[DONGENG] A WEDDING PROPOSAL


Aku belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini tanpa rencana. Jakarta-Bali dalam waktu 7 hari tanpa rencana adalah hal gila. Tidak ada rencana mau ke mana saja, mau berbuat apa, mau naik apa, dan harus bawa apa. Sebenarnya aku sudah biasa ikut perjalanan singkat menyusuri kota-kota di Indonesia. Terakhir aku pergi ke Pulau Tomia bersama kawan kantor. Kami cewek. Dan kami berdua saja. Tapi itu tidak masalah, karena aku sudah merencanakan itu jauh-jauh hari.
Dan tidak seperti sekarang. Tidak juga tanpa rencana sedikitpun. Dipaksa untuk cuti. 7 hari. Untung saja, aku sudah menyelesaikan proyek super gila menyiapkan event tahunan kantor kemarin. Acara itu sukses dan sebagai ganjarannya, Mr. Grey yang aksen bahasanya masih cukup sulit dipahami orang, akhirnya memperbolehkan aku untuk cuti.
7 hari. Dan 7 hari itu aku akan habiskan dengan perjalanan darat dari Bali ke Jakarta. Sampai detik ini aku belum tahu akan naik apa. Aku hanya diminta untuk stand by di depan kontrakan dan diwanti-wanti untuk sudah siap ketika orang yang menjemputku datang.
Ini ide gila. Dan aku seperti tersihir untuk mengikuti rencana gila ini. Bukan berarti aku membenci melancong seperti ini. Tidak. Aku menyukainya. Tapi tidak dengan hal yang dadakan.  
Dan ini semua karena Boy Januardo.
B-O-Y, orang super aneh yang hobi fotografi. Dia bukan tipe orang yang bekerja kantoran. Baginya kerja kantoran hanya akan membuatnya terkungkung dalam jadwal panjang dari pukul delapan hingga lima sore. Apa asiknya setiap hari harus berbasa-basi dengan bos, teman kantor yang tidak dikenal, klien, dan setumpuk omelan setiap waktu. Baginya, sudah cukup hidupnya diatur oleh jadwal dari sejak ia TK hingga kuliah.
Kini dia berprofesi sebagai fotografer profesional sekaligus punya blog superkece www.caiyoindonesia.com (sekalian promosi). Tidak menyangka orang senyentrik dia, yang ke mana-mana cuma bawa sandal dan kaos oblong, bisa memiliki penghasilan luar biasa hanya bermodalkan lensa dan tulisan.
B-O-Y bukan hanya hobi fotografi, tapi dia juga hobi membuat ide dadakan seperti ini. Tapi kali ini, ide perjalanan Jakarta-Bali adalah ide paling gila. Bukan karena dia belum pernah melakukan perjalanan ekstrem. Dia traveller blogger dan photographer, jadi menjelajahi alam super ekstrem adalah hal biasa.
Perjalanan kali ini baginya sangat penting.
Adalah LILIANA yang membuatnya melakukan hal aneh ini.
Liliana, anak jenius jebolan ilmu komunikasi yang memiliki tubuh semampai tinggi, langsing, berambut panjang. Dia jago berkomunikasi dengan orang. Semua orang suka bicara dengannya. Beruntung sekali aku bisa menjadi sahabatnya hingga sekarang.
Aku, Liliana, dan Boy adalah tiga sahabat yang dipertemukan saat kuliah dulu karena sama-sama hobi traveling.
Aku lulusan Teknik Industri. Waktu itu adalah liburan semester. Dan aku benar-benar tidak ingin pergi bersama teman satu kampus. Karena salah satu dari mereka adalah lelaki yang mencampakkan aku. Kami putus dengan hal yang sangat menyakitkan: aku diduakan. Akhirnya aku memilih ikut perjalanan singkat ke Gunung Bromo bersama group traveling kampus. Aku mendaftar dan di sana aku mengenal Liliana dan Boy.
Pertama kali kenal Liliana, kupikir dia adalah turunan dari Barbie. Putih sekali kulitnya, berbeda dengan aku yang keturunan Jawa tulen. Rambutnya semampai, lembut, kalau terkena angin akan melambai-lambai lalu kembali tertata rapi. Berbeda sekali dengan aku yang waktu itu berambut sebahu dan selalu kukuncir kuda. Dia pandai sekali menarik orang untuk ikut terlibat obrolan dengannya. Sementara aku, aku hanya diam dan hanya akan berbicara dengan orang yang kukenal saja.
Boy, dia adalah salah satu cowok paling berisik di group. Berkulit hitam terlalu lama tersengat matahari karena hobi jalan-jalannya, berambut agak panjang menutup telinga dan sebagian di kuncir, tubuhnya kurus. Tapi seperti Liliana, dia jago bicara dan paling bisa membuat orang tertawa.
Waktu itu, kami bertiga ketinggalan bus di Bromo. Kami harus menginap semalam lagi sebelum harus pergi ke Jogja kembali.
Sejak itu, aku mengenal mereka. Aku mengenal mereka sangat dekat. Kami sering kumpul, sering nonton bareng. Dari mereka aku belajar bagaimana caranya berkomunikasi. Liliana ternyata bukan tipe cewek-cantik-kaya-populer yang sombong. Dia asyik, dia baik. Bahkan kami jadi akrab. Aku sering menginap di kosannya, dan dia sering menginap di kosanku.
Kami bahkan lulus di bulan yang sama. Aku mengenalnya luar dalam, dia mengenalku dengan baik juga. Aku tahu siapa cowok-cowok yang dekat dan putus dengannya. Begitupun dia, dia tahu bahwa aku tak pernah pacaran sejak dicampakkan itu.
Aku mengenal Boy sebaik aku mengenal Liliana. Dia adalah partner yang asyik. Teman nongkrong yang tidak membosankan. Selalu ada cerita dari setiap perjalanannya menjelajah nusantara. Dan aku mengenal cewek-cewek mana saja yang terpesona dengan sifat cueknya itu. Banyak mantan yang ingin memilikinya. Banyak cewek berusaha yang deket dengan dirinya. Tetapi, aku tahu hatinya untuk siapa. Hatinya memilih siapa. Itulah masalahnya. Untuk urusan satu ini, Boy sangat payah.
Boy sama seperti diriku, hanya selalu mengagumi orang yang ia suka dari jauh. Hanya memandangnya, hanya bisa perhatian tanpa bisa memiliki. Si penjelajah alam itu mungkin bisa menaklukkan alam liar, tapi tidak dengan hati seorang wanita. Dan aku tahu, hatinya itu memang untuk Liliana.
Lalu, seminggu yang lalu, tiba-tiba Boy meneleponku. Mengajak ke sebuah perjalanan panjang Jakarta-Bali. Perjalanannya misinya.
Apa aku bisa menolak? Tentu saja tidak. Boy sudah menjadi sahabat kentalku sejak 7 tahun yang lalu. Sejak kami sama-sama bermimpi untuk selalu bisa jalan-jalan ke Nusantara. Apalagi ini adalah perjalanan dengan misi pribadi.
Boy akan membuat sebuah wedding proposal. Sebuah film perjalanan dari Jakarta sampai Bali. Sebuah film yang akan ia berikan kepada Liliana.
Sampai detik ini, Boy belum bilang ke Liliana kalau dia mencintai gadis itu. Boy masih menyimpan rapat-rapat perasaannya. Ah, mengapa untuk urusan seperti ini Boy sangat payah sekali. Dan aku tahu, Liliana pun sampai hari ini masih menunggu. Menunggu Boy mengungkapkan perasaannya. Karena dia pun juga mencintai Boy. Aku heran mengapa dua orang sahabatku ini tidak saling mengungkapkan perasaan. Atau aku yang hanya berasumsi bahwa mereka saling mencintai. Aku tidak tahu secara pasti. Ini hal satu-satunya yang tak kuketahui dari mereka.
Dan kali ini, Boy sudah memutuskan. Dia akan mengungkapkan perasaannya. Bukan untuk menjadikan Liliana, tapi langsung jadi belahan jiwanya seumur hidup.
“Kamu yakin?” tanyaku.
“Sangat yakin.
“Tahu konsekuensinya?”
“Apa? Ditolak?” Dia tertawa. “Setidaknya aku tidak menyiksa perasaanku seumur hidup.”
Itu percakapanku kemarin sore. Sebelum pagi ini kami pergi menggunakan mobil menuju beberapa perjalanan misi perjalanan ini. Aku menyebutnya misi Boy.
Dan pagi ini aku menunggu lelaki yang kini sudah dewasa itu. Di depan rumah kontrakan dengan tas gunung lengkap dengan Pillow Travel, Ipod, Mirrorless. Aku berdiri menantinya.
Dan dia datang. Dia masih mempesona. Dia masih dengan semangatnya. Lelaki yang kini tampil rapi, lebih gemuk sedikit, dengan rambut yang dipotong cepak, itu tersenyum turun dari mobilnya.
Ready?” ucapnya.
Aku mengangguk. Mungkin dari semua perjalanan menjelajah nusantara, kali ini adalah perjalanan paling menyakitkan yang pernah kualami. Pernah jatuh di Pulau Tomia ketika sedang melihat sunset dan menyebabkan kakiku patah bahkan lebih baik dari perjalanan ini.
Aku menyebutnya perjalanan menyiksa diri. Walaupun aku tahu, aku rela melakukannya.
Karena perjalanan ini yang meminta Boy sendiri. Karena Boy akan membuat film tentang sebuah perjalanan mengungkapkan cinta ke Liliana.
Aku tahu semua hal tentang mereka. Mereka juga tahu tentang diriku.
Kecuali satu hal, yang selalu kusimpan rapat-rapat.
Satu hal. Aku mencintai Boy.
# # #

Selepas kami pergi dari kota Metropolitan, aku langsung memborbadir Boy dengan semua pertanyaan yang kusimpan seminggu ini. Boy tak pernah menjelaskan apapun tentang perjalanan ini, sedikitpun. Bahkan rencananya untuk membuat wedding proposal. Entah seperti apa, dia tak membocorkannya sedikitpun. Selama perjalanan, ketika mulai memasuki daerah Karawang Barat, aku sudah tak tahan untuk bertanya.
“Mengapa kita melakukan perjalanan gila ini?”
“Mengapa naik mobil, nggak naik kereta aja?”
“Nanti kita ke mana saja?”
“Rencananya nginep di mana?”
“Trus ke mana aja selain ke Bali?”
“Rencana wedding proposalnya kayak gimana? Bikin film? Atau foto? Atau apa?”
Dan dia cuma menjawab dengan satu jawaban singkat. “Lo bawel ya.”
Aku pun menjawab tak kalah ketus. “Dulu yang ngajarin bawel siapa?”
Dan dia tertawa. Tertawa lepas seperti biasa. Tawa yang selalu bisa membuatku ikutan tertawa. Tawa yang selalu menentramkan hatiku. Jenis tawa yang tak membosankan, dan aku ingin selalu melihatnya. Sampai detik ini, candu tawanya tak pernah berubah. Aku mudah terbius. Aku selalu terpesona.
Selama perjalanan itu pula, Boy akhirnya menceritakan tentang rencananya. Dia berencana untuk pergi ke Jogja, Bromo, Malang, Jembatan Suramadu, dan terakhir ke Bali.
“Boy, aku jadi ingat. Dulu waktu kuliah, kita sering banget yah pergi-pergi nggak jelas gitu.”
“Sekarang aku juga masih kali. Kamunya aja yang sudah sibuk kerja. Aku mah sekarang masih jalan-jalan.”
“Ya, kamu enak dapat endorsment dari yang bisa membiayai kamu jalan-jalan. Lagian kamukan emang travel blogger sekaligus fotografer, ya pasti lah jalan-jalan terus.”
“Makanya, jangan payah kerja mulu.”
“Iya, iya, sekarang juga sudah kutemanin kan jalan-jalan sampai Bali. Naik mobil pula.”
“Kamu ingat, kita pernah tertinggal di Bromo waktu kuliah?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Inget banget. Itu kan awal persahabatan kita. Dan kamu ingat, kita pernah ke Suramadu juga. Naik bus dari Jogja. Parah banget kita dulu ya.”
Kami lalu tertawa. Mengingat semua kenangan manis waktu kuliah.
Sebenarnya, semuanya tak manis. Ini semua karena perasaanku. Ini semua karena hatiku. Ini semua karena aku mencintai dia, Boy Januardo. Dan ketika aku melihat dia tertawa, bercanda, dan tampak berbinar-binar dengan Liliana, hatiku sebenarnya hancur. Aku tak tahan melihatnya.
Tapi, ini pilihanku. Aku yang salah. Aku yang mencintai Boy, dan aku yang membuat perasaanku sakit sendiri. Dan aku tak mau, persahabatan kami bertiga hancur karena ini semua.
“Eh, Liliana tahu nggak sih kita pergi?” tanyaku. Mobil Boy sudah memasuki daerah Purwakarta.
No,” jawab Boy singkat.
“Kamu sudah beneran yakin mau mengungkapkan perasaanmu sekarang? Kenapa nggak dari dulu sih?”
“Kenapa memang? Kamu cemburu?”
Aku melotot. Ngomong apa sih dia. “Jangan sotoy deh. Lagian kamu itu bukan termasuk dalam daftar lelaki yang jadi idamanku.” Sial, aku berbohong.
“Oh, ya? Lalu lelaki seperti apa yang jadi idamanmu?”
“Kenapa jadi aku?”
“Kenapa tidak?”
“Kita sedang membahas rencanamu untuk melamar Liliana. Inget?”
“Ya, ya.” Dia menarik nafas. “Rasanya sakit sekali, memendam perasaan selama ini. Dan aku sudah memutuskan untuk mengatakannya.”
Aku juga. Rasanya sakit sekali Boy. Kuenyahkan pandanganku dari arahnya. Kupandangi jalan yang kini sudah menghitam. Sampai Jogja mungkin pagi. Aku kemudian terlelap, terlelap sekali. Kuminimalkan rasa sakitku dengan tertidur. Dan semoga, dia tak akan bercerita lagi tentang rencananya melamar Liliana. Saat ini.
# # #

“Oke, di sini? Bagus tidak?” tanya Boy kepadaku.
Saat ini, kami sedang berada di sekitaran sisa meletusnya Gunung Merapi. Saat kuliah dulu, di semester akhir, kami sempat merasakan getirnya suasana Jogja karena musibah meletusnya Gunung Merapi. Gunung paling indah di Jogja itu menimbulkan korban yang tidak sedikit. Laharnya menyapu halus puncak hingga berkilo-kilometer ke bawah. Bahkan menewaskan juru kunci Merapi, Mbah Maridjan.
Aku, Boy, dan Liliana sempat menjadi relawan waktu itu.
Kini, kami kembali lagi.
“Kamu geseran dikit deh.” Boy menuruti saranku. Kami sedang membuat rekaman video dengan mengambil latar belakang Merapi. “Sip di situ bagus.”
“Oke, bentar. Aku ingat-ingat dulu teksnya.” Dia meringis. “Oke siap.”
“Ready?” dia mengangguk. Aku memencet tombol ON.
Rekaman di mulai.
“Setiap aku melihatmu….aku….aku tak pernah kuasa untuk menahan rasa….”
“STOP,” ucapku.
What?”
“Kamu kayak anak TK yang lagi belajar membaca. Kaku. Aneh.”
“Ya, aku kan bukan anak teater.”
“Udah mengalir aja. Anggap aja dia ada di sini. Anggap saja….oke…gue Liliana yang di depan elo. Dan elo lagi ngomong sama gue.”
Aku menelan ludah. Shit. Ini justru akan lebih menyakitkan.
“Ehm, begitu akan membantu?” tanyanya.
“Setidaknya kamu akan berbicara lebih lancar. Sudah latihan belom sih?” tanyaku pura-pura kesel.
Dia meringis. “Belom.”
“Pantas saja nggak berani ngomong dari dulu. Cupu…”
“Udah deh, jangan bawel. Cepet rekam.”
Aku menghela nafas. Mencoba menekan perasaanku agar tidak terlarut.
Shit di tempat seperti ini, mengapa mendadak suasana jadi melo dan romantis. Sial.
“Oke, I’m ready.”
Camera Rolling. Action.”
“Hai….aku lagi di Lereng Merapi. Ingat kan kita pernah ke sini waktu kuliah? Kalau nggak salah, dulu waktu sebelum kejadian Gunung Merapi meletus.”
Iya, itu perginya juga sama aku.
“Saat itulah, pertama kali aku jatuh cinta kepadamu.”
Deg. Dia menatapku. Matanya yang tajam menusuk perasaanku. Aku sedikit membuang muka, lalu kembali konsen kepadanya. Aku benar-benar tak tahan ketika mendengar semua hal yang ia katakan.
Semua kata-katanya terlalu indah.
Semua kata-katanya terlalu perih untuk kudengar. Karena aku tahu, itu bukan untukku.
Hampir tiga jam kami berada di sana. Hampir tiga jam itu pula aku menahan tangis agar tak keluar. Dan di toilet umum, aku menumpahkan perasaanku. Aku menangis.
# # #

Perjalanan berlanjut. Boy tetap di belakang kemudi dan mengarahkan perjalanannya. Aku hanya sebagai co-driver yang setiap saat harus mengajaknya mengobrol dengan heboh karena takut dia mengantuk. Satu persatu tempat kami singgahi, satu persatu video kami buat. Paling lama adalah ketika di Jogja. Hampir dua hari. Karena kami harus mengelilingi tempat paling bersejarah ketika dulu nongkrong pas jaman kuliah.
Dan di sinilah kami sekarang. Di Batu Night Spectaculer, Malang. Waktu kuliah, kami bertiga juga pergi ke sana. Yang paling aku suka adalah lampion-lampion raksasa yang menghiasi hampir seluruh area. Aku masih ingat ketika harus memotret Boy dan Liliana di lampion berbentuk hati. Dan aku mau. Dan aku dengan begonya sok-sokan kuat. Walaupun setelah itu, aku gantian yang foto juga. Tetapi, aku benar-benar tak tahan melihat mereka berdua. Apalagi Boy terlihat jelas lebih bahagia ketika foto dengan Liliana.
Dan di sinilah kita sekarang. Kami sudah berjalan-jalan dan mengambil rekaman di beberapa spot. Boy sudah terlihat lebih lancar ketika ngomong. Aku belum tahu, apa yang bakal dia buat. Mungkin semacam kumpulan video dari beberapa tempat. Mungkin. Entahlah, mendadak aku tak ingin memikirkannya.
“Hei, bengong aja.” Suara Boy membuyarkan lamunanku. Saat ini kami sedang naik kereta gantung yang mengelilingi arena Batu Night Spectaculer.
“Tempatnya bagus.”
“Ya…sangat bagus. Dan romantis.”
Kami sama-sama terdiam. Aku memandang matanya. Kali ini aku memberanikan diri untuk memandang matanya. Semoga dia bisa melihat bahwa selain Liliana ada aku yang kini masih mencintainya. Apakah aku harus mengatakannya? Apakah aku harus menguratakan cintaku? Tapi aku tak ingin merusak persahabatan yang kubangun hampir tujuh tahun lamanya ini.
Mata aku membuang muka. Memandangi kerlip lampu lampion dari atas.
“Clara….”
Boy memanggilku. Aku menoleh ke arahnya. Dia memandangku lekat. Astaga, mengapa dia bisa semempesona ini. Semua hal tentang dirinya sangatlah indah.
Rambut, alis, pipi, mata, bibir. Bibir itu…aku kini ingin menyentuhnya.
“Aku ingin bertanya satu hal kepadamu.”
“Ya, apa?”
Dia tampak menelan ludah. “Apakah kamu rela aku akan melamar Liliana?”
Aku terpaku.
Pertanyaan ini seperti palu besar yang tiba-tiba menghantam kepalaku. Meremukkan saraf-sarafku. Dan aku tercekat tak bisa menjawab.
“Clara…”
“Ya, aku…” sial. Bahkan untuk bicara saja sangatlah susah.
“Kamu yakin…”
“Aku akan selalu bahagia melihat kalian bahagia.”
Dia terdiam. Mendadak aku melihat Boy dari sisi yang lain. Mengapa dia selalu rapuh setiap membicarakan cintanya.
“Tapi bukan Liliana, Ra. Bukan dia.”
Aku memandangnya, tak mengerti. Bukan Liliana.
“Bukan Liliana yang kucintai sejak di lereng Merapi. Bukan dia yang selalu bisa membuatku bahagia. Bukan dia yang bisa memberikan suntikan semangatku setiap hari. Tapi…” kalimat itu menggantung. “Tapi kamu….”
Mendadak dunia ini seakan dihantam oleh peluru besar dari luar bimasakti. Peluru itu meluruhkan seluruh tatanan bumi dan membuatnya hancur berkeping, tak tersisa. Kepingannya tergores oleh gesekan atmosfir. Lalu terbakar dan hilang.
Boy menyentuh tanganku yang dingin. Aku terpaku. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak tahu harus berkata apa. Yang jelas mataku mendadak panas, air mataku meleleh.
“Aku mencintamu, Ra. Sejak dulu.”
Dan aku masih terdiam. Bahkan ketika Boy mendekat, kapsul kereta yang hanya muat kami berdua itu sedikit bergoyang, dan dia menciumku. Pelan. Lalu dia menjauh.
Aku terpaku.
Dia mencintaiku?
Boy yang selama ini kucintai, ternyata juga mencintaiku?
“Ra….kamu mencintaku juga, kan?”
Aku masih terpaku. Tidak. Ini tidak mungkin.
Kereta gantung berhenti. Aku turun duluan, lalu disusul Boy. Kuturuni tangga dengan cepat.
“Ra…tunggu Ra….”
Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin.
“Ra….”
Tanganku diraih. Aku berhenti.
“Kamu menangis?”
Plaaakkkkkkk….aku menamparnya. Dia terdiam. Aku semakin kencang menangis. Aku berlari. Aku berlari kencang. Kudengar sayup-sayup dia berteriak. Kudengar suaranya memanggilku.
Ini tidak mungkin.
“Claraaaaaa…..”
Bruuuukkkk….kurasakan tubuhku terbang. Melayang. Sekujur tubuhku sakit. Lalu terhempas cepat ke atas aspal tepat di depan mobil yang mengerem mendadak setelah menabrakku dari samping.
# # #

Entah sudah berapa hari, atau bulan aku terbaring. Saat mataku terbangun, kulihat orang-orang menangis. Suster-suster lalu datang, dokter dengan cepat melihatku. Aku sendiri masih dalam fase yang tidak kuketahui. Tubuhku seperti ringan sekali. Tapi ngilu.
Ada mami dan papi di sana. Ada Flara, adikku, di sana.
Ada teman-teman kantor.
Aku melihat Boy. Dengan muka kusut.
Perlahan-lahan semua memori itu kembali kuingat.
Dan ada Liliana. Aku melihat dia di sana. Astaga, apa yang harus kukatakan kepadanya. Aku tak sanggup mengatakan bahwa lelaki yang ia cintai ternyata justru mencintaiku. Mengapa aku justru kini lebih menderita? Bukankah aku sudah tahu, bahwa Boy juga mencintaiku.
# # #

Video itu diputar disebuah layar besar berukuran 4 x 4 meter, di sebuah kafe di daerah Kemang, sebulan setelah aku kembali dari rumah sakit.
Aku di sini bersama Liliana. Dan aku belum mengatakan apapun tentang perjalanan Jakarta-Bali yang berakhir tragis di kota Malang. Mungkin Lilianan sudah tahu, mungkin juga belum. Tapi yang jelas, dia masih setia menemaniku di rumah sakit kemarin. Menghiburku, membawakan film-film korea kegemaran kami, novel-novel untuk membunuh kesepianku.
Tulang punggungku retak dan akan mengalami fase pemulihan tiga bulan ke depan. Kini aku harus menggunakan kursi roda untuk berpindah-pindah tempat. Kata mami, aku mengalami koma selama seminggu. Tapi untungnya, aku tidak mengalami gagar otak atau hal yang lebih parah.
Dan Liliana selalu ada. Membantuku melewati kesepian-kesepian ini. Seperti  malam ini, dia menjemputku dan membawaku ke sebuah kafe di daerah Kemang.
Selama sebulan ini, aku tak melihat Boy. Aku yang tak ingin dekat-dekat dengannya. Aku belum siap menerima pertanyaan, atau perkataan apapun darinya. Jika dia datang, aku selalu meminta Flara atau Liliana atau mami di dekatku. Hal itu kulakukan agar di tak berkata macam-macam.
Tapi malam ini aku melihatnya.
Di kafe ini.
Dan dia memberi sebuah kejutan.
Sebuah video.
“Selamat malam para pengunjung semua. Maafkan gue karena telah menganggu malam minggu kalian…..”
Hening.
“Gue berdiri di sini, karena gue ingin membuat sebuah pengakuan kepada orang yang kini sedang duduk di kursi roda, di sana….”
Boy menunjukku. Semua mata melihatku kini. Aku kikuk.
“Clara Andarini…sebelumnya aku ingin meminta maaf kepadamu.
Pertama, karena aku kemarin mengajakmu pergi dari Jakarta sampai Bali dan berakhir tragis di Malang karena sebuah mobil menabrakmu.
Kedua, karena selama ini aku berbohong kepadamu. Berbohong tentang perasaanku. Berbohong tentang semuanya. Sejak dulu, sejak di lereng merapi, aku sudah jatuh cinta kepadamu. Dan Liliana pun tahu. Aku sering curhat kepada Liliana. Karena aku tak berani mengatakan perasaanku. Aku tak punya nyali. Dan Liliana selalu mensupport aku agar aku selalu berterus terang. Dia sedikitpun tak memberitahu kamu, karena dia ingin aku sendiri yang mengatakan. Aku sendiri yang nanti tahu apakah kamu mencintaiku atau tidak. Karena menurutnya, cinta itu harus diperjuangkan. Cinta harus tahu sendiri jalannya.
Dan aku menyimpan itu selama hampir tujuh tahun persahabatan kita. Bodoh sekali aku. Kita bertiga bersahabat. Dan ada satu rahasia besar yang kita sama-sama tak diungkapkan. Aku menyembunyikan perasaanku, Liana pun begitu, dan kamu juga sama. Kita bertiga bersahabat tapi seolah ada jarak yang memisahkan kita untuk urusan yang namanya cinta.”
Boy diam. Mengambil nafas.
“Dan dua minggu sebelum perjalanan kita ke Bali, aku cerita kepada Liliana. Dia mengatakan bahwa aku harus mengatakan ini secepatnya. Sebelum kita sama-sama menyakiti perasaan masing-masing. Dan dia pun mengusulkan aku agar aku membuat sebuah video, sebuah rencana, wedding proposal untuk melamarmu.
Rencananya, video yang kita putar selama perjalanan kita dari Jakarta ke Bali, akan aku putar di Bali. Dan di sanapun nanti ada Liliana. Aku akan melamarmu di sana. Tapi maaf….nasib berkata lain.
Dan malam ini….
Aku ingin kembali merealisasikan rencana itu.”
Lampu meredup. Video diputar di layar 4 x 4.
Sebuah video perjalanan kita. Di awali dengan Boy yang menjemputku di rumah, aku yang tampak tertidur di mobil. Dan sebuah video pengakuan di lereng Merapi.
Aku seolah kembali ada di sana.
Aku tahu semua detailnya.
Dan di akhir video, Boy dan Liliana ada di sebuah tempat yang indah. Sebuah pantai. Banyak lampu-lampu, lilin, mawar merah dan putih. Di ujung senja berwarna orange, Boy membuat video terakhirnya.
“Clara, maukah kamu menikah denganku?”
Di saat yang bersamaan, Boy sudah berdiri di depanku dengan seikat mawar merah putih.
Aku menoleh ke arah Liliana. Liliana tersenyum. Di sampingnya ada seorang bule yang menggandeng tangannya.
Aku kembali menatap Boy. Dia menatapku.
Mungkin cinta memang selalu menemukan jalannya sendiri untuk kebahagiannya.
Termasuk diriku.
# # #

Dengan memohon rahmat dan ridho Allah, kami bermaksud menyelenggarakan akad dan resepsi pernikahan putera dan puteri kami.
Boy Januardo & Clara Andarini


·      # # #

    Trailer videonya bisa dilihat di sini youtube

13 comments

  1. kampret. terharu gua. bagus banget cerpennya. haha. keren banget lo bang

    ReplyDelete
  2. ceritanya bagus banget, semoga lancar yaaaaa rencana nya!!!!

    ReplyDelete
  3. ohh man....sweet pake bangeet sumpah cerpennya keren....!!!!4 jempool deehh...:D

    ReplyDelete
  4. hadeuh cerpennya co cwit.. ga di realisasikan sama penulisnya nih? :D

    ReplyDelete
  5. Cerpennya bagus bangeet Mas. Menguras emosi pembacanya :)
    Kutunggu undangan dari Mas yaa :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca Lelaki yang Sering Patah Hati

      Delete
    2. Aku dah baca juga kok Mas yang "Lelaki yang Sering Patah Hati", hehe :)

      Delete
  6. Huwaaa keren banget cerpennya. Awalnya udah ngarep banget Clara yang dilamar. Tapi pas di tengah-tengah cerita jadi takut beneran Liliana yang diajak nikah, nih tokoh aku udah kayak nggak ada harapan lagi dah. Dan untung lah cerita berakhir dengan happy ending. Keren banget, kak :D

    ReplyDelete