[DONGENG] PEREMPUAN YANG SERING PATAH HATI


Akulah perempuan yang sering patah hati.
Yang sering mengalami luka, bukan jenis luka yang bisa diobati dengan membeli obat di apotek. Hatiku rapuh sejak kecil. Sejak aku belum mengenal rasa gemetar di relung jiwa. Sejak aku masih sering menangis karena melihat kedua orang tuaku bertengkar, ayahku membanting piring, ibuku menangis di pojok kamar. Akulah perempuan yang mendadak selalu pilu saat ayah pergi dari rumah, tak kembali lagi untuk waktu yang lama. Lalu kudengar ibu menangis suatu malam. Menangisi ayah yang dulu membuatnya jatuh cinta. Menangisi ayah karena cinta mereka tak lagi utuh. Pecah, berderai. Dan kepingan cinta ayah menyatu dengan hati perempuan lain. Yang mungkin tak pernah patah hati.
Sejak saat itu, aku membenci laki-laki. Akulah seorang anak yang mendadak dipenuhi kebencian oleh sosok berbeda gender. Aku remuk. Ibu membawaku ke suatu kota yang selalu dipenuhi hujan. Hujan seperti menangisi kedatangan kami. Kami yang tak pernah lagi merasakan cinta, seorang lelaki.
Perputaran waktu membawaku pada satu sore, hujan turun saat itu, dan aku bertemu dengan dia. Dia yang awalnya kubenci, bukan karena dia mencintaiku. Namun, karena dia laki-laki.
Laki-laki yang penuh pesona. Rambutnya selalu disisir rapi. Tubuhnya selalu wangi. Bajunya disetrika tanpa ada cela. Dia yang selalu berdiri tegap, berjalan penuh dengan rasa gagah dan mantap. Selalu menjadi perbincangan semua wanita di sekolah. Dialah si juara umum dalam hal mata pelajaran. Dialah yang selalu berhasil membuat poin saat kejuaraan basket antar sekolah.
Dialah yang membuatku jatuh cinta. Bagaimana bisa, aku yang membenci laki-laki karena ulah ayahku sendiri, bisa jatuh hati pada seorang laki-laki? Bagaimana bisa, rasa yang sudah lama mati, dikebiri, lambat laun mulai mencair karena pesona seorang lelaki? Bagaimana mungkin?
Suatu sore yang cerah, padahal biasanya hujan, dia datang ke rumah. Tak biasanya, ibu bersikap ramah pada teman lelakiku. Dia meminta ijin kepada ibu untuk mengajakku pergi bermain. Saat itu sabtu sore. Ibu mengijinkan. Toh, aku sudah tujuh belas tahun. Sebentar lagi aku sudah kuliah. Ibu hanya berpesan agar aku hati-hati menjaga hati. Aku pun mengangguk.
Kami berdua pergi ke padang rumput yang indah. Warna hijau mendominasi, sesekali di selingi oleh warna jingga. Langit tak bermendung. Dia memegang tanganku. Dan sang juara umum di sekolah itu mendadak gugup saat dia mengatakan : ‘Kamu mau melengkapi hatiku?’.
Aku luluh.
Aku akhirnya melengkapi hatinya. Kami berdua seperti sepasang merpati yang terbang tinggi di antara awan, lalu hinggap di gedung paling tinggi. Tak banyak bicara menikmati langit jingga sore.
Tuhan begitu baik. Setelah hatiku rapuh karena membenci ayah, ternyata ada seorang lelaki yang mau melengkapi hatiku.
Apakah memang begitu, selalu ada pelangi setelah mendung dan badai hujan?
Tapi, bukankah sudah kukatakan di awal dongeng ini. Akulah perempuan yang sering patah hati. Dia yang membuatku jatuh cinta, kini menjadi seorang yang membuatku patah hati juga.
Dia pergi. Dia menghilang. Pergi entah ke mana. Tak ada kabar. Menghilang seperti seorang pemberontak di tahun 1965. Jejaknya tak ada yang tahu. Bertahun-tahun aku merindu, bertahun-tahun aku mencari.
Dia yang membuatku jatuh cinta, kini menjadi orang yang paling kubenci. Dia tak lebih pengecutnya dari ayahku. Dia tak lebih menyakitkannya daripada mantan suami ibu. Dia yang menawarkan begitu banyak cerita.
Apa yang ia tanyakan dulu kepadaku sore itu : Melengkapi Hatinya? Hatinya yang mana?
Aku hancur. Aku lebur. Bertahun aku merindu, bertahun aku menanggung derita. Dia seperti pembuka luka-luka. Setiap aku berhubungan dengan seorang pria, selalu kandas begitu saja. Selalu aku yang menjadi korbannya. Dan karena dia. Karena dia yang membuka cinta, lalu menguburnya.
Dia yang bernama Mahesa. Dia yang menabur luka.
Lalu, sebulan yang lalu, Mahesa datang. Kembali menawarkan cinta.
# # #

Ibu pernah bilang kepadaku, pilihlah dia yang sekali melihatnya, kamu akan bahagia jika hidup bersamanya.
Lalu aku bertanya, apa yang ibu rasakan ketika pertama kali melihat ayah.
Ibu menjawab. “Cinta.”
Aku bertanya kembali. “Cinta? Lalu apakah ibu tidak bahagia?”
“Ibu bahagia. Sebab itu ibu menerima lamaran ayahmu. Namun, mungkin ayah tidak.”
Aku tertegun. Sepicisan itukah cinta? Haruskah kita menerima orang yang membuat kita bahagia, sementara kita tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama? Mengapa selalu ada yang dikorbankan? Apakah memang begitu yang namanya perasaan.
“Apakah kamu bahagia melihat Mahesa kini?”
“Tidak. Aku membencinya. Aku batal menikah karena lelaki yang akan kunikahi pergi dan kembali pada mantannya. Aku selalu dikhianati, diselingkuhi. Dan itu semua karena dulu Mahesa pergi meninggalkanku.  Karena dia yang membuka gerbang rasa sakitku.”
“Apakah kamu tidak pernah berpikir, mungkin Tuhan memang selalu membuatmu patah hati, orang-orang yang kamu cintai pergi, karena suatu hari nanti akan datang seorang yang benar-benar Tuhan kirimkan untukmu?”
Aku tertegun. “Jadi selama ini Tuhan belum mengirimkan seseorang itu?”
Ibu menggeleng.
“Bagaimana dengan ibu?”
Ibu tersenyum kecil. “Karena ibu masih mencintai ayah, apapun yang telah ia perbuat kepada ibu.”
Bodoh, pikirku.
# # #

Akulah perempuan yang sering patah hati.
Yang kini sedang duduk menanti seorang pria yang akan menjabat petugas KUA. Aku sudah dipermak menjadi seorang bidadari. Berpakaian serba putih dengan sanggul kecil berhias bunga melati. Aku yang dari pagi ibu puji, bahwa aku cantik laksana bidadari. Aku mewarisi kecantikan ibu.
Akulah perempuan yang sering patah hati.
Yang kini sedang menunggu. Berdoa dalam hati bahwa lelaki yang akan datang itu tak lagi pergi. Aku berdoa agar tak lagi ada pengecut yang meninggalkanku di hari pernikahanku kini.
Aku berdoa, agar tak ada lagi yang merengut kebahagianku.
Akulah perempuan yang sering patah hati. Yang kini duduk berwas-was diri. Karena aku tak ingin hatiku kembali hancur. Kembali menoreh luka.
Aku tak ingin seperti sahabatku, Rinjani, yang ditinggal pergi ke surga oleh calon suaminya. Suaminya meninggal saat menjadi relawan di daerah konflik (Baca kisah Rinjani di dongeng DAN BIARKAN WAKTU TERHENTI, di sini).
Aku tak ingin tiba-tiba ada seorang yang datang, tergopoh-gopoh, membawa berita bahwa dia telah pergi. Pergi untuk selamanya. Tuhan memanggilnya lebih cepat dari yang diduga.
Tapi, dia memang datang.
Ibu memang benar. Mungkin Tuhan selalu membuatku patah hati, agar hatiku terus teruji. Agar aku dipertemukan oleh orang yang tepat.
Sejak bertemu dengannya, aku memang selalu berpikir bahwa dialah yang bisa membuatku terus bahagia. Selama hidupku.
Yah, meskipun orang itu pernah juga membuatku patah hati.
“Itu Mahesa,” Ibu menunjuk seorang pria yang berjalan ke arah meja ijab qabul. Masih seperti dulu, rambutnya disisir rapi. Jalannya penuh gagah dan mantap. Dan kudengar semua wanita di sekitarku berbisik bahwa Mahesa ganteng sekali. Hari ini. Di pernikahan kami.
Aku tersenyum.
Akulah perempuan yang sering patah hati. Agar aku tahu, bagaimana rasanya mencintai.
# # #

Untuk seorang kawan yang ingin dibuatkan sebuah cerita tentang arti patah hati.

Apakah sekarang kamu mengerti?

10 comments

  1. Keren cerpennya..
    Ternyata patah hat mmaksa kita untuk mnjd prbadi yg lbih kuat dan tegar..smoga wanita lain sadar dan paham makna sakit hati..hehe

    Salam kenal dari saya :)

    ReplyDelete
  2. Keren cerpennya gan..

    Patah hati memang bisa merubah kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi..

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah happy ending.. Kadang sakit itu justru harus dirasakan agar bisa menguji mental yak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tuhan selalu menyimpan yang terbaik di terakhir bukannya?

      Delete
  4. Patah hati memang mengajarkan kita untuk mencintai ya

    ReplyDelete
  5. Terlatih patah hati. Aku aja sampe males pacaran haha

    ReplyDelete