacung tinggi-tinggi. Detik kemudian, pisau yang ia pegang menancap ke dada kiri ayahnya. Crain membabi buta. Seperti rasa sesal yang sudah menyatu selama bertahun-tahun, dia lampiaskan malam itu. Tak ada perlawanan dari ayahnya.
Crain menangis seorang diri di ruang tamu. Tetangga-tetangga datang. Crain kecil diamankan oleh pihak kepolisian. Namun, dia tidak dihukum. Dia dilempar ke pusar rehabilitasi sosial. Jiwanya yang sakit, disembuhkan. Crain mulai tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Dia tak lagi terlihat seperti seorang anak yang kesakitan jiwanya. Yang tak pernah berubah hanyalah sifat introvertnya.
Di sanalah dia bertemu dengan seorang lelaki kaya raya yang menyukainya, kemudian memungutnya menjadi seorang anak. Crain tumbuh di lingkungan seorang bisnisman. Dan perlahan, dia menutupi luka masa kecilnya dengan prestasi yang membanggakan kedua orang tua asuhnya.
# # #

Alexa Crain masih duduk di lantai paling atas Galeri Mahakarya saat ponsel pintarnya berdering. Nama Ronero ada di layar ponsel itu dan secepat kilat Crain menyambarnya.
“Aku sudah menunggu telepon darimu. Sudah kuhabiskan 5 cangkir kopi dan 10 batang rokok untuk mendengar berita tentang batu itu, Ronero. Apakah kamu sengaja mengulur waktu?” suara Crain terdengar lembut. Tangan lentiknya menyalakan rokok kembali sambil terus berbicara dengan Ronero.
Suara Ronero yang berat tampak menghembuskan nafas. “Seperti dugaanku, buku wasiat itu ada di kamar Tuan Mata. Sementara batu itu tak ada di sana. Aku sangat yakin bahwa aku telah mendengar semua info itu dari Dilan.”
“Apakah ada yang tahu selain dirimu?” tanya Crain.
Ronero tampak diam.
Crain menegakkan tubuhnya. “Ayolah, kamu sudah berjanji padaku bahwa kita akan bekerja sama untuk menemukan batu itu, bukan? Kamu tahu bahwa aku adalah kolektor benda antik sejati. Dan memiliki batu itu adalah salah satu hal yang aku inginkan. Dan hanya kamu yang bisa mencurinya dari mereka,” Crain tampak terkekeh. “Siapa yang tahu selain dirimu?”
“Heh, tak ada. Janero pun tidak. Tikus kecil itu hanya kumanfaatkan untuk mencari informasi keberadaan buku wasiat itu. Tapi ternyata dia tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Saat ini yang jadi penghalang hanyalah Arya, dia kemarin mengajakku untuk bertemu.”
“Apakah dia tahu?”
“Kurasa tidak. Hanya Dilan yang tahu keberadaan benda itu. Aku sempat mendengar dia menyebut kata bulan purnama, tetapi tak ada keterangan lebih lanjut tentang itu karena Arya tiba-tiba datang dan memergokiku.”
Crain tersenyum kecil. “Ini kesepakatannya, aku mendapatkan batu itu dan kamu akan mendapatkan uangnya. Saya harap kamu setuju. Dengan uang itu, kamu bisa kembali menyelamatkan perusahaan tambangku yang hampir bangkrut. Prestasimu di Mata Rantai memang sedang bagus, Ronero. Tapi tidak dengan bisnismu, kan? Lagian, apakah kamu masih tahan diperintah oleh anak kemarin sore itu?”
Ronero berdehem kecil. “Baiklah, aku harap mulutmu bisa dipegang Crain. Karena aku tahu, aku harus berhadapan dengan siapa untuk mencuri batu itu.”
Crain tertawa. “Aku tahu, teman premannya jauh lebih banyak. Dan untuk membereskan hal seperti itu, seharusnya kamu tak butuh waktu lama.”
# # #

Malam hari, di kota Jakarta.
Dilan duduk di belakang kemudi BMW hitam menuju ke sebuah daerah di Pluit, Jakarta Utara. Mobilnya beradu dengan jalanan yang berdebu dan sesekali dia harus menghindar ketika melewati jalan berlubang. Mobilnya beberapa kali harus bermanuver ketika ada truk-truk besar yang mendahuluinya. Pantas saja jalan di sini cepat rusak. Roda-roda truk besar itu setiap hari menggilas tanpa ampun.
Mobil Dilan masuk ke daerah perkampungan di Luar Batang. Seakan sudah hafal dengan daerah itu, Dilan memarkirkan mobilnya di salah satu lapangan di sana. Dia kemudian berjalan sendiri, melewati gang-gang sempit. Langkahnya berhenti di sebuah masjid di daerah itu: Masjid Keramat Luar Batang.
Masjid ini dibangun oleh Al Habib Husein bin Abubakar Alaydrus yang merupakan salah satu ulama berasal dari Yaman, dia menyebarkan agama Islam di sini hingga meninggal di Kampung Luar Batang. Di masjid itu terdapat dua aula besar dan di sampingnya kini dijadikan makam Habib Husein. Masing-masing aula memiliki 12 tiang penyangga. Menurut mereka yang tinggal di sekitar sana, tiang itu menandakan jumlah jam setiap harinya. 12 siang. 12 malam.
Masjid itu merupakan salah satu cagar budaya di Jakarta. Dan sering dijadikan sebagai wisata sejarah tak hanya oleh orang Jakarta, namun juga oleh masyarakat dari kota-kota lain. Mereka datang untuk nyekar di makam Al Habib, kemudian mendoakannya. Tak lupa mereka akan mengaji di dalam masjid sambil memohon doa kepada Yang Maha Kuasa.
Tak heran jika masjid itu tak pernah sepi. Apalagi jika malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Orang-orang dari Kuningan, Cirebon, Yogyakarta, dan lainnya berbondong-bondong datang. Lantunan ayat-ayat suci Allah menggema sampai di luar-luar. Masjid itu tersohor sampai ke mancanegara. Bagi orang-orang yang mayakininya, masjid itu adalah Hulu ziarah. Orang tak akan ziarah ke makam para syeh lain, sebelum mereka datang ke sini.
Dulu, Tuan Mata sering pergi ke tempat ini untuk menyepi. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Di sinilah, ia bertemu dengan seorang pria tua yang menjadi salah satu penjaga masjid. Dan orang itulah yang ingin Dilan temui saat ini.
Dilan berdiri di depan masjid. Tak berapa lama, ada seorang pria tua yang mendatanginya.
“Dia aman, kan?” tanya Dilan. Pria tua itu mengangguk, lalu mengajak Dilan ke suatu tempat di belakang masjid itu. Sebuah rumah sederhana.
“Dia aman bersamaku. Warnanya sudah berubah sempurna. Setiap doa yang dipanjatkan di masjid itu, seperti terserap ke dalam batu itu. Intensitasnya membuatnya tampak bercahaya. Dia sudah siap dipakai oleh pemiliknya. ”
Dilan ingat peristiwa malam itu. Malam ketika Tuan Mata mendadak sakit lalu dia diminta untuk datang ke kamarnya. Tuan Mata menjelaskan tentang keberadaan batu Mata Rantai. Batu yang sengaja Tuan Mata dapatkan untuk membuat keseimbangan dalam rohnya.
Ada empat batu yang ada. Batu rumput sebenarnya adalah jenis batu Zamrud berwarna hijau tua. Batunya sedikit mengalami keretakan karena proses kristalisasi selama bertahun-tahun. Tuan Mata mendapatkannya di pedalaman  Kalimantan. Khasiatnya jelas bahwa batu ini adalah sebagai penyeimbang pikiran, penyembuhan fisik dan emosional, serta menjernihkan batin. Batu tikus berwarna biru yang berasal dari blue safir. Batu ini adalah cinderamata dari seorang bangsawan Srilanka. Kegunaannya sebagai penyeimbang otak agar tenang, damai, meningkatkan motivasi dan orientasi hidup. Batu ketiga adalah ular. Terbuat dari batu mulia jenis Quartz  berwarna bening. Merupakan batu penyeimbang tubuh, memerangi pikiran negatif, dan penghilang kebiasan buruk. Sementara batu terakhir adalah batu elang yang terbentuk dari batu mulia jenis topaz berwarna biru bening. Ukiran elang di batu itu diyakini sebagai pemberi kekuatan. Batu itu didapat Tuan Mata ketika pergi ke Brazil untuk berwisata.
Keempat batu dititipkan oleh Tuan Mata kepada seorang penjaga masjid di Luar Batang. Tujuannya agar batu itu tidak terpengaruh oleh sifat-sifat duniawi. Tuan Mata juga meyakini bahwa Batu itu akan semakin sempurna ketika dialiri oleh doa-doa. Dan sebelum meninggal, Tuan Mata berkata kepada Dilan bahwa batu itu harus segera diserahkan kepada penerusnya sebagai batu penyeimbang hidup.
Dan sudah waktunya, Dilan menyerahkan batu itu kepada Juna.
# # #

Jauh dari mobil Dilan yang diparkir di sebuah lapangan, sebuah mobil sport warna silver terparkir. Orang di dalam mobil itu mengamati dengan cermat setiap gerak Dilan. Ia mengikuti Dilan menuju sebuah masjid. Ketika Dilan datang kembali ke mobilnya, orang itu tampak jeli melihat ke Dilan yang datang dengan raut cemas di wajahnya. Orang itu yakin, batu yang ia cari sudah berada di tangan Dilan kini. Langkahnya hanya satu, ia harus segera menemui Dilan untuk mengambilnya. Baik dengan cara baik-baik ataupun tidak.
Orang itu mengambil ponsel di sakunya.
“Aku sudah menemukannya,” ujarnya setelah ponselnya menyambung. Orang yang diajak bicara hanya tertawa terkekeh. “Tapi aku belum bisa mengambilnya sekarang. Mungkin saja Dilan sengaja menukar batu itu. Yang jelas, aku sudah membuntutinya lagi. Letaknya di Luar Batang. Di sebuah rumah di belakang masjid.”
“Aku akan segera menyiapkan uang untukmu, saat kamu menyerahkan batu itu kepadaku.”
“Crain, mengapa kamu sangat menginginkannya? Aku yakin bukan hanya karena kamu ingin mengoleksinya.”
“Heh, apakah kamu perlu tahu alasannya? Aku rasa tidak. Begini, temui aku segera setelah kamu mendapatkannya, Ronero. Dan aku akan segera menukarnya dengan uang sejumlah yang kamu inginkan.”
Ronero, orang itu, menghela nafas perlahan. “Apakah aku perlu menyingkirkan Dilan?”
“Terserah. Aku tak peduli.”

# # #

Baca kelanjutannya di sini.

3 comments

  1. Masukannya disini ya hars..pertama ada di satu percakapan crain dia pake 'aku' dan 'saya'..terusnya itu kok batunya 4 batu rumput,tikus,ular,ular..terus itu ada 'cagar alam budaya',kyk nya yg bangunan2 begitu disebutnya 'cagar budaya' aja hars..sekian..selamat melanjutkan menulis..semoga bisa dibikin novel,amin

    ReplyDelete
  2. Masukannya disini ya hars..pertama ada di satu percakapan crain dia pake 'aku' dan 'saya'..terusnya itu kok batunya 4 batu rumput,tikus,ular,ular..terus itu ada 'cagar alam budaya',kyk nya yg bangunan2 begitu disebutnya 'cagar budaya' aja hars..sekian..selamat melanjutkan menulis..semoga bisa dibikin novel,amin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih masukkannya. Yuk dibaca yang ke-12 :)

      Delete