[DONGENG] AYAH UNTUK DEVA


SANDRO
Bagi Sandro Verdinan bertemu dengan Deva Sailendra adalah suatu keharusan. Seperti minum obat alergi dari dokter yang harus tuntas. Candunya melebihi menegak ekstasi kecil, tapi perlahan-lahan menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Selama tiga tahun berjumpa dengan Deva, sudah banyak pengalaman tak terduga yang membuatnya semakin ingin dekat dengan Deva. Dua bulan terakhir, candu itu semakin kuat dan menjadi-jadi.
Bagi Sandro, Deva adalah candu itu. 
Dua minggu yang lalu, ketika event pameran dari salah satu merek otomotif nomer wahid di Indonesia sudah membuat otaknya mengepul, hanya satu orang yang bisa membangkitkan semangatnya. Dialah Deva. Setelah event selesai, Devalah orang yang kali pertama ia temui. Padahal hujan sedang mengguyur Jakarta dan ia sejujurnya bersyukur karena hujan tak menghancurkan event yang sudah ia garap tiga bulan terakhir dengan klien yang super rese.
Setahun yang lalu, saat ia baru saja ditinggalkan oleh Ve karena gadis itu lebih memilih pria yang bekerja di perusahaan oil and gas daripada bersamanya yang hanya seorang Account Manager salah satu Event Organizer. Hidupnya seperti sudah menjadi abu yang siap untuk ditabur ke lautan lepas, tapi Devalah yang mengumpulkannya lagi lalu menempatkannya pada tabung bersih nan wangi. Deva menyelamatkan hidupnya dengan tawa dan tingkah yang selalu menyenangkan.
Mungkin dia memang sudah waktunya mencintai orang lain selain Ve. Mungkin Deva dikirimkan oleh Tuhan di kehidupannya agar ia sadar bahwa kehidupan harus tetap jalan. Ia tak boleh rapuh, apalagi umurnya sudah menginjak 32 tahun. Umur yang seharusnya sudah ia raih bersama istri dan anak-anaknya.
Tetapi dia masih sendiri di sini.
Ia masih bersama event-event di mall-mall, ia masih harus tertawa palsu dengan klien saat bertemu, atau dia harus ikut karaoke dengan rekan kerjanya yang masih berumur 25 tahun.
Dan diapun kini merasakan jatuh cinta kembali.
Dia bergairah dengan bunga-bunga cinta yang kembali hadir di kehidupannya. Dia mulai dipuji atasannya karena ia terus mendapatkan tender dari klien-klien kelas kakap. Hal semacam itu efek dari dirinya yang sedang jatuh cinta. Apakah cinta selalu membuatnya bersemangat seperti itu?
Lalu, dia tersadar.
Ini tak mungkin terjadi. Cinta ini seperti memakan buah simalakama. Ia tak mengakuinya salah, ia mengakuinya pun salah.
Ini semua karena Deva.
Iya Deva Sailendra.
Bocah 4 tahun yang suka tersenyum dan memiliki Ibu yang sangat manis. Deva adalah jelmaan ibunya, Violet.
Dan dia mencintai Violet. Lalu apa jadinya jika Violet adalah istri dari sahabatnya, Arko?
# # #

VIOLET
“Berarti kamu yang jemput Deva?”
“Iya, biasanya juga seperti itu.”
“Makasih ya, Ndro, nggak tahu deh apa jadinya kalau nggak ada kamu. Maaf banget merepotkan, ini bos tiba-tiba kasih kerjaan lagi.”
“Siap, Tuan Puteri. Mau kujemput sekalian atau...”
“Boleh deh, nanti aku WA ya.”
Dan sambungan terputus. Violet menghela nafas lega. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan seharusnya dia sudah jalan pulang menjemput Deva di rumah eyangnya. Tadinya dia berpikir akan membiarkan Deva di sana sampai ia pulang kerja, tapi ia sudah cukup merepotkan mamanya. Walaupun ia tahu, mamanya akan dengan senang hati merawat cucunya itu.
Untung ada Sandro yang bisa dimintai tolong.
Violet menatap foto Deva, dirinya, dan Arko—suaminya di frame foto yang sengaja ia letakkan di meja kerja. Deva masih berumur satu setengah tahun dan baru saja akan belajar jalan. Dan Arko masih terlihat sangat bahagia di foto itu.
Jika ia memandang foto itu berlama-lama, pasti nantinya akan berakhir dengan tetasan air mata. Seluruh kenangan bersama suaminya itu akan berloncatan di pikirannya. Senyumnya, cemberutnya, caranya makan, caranya tidur yang kadang ngorok tapi tetap ia rindukan.
Ia rindu pada Arko.
Ia rindu dicium.
Ia rindu dipeluk dan diberi semangat.
Ia merindukan Arko, suaminya yang meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan mobil di Tol Dalam Kota. Dan sampai detik ini, ia tak bisa mengijinkan orang lain untuk mengisi ruang hatinya menggantikan Arko.
Termasuk Sandro, sahabat Arko?
# # #

SANDRO
Sandro memperhatikan Deva yang sedang berlarian mengejar bola. Ia terlalu keras menendang sehingga bola itu terpelanting lumayan jauh. Namun, bocah itu tetap tertawa mengejarnya. Sandro sendiri tetap berdiri di tempatnya dengan wajah sumringah.
Ini hari Minggu.
Dan biasanya dia memang sengaja pergi ke rumah Violet untuk khusus bertemu dengan Deva. Untuk bermain-main dengan bocah itu.
Dan untuk bertemu Violet.
Meskipun dia harus menekan perasaannya. Tetapi melihat wanita dewasa itu menyuapi Deva, menyapu, atau sekedar duduk santai dengan pakaian rumah membuat Sandro menelan ludah dan bersemangat sepanjang hari.
Jadi jika hari Senin adalah hari paling memalaskan sedunia, dia sudah menemukan obatnya di hari Minggu.
Violetpun selalu mengijinkan Sandro untuk datang. Bahkan mengajaknya jalan-jalan.
“Bagaimana yang kemarin?” tanya Sandro ketika Violet datang membawakannya jus jambu kesukaannya. Violet kini hanya memakai celana pendek dan kaos santai. Sungguh pemandangan yang Sandro suka.
“Yang kemarin yang mana? Banyak hal yang kita obrolkan, Ndro. Suka linglung deh. Udah tua sih,” sindir Violet yang disambut Sandro dengan monyongan mulut.
“Si Alvian. Dia sudah kontak kamu?”
Violet duduk di kursi teras sambil memperhatikan Deva yang menendang bola. Kursi ini adalah spot terbaik di halaman belakang rumahnya saat hari libur seperti sekarang.
“Sudah,” jawabnya.
“Lalu?”
“Tak ada lalu.”
Sandro menoleh ke arah Violet.
“Tak ada lalu?”
“Iya, tak ada lalu. Lagian usahamu untuk mengenalkan teman-temanmu si para lajang itu kepadaku selalu gagal. Orangnya aneh semua. Pertama dulu, Vicko. Anak manja seperti itu kamu kenalkan kepadaku yang termasuk wanita karier nomer wahid di Jakarta? Becanda saja. Kedua, Neo yang sudah berumur 45 tahun dan sempat menikah. Nggak perlu kujelaskan kenapa aku menolaknya. Lalu, Andre, yang playboy dan tangannya sudah ke mana-mana pas ketemu pertama kali. Siapa lagi itu?” Violet tampak mengingat-ingat nama-nama yang pernah dikenalkan kepadanya.
“Kamu terlalu pemilih.”
“Apa? Pemilih? Pertama, aku bukannya pemilih tapi Arko sudah terlalu sempurna untuk digantikan orang lain. Kedua, kualitas orang-orang yang kamu kenalkan nggak ada yang bisa di atas rata-rata?”
“Ya, kamu....”
“Syuuuttt...kamu stop deh nyariin aku pendamping hidup. Aku baik-baik saja. Kamu mendingngan nyari buat kamu sendiri. Sudah 32 tahun...eh salah bulan depan 33, kan? Jangan-jangan kamu juga yang pemilih. Coba katakan padaku, apa kriteria wanita idamanmu. Sekarang giliran aku yang nyariin jodoh buat kamu.”
Seperti kamu, batin Sandro. Dan ditepis oleh pikirannya sendiri.
“Entahlah,” jawab Sandro. “Kalo kamu, sebenarnya apa kriteria pria idaman kamu?”
# # #

VIOLET
Kriteriaku seperti kamu. Jika ia bisa menjawabnya tadi, ia akan menjawab seperti itu. Tapi dia hanya tertegun, tak berani berkata apa-apa. Setahun ini, Sandro sudah merasuki kehidupannya. Ia menjelma menjadi Arko kedua.
Apakah ia patut jika kini ia merasakan debar cinta?
Apakah ia salah?
Jika cinta itu salah, mengapa ia selalu saja menentramkan?
Setiap ia memandang Sandro, dia seperti melihat Arko dengan bentuk yang lain. Sandro bukan Arko, Arko bukan Sandro. Tapi, ia menemukan sisi Arko di dalam Sandro yang membuatnya tertarik.
Lantas, apakah kini ia harus menyalahkan dirinya?
# # #

SANDRO
Mungkin Tuhan akan mengirimkan cintanya pada waktu yang tepat. Apakah Violet adalah orang yang DIA kirimkan untuknya.
Sandro tak tahu.
Yang jelas rasa bersalah karena telah mencintai Violet terus membayanginya belakangan ini.
Violet adalah candu.
Deva juga candu.
Kedua orang itu sudah merasuki hidupku pelan-pelan dan menyedot seluruh perhatiannya.
Sandro tak tahu apakah ini cara Tuhan menunjukkan jalan, bahwa ia harus mengatakan yang sejujurnya terjadi.
Pada Violet.
# # #

Hujan membunuh suasana sore ini. Deva sedang manja dengan kakek neneknya. Dan kedua orang tua Violet itu membawanya ke Bandung akhir pekan ini. Lantas rumah Violet mendadak menjadi sepi tanpa Deva. Hujan yang turun sejak tadi malam tanpa henti. Violet jadi malas masak dan melakukan hal-hal semacamnya : mencuci, nyapu, dll. Mbak Ira yang biasa bantu-bantu lagi ijin pulang ke Depok, ke rumah saudaranya yang hajatan.
Dia benar-benar kesepian, dan kelaparan tentunya.
Sepanjang hari, ia hanya duduk di depan televisi, membaca majalah, atau berselancar di twitter atau path. DVD di kamar tak mampu mengobati. Teman-temannya sedang sibuk dengan keluarganya sendiri atau pacarnya. Iya, ini malam minggu dan ia baru sadar bahwa dirinya mendadak menjadi zombie yang kesepian.
Dua tahun sejak kepergian Arko dan dia masih sendiri.
Banyak orang yang menyuruhnya untuk segera melupakan Arko dan kembali menjalin hubungan dengan orang lain.
Melupakan Arko? Apakah orang-orang itu sinting? Arko adalah separuh jiwanya. Dia akan selalu ada di hati. Walaupun sekarang dia sudah di alam lain, tapi Violet tak akan melupakannya.
Lalu apakah dia akan terus sendiri?
Dan kesendirian ini membuatnya semakin berlarut-larut dalam kesedihan karena kehilangan seseorang.
Spontan dia menelpon Sandro.
“Ada acara? Temenin gue dong,”
# # #

SANDRO
“Nggak ada. Ke mana?”
“Malam mingguan,” terdengar nada ketawa dari seberang telepon.
Sandro mengernyit. Wanita ini menggodaku?
“Orang-orang yang kukenalkan padamu tidak ada yang coc....”
“Syuuut...nggak usah banyak bawel. Gue tunggu di rumah 30 menit.”
Sambungan terputus.
Sandro melongo di tempat.
# # #

VIOLET
“Apakah kamu tak bisa membawaku ke tempat yang lebih romantis?”
Violet melihat ke sekeliling. Tenda-tenda makan yang berjejer di depannya, asap-asap dari pembakaran, motor yang lalu lalang, mobil yang diparkir tak rapi. Ini kawasan Sunter Hijau. Surga makanan memang, tapi untuk hari yang sedikit basah dan becek ini sungguh menyebalkan pergi ke tempat ini.
“Gue laper,” jawab Sandro.
“Ya, elo bawa gue ke tempat yang lebih keren kek. Ke Kelapa Gading kek, atau ke mana gitu. Ke tempat romantis.”
“Lah, kita kan bukan pacaran,”
Ada hening yang sedikit tercipta diantara dirinya dan pria di depannya kini. Pria itu berpenampilan seadanya. Kaos warna hitam, celana tiga perempat chino, dan sepatu kets warna putih garis biru. Tapi dia tetap wangi dan berwajah bersih.
Namun tetap saja jomplang dengan penampilan Violet yang sudah siap buat diajak ngedate.
“Ye, gitu aja manyun. Yuk ah, keburu laper nih.” Sandro menggandeng tangan Violet dan masuk ke dalam salah satu tenda seafood kegemarannya.
Darah Violet mendadak beku. Ada desiran di tubuhnya seperti sengatan listrik berkilo-kilo watt. Ada apa ini? Tangan Sandro yang mendadak menyentuh kulitnya seperti sengat lebah yang tiba-tiba. Bulu kuduknya berdiri, tapi dia merasa senang dan membiarkannya.
Keduanya lalu mengambil tempat duduk.
“Kamu mesen apa? Oh, udang saus tiram dan kerang saus padang, kan?” Pria di depannya itu tersenyum.
Senyum yang spontan mengingatkan dia pada seseorang.
Arko.
Violet menggeleng pelan.
Tak ada salahnya membuka hati sekarang.
Tapi apakah harus dengan dia. Si Sandro?
# # #

SANDRO
Mobil Sandro merapat ke rumah Violet tepat pukul sepuluh malam. Mereka baru saja kelar makan dan nonton di daerah Kelapa Gading. Hujan masih menyisakan gerimis rintik-rintik.
Lantunan lagu-lagu romantis di salah satu stasiun radio dibiarkan oleh keduanya. Seolah mereka sedang meratapi nasib yang sama.
Bagi Sandro, dari malam-malam sepanjang hidupnya, malam ini adalah malam terbaik saat dia mencintai seseorang. Malam dimana dia bisa tertawa lepas, tersenyum tanpa jaim, bersendawa, dan melihat dengan jelas wanita yang sudah menyita hari-harinya belakangan ini.
Sandro tak akan pernah tahu, apa yang ia lakukan ini sudah tepat. Atau justru jurang masalah jika Violet tahu. Atau siapapun tahu.
Orang-orang tahu, Sandro adalah teman dekat Arko.
Dan itu masalahnya.
Dia kini mencintai orang yang salah.
# # #

VIOLET
Cara Tuhan menunjukkan cinta malam ini begitu indah. Langit memang tak berbintang. Hujan terus saja turun. Tapi setelah malam penuh gelap dan kesedihan karena ditinggal Arko, malam ini Violet bisa merasakan hadirnya cinta di sekelilingnya.
Sandro menjelma menjadi pangeran malam ini meskipun dia memakai pakaian santai. Dan Violet seolah tersihir oleh pesona sahabat suaminya itu.
Dan malam itu lagu You and Me-nya Lifehouse menjadi saksi saat dia terpaku dan beku, dan bibir Sandro dengan lembut menyentuh bibirnya perlahan. Dia membiarkannya. Lalu saat Sandro menarik perlahan, mata mereka bertemu dan Violet seperti tenggelam ke dalam mata itu.
# # #

SANDRO
Sepanjang perjalanan, Sandro terus melamun. Terkadang dia tertawa sendiri mengingat apa yang baru saja terjadi. Dia spontan saja mencium bibir Violet. Dan wanita itu membiarkannya. Sudah lama dia tak merasakan bibir perempuan dan malam ini dia seperti tersengat kelaki-lakiannya. Dan dia pun terpaksa harus berhenti di Seven Eleven, membeli minum dan menenangkan hatinya yang berbunga-bunga. Dia merokok sebentar sembari mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Tapi, apakah yang ia lakukan salah?
Sandro tiba di apartemennya tiga puluh menit sebelum tengah malam.
Saat ia membuka pintu apartemennya, Sandro melihat apartemennya sudah terang benderang. Barang-barang sedikit berantakan.
Dan dia mendengar seseorang menangis di kamar mandi.
Hanya ada dua orang yang memegang kunci apartemen ini. Pertama, tentu dirinya. Orang tuanya tak memegang. Adik laki-lakinya yang masih kuliah pun tidak.
Berarti dia adalah....Arko.
# # #

VIOLET
Violet tidak dapat tidur.
Bayangan Sandro terus menerus hadir di pikirannya.
Malam itu, mereka berciuman.
Tapi di belakang bayangan Sandro ada Arko yang terus menerus melihatnya. Dia seperti cemburu menyaksikan kejadian tadi.
Tuhan, ada apa ini?
# # #

SANDRO
“Kamu datang?”
Suara isak tangis itu sudah reda. Sandro melihat ada kemarahan di sana. Apartemennya seperti baru saja di rampok orang. Barang-barang pecah dimana-mana.
“Apakah kamu peduli?” tanya Arko.
Sandro terdiam, lalu dia duduk di sofa.
“Aku tahu, pasti tadi kamu melihatnya.”
“Ya, tentu aku melihatnya. Sudah menjadi ritualku bahwa setiap malam minggu aku ada di dekat rumah Violet dan memandang dia dari jauh. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.”
“Mengapa tak kamu pastikan dari dekat?”
“Mengapa kamu jadi menyalahkanku?”
“Karena kamu memang salah. Kamu pura-pura meninggal kecelakaan, padahal kamu ada. Di sini, di Jakarta. Kamu kesakitan dan selalu rapuh. Perlu kamu tahu, Violet selalu menceritakan tentang kesedihannya ketika kamu tinggal. Dia...”
“Stop menghakimiku. Tugasmu hanya satu, Ndro, kamu menjaga dia dan Deva. Itu saja. Bukan jatuh cinta kepadanya.”
“Kamu menyuruhku mencarikan Violet pendamping hidup. Tapi menyalahkanku ketika aku mencintainya?”
“Aku...”
“Ini nggak adil, Ko. Kamu yang membuat semuanya menjadi seperti ini. Ngerti?”
“Kamu tak perlu jatuh cinta kepadanya.”
“Bagaimana aku tak jatuh cinta, aku setiap saat ada di dekat dia. Di dekat Deva. Dan dia membutuhkan orang untuk membagi kesedihan. Jadi jangan salahkan aku jika aku jatuh cinta kepadanya.”
Arko kembali menangis. Tangisnya semakin kencang. Tubuh kurus itu semakin terlihat rapuh. Dan Sandro sebenarnya tak tega melihat itu semua. Leukimia yang menggerogoti tubuhnya semakin hari semakin parah. Tubuhnya layu. Rambutnya habis karena kemoterapi. Tak ada yang tahu tentang keadaannya. Keluarganya, teman-temannya. Semua. Dia pura-pura meninggal karena kecelakaan lalu membuat skenario kecil bersama Sandro.
Dan Sandro bertugas untuk menjaga Violet dan Deva.
“Lebih baik aku mati,” ucap Arko.
“Ya, kamu lebih baik mati.”
“Dan kamu akan bahagia bersama Violet?”
“Memangnya kamu sekarang bisa membahagiakan dia? Dia butuh pendamping dan kamu tak bisa hadir di dekatnya. Ini pilihan siapa? Ini pilihan kamu.”
Kemarahan Sandro menyulut. Dia berdiri dan memandang Arko dengan marah. Selama ini dia sudah bersabar menghadapi Arko karena Arko adalah sahabatnya. Dia yang merawat Arko, menemani kemoterapi.
“Ndro, maafkan aku...”
“Kamu keterlaluan...”
“Aku...”
“Aku juga tak meminta untuk jatuh cinta pada istrimu. AKU TAK PERNAH MINTA.” Sandro keluar apartemennya, membanting pintu dan berlari.
Arko mengejarnya dengan susah payah. Tubuhnya yang lemah tak berdaya mengejarnya. Sandro keluar apartemen, menyeberang jalan dan tak mempedulika Arko yang berteriak kepadanya.
Sandro tak pernah menoleh.
Dia tak peduli betapa sakitnya Arko berlari.
Hatinya juga sakit.
Dia sudah mengorbankan perasaannya.
Dia tak menoleh, kecuali saat semua orang di sekelilingnya berteriak ketika sebuah sedan menabrak Arko.
# # #

VIOLET
Foto pernikahan Violet dan Arko yang ada di kamar jatuh. Kacanya pecah berserakan di lantai dan salah satu pecahannya mengenai kaki Violet.
# # #

SANDRO
“Maafkan aku...” Sandro tak berani menatap Violet yang berdiri di depannya.
Violet tampak terisak. Tadi Sandro menghubunginya. Ia ingin menjelaskan semuanya. Dan saat ini Arko membutuhkannya. Membutuhkan dukungan Violet.
“Aku telah berbohon selama ini,”
“Dan mengorbankan perasaanmu?” suara Violet tampak terisak.
Sandro mendongak. “Maafkan aku...”
PLAAAK...tangan Violet mendarat di pipi Arko. “Itu untuk kebohongan ini semua.” Violet menangis dan tertunduk lesu. Sandro merengkuhnya, namun wanita itu menampik dengan kuat. “Biarkan aku sendiri...”
“Aku...”
“BIARKAN AKU SENDIRI....”
# # #

VIOLET
Ini adalah pemandangan paling mengenaskan yang pernah ia lihat. Bahkan suasana berkabung saat pemakaman dulu tak semenyakitkan ini. Arko tampak terbujur kaku tak sadarkan diri dengan selang-selang banyak di tubuhnya.
Suaminya masih hidup.
Selama ini suaminya masih hidup.
Dan suaminya membuat skenario yang kini justru menyakitinya.
Ia benci dibohongi seperti ini.
“Mengapa kamu lakukan ini padaku?” tanya Violet pelan. “Mengapa?”
# # #

SANDRO
Tengah malam. Keluarga Arko dan Violet tampak berkumpul. Dan Sandro ada di pojokkan rumah sakit seorang diri.
Tak ada yang peduli.
Violet masih marah.
Dan dia pun enggan untuk mendekat saat ini.
Kecuali saat dokter memberitahukan bahwa Arko membutuhkan donor darah. Dia kekurangan darah cukup banyak.
Dan kebetulan golongan darah mereka sama.
# # #

ENDING
Tuhan adalah sutradara terbaik di dunia ini. Dialah yang menciptakan skenario-skenario menakjubkan.
Kadang ada keajaiban yang selalu DIA berikan.
Kadang sesuatu yang diharapkan oleh manusia, tak sejalan dengan rencana-NYA. Namun, DIA-lah yang maha benar.
Dialah yang menciptakan kehidupan.
Dia pula yang menciptakan kematian.
Burung-burung menjadi sakti hari ini. Payung hitam, baju hitam, suasana haru dan berkabung di sini.
Malam itu, darah Sandro sudah membantu Arko. Justru Sandrolah yang menjadi sangat lemah. Dia berkorban, bukan lagi perasaannya tapi juga darahnya. Untuk sahabatnya.
Tuhanlah yang menolongnya.
Tapi dia membuat rencana yang luar biasa dan tak terduga.
Mungkin, ini yang terbaik untuk hubungan Arko, Sandro, dan Violet.
Gundukan tanah basah.
Tangisan dimana-mana. Bukan lagi tangis seperti waktu itu. Tapi ini tangis yang sejujur-jujurnya.
Violet mengapit tangan Deva.
Mungkin Tuhan memang sudah menggariskan bahwa Arko memang harus pergi. Meninggalkannya.
Violet memandang ke depan. Ia melihat Sandro. Sandro tak mendekat ke pemakaman Arko. Violet menarik nafas. Hari ini cukup berat baginya, tapi ia harus menyelesaikan ini semua.
# # #

“Mengapa tidak mendekat?” tanya Violet.
“Apakah harus mendekat untuk menunjukkan rasa belasungkawa?”
“Dia sahabatmu.”
“Justru karena dia sahabatku, dia pasti tahu aku sudah datang.”
“Apakah kamu selalu seperti ini?”
“Maksudmu?”
“Berkorban untuk sahabatmu?”
“Bukankah sudah banyak yang bilang. Mencari  seribu musuh lebih susah dari mencari satu sahabat. Arko terlalu baik. Dia sahabat yang baik.”
“Dan diapun bilang seperti itu kepadaku. Dia selalu bilang bahwa kamu adalah sahabat terbaiknya.”
“Semoga dia bahagia di sana?”
“Kamu juga harus bahagia.”
“Kamu pun begitu, Violet.”
“Arko bilang padaku malam itu sebelum dia meninggal...” Violet terdiam sebentar. “Jika ada satu orang yang pantas untuk menggantikan dia menjadi suamiku....itu adalah kamu.”
Sandro memandang Violet gamang.
“Sepertinya Deva sudah menemukan ayahnya.” Violet tersenyum kecil.
Di kejauhan, Deva tampak berlari ke arah mereka.


-end-

3 comments

  1. Panjang .. skip dulu ya.. yang setengah buat temen begadang ntar malem ahh...

    ReplyDelete