[SERIAL] MATA RANTAI (10)


BAB 13
Naya terbangun tengah malam dan mendapati suaminya tidak ada di tempat tidur. Ia baru teringat kalo Lenwa sedang lembur di kantor karena harus menyelesaikan satu desain.
Naya merapatkan selimutnya. Malam sudah terlalu larut. Ia melirik gelas kosong di meja kecil di samping tempat tidur. Sudah dua kali ia terbangun malam ini. Dan gelas di sampingnya sudah tidak ada airnya lagi. Padahal ia merasakan tenggorokannya kering. Tetapi Naya tidak berani untuk turun dari tempat tidur untuk mengambil air mineral di bawah.
Beberapa hari ini, ia memang merasakan hal-hal yang aneh di rumahnya. Misalnya seperti kursi yang pindah sendiri dari tempatnya, jam dinding yang tiba-tiba jatuh, kompor listriknya yang tiba-tiba menyala. Atau yang terakhir kemarin adalah ia melihat Lenwa berbicara seorang diri di toilet.
Sejak pindah ke rumah ini, Naya memang belum pernah merasakan hal aneh. Semuanya baik-baik saja. Namun, setelah kepulangan Lenwa dari proyek Mahakarya di Yogya, kejadian itu satu persatu datang. Apakah Lenwa diikuti oleh makhluk lain?
Naya pernah membaca di satu artikel di sebuah blog, tubuh manusia yang kelelahan dan tidak fokus sangatlah mudah untuk diganggu oleh makhluk lain, makhluk dari dunia gaib. Ketika tingkat kesadaran manusia itu menurun, manusia cenderung disukai oleh makhluk-makhluk gaib. Mereka akan mendekat terlebih dahulu, kemudian perlahan akan merasukinya.
Membayangkan hal itu, Naya menjadi takut sendiri. Tetapi ia merasa, rumahnya memang semakin aneh sejak kedatangan Lenwa dari Yogya. Banyak hal aneh terjadi. Banyak hal yang menganggu.
Naya merapatkan selimutnya. Untung saja ia mulai mengantuk, jadi ia tidak bisa berpikir hal-hal aneh lagi. Hampir saja ia tertidur, tetapi hidungnya mencium bau busuk yang menyengat. Ia menegakkan tubuhnya dan menggosok-gosok hidu. Bau itu semakin menyengat. Seperti sangat dekat dengannya. Naya mengedarkan pandangan ke kamarnya, mencari sumber bau menyengat itu.
Pandangannya tertumbuk pada seorang pria berbaju hitam yang berdiri di dekat pintu. Pria itu memandangnya dengan kilatan mata merah menyala. Seketika, Naya terlonjak dan ia merasakan bulu di sekujur tubuhnya mengejang.
“Si…siapa kamu?” tanya Naya dengan suara terbata.
Orang itu diam tak menjawab.
Naya meraih gagang lampu meja di dekatnya, lalu melemparkannya ke orang itu. Blaamm…lampu itu menghantam orang itu, lalu mendarat di pintu kamar. Pecah. Suaranya menimbulkan kegaduhan di keheningan malam. Tapi orang itu tetap berdiri tegak di tempatnya.
“Jangan ganggu saya, jangan ganggu keluarga saya.”
Orang itu terkekeh kecil. Suaranya sangat jelek sekali. Dia berbalik, membuka pintu, dan keluar dengan berlari.
Naya baru teringat dengan Gru yang sedang tertidur di kamarnya. Dia turun dari ranjang, membuka pintu kamar, dan berlari ke kamar Gru. Kamar Gru terkunci. Naya memanggil Gru lantang, sambil meraung menangis. Tak ada sahutan. Ia masih berusaha membuka pintu kamar Gru. Tak bisa. Ia justru terpental ke belakang, seperti ada seseorang yang mendorongnya.
Naya terjatuh di lantai.
Pintu kamar Gru terbuka. Tak ada siapapun. Kecuali mainan kereta api yang kini lampunya menyala. Bunyi deru kereta api menggema. Lengkingannya sangat keras. Mirip ketika kereta api akan berangkat. Di belakangnya, seorang anak kecil berdiri dengan wajah yang dipenuhi dengan darah.
Mulut Naya mengangga. Dia menjerit. Dia menangis. Ia melihat anak itu seperti Gru. Naya menutup muka dengan kedua tangannya. Tangannya seperti disentuh oleh seseorang. Naya terlonjak, matanya melebar. Saat itulah ia melihat Lenwa di depannya.
“Ada apa?” tanya Lenwa.
Naya sesegukan, lalu memeluk Lenwa cepat. “Gru…Gru…” Dia terisak.
“Mom…”
Naya mendongak dan melihat Gru berdiri di depan pintunya. Wajahnya tampak ketakutan. Tetapi tak ada darah di mukanya. Naya berlari ke arah Gru, lalu memeluk bocah delapan tahun itu.
“Kamu tidak apa-apa?” Naya menggoncang tubuh Gru, memeriksa setiap detail ditubuhnya. Bocah itu memang tidak kenapa-kenapa. Gru menggeleng. Naya mengambil nafas lega. “Syukurlah…mami takut…” Naya memeluk tubuh Gru.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Lenwa.
“Tadi ada seseorang yang masuk ke rumah kita. Orangnya menyeramkan sekali, lalu dia masuk ke kamar Gru,” ujar Naya dengan raut masih ketakutan.
Gru tampak polos dan bingung. “Tak ada siapa pun, Mom. Gru justru terbangun karena mendengar mami menjerit.”
Naya memandang suaminya. “Kamu harus percaya padaku, Mas. Aku melihatnya. Awalnya di kamar kita, lalu dia berlari ke kamar Gru.”
“Tapi tak ada siapa pun di sini.”
“Mungkin dia sudah lari. Atau…atau….”
Lenwa berdiri, lalu memeriksa kamar Gru. Nihil. Memang tak ada siapapun. Lenwa kembali ke dekat Naya, lalu mengusap ubun-ubun istrinya. “Tenang, Honey. Tak ada siapapun di sini. Mungkin kamu hanya berhalusinasi.”
“Kamu tidak mempercayaiku?” tanya Naya. “Aku melihatnya,”
“Oh, tidak. Bukan begitu. Aku hanya…”
“Apakah kamu lebih mempercayai klien kamu, pekerjaan-pekerjaan kamu, daripada istrimu ini yang selalu kesepian di rumah karena kamu tinggal lembur?”
“Oh, come on, Honey, mengapa kamu jadi membahas itu? Oke, mungkin kamu lagi tidak stabil kini. Sebaiknya kita istirahat.”
Naya menangis sesegukan. Dia memeluk erat Gru. “Aku tidak ingin kehilangan Gru. Aku tak ingin. Plis percayalah aku, ada orang lain di sini.”
Lenwa mengangguk, lalu memeluk erat istri dan anaknya.
“Kita harus memanggil Mata Rantai. Orang yang kemarin ke sini, mungkin mereka bisa membantu. Dengarkan aku Lenwa, beberapa hari ini, aku memang mengalami kejadian-kejadian aneh. Aku melihat barang-barang berpindah sendiri, atau lampu nyala sendiri. Aku melihat…aku melihat….” Naya tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Lenwa semakin mempererat pelukannya. Dia mengangguk kecil. Ia tak mengerti, apakah harus menuruti permintaan istrinya, atau sekarang berpura-pura saja untuk menenangkannya.
Mata Lenwa menyapu kamar Gru yang kosong. Yang ternyata memang tak selamanya kosong. Di dekat meja tempat mainan Gru, seorang lelaki berbaju hitam dengan mata merah menyala berdiri kaku melihat Lenwa.
# # #

Beberapa hari setelahnya. Minggu siang hari di kediaman Ben Lenwa.
Mobil Juna Mata merapat di rumah Ben Lenwa yang lenggang. Juna ditemani oleh Gordon, Ariana, Dodo, dan Dede. Kemarin, istri Lenwa tiba-tiba menghubunginya dan berkata bahwa Juna harus segera ke rumahnya. Dari suaranya, Juna beranggapan memang ada sesuatu yang tidak beres. Jadi setelah berdiskusi dengan orang-orang di Mata Rantai, Juna memustuskan untuk datang ke rumah Lenwa.
Sesampainya di sana, Juna dan yang lain disambut oleh Naya. Kata Naya, Lenwa sedang lembur di kantor dan belum pulang. Naya kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dimulai dari kejadian-kejadian kecil yang mengganggunya, dan puncaknya adalah beberapa hari lalu ketika Naya melihat ada seseorang di rumah ini.
Juna yang belum mengerti apa-apa tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu gaib, menyerahkan sepenuhnya penyelidikan awal kepada Dodo dan Dede. Kedua orang itu menyiapkan beberapa peralatan untuk pemeriksaan awal. Meletakkan beberapa kamera inframerah di setiap sudut dan membuat satu ruang khusus di ruang makan sebagai ruang kontrol. Dodo dan Dede berkeliling rumah untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi dengan aplikasi Pencari Hantu.
“Hem, kita masih harus menyempurnakan alat ini, Do. Lihatlah, dengan sinyal jelek seperti ini, kita tidak bisa menjalankan dengan sempurna,” Dede melihat sinyal tabsnya yang lemah. “Bawa wifi portable, kan?” tanya Dodo lagi.
Dede akhirnya memasang alat penguat sinyal di luar rumah dan menyalakan wifi agar alat Pencari Hantunya bekerja maksimal.
Juna sendiri hanya duduk merenung. Sejak datang ke rumah ini, dia memang merasakan pusing yang tiba-tiba datang. Rasa pusing yang perlahan-lahan semakin sakit, setelah ia berkeliling di rumah Lenwa. Ia merasakan ada suatu kekuatan yang hendak membisikinya, tetapi kekuatan itu belum sepenuhnya datang.  
Sore hari, semua persiapan sudah selesai. Namun, belum ada tanda-tanda apapun di rumah ini. Jadi mereka semua hanya menunggu sambil mengobrol dan bercerita. Dodo dan Dede menghabiskan waktu mereka dengan menonton konser SNSD, Juna hanya duduk-duduk di teras depan ditemani oleh Gordon. Sementara Ariana sedang mengobrol di dapur bersama Naya tentang hobi Yoganya. Menjelang senja, semua orang berkumpul di teras depan sambil memakan pisang goreng yang sudah disiapkan oleh Naya.
Gru datang dengan sepedanya dari bermain sepak bola. Sebelumnya, dia mampir ke rumah Andika, teman barunya yang kini diajak Gru untuk bermain juga.
“Dia puteramu?” tanya Juna sambil melihat ke arah Gru.
“Ya, puteraku yang sejak tadi kuceritakan. Dia baru saja berlatih sepakbola bersama teman-temannya.”
“Hai Mom,” sapa Gru kepada Mamanya. Dia mencium tangan mamanya.
“Beri salam untuk Om dan Tante juga,” kata Naya.
Gru tersenyum kecut. “Hai semua, aku Gru.” Semua orang membalas sapaan Gru. Gru menyalami satu persatu.
Gru menoleh ke arah maminya. “Mom, aku lelah. Aku mau mandi.”
Naya menuntun Gru ke dalam. Gru bercerita kepada mamanya tentang latihannya sore ini.
Ketika semua orang sedang sibuk mengamati Gru, Juna justru melihat teman Gru yang kini masih berdiri di depan rumah. Memandangnya.
Juna merasakan telinganya berdenging keras. Kepalanya mendadak pusing.
“Jangan mendekat.” Suara terdengar lirih di telingat Juna. “Dia milikku. Dia milikku. Aku menginginkannya.”
Juna melihat Andika menatapnya. Lalu perlahan, Andika masuk ke dalam rumah.
Something wrong?” tanya Ariana kepada Juna.
Juna menoleh ke arah Ariana. “Oh tidak, aku hanya berpikir bahwa kita harus segera bertindak.”
# # #

Lenwa tiba di rumahnya kini tampak sedikit ramai. Dia memarkirkan mobilnya, lalu bergegas memasuki rumahnya. Di ruang tamu dia berpapasan dengan dua orang aneh yang sedang ribut membahas tentang siapa yang lebih cantik antara Yoona atau Tiffany. Lenwa tidak mempedulikannya. Kemudian dia melihat barang-barang aneh di rumahnya yang tidak sepenuhnya ia tahu. Di ruang makan dia berpapasan dengan Juna Mata yang sedang berbicang dengan seorang wanita cantik yang pernah ia temui saat pembukaan Galeri Mahakarya.
“Hai, sudah pulang rupanya?” tanya Juna.
“Mengapa kamu ada di sini?” Lenwa tampak memandang tak suka ke arah Juna.
“Aku yang mengundang mereka,” suara Naya membuat Lenwa menoleh. Dia melihat Naya sedang berdiri dengan memegang sepiring ayam goreng.
Lenwa tak menyahut, dia menarik tangan Naya dan menjauh dari ruang makan.
“Mengapa kamu mengundang mereka?”
“Aku sudah minta ijin kepadamu.”
“Tapi tidak secepat ini,”
Naya terdiam. “Lalu kapan? Menunggu sampai rumah ini diganggu dengan hal yang lebih besar?”
Lenwa tak menjawab.
Naya menatap suaminya serius. Dia memegang pipi suaminya sambil berkata, “Aku takut, aku sangat takut. Tolong kamu pahami aku. Dan aku merasa, mereka bisa membantu kita.”
Lenwa menoleh ke ruang makan lagi. Di sana, Juna sedang bercanda dengan teman-temannya. “Baiklah,” ucapnya kemudian. “Tapi dengan satu syarat, mereka tidak boleh mengotori rumahku.”
# # #

Beberapa puluh kilometer dari rumah Lenwa, Arya sedang berdiri di tepi jendela kaca besar di lantai 2 yang menghadap ke sebuah taman berkolam. Dia sedang mengamati Ronero yang sedang berbicara dengan Dilan di tepi kolam. Ronero beberapa kali tampak sedang mengotot, seperti sedang memaksakan sesuatu kepada Dilan. Tapi Dilan beberapa kali menggeleng.
Arya menyipitkan mata. Apakah ini ada kaitannya dengan apa yang didengarnya beberapa malam lalu. Tanpa sengaja Arya sedang berjalan seorang diri di lantai 13. Dia masuk ke ruang di ruang 13, namun langkahnya terhenti saat dia melihat Ronero keluar dari ruang itu tergesa. Dia berpapasan dengan Arya dan tampak terkejut. Tak ada penjelasan apapun, Ronero hanya tersenyum canggung, lalu berlalu. Beberapa saat kemudian, dia berpapasan dengan Dilan dan Juna yang keluar.
Sore ini, Ronero tampak memaksa Dilan mengatakan sesuatu. Tetapi Dilan sepertinya menolak. Dilan pergi dan Ronero kesal. Dia berjalan tergesa ke lobi.
Arya mengambil ponselnya, lalu menekan beberapa tombol.
“Bisa ke lantai dua?” tanya Arya.
Tak lama kemudian, Ronero muncul di hadapan Arya. Arya sudah duduk dikursi embuk.
“Duduklah,” pinta Arya.
“Langsung saja, apa maumu?” tanya Ronero dengan ketus. “Bukan berarti setelah sekarang kamu mendapat otoritas penuh dari Juna, kamu bisa berbuat semau kamu. Buatku, kamu hanyalah anak kemarin sore yang diangkat oleh Tuan Mata untuk menjadi asistennya. Tidak lebih.”
Arya terkekeh. “Mengapa kamu sedemikian sakit hati seperti itu kepadaku, Ronero? Apakah ini semua gara-gara aku tidak membantumu untuk melobi pemerintah agar meringankan pembukaan lahan untuk bisnis kelapa sawitmu? Atau karena aku bisa menghasut mereka agar tidak memberi ijin atas usaha-usahamu.”
“Kamu jangan terlalu besar kepala, Arya. Ingat, kamu di sini bukan siapa-siapa. Aku bisa saja membuatmu lengser dari posisimu sekarang.”
Arya terkekeh kembali. Untuk menghadapi manusia semacam ini, dia harus bersabar. Bukankah Tuan Mata sudah bilang kepadanya, bahwa Ronero memang orang yang keras kepala. Dan untuk berbicara dengannya diperlukan teknik-teknik pendekatan khusus. Bagaimanapun, Ronero adalah salah satu Chief Mata yang memberikan keuntungan untuk Mata Rantai.
“Aku tak ingin berdebat denganmu saat ini.” Arya mengalihkan topik pembicaraan. “Aku hanya ingin tahu sesuatu.” Arya memandang Ronero dengan tatapan menusuk. “Apa yang ingin kamu ketahui dari Dilan?”
Ronero tampak terkejut dengan pertanyaan Arya. “Apa maksudmu?”
“Jangan berpura-pura. Pasti kamu sudah mendengar sesuatu saat itu.” Arya memicingkan matanya. Ronero memang orang yang memiliki sifat ular, licin. Dia harus berhati-hati menghadapi orang sepertinya.
Ronero mendengus sebal. “Kamu memang salah satu orang yang harus disingkirkan di perusahaan ini, Arya. Kamu terlalu banyak ikut campur dengan urusan-urusanku.”
“Karena Tuan Mata yang memintaku, mempercayaiku. Untuk mengawasi orang-orang sepertimu. Aku bisa saja sekarang mencari bukti untuk semua kecuranganmu di perusahaan ini. Bisa saja aku langsung melengserkanmu, Ronero. Aku tinggal menunggu waktu.”
“Aku akan menunggunya. Silakan saja.” Ronero balik badan, lalu membuka pintu, dan membantingnya keras.
Arya bergeming. Dia mengambil ponsel dari saku jasnya, lalu mematikan tombol recorder di sana.
# # #

Baca kelanjutannya di sini.

1 comment

  1. Hantu dilacak pake wifi... Ada2 aja

    hem, apa ronero berhubungan dg kasus lenwa??

    ReplyDelete