[SERIAL] MATA RANTAI ( 4 )



BAB 5 
Fernando Ivan belum pernah melihat atasannya seberantakan sekarang. Selama di Digiforyou, atasannya selalu menjadi panutan untuk urusan fashion dan penampilan. Fernando bahkan akan kena tegur jika pergi ke kantor hanya menggunakan jeans belel dan t-shirt usang yang belum dicuci. Prinsip Fernando, bekerja di dunia kreatif tidak perlu mengikuti pakem untuk berpenampilan rapi. Dengan tubuh tambun dan kepala botaknya, mengenakan baju apapun akan selalu tampak aneh. Tapi bagi atasannya, sebagai konsultan digital yang selalu bertemu dengan klien, penampilan haruslah terus dijaga.

Sebagai seorang asisten yang merangkap otak ide di Digiforyou, Fernando mendapat kepercayaan penuh dari Juna, atasannya. Jika tidak ada Juna, dialah yang menjadi stir di perusahaan. Bagi semua orang, Fernando adalah bayangan Juna versi jorok. Begitulah orang-orang kantor selalu berkata kepadanya.
Tapi siang ini, Fernando seperti melihat sosok lain. Bukan lagi sosok yang mempedulikan lipatan baju atau bau badan yang belum tersentuh minyak wangi. Dia melihat atasannya seperti zombie yang baru terbang dari Singapura dan berdiri memakai sandal jepit warna biru di terminal kedatangan.
Di sepanjang perjalanan dari bandara ke arah kantor di daerah kuningan, Fernando melihat Juna memandang kosong ke arah jalan. Beberapa lelucon jayus dari Fernando tak mendapat perhatian sedikitpun.
Juna benar-benar aneh, pikir Fernando.
Dan keheranan Fernando semakin menjadi, ketika sesampai di kantor, lantai 20 Wisma Dirgantara, Juna tampak buru-buru memasukkan beberapa barang ke dalam tas. Laptop, beberapa buku, dan buku agenda warna cokelat miliknya. Fernando hanya berdiri di ujung pintu tak bergeming.
“Neraca keuangan aman kan, Bos?”
Juna hanya mengangguk.
“Kurs keuangan memang tidak stabil. Tapi itu bukan masalah krusial untuk perusahaan kita. Ah, ya mungkin sedikit krusial. Tapi kamu tahu, kita bisa mengatasi itu selama ini. Proyek juga lagi lumayan banyak.”
“Aku nitip Digi padamu,” ucap Juna tanpa menoleh sedikitpun kepada Fernando yang terus berbicara.
Fernando berhenti bicara. Lalu melihat atasannya sudah berdiri di depannya menenteng tas. “Ada masalah?”
“Tidak. Tak ada masalah apapun. Semua berjalan sesuai yang kuharapkan. Tapi…” Kalimat itu menggantung dan Fernando tampak menunggu Juna melanjutkan ucapannya. “Aku harus pergi untuk waktu yang tak bisa diprediksi. Aku tak bisa menjelaskan padamu…”
“Kamu menyeludupkan uang?”
“Apa?”
“Hutang di bank dalam jumlah besar dan kamu tidak bisa melunasi?”
What?”
“Aku tidak bisa ditinggal dengan hutang-hutang atau masalah yang terlalu rumit.”
“Dengar Fernando Ivan yang otaknya penuh dengan permainan Dota 2, aku nggak peduli kamu bermain Dota berapa lama. Tapi ingat, tugasmu adalah menjalankan perusahaan ini. Jadi saya serahkan tanggung jawab penuh kepadamu selama aku pergi. Email dan kotak saya tetap aktif, jadi laporkan semua kejadian kepada saya. Termasuk berapa wanita yang menghubungi saya dalam seminggu.”
What?” Giliran Fernando yang dibuat bingung oleh atasannya.
Raut muka Juna mendadak serius. Fernando tahu, atasannya memang sedang serius. Dia diam dan mulai mendengarkan apa yang akan disampaikan kepadanya.
“Aku harus pergi. Aku belum bisa menjelaskan mengapa aku harus pergi. Tapi, aku titip Digiforyou kepadamu. I trust you, you know that. Aku akan…aku akan memberitahumu secepatnya. Tapi yang jelas ini bukan masalah keuangan perusahaan atau bahkan……wanita.”
Fernando menghela napas lega.
Juna mengangguk sebentar, lalu keluar dari ruangannya. Di luar tampak beberapa karyawannya sedang memandang ke arahnya. Dia melihat mereka sebentar dan mereka tampak gugup lalu kembali bekerja. Juna tak acuh. Di pikirannya cuma satu, dia harus cepat-cepat pergi dari sini.
“Bos,” panggil Fernando. Juna mengentikan langkah, kemudian menoleh. “Hati-hati.”
Juna mengangguk.
“Dan satu lagi,” Fernando menyunggingkan senyum kecil. “Kamu harus segera menentukan pilihan untuk wanita.”
Juna terkekeh kecil, lalu mengangguk lagi.
# # #

Aryanda Putera menemukan Juna di lobi. Tampaknya dia telah berpikir. Tiga jam lalu, seusai dia mendapatkan telepon dari Juna, Arya memberitahu kepada seluruh karyawan untuk bersiap-siap menyambut kedatangan calon pemimpin mereka. Beberapa asisten sudah disiapkan.
Sore ini, Arya sendiri yang menyambut kedatangan Juna. Dia tersenyum lebar di ujung tangga. Juna yang tampak berantakan dari biasanya, hanya menyunggingkan senyum kecil. Kaos warna putih dan jeans biru membalut tubuh Juna yang tampak letih. Sejak kemarin dia memang kurang tidur karena terus memikirkan pilihan yang akan dia ambil.
Juna Januardo sudah memutuskan untuk kembali menemui Arya. Obrolan panjang dengan maminya seperti membuka gerbang baru lebar-lebar.
Ayahnya sekarang bukanlah ayah kandungnya. Dia adalah anak kandung Haryan N. Juliandro yang kini sudah meninggal. Yang lebih mengagetkan dia adalah pewaris tunggal generasi Mata.
Nyonya Raya menyimpan rahasia ini selama bertahun-tahun. Dan baru kemarin dia memberitahu puteranya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Juna bukannya berontak, dia justru seperti mendapat suntikan untuk membangkitkan kembali Mata Rantai. Maka sore ini, dia kembali.
Arya mengajak Juna berkeliling. Mengenal lebih jauh tentang Mata Rantai. Gedung Mata Rantai ternyata lebih luas dari perkiraan Arya. Tiga tower utama ternyata saling terhubung satu sama lain dengan jembatan kokoh berdinding kaca. Jika kita menyeberangi jembatan itu, kita bisa melihat taman-taman hijau di sekitar gedung. Bunga-bunga tumbuh bermekaran, pohon-pohon tertata rapi, ada kolam ikan. Dan yang lebih penting adalah bangku-bangku untuk tempat duduk di sore hari yang nyaman. Bagaimana bisa, perusahaan supranatural ini memiliki halaman yang begitu hijau menakjubkan. Dari satu ruang ke ruang lain, Arya mengenalkan setiap sisi perusahaan.
Kini mereka menuju ruangan ketika Juna pertama kali ke sini. Di depan ruang itu, Arya berdiri di depan pintu. Juna memperhatikan dengan saksama ketika sinar laser warna biru, hijau, dan merah keluar dari tombol kecil di pintu lalu menyinari tubuh Arya. Terakhir sinar itu menyinari mata Arya.
Pintu berubah menjadi layar yang dengan tulisan warna biru metalik : AKSES DITERIMA.
Di dalam ruang sudah ada Ariana. Dia tampak menundukkan kepala ketika mata Juna memandangnya sekilas.
“Tugasku hanya menemanimu berkeliling, Tuan Juna. Selanjutnya, Ariana yang akan menemani. Saya ada meeting dengan beberapa kolega. Ariana yang akan melanjutkan perkenalan tentang Mata Rantai dan beberapa asisten Anda. Nanti malam, akan ada jamuan makan malam dengan para asisten dan juga Dilan. Ada beberapa hal yang harus Anda ketahui.”
“Apakah kamu akan terus memanggilku seperti itu?”
“Jika kamu lulus, saya akan terus memanggil seperti itu. Bahkan kamu harus membiasakan diri untuk meninggalkan nama Januardo dan memakai nama akhir Mata. Juna Mata,” Arya menyeringai.
Ditinggalkan dengan seorang gadis menawan di ruangan tertutup, membuat Juna tampak sedikit canggung. Belum pernah dia segugup sekarang. Ariana menjelaskan beberapa hal termasuk di manakah dia nanti akan tinggal, siapa yang akan menemani, dan segudang ilmu lain. Tetapi Juna tak bisa berkonsentrasi. Gadis yang menurutnya bermuka ‘baik-baik’ itu, justru mengacaukan otaknya.
“Apakah Tuan sudah jelas dengan apa yang saya sampaikan?”
Mata Ariana menatap Juna.
Juna tampak gelagapan, seperti tertangkap sedang melamun.
“Apa?”
“Sepertinya Tuan sedang melamun?”
“Apakah kamu akan terus bersikap kaku seperti itu kepadaku, Ariana?”
Arian tampak tersenyum kecil. “Seperti yang telah dikatakan Arya, kami akan terus bersikap seperti ini jika kamu lulus seleksi.”
“Lulus seleksi? Hei, bukankah aku kandidat utama?”
“Kamu belum tentu kuat dengan apa yang akan kamu alami nanti. Ini bukan perusahaan sembarangan, Tuan.”
“Oh, aku membenci ketika kamu memanggilku seperti itu.”
“Tapi saya harus melakukannya.”
Pintu ruangan terbuka. Muncul dua orang di sana yang sangat kontras bentuknya. Yang satu bertubuh sangat tinggi, kurus, dengan rambut berponi yang hampir menutup matanya. Dia mengenakan kacamata berframe kulit buaya. Hidungnya tampak panjang. Juna beranggapan bahwa orang itu pasti jarang makan karena tubuhnya hampir menyerupai tengkorak berjalan.
Kontras dengan orang pertama, orang kedua bertumbuh pendek gemuk. Rambutnya tidak tersisa sedikitpun. Kulitnya lebih putih dari orang pertama. Dan Juna beranggapan bahwa orang ini pasti yang menghabiskan makanan orang pertama.
“Selamat datang Dodo, Dede. Dari mana saja kalian?” sapa Ariana kepada kedua orang itu.
Dodo dan Dede, nama kedua orang itu, berdesakan masuk. Tingkah mereka berisik sekali. Sepatu saling bergesekan. Tingkahnya benar-benar berbeda dengan orang-orang lain yang Juna temui di sini. Mereka juga tidak mengenakan stelan blazer hitam dengan sepatu mengkilap. Gaya mereka retro sekali.
“Kami baru saja bereksperimen dengan tuyul kecil yang kami temukan di mall,” ucap Dodo, orang yang bertubuh gemuk.
“Kami? Aku yang menemukan tuyul sontoloyo itu, Do. Dengan alat canggih temuan ini.” Dede, orang yang bertubuh jangkung, mengacungkan tablet berukuran 10 inchi ke atas. Tablet itu masih menyala.
“Tapi aku yang menemukan aplikasi pencari tuyul itu.”
“Hei, idenya dari aku. Ingat?”
“STOP!” Ariana sedikit berteriak membuat Dodo dan Dede menoleh ke arahnya.
“Apa?” tanya Dodo dan Dede berbarengan.
“Kenalkan, ini Tuan Mata.” Ariana menunjuk Juna, suaranya melembut. Juna tampak gelagapan persis seperti saat ia tertangkap sedang melamun tadi. “Tuan, kenalkan ini Dodo dan Dede. Mereka asisten untuk PERBURUAN MATA.”
Belum tuntas keterkejutan Juna dengan kehadiran dua makhluk kontras tadi, dia dikejutkan lagi oleh suara langkah sepatu yang menggema di ruangan itu. Sepatu itu miliki seorang pria bertubuh tegap, bermuka sangar, dan berkulit cokelat yang kini berdiri di depan pintu. Dia memakai topi sehingga menutupi rambutnya yang tampak ikal .
“Gordon, apakah kamu tidak bisa jalan pelan-pelan saja? Kedatanganmu mengagetkan kami semua?”
Orang yang dipanggil Gordon itu hanya menyeringai kecil sehingga menunjukkan muka garangnya. Mirip komandan kopasus.
Juna menelan ludah. Makhluk-makhluk apa ini.
Ariana kemudian mengenalkan mereka kembali satu persatu. Termasuk tugas mereka masing-masing. Gordon, si makhluk sangar tadi, ternyata adalah bodyguard-nya. Menurut Ariana, Juna akan mendapatkan beberapa asisten yang mengurusi segala hal tentang dirinya.
“Apakah tidak ada asisten yang tidak aneh seperti mereka? Yang wanita mungkin?” bisik Juna di samping Ariana.
“Oh, tentu ada. Namanya Eva. Aku akan mengenalkan dia pada Tuan saat makan malam nanti.” Ariana tersenyum lebar.
Juna kini lebih sumringah ketika mendengar ada asisten wanita yang akan menemaninya. Setidaknya itu akan mengobati ketika hari-harinya dipenuhi oleh asisten-asistennya yang aneh.
# # #

Makan malam kali ini sekaligus sebagai ajang untuk mengenalkan Juna Mata dihadapan para karyawan Mata Rantai. Mereka berkumpul di lantai paling atas di Tower Mata Rantai. Kini dinding-dindingnya yang melingkar berubah menjadi pemandangan kota Jakarta di malam hari. Dinding itu ternyata kaca tebal dan kita bisa melihat dengan jelas kota Jakarta. Atapnya berubah menjadi jutaan kerlip bintang.
Ternyata makan malam kali ini bukan makan malam biasa. Hadir di sana para pejabat tinggi Mata Rantai, termasuk para Chief Rantai. Meja-meja yang disusun round table sudah ada di sana. Suasana tampak semi formal dan romantis. Lagu-lagu romantis mengalun pelan dari band akustik yang berada di pojok ruangan. Semua orang tampak memakai stelan jeans hitam.
Juna mengenakan stelan jeans dan sepatu mengkilap yang disiapkan oleh Ariana. Wanita itu sejak sore terus menemaninya dan melayani setiap hal yang diinginkan oleh Juna.
Kini Juna duduk satu meja dengan Arya, Ariana, Janero, dan para Chief Rantai yang belum terlalu Juna kenal. Dia sempat berkenalan dengan beberapa orang dan berbasa-basi sedikit. Untung saja dia sudah sering bertemu dengan klien-klien besar sehingga ilmu basa-basinya sudah cukup teruji. Masih banyak yang belum ia ingat namanya. Yang jelas ia ingat hanya nama Alexa Crain yang tadi sempat memberikan sebuah undangan kepadanya. Undangan itu ia serahkan kepada Ariana dan belum sempat ia baca.
Arya membuka acara makan malam itu. Dia berdiri di panggung kecil di tengah ruangan. Juna kemudian dipanggil untuk berdiri bersamanya, lalu dikenalkan kepada semua orang. Arya membawakan acara dengan cukup santai, tidak terlalu formal. Dia bahkan menyelipkan beberapa gurauan.
Dari atas panggung, Juna bisa memandang seluruh tamu yang hadir. Mata-mata itu menatapnya. Arya juga mengenalkan satu persatu orang itu dan meminta mereka berdiri ketika namanya dipanggil.
Juna mengingat dengan cepat.
Alexa Crain si Chief Rantai Seen Moon, anak cabang Mata Rantai di bidang perhotelan dan mall. Dia terlihat sangat dandy. Jelas sekali bahwa Alexa Crain adalah pribadi yang memerhatikan penampilannya. Bestofa si Chief Rantai Valco, perusahaan alat berat Mata Rantai yang sangat stylish dengan syal warna merahnya. Nalendra, Chief Rantai untuk Seen TV. Dan yang paling mencolok adalah Ronero, Chief Rantai Building The Sun, perusahaan kontraktor. Dia sangat banyak omong dan penyela, bahkan ketika Juna yang berbicara.
Juna juga baru tahu bahwa Janero, Ariana, dan Arya adalah para konsultan Mata Rantai dan sekaligus asisten pribadinya yang mengurusi segala hal tentang operasional mata rantai. Mereka adalah orang-orang kedua di Mata Rantai setelah Tuan Mata.
“Tidak mengurangi rasa hormat kepada Tuan Mata yang telah mendahului kita, kami mengajak seluruh hadirin untuk bangkit berdiri. Mari kita bersulang untuk Mata Rantai dan juga kehadiran Juna Januardo kini.” Arya mengangkat gelas ramping berisi wine merah beraroma khas. Semua hadirin mengikutinya.
Ketika hitungan ketiga, gelas-gelas itu berbunyi diikuti oleh tepuk tangan meriah.
Arya dan Juna kembali ke tempat duduk mereka. Disambut oleh jabat tangan para Chief.
Juna menoleh ke arah Ariana yang duduk di sampingnya. “Mana asisten yang akan kamu kenalkan kepadaku?” Juna menagih janji Ariana siang tadi.
“Oh, dia telat Tuan. Sebentar lagi dia datang. Dia ada fashion show hari ini di Kemang.” Ariana tersenyum kecil. Malam ini dia membiarkan rambutnya tergerai, namun masih rapi. Riasan wajahnya tidak terlalu tebal, tapi sudah cukup untuk membuat pria manapun tampak terkagum-kagum.
“Oh itu dia!” Ariana menunjuk ke arah pintu masuk. Juna mengikuti arah pandang Ariana.
Dari arah pintu masuk, tampak seorang pria kurus yang berjalan gemulai. Ada syal bulu-bulu warna perak yang melingkari lehernya. Tangannya lentik sekali ketika menjabat tangan orang-orang yang menyambutnya. Dia tersenyum kepada siapapun. Bicaranya tampak halus seperti wanita.
“Oh itu Eva,” Arya berseru kecil. “Eva…kemarilah. Aku kenalkan kepada Tuan barumu,”
Eva, nama orang itu, tampak melambai kepada Arya. Dia lalu berlari kecil antusias ke arah meja Juna.
Juna memandang ke arah Ariana. “Ini yang kamu bilang wanita cantik?” Juna mendelik, sok galak. Ariana tertawa lepas.
# # #

Acara semakin malam. Bincang-bincang mulai ngelantur ke mana-mana. Acara dilanjutkan dengan dansa. Lantunan musik berubah menjadi sendu. Beberapa orang tampak turun ke lantai dan berdansa bersama pasangan mereka.
Juna memijit kepalanya yang mendadak pusing. Arya masih hutang penjelasan tentang rasa pusingnya ini. Dia menegak tandas minuman di depannya. Dia mulai bosan dengan suasananya.
Ariana tampak masih berbincang dengan para chief. Wanita di samping Juna itu memang memiliki skill komunikasi yang bagus. Pantas saja orang-orang suka berbicara dengannya.
Janero tampak berdiri, lalu mendekati Ariana. “Mau berdansa denganku?” tangannya mengulur.
Ariana memandang ke arah Janero, lalu menggeleng pelan. “Aku sedang tak ingin berdansa. Ajaklah yang lain. Aku sedang ingin duduk dan….” Ariana menoleh ke arah Juna. “…aku ingin berbincang lebih lanjut dengan Tuan Mata. Boleh, kan?”
Janero menoleh ke arah Juna. Pandangannya tampak menusuk. Lalu dia mengangguk kecil dan pergi berlalu.
Ariana memandang Juna memelas. “Maaf Tuan, tadi aku melibatkan kamu. Saya benar-benar…”
“Dia menyukaimu,” ucap Juna lirih.
“Apa?”
“Dia…dia menyukaimu,”
“Siapa?”
“Janero. Terlihat dari caranya memandangmu. Seharusnya kamu tidak menolak ajakan dansanya.”
Ariana memandang Juna tak percaya. Lelaki di depannya itu kini berdiri, mengelap mulutnya dengan serbet, lalu mengambil ponsel di meja.
“Atau jika kamu lebih memilih berdansa denganku,” Juna memandang Ariana, lalu tertawa kecil. “Bercanda. Aku mau ke toilet.” Juna lalu pergi meninggalkan Ariana yang tampak membatu di kursinya.
# # #

Juna sebenarnya tidak sakit perut. Tetapi dia memilih untuk duduk berdiam diri di dalam bilik toilet sambil memeriksa beberapa SMS, BBM, dan email di ponsel. BBM Fernando yang paling banyak. Menanyakan keadaan dirinya dan mengabari bahwa Digiforyou aman-aman saja. Juna tak membalasnya. Belum saatnya dia bercerita kepada partnernya itu.
“Dia masih dua puluh delapan tahun. Aku tak percaya bakal di pimpin oleh dia sekarang. Juna, namanya lebih cocok untuk jadi koki daripada memimpin perusahaan supranatural.”
Terdengar suara orang memasuki toilet. Mendengar namanya disebut, Juna tampak menajamkan pendengarannya.
“Apakah dia bisa melihat hantu?” tanya orang yang lain.
“Entahlah, kurasa tidak. Tapi aku tak tahu pasti,” jawab seseorang yang tadi menyebut namanya. “Tunggu saja sampai dia menyerah menghadapi genderuwo, tuyul, kuntilanak, dan pocong.”
Terdengar tawa keras yang menggema. Dua orang tadi tampak meninggalkan toilet.
Juna menelan ludah dan tampak membeku. Dia seperti mengenal suara salah satu orang tadi. Bukankah itu Janero?

# # #

BACA KELANJUTANNYA DI SINI

6 comments

  1. ini tuh novel kamu, review novel atau film?,
    suka bacanya seru hehe, nice to meet you :)

    http://litarachman.blogspot.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu cerita bersambun di blog ini. Update setiap malam minggu jam 20.00 yah. Nice to see you juga.

      Delete
  2. Jadwal updatenya sama kayak blog gue. Hahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada juga yang malam Jumat kok dua minggu sekali :)

      Delete
  3. Kayanya si Juna bakal cinlok sama ariana. Dan aku ngakak baca asisten2 si Juna
    Notes:
    apa pun, aku-saya lagi, napas. ayahnya meninggal 3 minggu lalu. eps sblmnya 1 bln mninggal. Memerhatikan, di manakah, partikel pun, bertubuh cangkung, gelapagap

    ReplyDelete