[SERIAL] MATA RANTAI ( 6 )



BAB 9
Malam-malam setelah mendapatkan telepon dari Ben Lenwa, tidur Juna tidak pernah setenang biasanya. Semenjak berurusan dengan Mata Rantai, dia memang tidak pernah merasakan tidur yang nyenyak. Namun, telepon dari Ben Lenwa seperti membuka mata bahwa kehidupannya memang sudah tidak senormal dulu lagi. Pagi hari, dia pasti akan terbangun karena merasakan sakit kepala yang luar biasa.

Dia akan terduduk lama dan mencoba kembali ke dunianya kembali. Sebenarnya, dia dulu juga pernah mengalami hal ini.
Dulu waktu ia berumur delapan tahun, dia sering bermimpi buruk. Dia seperti tersesat di satu ruangan besar tanpa batas. Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali dirinya. Dia tidur, namun seperti hidup. Dia
memanggil-manggil mamanya, tetapi tidak ada siapapun yang datang. Juna berlari dan terus berlari. Tanpa batas. Ruang itu tak ada dinding. Dia kemudian terbangun dengan nafas terengah-engah dan bajunya basah oleh keringat.
Mama dan papanya kemudian mengajaknya pergi ke seorang kawan. Juna kecil belum mengerti apa yang terjadi dengannya. Beberapa kali dia dibawa ke rumah kawan itu. Semenjak saat itu, dia mulai tidur dengan nyenyak. Dan kejadian mimpi buruk itu tidak pernah terjadi lagi, sampai beberapa bulan lalu. Kepalanya mendadak pusing dan dia didatangi mimpi-mimpi masa kecilnya lagi.
Jika benar ia memiliki indera ketujuh, lalu apa fungsinya?
Pertanyaan itu ia utarakan kepada Arya yang tentu sudah punya banyak pengalaman. Arya adalah seorang konsultan dunia gaib. Beberapa kasus besar sudah ia pecahkan. Termasuk ‘membersihkan’ lahan yang akan dibangun mall besar di kawasan BSD. Ilmu kebatinannya, Arya dapatkan dari Haryan. Beberapa tahun ia belajar. Dia memang tidak memiliki indera ketujuh seperti Juna, tetapi kini kemampuannya untuk menganalisis dunia gaib tidak bisa diragukan lagi. Hanya satu kekurangannya, dia tidak bisa menembus alam antara dunia dan akherat. Itu saja.
Arya mengatakan bahwa Juga harus mengasah ilmunya. Juna pun mulai rajin berlatih bersama Dodo dan Dede ditengah-tengah kesibukannya memimpin Mata Rantai. Ia mempelajari cara mempertajam penglihatan, cara menenangkan diri untuk melawan makhluk-makhluk gaib, dan cara untuk menembus kehidupan antara dunia dan akherat. Dodo dan Dede juga mengenalkan Juna pada Pak Yusuf, seorang Kyai yang sering membantu Mata Rantai dalam proses pengusiran roh jahat. Teknologi dan agama memang harus selalu beriringan. Maka, Juna pun mulai rajin menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan oleh Masjid Istiqal, hal yang dulu bahkan tak pernah ia lakukan sedikitpun.  
Di suatu sore yang cerah, Arya menghampiri Juna yang tengah duduk di pinggir kolam sambil membaca koran dan menikmati secangkir teh. Juna sudah tampak mulai tenang dan bisa menghadapi mimpi-mimpi buruknya. Wajahnya mulai kembali bercahaya setelah beberapa minggu tampak terlihat lusuh.
Arya mengawali pembicaraan dengan obrolan tentang kasus Ben Lenwa. Menurutnya, inilah awal Juna untuk menghadapi kasus yang berhubungan dengan alam gaib.
“Tuan bisa belajar memecahkan kasus ini. Biar Ariana yang menemani. Mungkin Tuan juga bisa mengajak Dodo dan Dede. Aku pikir, kasus Lenwa adalah kasus mudah. Dia mungkin hanya diganggu oleh hantu kemarin sore. Kekuatannya pasti masih bisa diatasi.”
Juna menarik alisnya ke atas. “Entahlah. Aku masih belum memutuskan. Apakah tidak sebaiknya kamu atau Janero yang menyelesaikan kasus ini. Sepertinya kasus akan mudah dipecahkan jika kalian yang membereskan.”
“Ini sebagai latihan awal agar Tuan bisa mempertajam kemampuan indera ketujuh. Apa yang membuat Tuan ragu?”
“Kondisi Mata Rantai,” jawab Juna singkat. “Aku membaca laporan dari Ariana. Kondiri keuangan kita sedang carut marut. Kamu tahu sendiri, dolar sedang tidak stabil.  Seen Moon membukukan keuangan minus bulan kemarin. Aku harus berbicara dengan Alexa Crain untuk hal ini.”
Juna teringat akan beberapa meeting dengan para Chief Rantai. Sektor Kontraktor di bawah bendera  Building The Sun masih stabil. Tetapi di sektor Hotel yang berada di bawah Alexa Crain mengalami penurunan yang drastis. Sektor alat berat lebih parah lagi. Belum lagi kondisi di sektor pertelevisian dan surat kabar yang sekarang banyak sekali pesaingnya. Beberapa Chief mulai diminta untuk berpikir bagaimana agar keuntungan mereka tidak menurun. Opex perusahaan di sektor hotel dan hiburan  sangatlah besar, dan Juna sedang merancang strategi untuk memangkasnya. Dia juga harus memikirkan bagaimana menghadapi para Chief-nya yang notabene sudah memiliki pengalaman jauh di atasnya.
Terutama Ronero. Pria berkulit hitam yang selalu memakai topi itu tampak membentengi dirinya. Dia memang berumur jauh dari Juna dan memiliki pengalaman di Mata Rantai yang jauh pula. Hal itulah yang membuatnya beberapa kali tidak menuruti Juna sebagai atasannya. Dia adalah satu-satunya Chief yang menunjukkan kinerja yang positif dua bulan terakhir. Sektor Kontraktor yang berada di bawah benderanya masih membukukan keuangan yang baik. Mungkin ini jadi alasan dia juga untuk tidak menuruti Juna.
“Tidak akan lebih dari satu bulan memecahkan kasus Lenwa. Percayalah,” Arya tersenyum kecil. “Kita masih bisa berhubungan via hologram, Tuan masih bisa mengontrol Mata Rantai."
“Baiklah, akan aku pertimbangkan.” Juna menyeruput tehnya. Dia meyakinkan dirinya. Bukankah ini menyenangkan? Menyelesaikan kasus alam gaib. Bukankah akan ada Ariana yang menemaninya?
# # #

Tujuh belas kilometer dari Jalan Sudirman, di sekitaran Kuningan, Naya sedang duduk membaca novel di teras depan rumah sambil menunggu Gru pulang dari bermain bola bersama teman-temannya di taman komplek. Suaminya, Ben Lenwa, sedang pergi bersama klien untuk membahas proyek Mega Mall di daerah Bekasi. Sejak mengerjakan Mahakarya yang sukses menyedot perhatian para penikmat bangunan arsitektur, Lenwa kebanjiran job. Hal itulah yang membuatnya harus bekerja di hari Sabtu sekarang ini.
Sudah hampir maghrib, namun Gru belum juga terlihat. Naya masuk ke dalam rumah, memanaskan makan malam yang sudah ia siapkan sambil menonton acara gosip di televisi. Pukul 18.00, Gru ataupun Lenwa belum menunjukkan tanda-tanda kepulangan.
Naya berinisiatif untuk mengontak Lenwa.
“Masih di Bekasi?” tanya Naya.
“Tidak, ini sudah perjalanan pulang. Macet sekali di TB Simatupang. Gru sudah balik?”
“Belum,” jawab Naya pendek. Bebarengan dengan itu, bel rumah berbunyi. “Oh, itu dia sudah balik. Kamu hati-hati, Honey. Segera pulang. Aku sudah menyiapkan makanan kesuakaanmu.” Naya menutup telepon rumahnya, lalu bergegas pergi ke depan.
Di depan rumah, dia menemukan Gru sedang duduk di kursi teras sambil melepaskan sepatu bolanya. Rautnya tampak lesu dan kecapekkan sekali.
“Sudah larut, baru balik?” tanya Naya. “Lain kali jangan lupa kasih tahu Mama kalo latihan bolanya sampai selarut ini.”
“Tadi mengobrol sebentar,” jawab Gru pendek. Dia meletakkan sepatunya, lalu masuk ke dalam rumah. Tak menghiraukan mamanya yang sedang berdiri di depan pintu.
Naya mengikuti dari belakang. Gru duduk di sofa, menyalakan televisi, lalu mematikannya lagi. Dia berjalan ke dapur, membuka kulkas, mengeluarkan botol minuman. Menegaknya sampai habis. Naya hanya berdiri di tengah ruang televisi sambil melihat tingkah aneh putera semata wayangnya.
“Segeralah mandi, lalu makan. Mama sudah menyiapkan ayam goreng kesukaanmu.”
Gru mengangguk kecil. Tanpa berkata apa-apa, dia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.
Naya melihat punggung Gru yang menghilang di ujung tangga. Tidak seperti biasanya Gru bersikap seperti itu. Bocah itu biasanya banyak bercerita tentang latihannya, atau setidaknya membicarakan hal-hal lain. Menanyakan mamanya masak apa, apakah papa sudah pulang, apakah dia boleh makan dulu tanpa perlu mandi.
Naya duduk di depan televisi, menyalakannya. Sebuah sinetron yang tidak pernah ia ikuti. Tapi Naya membiarkannya. Pikirannya memang tidak sedang ada di sana. Dia melirik jam dinding. Hampir jam setengah delapan. Biasanya dia sudah duduk di meja makan bersama Gru dan Lenwa. Mereka akan bercerita tentang banyak hal. Gru yang paling banyak bercerita tentang kesehariannya di sekolah selama seminggu. Meskipun cerita itu sudah ia ulang-ulang, namun baik Naya ataupun Lenwa tak bosan mendengarkannya.
Satu hal yang selalu ia ceritakan adalah bagaimana dia selalu kagum dengan seorang masinis. Ketertarikan Gru dengan kereta api memang sudah terlihat dari kecil. Hari itu adalah hari ulang tahunnya, ketika papanya datang membawa hadiah satu set mainan kereta api. Sepanjang hari Gru tidak lepas dari mainan itu. Dia juga menyeret papanya untuk ikutan bermain sambil bertanya beberapa hal. Sejak saat itu, Gru jadi bersemangat mengumpulkan permainan kereta api. Dan dia mengikrarkan diri bahwa nanti dia akan menjadi seorang masinis. Sebulan lalu, Lenwa pulang dari Yogya dengan membawa kotak besar berisi permainan kereta api yang terbuat dari kayu. Gru tampak senang sekali menerima hadiah dari papanya. Dan memajang mainan itu di kamarnya, melengkapi koleksi mainan kereta apinya.
Malam ini, tidak ada obrolan tentang kereta api. Atau ocehan lain. Sebenarnya, ini terjadi sudah beberapa bulan. Ketika Lenwa mulai sibuk dengan kerjaannya. Dan Gru mulai ngambek jika tidak ada papanya di meja makan. Kereta api kayu adalah ucapan permintaan maaf Lenwa karena sudah mulai jarang makan malam bareng lagi. Dan malam ini, Naya kembali merasakan kesepian.
Lamunan Naya membuyar saat ia mendengar suara sesuatu yang jatuh dari lantai dua. Naya segera berlari menaiki tangga sambil memanggil-maggil nama Gru. Takut ada apa-apa dengan Gru, Naya membuka pintu kamar Gru. Tak ada Gru di sana. Tapi terdengar suara gemericik air dari kamar mandi.
“Ada apa Mom?” tanya Gru.
“Oh, tidak. Tadi mama mendengar ada yang jatuh dari kamarmu.” Naya mengedarkan pandangan ke kamar Gru. Dia mendapati kereta api kayu mainan Gru terjatuh di lantai. Beberapa bagiannya terlepas. Naya memungutnya, lalu mengembalikan ke posisi semula di meja khusus yang Gru siapkan untuk mainan-maiannya.
Naya kembali turun ke lantai dasar bertepatan dengan suara deru mobil Lenwa di luar. Sebelum menyambut Lenwa, Naya tampak merapikan meja makannya. Menyalakan lilin, menuang air mineral ke gelas. Tak berapa lama, dia mendapati suaminya sudah ada di ruang makan.
Lenwa mengecup kening istrinya. “Sepertinya makan malam yang spesial. Maaf aku terlambat.” Lenwa tersenyum. Perutnya sudah mulai minta disi.
“Gru, cepat masuk sebelum kamu dimarahi mamamu,” ujar Lenwa. “Dia tadi kulihat masih bermain di taman bersama anak yang lain. Padahal hari sudah selarut ini. Apakah dia tidak menghubungimu?” Lenwa menaruh tas dan jaketnya di kursi.
Naya tak mengerti dengan ucapan suaminya.
“Ya, maafkan aku. Tak akan kuulangi.” Gru muncul di pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dan ruang tamu. Dia masih terlihat letih, lengkap dengan baju bolanya. Raut mukanya tampak lesu. “Tadi seharusnya aku menghubungi mama, tapi lihat.” Gru mengacungkan telepon genggamnya. “Baterainya habis.”
“Papa akan mengambil ponsel itu jika hanya digunakan untuk main games, dan tidak berfungsi untuk memberi kabar.”
“Oh, come on papa. Hanya kali ini. Tadi Kak Bagas terlalu bersemangat mengajari kami untuk pertandingan dua minggu lagi. Lalu dia bercerita tentang masa kecilnya.” Gru tampak merengek.
“Tidak anak bandel.” Lenwa mengambil ponsel dari tangan Gru. “Hukuman untuk anak papa yang tidak memberi kabar kalo pulang telat. Seminggu ini tak ada ponsel.” Lenwa tampak puas melihat Gru yang cemberut. “Segera minta maaf ke mamamu.”
“Tunggu….” Naya melihat kedua lelakinya. Lalu tatapannya tertuju ke Gru di depannya. “Kapan kamu keluar rumah lagi? Bukankah kamu sedang mandi?”
Gru dan Lenwa tampak saling pandang. Mereka tak mengerti dengan ucapan Naya.
“Gru baru pulang sekarang kok. Oke, Gru tahu Gru salah, tapi…”
Belum selesai ucapan Gru, Naya sudah balik badan. Berlari menaiki tangga menuju kamar Gru. Dia tak lagi perlahan membuka pintu, tapi mendobraknya. Sesampainya di sana, tak ada siapapun. Mainan kereta api yang tadi ia tempatkan di meja, kini tergeletak kembali di lantai. Naya berlari ke kamar mandi Gru. Tak ada siapapun juga. Kamar mandi itu bersih dan kering. Tak ada tanda-tanda  baru saja digunakan.
Naya terpaku ditempatnya. Jadi siapa yang tadi datang berwujud Gru?

# # #

[bersambung]
Baca kelanjutannya di sini

2 comments

  1. Kaget liat Juna ke masjid. Tobat ciyeeeee
    stuju dg opini supranatural kudu gabung sama agama. Jd siapa Gru yg pulang duluan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. kayaknya dia belum beneran tobat nih. Dia bikin kesel aja nanti.

      kesel juga ganteng-ganteng tp takut kecoa.

      Delete