[DONGENG] DAN BIARKAN WAKTU TERHENTI


ENAM RATUS HARI SEBELUM HARI ITU
Mendapatkan ruh cintamu seperti menanti elok pelangi setelah mendung dan hujan. Lama. Namun berakhir indah.
Aku ingin meminta kepada Sang Khalik agar Dia menghentikan waktuNya. Agar burung-burung tetap terbang rendah di atas kita. Bunga-bunga tetap bermekar wangi di samping kita. Dan hijau rerumputan sebagai alas tidur kita berdua, menatap mega, sambil membayangkan imaji-imaji yang belum pasti. Mimpi-mimpi yang ingin kita jamah berdua.
Segalanya indah, segalanya terasa mungkin. Dan sekali lagi aku ingin membiarkan waktu berhenti. Menyaksikan penyatuan cintaku padamu, cintamu padaku. Lama sudah aku terombang-ambing dalam penantian panjang tatkala tak juga kamu ucapkan kata itu.
Lalu, setelah semuanya terjadi sore ini, di bawah gerimis hujan, di atas bukit hijau tanpa cela warna bunga atau sampah, dan pelangi menjadi latar belakang paling sempurna sepanjang sejarah hidupku. Kamu berdiri di depanku, memegang tanganku erat. Matamu menghujam dan menusuk sampai hatiku beku, terpesona. Bibirku nyaris tak bisa berkata apapun. Bahkan ketika kamu mengelus lembut tanganku dan berkata : “Kamu mau jadi kekasihku?”
Saat itu, serasa jantungku mencelos ke bawah dan aku mati beku. Semua penghuni alam serempak bersoraksorai: daun berbisik-bisik, angin berhembus lirih, pelangi membentuk senyum, pohon menari-nari.
Tak perlu lama aku menjawab ‘iya’ meskipun susah payah aku mengucapkannya. Aku sudah menantikan momen ini cukup lama. Apakah kamu sengaja membuat hatiku terombang-ambing tak berdaya?
Sore ini kamu benar-benar membuat hariku semakin indah, Landung.

TIGA PULUH HARI SETELAH HARI ITU
Pagi hari. Aku terbangun lebih bersemangat dari hari sebelumnya. Mungkin ini bawaan mimpi tadi malam, dimana kamu membawaku ke padang rumput yang ditumbuhi berwarna-warni bunga. Kita naik kuda, aku duduk di depan, kamu memelukku dari belakang. Aku pernah membaca kisah komik Candy Candy diumurku masih belia. Aku ingat satu adegan saat Candy naik kuda poni bersama pangeran pujaannya. Dia bahagia.
Itulah yang kurasakan tadi malam.
Kita berdua melewati padang panjang dengan bunga bermekaran. Langit biru cerah. Kamu berdendang lagu rindu kesukaanku. Dan kita sepanjang perjalanan saling bercengkerama dan bercerita.
Dan aku terbangun paginya. Mimpi itu seperti nyata. Aku bergegas mandi dan memakai pakaian yang sempurna. Ini adalah hari indah. Dimana aku akan menemuimu setelah kamu pergi beberapa bulan, menjalani pendidikan wajib militer sebagai persyaratan menjadi seorang abdi negara berpakaian loreng-loreng. Kamu tampak gagah di foto yang kamu kirimkan ke aku, Landung.
Rasa rinduku sudah diubun-ubun. Seperti seorang anak kecil yang sudah lama liburan dan akan masuk hari pertama ke sekolah. Begitu menggairahkan. Sama seperti hatiku. Hari ini.
Maka, kupakai pakaian terbaikku. Setelah berhari-hari aku mendekam saja di kamar, mengumpulkan rasa rinduku, kubungkus dalam pusaran jiwaku. Dan sekarang rasanya sudah seperti mau meledak.
Rambut kusisir rapi. Kupakai parfum yang sudah lama tak kupakai. Kukenakan pakaian yang indah berwarna biru—warna kesukaanmu. Kupoles sedikit wajahku agar terlihat lebih bercahaya. Aku tak ingin kamu kecewa.
Seisi rumah tampak tercengang memandangku menjelma menjadi bidadari. Aku bak puteri yang bersiap kencan dengan pangeran menggunakan kereta kencana yang ditarik kuda-kuda putih. Aku menebar senyum yang lama kusembunyikan. Aku tak ingin membagi senyum itu kepada siapapun, kepada lelaki manapun. Karena hanya Landung yang bisa membuatku seperti ini.
Dan, aku akan mengendarai sepeda. Seperti biasa saat dulu kita berpacaran sebelum kamu masuk ke akademi militer.
Baiklah, baiklah. Akan aku ceritakan bagaimana romantisnya kencan kami berdua.
Kami akan bertemu di satu titik. Aku naik sepeda, dan dia naik sepeda juga dari rumahnya. Aku jarang sekali memintanya dijemput. Kami akan bertemu di pematang sawah. Dan duduk berdua saja di tepi sungai yang airnya jernih dan berbunyi gemericik. Biasanya kami duduk di atas bebatuan dan kaki kami sengaja menjulur ke dalam sungai. Aku akan meletakkan kepalaku di pundaknya. Dan sepanjang sore kami akan bercerita.
Pertama, kami akan bercerita tentang impian kami. Dia bermimpi menjadi seorang tentara. Baginya jadi tentara adalah pekerjaan paling gagah bagi seorang pria. Dia ingin membela negara. Ah, dia memang nasionalis sekali anaknya. Aku bermimpi menjadi seorang penari. Aku ingin menari. Karena buatku menari adalah cara terbaik untukku berekspresi. Aku bisa gembira karenanya.
Dan kata Landung, aku semakin cantik saat menari.
Kedua, dia akan menyanyikanku sebuah lagu. Meskipun suaranya sumbang dan agak fals, tapi itu cukup menghiburku. Dan kebanyakan lagu yang dia nyanyikan adalah lagu dangdut. Hem...agak merusak suasana sih. Tapi itu justru yang membuatku selalu kangen dengannya. Dia konyol, tapi menyenangkan.
Ketiga, kami akan ngobrol tentang pernikahan impian kami. Pelaminan yang megah, bunga-bunga yang bermekaran, tamu-tamu yang menyenangkan.
Cerita-cerita kami akan selesai saat semburat matahari mulai hilang dan berganti dengan layar hitam di langit. Lalu kami akan pulang.

DUA RATUS ENAM PULUH HARI SEBELUM HARI ITU
Apa yang paling menyebalkan dari suatu hubungan? Ada berbagai macam jawaban atas pertanyaan sederhana ini : cemburu, sudah pasti. LDR, apalagi. Dan aku mengalami hal yang terakhir, LDR. Berhubungan jauh denganmu semacam mengikatkan pada tali tambang yang menjulur dari atas kapal ke laut. Pasti bisa jadi semakin hari semakin kendur. Dan aku harus memegangnya erat-erat jika tidak ingin terjatuh lalu tercabik ikan hiu.
Kamu pergi, beberapa bulan saat kamu menyatakan cintamu. Saat aku baru saja mengikatkan rasa dan berharap kamu akan terus di sini menemaniku. Tapi kamu selalu berjanji bahwa akan selalu menghubungiku, menyapaku setiap malam, mengirimi puisi di pagi hari sebagai penyemangat.
Dan rindu-rinduku memuncak di ubun-ubun. Aku merindukanmu, Landung. Aku ingin bersamamu setiap waktu, setiap hari. Tapi, aku tak ingin membatasi ruang gerakmu untuk mencapai cita-cita menjadi seorang tentara membela negara.
Kamu berjanji, di hari pertamamu kembali, kamu akan melamarku.

ENAM PULUH HARI SEBELUM HARI ITU
Kamu melamarku di bawah sinar rembulan di Bukit Bintang, Jalan Wonosari. Langit tak bermendung. Udara tak teralu dingin. Dan rembulan menjadi magnet di antara ribuan bintang yang tersebar di langit. Aku, kamu, berdiri di bawahnya. Menatap berdua ke atas langit.
“Berapakah jumlah bintang di langit sana?” tanyamu kepadaku.
Aku menggeleng.
“Kamu tak tahu?”
“Jutaan, mungkin.”
“Milyaran.” Lalu dia tersenyum memandangku. “Dan cintaku padamu lebih banyak dari milyaran bintang di langit.”
Aku menelan ludah.
“Apakah kamu mau menyatukan milyaran cintaku pada hatimu...di pelaminan...?”

LANJUTAN : TIGA PULUH HARI SETELAH HARI ITU
Kamu akhirnya datang ke rumahku. Kita tidak lagi bertemu di pematang, kamu yang datang. Katanya, kamu ingin menjemputku. Dia membawa sepeda. Kamu mengenakan pakaian kebesaran tentara yang membuatmu semakin gagah tak tertandingi. Kamu semakin tampan. Sudah bisa kubayangkan nanti aku akan bersanding denganmu di pelaminan. Dua minggu lagi. Dua minggu lagi aku sah menjadi pendamping hidupmu dan kita tidak akan LDR lagi. Aku akan selalu bersamamu.
Semua orang di rumah memandangku. Mungkin, mereka bahagia melihatku tersenyum senang. Mereka bahagia melihatku akan menjalani hari paling indah setelah sekian bulan ditinggalkan olehmu, Landung.
Dan kami mengendarai sepeda berdua. Seperti waktu pacaran dulu, kami menyusuri pematang sawah menjadi saksi ketika mentari sudah tenggelam dalam peraduannya. Sepasang suami istri yang rumahnya tak jauh dari rumahku, memandang ke arahku sambil tersenyum. Mungkin, mereka ingat saat-saat mereka pacaran dulu.
“Apakah kamu merindukanku?”
“Aku sangat merindukanmu.”
Aku melingkarkan tanganku ke perutnya. Kutenggelamkan kepalaku ke punggungnya. Aku suka bau keringatnya. Aku suka seperti ini.
Kami berdua sampai di tepi sungai. Kami duduk di batu besar, menenggelamkan kaki kami di antara riak-riak kecil.
Dan sore ini, terasa indah.

TIGA PULUH SATU HARI SETELAH HARI ITU
“Ditinggal orang yang kita sayangi memang berat ya. Lihat saja anaknya Pak Bram yang rumahnya di dekat sungai itu. Sekarang jadi kayak orang gila,” kata Sang Istri.
“Iya, padahal pernikahannya tinggal beberapa hari lagi. Tapi calon suaminya meninggal karena menjadi relawan di daerah konflik,” ujar Sang Suami.
“Lihat saja kemarin, dia kayak orang gila. Senyum-senyum sendiri naik sepeda dan akhirnya nyanyi-nyanyi sendiri di dekat sungai. Pasti orang rumahnya sudah kualahan meladeni dia. Kabarnya dia sering ngamuk dan menangis di rumah,” kata Sang Istri.
“Dia juga sering bicara sendiri. Seolah ada calon suaminya di depan dia. Kayak kemarin, dia ngobrol sendiri sambil naik sepeda,” ujar Sang Suami
“Semoga arwah calon suaminya tenang di surga, karena dia meninggal menjadi relawan. Semoga anaknya Prak Bram juga tabah dan segera sadar dari ketidakwarasannya,” ujar Sang Istri.

HARI ITU
Sama seperti biasa. Cerah. Tak ada tanda-tanda apapun di bumi ini. Tapi sebuah telepon dari satuan aparat nasional ke rumah Pak Bram, sontak membuat ramai orang.
Ranjani, anak Pak Bram, mendadak menangis meraung-raung lalu pingsan.
Kabarnya, calon suami Ranjani meninggal di tanah konflik, tepat tiga minggu sebelum pernikahan mereka.

HARI INI
Aku Ranjani. Aku ingin waktu berhenti. Di sini. Saat aku dan kamu. Berdua saja. Menikmati senja. Biarkan waktu berhenti. Di sini. Agar kamu tidak pergi. Aku tahu kamu ada, meskipun entah dimana.
Tolong Tuhan, hentikan waktu, agar aku dan dirimu tetap bersatu.

5 comments

  1. Bacanya seru yaa..hehehee
    Kunjungi juga yaa ketikapandacerita.blogspot.com
    Salam kenal yaa..

    ReplyDelete
  2. kalo bacanya candy2 bisa gw tebak umur nya berapa hahahaha

    ReplyDelete
  3. Thank you fikri

    Selamat ngeblog ya

    ReplyDelete
  4. Ih, kok endingnya gitu? :')
    Aku suka !

    ku tunggu kedatangan mu, strainsofharmony.blogspot.com

    ReplyDelete