[DONGENG] PEREMPUAN-PEREMPUAN MATAHARI


INTRO
Gegaraning wong akrami (1)
Dudu bandha dudu rupa (2)
Amung ati pawitané (3)
Luput pisan kena pisan (4)
Lamun gampang luwih gampang (5)
Lamun angèl, angèl kalangkung (6)
Tan kena tinumbas arta (7)
(Tembang Asmaradana)
# # #

Perempuan itu menyukai matahari. Seperti dia menyukai tari, terutama tari tradisional. Setiap pagi dan juga sore, dia akan terlihat di belakang rumah, memandang matahari dari atas gundukan pasir.
Dia akan menari di sana. Jika pagi, dia akan menghadap ke timur, jika sore dia akan berbalik ke barat. Tak jarang keringatnya mengucur deras dari kulitnya, saat tubuhnya meliuk, memutar, berlenggok-lenggok seirama dengan nada yang ia bunyikan dari mulutnya.  


Tak hanya menari, perempuan itu akan berdendang lirih. Lirik-lirik Pangkur, Asmaradana, Gambuh, ataupun gending-gending lain. Suaranya lirih, merdu. Memecah keheningan Gumuk Pasir Parangkusumo.
Rumahnya hanyalah sebuah gubuk kecil, terdiri dari satu kamar tidur, dapur, dan ruang tamu tempat dia menjamu pelanggan-pelanggannya yang datang memesan kopi atau hanya duduk mengobrol saja. Di depan rumah, ada teras kecil beratap seng yang selalu berbunyi nyaring saat hujan turun. Di belakang rumah terhampar gumuk pasir nan luas, bak Gurun Sahara. Panas jika siang menjelang, gersang berhias ilalang-ilalang yang menjalar panjang.
Perempuan itu menyukai gumuk pasir, seperti ia menyukai matahari. Keduanya seperti senyawa yang saling bersetubuh. Melengkapi rasa satu dengan yang lain. Dan bersama keduanya, dia akan menari. Menikmati setiap orgasme yang ia ciptakan sendiri.
Namun, terkadang tak hanya peluh yang mengalir ke pipinya. Air matanya pun sesekali muncul, mendesak keluar dari kelopak matanya. Membanjiri kedua pipinya. Dia tak berani mengusap, tak mungkin menghapus. Air mata itu seperti dosa-dosa yang satu per satu keluar dari tubuhnya. Sengaja ada untuk ia lihat, ia cermati, ia resapi.
Sekian tahun dia di sini, sekian lama dia menari. Tapi tak pernah sekalipun dia merasa bebas. Seperti terkekang dalam jeruji penjara, hatinya pilu. Apalagi saat bayang-bayang matahari berubah menjadi Mamak, ataupun Roro. Yang tersenyum, melambai kepadanya.  
Mamaklah yang kali pertama mengajarinya menari, tak pernah lelah membekalinya gending-gending jawa yang sarat makna. Mamak pula yang sedari kecil selalu bangga melihatnya pentas dari satu panggung ke panggung lain.
“Kamu seperti Gambyong, tledek di Jaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Dia pintar menari dan suaranya sangat merdu sehingga Gambyong menjadi pujaan kaum muda jaman itu. Kamu juga harus seperti itu,” tutur Mamak kepada perempuan itu. Dan kata-kata itu selalu melekat pada dirinya, ke mana saja dia berpijak.
Namun, tak wujudnya sebuah batu terjal yang menghantam dadanya, setiap ia mengingat ucapan Mamak saat itu pula hatinya terasa sesak. Tangis, hanya itu yang dapat ia lakukan. Tangis yang tak mungkin ia umbar di depan Mamak setiap ia pulang.
Mamak bukannya melarang, hanya saja mungkin dia tak tahu. Perempuan itu tak pernah bercerita. Sedikitpun. Kepedihannya, rasa sesak di dadanya. Mamak hanya tahu bahwa dia baik-baik saja. Dia bahagia, di sini.
Kendati sesekali Mamak selalu menanyakan keadaannya, perempuan itu terpaksa berbohong. Bahwa dia bahagia, dia masih menari dengan semua gemulai tubuh dan jiwanya, dan dia akan segera pulang untuk bertemu Mamak dan Roro.
Itu janjinya, dan dia memang selalu menepati. Dia selalu pulang, sewaktu hari Riyaya datang, lebaran haji, ataupun liburan sekolah. Dia akan membawa beras, baju, dan sesekali barang elektronik. Semuanya untuk Mamak dan Roro. Dan dia akan takbiran di rumah bersama mereka.
Sesekali dia pulang bersama Mas Pram, lelaki yang dekat dengannya.
Mas Pram akan mengantarkan perempuan itu dengan mobilnya. Kadang Mas Pram menginap untuk beberapa hari jika tidak sedang dinas. Dan Mamak, juga Roro, mulai mengenal Mas Pram.
Mamak tak banyak berkomentar tentang Mas Pram. Perempuan itu juga tak banyak bercerita tentang lelaki bertubuh tegap dan berkulit cokelat sawo matang itu kepada Mamak. Seperti matahari yang menyimpan sejuta misteri dalam panasnya, begitupun perempuan itu. Dia hanya berharap, Mamak akan menerima Mas Pram sebagai seorang lelaki yang kini menemaninya.
Mas Pram bukan lelaki yang baru dikenalnya kemarin. Dia sudah mengenalnya sejak lama. Mereka bertemu tiga tahun lalu, tepatnya saat acara Labuhan Alit di Parangkusumo. Waktu itu, perempuan itu sedang duduk-duduk di dekat penjual kembang tujuh rupa di salah satu sudut Parangkusumo. Dan mereka bertemu tanpa sengaja.
Mas Pram duduk begitu saja di samping perempuan itu, tanpa cakap apapun. Rautnya serius memperhatikan handphone di tangannya.
“Bau kemenyan, ya?” gumam Mas Pram, tanpa peduli kepada siapa dia berbicara. Seolah dia berbicara sendiri, dan tak ingin ditanggapi.
Perempuan itu menoleh, tak mengerti. Dia diam, tak menanggapi.
“Kamu tidak menciumnya?” Mas Pram menoleh, keningnya berkerut. Ternyata dia berbicara dengan perempuan itu.
Perempuan itu mengangguk, lalu tersenyum simpul. Mas Pram membalas senyum itu. Sangat manis.
Lelaki yang sangat tampan, ucap perempuan itu dalam hati. Rautnya tirus, hitam lebat alisnya menaungi matanya yang tajam, hidungnya mancung, kulit  mukanya bersih meski berwarna cokelat. Sangat tampan. Lengannya besar berotot. Badannya tegap bak seorang perwira.
Saat memasuki kawasan Pantai Parangkusumo, nuansa sakral memang akan segera terasa. Bau kemenyan dan wangi kembang setaman yang dijual oleh deretan penjual yang dengan mudah dijumpai, menawarkan suasana mistis. Pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta ini diyakini sebagai gerbang masuk ke istana laut selatan.
Tapi, entah siapa yang tertarik siapa. Siapa yang mengagumi siapa. Mas Pram seperti terseret ke dalam pesona perempuan itu.
Perempuan itu memang berparas menawan, berambut hitam panjang, memiliki kaki jenjang nan mulus, juga belahan dada yang sangat cukup membuat decak kagum para pemuda desa. Kulitanya putih bak puteri keraton yang setiap hari berlulur bengkoang. Dia bukanlah wanita biasa-biasa saja. Dia pintar menari, pandai bercakap dan bertutur kata, serta tingkahnya gemulai. Siapapun yang bicara dengannya pasti akan terpikat oleh parasnya.
Pun dengan Mas Pram. Terhitung menit, Mas Pram mulai merasa nyaman dengan perempuan itu. Entahlah, mungkin saat itu, dia sudah tertarik. Mungkin dia sudah melihat dari jauh paras menawan perempuan itu, lalu sengaja dia mendekat. Duduk di sampingnya, lalu sok bertanya tentang bau kemenyan. Seharusnya dia sudah mengerti, di tempat ini orang-orang pasti akan membaui kemenyan. Di setiap sudut. Jadi tak perlu berbasa-basi, harusnya dia sudah mengerti.
Mas Pram tak kalah pandai bercakap. Bibirnya selalu melontarkan kata-kata manis yang sesekali diselingi tawa dan cubitan kecil dari perempuan itu di pinggangnya. Lalu keduanya mulai akrab, bertukar nomer telepon.  
Hingga perempuan itu kemudian menawarinya untuk berteduh ke rumahnya saat rintik hujan mulai turun sore itu. Perempuan itu membuatkan kopi panas, seperti yang ia lakukan pada tamu-tamunya yang lain. Mereka berdua berbincang hingga larut malam. Walaupun kadang, Mas Pram ditinggal sebentar karena perempuan itu harus menjamu tamu-tamunya yang datang.
Keduanya lalu tak bertemu cukup lama. Sejak obrolan panjang malam itu, Mas Pram tak datang lagi. Perempuan itu pun paham, Mas Pram layaknya tamu-tamu lainnya. Datang, memesan kopi, ngobrol ngalor ngidul, lalu pulang. Kadang datang kembali, kadang hanya sekali. Dia tak mempermasalahkannya.
Kemudian di suatu malam, ketika warung sepi karena perempuan itu sengaja tak membukanya. Badannya sedang letih karena seharian dia mengajari gadis-gadis kampung menari untuk persiapan acara pentas tujuh belasan. Hanya beberapa yang datang lalu pergi lagi karena merasa tidak diperhatikan.  
Dia hendak beranjak tidur ketika tiba-tiba pintu rumahnya digedor orang. Darahnya sejenak naik, ingin marah. Dia sedang sakit, dan ada tamu tak sopan yang menggedor-gedor pintu. Dengan gusar dia membuka pintu. Namun, marahnya segera padam saat ia melihat Mas Pram berdiri di terasnya.
Mas Pram tampak letih. Pipinya biru lebam seperti habis dipukul orang dan dari sudut bibirnya ada darah yang membeku. Dia mengenakan kaos yang sudah basah oleh keringat. Tas ransel menggantung di punggungnya. Dari mulutnya, tercium bau alkohol yang menyengat.
“Mas Pram,” kata perempuan itu lirih, tak percaya. Entah pesona apa yang sudah Mas Pram pancarkan ke hatinya, hingga dia masih mengingat nama lelaki itu. Padahal mereka sudah cukup lama tak bertemu.
Dan Mas Pram hanya mengangguk kecil. Dia masih bisa tersenyum dengan keadaannya yang mungkin bisa dikatakan mengenaskan.
“Aku letih. Boleh aku masuk?” tanya Mas Pram.
Perempuan itu cepat mengangguk. Dia tak banyak bertanya. Segera dia mengambil air hangat dan handuk untuk mengompres lebam di pipi Mas Pram. Juga darah di sudut bibir Mas Pram yang sudah beku.
Mas Pram pun tak banyak cakap. Sesekali terdengar rintihan kecil saat perempuan itu terlalu dalam menekan handuk di pipinya.
“Perih, Dek,” ujar Mas Pram. Dan perempuan itu kemudian menekannya dengan perlahan, penuh kelembutan.
Malam itu, Mas Pram kemudian tidur di rumah perempuan itu. Tak ada percakapan apapun di sana. Karena perempuan itu tahu, Mas Pram letih dan butuh istirahat.
Sejak malam itu, mereka mulai kenal lebih dekat. Mulai mengenal satu sama lain. Mas Pram jadi lebih sering main ke rumah perempuan itu. Walaupun tak ada janji yang terucap lewat bibir untuk hubungan mereka. Tak ada yang memulai, tak ada yang berharap banyak dari hubungan mereka. Mereka hanya merasa nyaman satu sama lain. Merasa saling membutuhkan saat kekosongan mulai melanda.
Kadang mereka bertemu di dekat Cepuri Parangkusumo, tempat keramat berukuran sekitar 15x15 meter. Ada 2 buah batu karang hitam di balik pagar temboknya. Batu ini oleh penduduk setempat sering disebut dengan Batu Cinta.
Konon katanya, di batu inilah Panembahan Senopati, Raja Mataram yang pertama, bertemu dengan Ratu Kidul dan membuat perjanjian.
Awalnya, Panembahan Senopati duduk bertapa di batu yang berukuran lebih besar di sebelah utara. Tiba-tiba laut selatan bergemuruh dan terjadi badai, ikan-ikan terlempar ke daratan, pasir bergelombang menepi.  Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan lautan, menemui Panembahan Senopati dan akhirnya jatuh cinta. Ratu Kidul kemudian duduk di batu yang lebih kecil di depan Panembahan Senopati, di sebelah selatan.
Dan di sana terjadi perjanjian itu. Panembahan Senopati berkeinginan untuk memerintah Kerajaan Mataram dan memohon agar Ratu Kidul membantunya. Ratu Kidul menyanggupinya dengan syarat bahwa seluruh keturunan Panembahan Senopati harus menjadi suaminya. Walaupun mereka tidak menghasilkan anak.  
Sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada Ratu Kidul, kemudian dilaksanakan upacara Labuhan Alit hingga kini. Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pecahan kerajaan Mataram pun melaksanakannya. Jika kita cermati, salah satu bagian labuhan itu adalah penguburan benda-benda Kanjeng Dalem Sultan, termasuk pakaian, potongan kuku, serta rambut.
Kini, Labuhan Alit Parangkusumo digelar secara rutin di Pantai Parangkusumo setiap tanggal 30 bulan Rajab. Dan saat ritual itu tiba, orang-orang pun berbondong-bondong datang.
Ngalap berkah, begitu kata penduduk setempat. Mereka akan menunggu di sepanjang pesisir pantai dan akan berebut menceburkan diri ke laut berusaha mendapatkan barang-barang yang dilabuh.
Selain terkenal dengan Labuhan Alitnya, Parangkusumo juga terkenal dengan Batu Cintanya.
Banyak orang kemudian percaya bahwa dengan memanjatkan permohonan di dekat Batu Cinta, segala bentuk permintaan akan terkabul. Datanglah kemudian beratus orang ke sana di setiap hari yang diyakini sakral. Berdoa, meminta. Agar sehat dunia. Agar bahagia bersama keluarga.
Begitupun dengan Mas Pram, kala itu khusus datang ke Parangkusumo untuk menyaksikan Labuhan Alit.
Dan bak Panembahan Senopati yang jatuh cinta dengan Ratu Kidul, begitupun dengan dirinya yang entah darimana datangnya langsung tertarik dengan perempuan itu. Dan perjanjian pun terjadi, meskipun tak terucap. Karena mereka berdua sudah sama-sama dewasa dan mengerti.
Orang-orang hanya tahu bahwa Mas Pram adalah pelanggan perempuan itu seperti kebanyakan orang. Pelanggan yang mencari kehangatan di tengah malam, berbincang bersama pelanggan lain di rumah perempuan itu, menikmati hangatnya kopi dan mie godhok.
Yang mereka tak tahu bahwa pagi hari setelah malam itu, perempuan itu mengajak Mas Pram ke belakang rumah. Menyusuri gumuk pasir di bawah sinar mentari yang belum terlalu panas. Perempuan itu lalu menari di depan Mas Pram dengan dendang Asmaradana dari mulutnya.
Gerakan perempuan itu sangat gemulai. Langkah kaki, gerak tangan,  dan lenggok-lenggok pinggul perempuan itu seirama dengan ketukan musik dari bibir mungilnya.
Mas Pram semakin terpesona dengan keindahan perempuan itu. Bahkan dirinya terbius oleh pesona senyumnya yang terkadang muncul tiba-tiba, menggoda jiwa kelakilakiannya.
Yang orang-orang tak tahu bahwa setelah menikmati keindahan tarian perempuan itu di bawah mentari, mereka berdua kembali ke rumah. Dan Mas Pram seperti tertarik dalam lingkaran pesona perempuan itu. Tak kuasa, Mas Pram menarik tubuh perempuan itu dalam pelukannya. Bibir mereka bertemu. Cukup lama Mas Pram menikmati setiap lekuk tubuh perempuan itu. Hingga peluh membasahi tubuh mereka saat matahari sudah beranjak naik tepat di atas kepala.
# # #
Langit tak lagi sempurna membentuk biru. Warna jingga mulai sedikit demi sedikit menyemburat, membentuk pola-pola. Burung bergerombol, terbang dari utara, selatan, barat, timur, seakan bergegas mencari sarangnya karena hari hampir gelap.
Ke mana mereka akan berteduh nanti, mungkinkah mereka akan berkumpul bersama sanak saudara di satu pohon. Ataukah bersama anak dan pasangan mereka. Atau justru berdua saja, bercumbu dalam teduhnya perdu atau beringin rindang.  Jika itu benar adanya, aku iri kepada mereka. Aku ingin berdua, aku ingin bersama suamiku.
Aku tak mengerti. Kapan terakhir kali suamiku pulang ke rumah. Mungkin seminggu yang lalu, atau dua minggu. Aku tak pernah lagi menghitungnya. Sudah cukup terbiasa oleh keadaan. Memahami bahwa untuk sesuap nasi, biaya sekolah si kecil, dan kebutuhan-kebutuhan lain, suamiku harus bekerja siang malam hingga tak pulang.
Aku paham, aku tak pernah mengungkit. Mengapa dia jarang pulang, mengapa proyeknya berpindah-pindah, mengapa dia tak kunjung datang padahal di setiap malam aku selalu kedinginan menantinya. Dulu sebelum ada si kecil, aku selalu kesepian jika malam menjelang. Tidur hanya bertemankan guling semata.
Suamiku hanya sekali nelpon setiap jam sembilan malam, selama setengah jam. Suaranya yang serak sedikit mengobati kerinduan yang setiap waktu menjalar di tubuhku. Sebentar rasa rindu itu terobati oleh suaranya, rayuannya yang sampai sekarang tak kumengerti-aku terbuai oleh itu semua.  
Dia, suamiku, mencintaiku seutuhnya. Dia rela meninggalkan rokok yang sudah bertahun-tahun menemaninya demi menikah denganku. Bapak tak pernah menyukai setiap cowok perokok. Prinsip beliau adalah jika dia memasukkan racun, maka akan banyak racun-racun yang ia keluarkan. Entahlah, apa maksud Bapak. Sampai kini tak kumengerti.
Jika aku merindukannya setiap malam, apakah salah? Mungkin seorang wanita berumur lebih dari 45 tahun tak sepantasnya merindukan suaminya yang pergi bekerja? Mungkin aku seharusnya hanya memakluminya saja. Toh, nanti dia akan pulang.
Sebenarnya dia tak pernah absen untuk kembali. Jikapun proyek yang dia kerjakan harus memaksanya untuk lembur, dia akan tetap menyempatkan pulang meskipun sebentar. Mencium kening si kecil, juga tak lupa bibirku.
Dan jika dia datang, dia akan memelukku cukup lama. Kami bercumbu sepanjang malam. Sungguh dia adalah lelaki yang baik, suami yang pengertian, ayah sempurna bagi si kecil. Tak pernah dia memukulku, mencampakkanku, atau membuatku terluka. Dia sangat manis dan sopan.
Pernah suatu kali dia datang tanpa membawa uang. Dia berulang kali meminta maaf kepadaku. Awalnya aku tak berani pulang, katanya. Dengan raut yang sungguh-sungguh. Sorot matanya tajam menukik. Aku tahu, dia tak mungkin berbohong. Aku tahu dia sepenuhnya.
Tapi aku kangen kamu, ujarnya kemudian. Lalu memelukku. Saat itu, belum ada si kecil. Usia perkawinan kami sudah satu tahun, dan kami memang belum dikaruniai si kecil. Aku hanya mengangguk mantap, lalu membalas pelukannya.
Aku butuh kamu, bukan uangmu, jawabku kepadanya. Lalu dia membopongku ke halaman belakang rumah. Di sana tumbuh pohon mangga yang cukup rindang. Daun-daunnya sering berguguran mengotori pekarangan belakang yang tak terlalu luas. Kami berdua duduk di bawah pohon itu, bercengkerama cukup lama. Berbincang tentang segala hal.
Masih seperti biasanya, dia pintar merayuku. Dia lalu membawaku melayang ke angkasa, menikmati keindahan sungai-sungai di surga. Kami berdua bergelut dengan malam, melepas kerinduan yang sekian lama tertahan. Yang kutahu, sebulan setelah itu, saat suamiku belum kembali lagi, aku mual-mual di suatu pagi.  
 Lalu dia datang kembali, kali ini dia membelikanku beberapa baju ibu hamil. Dia lalu mengajakku membeli susu di supermarket. Aku benar-benar dijamu olehnya.
“Untuk beberapa saat, aku akan menetap di sini. Sampai kamu melahirkan?” kata dia.
“Proyekmu?”
“Kamu lebih berharga dari apapun.”
“Ada ibu nanti yang bisa ke sini. Menemaniku. Ibu sudah menelpon kemarin.”
Suamiku menggeleng. Dia membelai rambutku.
Benar saja, dia menepati janjinya. Dia menemaniku hingga si kecil lahir.
Si kecil benar-benar membawa berkah bagi kami. Beberapa proyek besar berdatangan, di dekat tempat kami. Suamiku tak harus berpindah dari satu kota ke kota lain. Dia menetap bertahun-tahun bersamaku hingga si kecil berumur tiga tahun.
 Aku memang beruntung memiliki suami seperti dia.
Sejak bertemu dulu, aku memang sudah jatuh cinta padanya. Terutama pada bibirnya. Dia bukan hanya tampan, menawan, berbadan tegap, namun juga lelaki yang tegas dan berani. Terang-terangan dia mendatangiku dulu, sewaktu aku pulang dari pabrik.
Dia sedang nongkrong bersama teman-temannya di dekat pembangunan tower milik sebuah provider. Saat itu aku bersama Frida, teman pabrik yang selalu pulang bersamaku. Kami lewat di depan mereka. Ternyata salah satu orang di tongkrongan itu adalah kekasih Frida. Frida berhenti, ngobrol bersama kekasihnya. Sedangkan aku hanya diam di sampingnya. Kemudian Frida mengenalkanku pada mereka, termasuk orang yang saat ini menjadi suamiku.
Benar adanya, cinta pada pandangan pertama. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dia berwajah tirus, rambutnya cepak, kulitnya cokelat, hidungnya mancung. Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya dikemudian hari, aku tahu bahwa dia mewarisi wajah ibunya. Dan badan tegap yang ia miliki jelas bahwa itu adalah warisan ayahnya.
Dan ada banyak alasan kami untuk bertemu kembali.
Dia meminta nomer teleponku. Lalu berulang kali menjemputku di pabrik. Melewati malam minggu berdua. Hingga dia benar-benar melamarku di suatu senja di terminal, sebelum dia berangkat ke Jogja. Ada proyek pengerjaan jembatan layang di sana.
Aku akan kembali, dan kuharap kamu sudah ada jawabannya, katanya. Jangan kamu jawab sekarang, agar aku memiliki semangat di sana. Agar proyekku segera selesai dan aku giat bekerja. Jangan kamu katakan sekarang jika kamu menolaknya, karena fatal akibatnya. Jembatan yang kubuat bukannya kuat dan kokoh, tapi justru akan ada orang yang meninggal di sana.
Dia tertawa.
Percayalah, jawablah dengan pikiran jernih.
Dia menggenggam tanganku, lalu berlalu.
Sepanjang malam, sebelum dia kembali meminta jawabanku, aku merenung. Memikirkan apa yang harus aku katakan padanya. Tetapi, hati memang tak bisa dibohongi.
Aku menjemputnya di terminal. Dan aku berjanji untuk menjadi istri yang baik baginya.
 Jika kini dia sudah jarang pulang, bukan berarti cintanya telah luntur untukku. Dia pergi karena aku dan si kecil, karena sesuap nasi. Uang hasil buruhku di pabrik tak akan cukup membelikan si kecil susu, biaya sekolah, dan kebutuhan lainnya.
Dan jika aku merindukannya di setiap penghujung malam tiba, karena kedinginan yang teramat sangat, apakah aku salah?
Di suatu petang aku pernah bertanya kepadanya, kamu masih mencintaiku?
Dia tak menjawab, hanya mencium keningku. Itu sudah cukup untuk menjawabnya, bukan?
# # #
Perempuan itu seperti kembali menjadi seorang gadis remaja SMP yang kali pertama jatuh cinta. Manja, malu-malu, suka senyum-senyum sendiri. Desiran di jantungnya tak pernah berhenti saat Mas Pram datang dan membelai rambutnya. Kadang Mas Pram melontarkan rayuan-rayuan gombal yang membuatnya melayang. Perempuan itu seperti dicekoki 3 botol tequila. Mabuk dan melayang.
Butuh waktu beberapa menit untuk menenangkan hatinya bila berduaan dengan Mas Pram. Mas Pram memang lihai dalam memanjakan perempuan itu. Kadang perempuan itu sampai mencubit pinggang Mas Pram berulang kali saat rayuan-rayuan maut Mas Pram mulai beraksi, hingga membuat geli lelaki pujaannya itu. 
Mas Pram datang dua minggu sekali. Dia akan menginap dua hari, Sabtu dan Minggu. Selama dua hari itu, perempuan itu tak menerima tamu satupun. Kadang ada pula pelanggan yang datang, namun tak pernah akan dilayani. Bagi perempuan itu, dua hari belum cukup untuk berduaan dengan Mas Pram. Jadi dia terpaksa menutup warungnya.
Dan dua minggu sekali dia akan menunggu. Namun, suatu pekan, Mas Pram tak datang.
Sore itu, hujan turun rintik-rintik dan angin cukup kencang. Rumahnya  yang tak jauh dari pantai terkena imbasnya. Spanduk bekas pemilu daerah yang sengaja dipasang di depan rumah untuk menutupi teras depan tampak berkibar-kibar. Langit juga sudah mulai menghitam. Matahari tak nampak.
Perempuan itu sengaja duduk menunggu Mas Pram di teras depan. Seperti yang biasa ia lakukan setiap akhir pekan, dua minggu sekali. Duduk sendiri sembari menikmati secangkir kopi. Dia tentu sudah mandi dan mengenakan pakaian paling pantas yang ia miliki. Rambutnya sudah ia sisir dan bau semerbak parfum menyebar ke mana-mana. Itu parfum pemberian Mas Pram, dan hanya dipakai saat ia bertemu dengan Mas Pram.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Langit sudah sempurna menghitam, namun Mas Pram tak kunjung datang.  
 Perempuan itu mulai gelisah. Berulang kali dia melihat jam di dinding. Berulang kali dia ke depan rumah, melihat ke ujung jalan. Berharap ada mobil Mas Pram di sana. Tapi tak ada. Sampai petang menjelang, mobil itu tak menampakkan wujudnya.
Tetangga depan rumahnya, seorang perempuan seumuran dengan perempuan itu, menyadari kegelisahan perempuan itu. Didatanginya rumah perempuan itu dan  mereka berdua ngobrol.
“Nunggu Masmu, Nur?” tanya perempuan paruh baya.
“Iya, Mbak Anis. Biasanya sudah datang.”
“Ah, kamu sudah tak sabar, ya?”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, seperti mengiyakan.
“Saya jadi penasaran, gimana rasanya Masmu itu. Legit kayak kue lapis, atau manis kayak gula jawa?”
“Dua-duanya lah, Mbak. Belum ada yang menandingi,” perempuan itu tertawa genit.
“Lah, kalo polisi yang sering datang kemari itu? Bukannya nggak kalah garang, Nur?”
“Aduh, dia mah cemen, Mbak. Baru dua kali juga sudah KO. Lagian mulutnya sedikit bau, Mbak. Ngomongnya aja yang besar, tapi nggak ada yang lebih besar dari omongannya. Ha ha ha,”
Hush, kamu itu. Kalo tertawa jangan keras-keras. Cah wedhok lho. Tapi duitnya lumayan to?”
“Ya, kalo dompetnya sih tebel, Mbak.”
“Kalo Masmu?”
“Wah, kalo Mas Pram saya tidak mengharapkan duitnya. Sudah dekat dengannya saja, saya sudah dag dig dug, Mbak. Pokoknya beda aja rasanya dengan yang lain. Sensasinya itu lho...serrrrr...”
Keduanya lalu tertawa.
Tetangga perempuan itu kemudian permisi untuk pulang karena di depan rumahnya sudah ada pelanggan yang menunggu. Dengan tawa genit, dia menghampiri pelanggan itu lalu menggandengnya ke dalam rumah. Dari tingkahnya saja, jelas bahwa dia sangat gesit dalam melayani pelanggannya. Caranya menyambut, menatap, dan berkelakar sangatlah profesional.
Tinggallah perempuan itu sendirian lagi di teras rumahnya.
Mas Pram belum datang. Hujan sudah berubah menjadi rintik gerimis. Angin sudah tak lagi kencang. Hanya sesekali terdengar gemuruh ombak pantai selatan.
Tak ada pelanggan yang datang. Karena mereka sudah tahu bahwa malam ini perempuan itu memang tak menerima tamu.
Lalu ada motor berhenti di depan rumahnya.
“Sendirian, Mbak?” sapa pengendara motor itu.
“Iya nih, Mas Galih. Nunggu orang tapi nggak datang-datang,”
“Warungnya tutup? Saya kebetulan lapar, bisa dibuatkan nasi goreng?” tanya Galih, pengendara itu.
“Oh, enggak kok Mas. Masuk saja sini,” ujar perempuan itu berbohong. Dia berusaha tersenyum meskipun kini hatinya sedikit miris. Mas Pramnya belum juga datang sampai detik ini. Jadi dia memutuskan untuk membuka warungnya, melayani pelanggannya. Hal ini ia lakukan untuk mengusir kegundahannya sembari menunggu Mas Pram.
Galih melepas helmnya, lalu masuk ke teras perempuan itu. Perempuan itu masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan segelas kopi hitam.
“Diminum, Mas!” Perempuan itu menyerahkan kopi buatannya.
Nuwun, Nur. Obat dingin,” Galih terkekeh. Diseruputnya kopi yang ia pegang, ia sesap perlahan.  
“Baru pulang dinas, Mas?”
“Iya. Tadi ada acara perpisahan teman kantor. Dia dilantik jadi kepala divisi di kabupaten. Jadi acaranya sampai malam.”
Keduanya lalu terlibat obrolan ringan. Tentang angin, pantai, berita-berita di TV, kadang nyrempet ke obrolan dewasa. Perempuan itu lebih banyak mendominasi. Galih tak banyak cakap, sesekali hanya menimpali. Bahkan lebih banyak tersenyum dan tertawa. Pastilah dia pemuda baik-baik. Taat pada aturan. Tipe suami yang sayang pada istrinya.
Sejam berbincang dengan Galih, membuat perempuan itu mulai bosan. Diliriknya halaman depan berulang kali. Belum ada tanda-tanda Mas Pram datang. Padahal malam sudah larut, jam sudah menunjukkan angka 10. Gusar hati perempuan itu, membuatnya terus menerus menarik nafas kecil. membuang sesak. SMS yang ia kirim sejak maghrib juga tak mendapat balasan.
“Kamu seperti menunggu seseorang, Nur?” tanya Galih, penasaran melihat perempuan itu beberapa kali melongok keluar rumah.
“Bukan siapa-siapa, Mas. Cuma pengen lihat keadaan luar saja.” Perempuan itu lagi-lagi berbohong.
Kepada angin dia ingin berkata, sampaikanlah rasa gundah ini kepada Mas Pram, di mana saja Mas Pram berada. Angin hanyalah udara yang bergerak-gerak, ringan, tanpa beban. Ia tak mungkin diselipi rasa rindu yang membuncah.
Lalu, kepada sunyi malam dia ingin berujar pula, bahwa hatinya kini kelu. Wangi parfum yang sudah menempel di tubuhnya beberapa jam lalu, kini kabur. Menguap bersama rasa sunyi di hatinya.
Kepada Galihlah kemudian dia bercerita, banyak. Tanpa jeda. Tak pernah dia bercerita sebanyak ini, kepada lelaki pelanggannya. Selain pada Mas Pram tentunya.
Mas Pram bukanlah pelanggan. Dialah hanyalah tamu, tamu di hatinya. Bukan lagi tamu-tamu warungnya yang hanya datang meminta kopi, ngobrol, lalu pergi begitu saja. Atau duduk lama, seperti Galih kini, dan berakhir dengan derit suara di kamar tidur perempuan itu. Rintihan kecil dari perempuan itu, yang sedikit banyak dia buat-buat. Juga suara gesekan-gesekan dari si pelanggan yang tak ubahnya seperti harimau yang menerkam ayam di dalam hutan. Tak akan dilepas, sebelum mereka menemukan titik puncak dari rasa di dunia.
Namun, tidak dengan Mas Pram. Dengan lelaki berkulit sawo matang itu, tak ada yang dilakukannya sia-sia. Perempuan itu membuatkan nasi goreng ataupun bakmi godhog dengan rasa cintanya, menyeduh kopi dengan sepenuh jiwa, juga menyerahkan setiap jengkal di tubuhnya, tanpa ia tutup-tutupi. Dia tak pernah berpura-pura, mengerang sekenanya, meliuk sewajarnya, juga kadang tersenyum kecil saat Mas Pram sudah kelelahan di sampingnya.
Bagi perempuan itu, Mas Pram adalah kiriman Tuhan untuknya. Untuk menghapus semua rasa gundah di hatinya, setiap hari. Mas Pram tak pernah cemburu jika perempuan itu melayani ataupun digoda pelanggan-pelanggannya. Dia sudah cukup dewasa untuk mengartikan hubungan mereka.
Tapi kini, lelaki itu tak kunjung datang.
“Sudah malam rupanya,” Galih berujar, seperti pada dirinya sendiri. Dia menyeruput kopi keempatnya. “Mataku pasti akan terjaga hingga pagi karena kopi-kopi ini.” Galih beranjak, membenahi tas dan jaketnya yang tergeletak di kursi.
“Tidak mau lanjut, Mas?” perempuan itu mengeluarkan jurusnya, seperti biasa. Saat dia menghadapi tamu-tamunya. Mendekat, lalu menyentuh pundak pelanggan perlahan. SOP yang dia buat sendiri sebagai standar untuk melayani tamu-tamu. Dulu kali pertama diajari oleh Mbak Anis saat perempuan itu datang dan menetap di rumahnya kini.
“Lain kali saja, Nur,” kata Galih tersenyum simpul. Dia menjabat tangan perempuan itu dan menyelipkan dua lembar seratus ribu. “Lain kali aku pasti ke sini.”
Dan malam gelap sepi kembali menemani perempuan itu di teras depan. Hingga larut malam dan jalanan depan juga sudah mulai sepi. Sesekali terdengar bunyi motor yang melintas, tapi tak pernah ada Mas Pram.
Perempuan itu memutuskan untuk menghungi Mas Pram. Sekali, tak ada jawaban. Dua kali, masih tak ada. Tiga kali, masih sama. Perempuan itu lalu kalah oleh keadaan.
Mas Pram benar-benar tak datang. Hingga pagi menjelang dan jalanan kembali ramai oleh pemuda-pemuda yang berlari pagi di depan rumahnya, juga orang-orang bermotor yang menuju ke Pantai Depok, pantai di barat Parangkusumo.
Dan dia, perempuan itu, menari seperti biasanya di belakang rumah. Menantang matahari. Gerakannya masih gemulai, meski dia baru tidur dua jam tadi malam.
Semuanya masih sama. Tarian, matahari, padang pasir, semilir angin, senyum dan tangisannya. Yang berbeda hanyalah, dia menari dalam kesunyian. Tak ada dendang Pangkur, ataupun Asmaradana dari bibir mungilnya. Dia menari saja, tanpa irama. Sesekali matanya terpejam, seperti merasakan lantunan yang hanya ada dalam angan-angannya saja.
Entah apa yang terjadi pagi tadi. Dia bangun dengan keadaan gugup. Nafasnya tersengal-sengal. Dia seperti baru saja bermimpi buruk, bertemu dengan genderuwo atau makhluk lain yang berusaha untuk menyetubuhinya.
Mungkinkah itu yang membuatnya menari sunyi pagi ini? Hanya perempuan itu yang tahu. Yang jelas, saat dia kembali ke teras rumah dan berusaha melupakan apa yang terjadi, kesunyian itu masih ada.
Bahkan Galih yang kembali datang, kini dengan kaos santai dan sepeda, tak bisa mengusir rasa sepinya. Galih memesan kopi. Perempuan itu menambahkan singkong goreng. Keduanya lalu ngobrol hingga matahari berada hampir di atas kepala. Perempuan itu pura-pura tertawa, menutupi sesak di dadanya dengan senyum yang terpaksa.
Sepi itu kemudian memudar, terurai menjadi keping-keping perih, saat Mas Pram datang sorenya. Membawa suatu berita.
“Maaf sebelumnya, aku baru cerita sekarang.”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil. Jika berita ini yang mengucapkannya adalah tamu-tamunya yang lain, mungkin dia tak akan sesesak ini. Karena dia paham, tamu-tamunya itu kebanyakan bukan bujangan, meskipun ada pula yang masih sendiri. Lebih banyak pria-pria yang sudah berumah tangga. Yang mencari kebahagiaan lain di luar rumah mereka.
Kini Mas Pram yang berbicara langsung kepadanya. Padahal sebelumnya mungkin dia tutup rapat-rapat.
Perempuan itu maklum. Tak banyak berkomentar, ataupun memberontak. Dia harusnya sudah paham sedari awal. Sudah bertanya dari awal. Namun, pesona Mas Pram seperti membungkam semua logika di otaknya.
Dan semuanya terungkap sore ini.
“Maafin Mas, Dek.”
Perempuan itu menggeleng perlahan. Mas Pram tak salah. Dia yang harusnya tahu diri.
“Tapi Mas terlanjur sayang denganmu,”
Ucapan Mas Pram seperti mantra baginya, juga candu yang menjalari setiap mili darahnya. Dia tersengat kembali. Dan logikanya kembali buntu oleh rasa yang tak bisa dia jelaskan dengan ucapan.
Perempuan itu luluh. Mas Pram memeluknya.
“Mas janji akan lebih sering ke sini.”
“Tapi aku takut, Mas.”
“Takut apa?”
“Takut jika suatu waktu keluarga Mas tahu.”
Mas Pram tertegun sejenak. Seperti berpikir sesuatu. “Tak akan. Mas pastikan itu.”  
Sore itu menjadi titik tolak hubungan mereka.
Mas Pram bahkan menepati janjinya. Seperti janji Panembahan Senopati kepada Ratu Kidul yang akan bertemu kembali di Batu Cinta. Mas Pram datang semakin rutin. Kadang menginap cukup lama. Bahkan beberapa kali diajak perempuan itu ke daerah asalnya. Dikenalkan kepada Mamak dan Roro.
Pernah suatu hari, mereka berdua ke Semarang menemui Mamak dan Roro. Sepulang dari sana, mereka sengaja tak langsung pulang ke Parangkusumo. Mas Pram mengajaknya pergi ke Bandung, berdua mengendarai mobil. Tiga hari mereka di Bandung berdua. Menelusuri setiap sudut kota kembang itu.
Perempuan itu tak merasakan hal apapun. Toh, mungkin inilah jalan hidupnya. Mencintai Mas Pram. Kota kembang menjadi saksi mereka, bahwa cinta mereka memang benar adanya. Mas Pram memperlakukan perempuan itu dengan dewasa. Memanjakannya.
Pagi hari di hari terakhir mereka di Bandung, perempuan itu menemukan dirinya di pelukan Mas Pram. Mas Pram masih tidur dengan kelelahan.
Perempuan itu membenamkan kepalanya dalam dada Mas Pram. Detak jantung Mas Pram terdengar lirih.
Jika memang ini adalah sebuah awal, perempuan itu tak pernah menyesal.
# # #
Suamiku pulang. Tampangnya sangat kusut. Belum pernah aku melihatnya seperti itu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Si kecil sudah tertidur.
“Tadi si kecil menunggumu. Baru saja dia tidur,” kataku.
“Aku berangkat maghrib,”
“Tak mampir ke mana-mana, kan?”
“Maksudmu?”
Aku tahu, tak pantas aku menghakimi suamiku seperti itu. Tapi perkataan ibu-ibu di arisan tadi, juga waktu aku pergi ke pasar, bahwa banyak para pekerja-pekerja proyek yang mencari kesenangan lain di tempatnya bekerja.
Mereka jauh dari keluarga, jauh dari istri untuk waktu yang cukup lama. Tak ubahnya sebuah pedang yang tumpul jika tak sering diasah dan digunakan. Mungkin itulah yang ditakutkan para istri mereka. Pasti mereka kesepian, lalu perlahan mencari kesenangan. Dan cinta, kesetiaan, bisa luruh karenanya?
“Tadi si kecil menunggu boneka yang kemarin dia minta.”
“Aku belum sempat membelikan.”
“Padahal kamu sudah berjanji waktu pulang kemarin.”
“Akan aku belikan besok di supermarket.”
“Lusa dia pentas di sekolahnya. Kamu bisa datang?”
“Besok pagi aku harus kembali. Ada yang mau kuurus di Jogja.”
“Kamu baru sebentar, Mas. Aku...”
“Mengapa sekarang kamu cerewet?”
Aku diam.
“Aku capek. Ngantuk. Aku mau tidur.”
Suamiku pergi ke kamar. Meninggalkan aku yang sendirian di ruang depan. Aku diam, tak berani aku membantah suamiku. Bukankah begitu kodrat seorang istri, harus menurut kepada suami. Aku takut dosa. Aku takut harus mempertanggungjawabkan semuanya di surga.
Kudatangi suamiku di kamar. Bau wangi badanku sudah sedikit menghilang. Kusemprot sedikit lagi bagian leher dan tanganku dengan parfum. Suamiku sudah tertidur di kasur. Aku berbaring di sampingnya. Berharap dia akan sadar dan memelukku.
Namun, tak ada reaksi. Beberapa menit setelah itu, kudengar dengkurnya. Aku maklum, dia pasti kelelahan. Namun, lebih lelah mana dengan rinduku?
Shubuh, sebelum si kecil bangun dan bersiap ke sekolah, suamiku sudah bergegas kembali.
“Aku harus kembali.”
“Tidak menunggu si kecil bangun.”
“Aku sudah menciumnya tadi.”
Lalu dia pergi, entah untuk berapa lama lagi. Aku tak tahu.
Dan ketika si kecil bertanya, apakah bapak akan datang ke pertunjukanku nanti, aku tak bisa menahan haru. Ingin rasanya menangis saat itu. Si kecil mungkin tak mengerti pilu yang kurasakan kini. Dia hanya tahu bahwa bapaknya tak datang siang itu. Dan boneka yang dijanjikannya juga tak kunjung datang. Si kecil pun melupakannya meskipun awalnya merengek terus kepadaku.
Dia tak lagi datang tepat waktu. Tak lagi menelpon setiap malam hanya untuk sekedar menanyakan kabarku. Menanyakan si kecil yang sudah masuk sekolah.
Tapi si kecil terus bertanya.
Di mana bapak?
Aku menjawab, dia sedang bekerja.
Kok tidak pernah pulang?
Aku menjawab, proyeknya sedang banyak.
Apakah nanti bapak akan membawakanku boneka kalau pulang?
Aku menjawab, pasti akan dibawakan.
Aku kangen bapak. Apakah bapak kangen denganku?
Aku diam, tak menjawab. Ada genangan air di sudut mataku yang kuseka diam-diam tanpa sepenglihatan si kecil. Mataku sudah bengkak, karena setiap malam terlalu lama menangis. Kulit keningku sudah terlalu keriput memikirkan setiap jawaban atas pertanyaan si kecil. Satu kebohongan akan berlanjut ke kebohongan selanjutnya.
Dan di ulang tahun si kecil yang kedelapan, dia kembali berjanji akan datang. Membawakan boneka beruang besar. Kubuatkan pesta kecil-kecilan untuk si kecil.
Baru kali ini bisa kubuatkan pesta, setelah kami lewati 7 kali ulang tahun bersama-sama. Namun, tak pernah kurayakan. Aku, suamiku, dan si kecil biasanya hanya akan pergi makan atau ke tempat wisata. Suamiku pasti akan cuti dan meluangkan waktu untuk si kecil. Tetapi, ketika si kecil benar-benar ingin dibuatkan pesta, suamiku justru tidak datang.
Si kecil menangis. Tak mau keluar kamar. Tak mau meniup lilin ulang tahun. Teman-temannya bingung, akupun bingung. Senja itu, si kecil benar-benar menangis.
Suamiku datang sehari setelahnya, membawa boneka beruang besar permintaan si kecil.
Si kecil tetap ngambek, tak mau ngomong.
Bapak minta maaf, kemarin banyak proyek. Bapak harus cari duit untuk membelikan adek boneka, kata suamiku meyakinkan si kecil.
Bapak jahat, kata si kecil.
Aku diam, tak ikut campur urusan anak bapak itu.
Suamiku membelai rambut panjang si kecil. Mencoba merayu.
Kita jalan-jalan yuk dek, bapak lagi pengen bakso nih. Nanti kita ke kebun binatang. Terus pulangnya kita beli baju. Gimana? Ujar suamiku. Si kecil menjawab, aku mau tas, sepatu, dan baju. Suamiku berkata, apapun akan bapak belikan. Lalu keduanya kembali akur.
Sebegitu mudahkah meluluhkan hati si kecil, atau sepintar itukah rayuan suamiku. Padahal aku sendiri masih tak bisa menerima alasan suamiku.
Dan suamiku menginap malam itu setelah seharian kami jalan-jalan ke kebun binatang, supermarket, dan makan bakso. Seperti janjinya. Kami ngobrol malam itu. Dia kembali romantis.
Katanya, dia kangen denganku. Kujawab, aku juga.
Tanpa cakap dia mencium bibirku, lama. Setelah sekian lama, kurasakan bibirnya kembali. Masih seperti dulu, dia pintar memainkannya. Kami berpanggutan cukup lama. Kami menanggalkan pakaian satu persatu. Dengan jeda sentuhan, belaian, dan ciuman.
Paginya, kami dibangunkan oleh ketukan pintu kamar oleh si kecil. Suamiku masih di sampingku dengan nafas memburu. Dan itulah terakhir kali aku mendengar suara nafas itu.
# # #
Perempuan itu memiliki rutinitas setiap akhir pekan di siang hari, yaitu mengajari gadis-gadis berbagai seni tarian di pendopo desa. Ilmu tari yang diwariskan dari Mamak, ia ajarkan dengan perlahan. Tetapi dari semua tarian yang ia pelajari, dia paling menyukai tari gambyong.
Seperti kata Mamak sewaktu dia kali pertama belajar tari gambyong. Tari ini tak pernah menampilkan emosi karena untuk menjaga sifat kewanitaan yang pada dasarnya halus dan lemah lembut. Sifat inilah yang dihormati, sehingga menjadi dasar setiap gerakan.
Tak akan pernah ditemukan dalam gerakan tarian gambyong luapan emosi penari. Semuanya lemah lembut dan halus. Tidak ada gerakan meloncat, tak ada tangan yang selalu lebih tinggi dari bahu. Tari ini mengungkapkan keluwesan, kelembutan, dan kelincahan seorang makhluk hawa.
Begitulah dulu Mamak selalu bercerita kepada perempuan itu. Agar perempuan itu senantiasa menjaga tingkah dan tuturnya. Juga agar para lelaki menghormati dan mengaguminya secara sempurnya.
Tak mudah untuk menarikannya. Seorang penari harus memiliki dasar tarian yang kuat, selain dari faktor kebiasaan dan kematangan. Biasanya tari gambyong dipentaskan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu perkawinan. Perempuan itu sangat mengenal tarian ini karena dulu sewaktu masih sekolah di SMK Pariwisata, dia sering diminta untuk menari di sekolah, di kampung ketika ada resepsi pernikahan, atau acara-acara khusus adat.
Dulu dia memang ingin sekali bercita-cita menjadi seorang penari. Jauh sebelum dia seperti ini.
Lalu Mamak dan Roro tak lagi bisa hidup dengan hanya jualan sayur di pasar. Sementara biaya kehidupan mulai naik sedikit demi sedikit. Mereka butuh nasi, butuh pakaian, dan tempat tinggal. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi, merantau.
“Mamak tak mengijinkan kamu ke Jakarta,” Mamak melarang perempuan itu.
“Kenapa, Mak?” tanya perempuan itu.
“Merantaulah, tapi jangan di sana. Kamu tidak lihat di TV, banyak anak gadis yang diperkosa di sana, banyak penjarahan dan preman. Mamak tak rela jika kamu ke sana. Kamu perempuan. ”
 Perempuan itu menurut saja. Dia lalu pergi ke Yogya, melamar menjadi seorang resepsionis hotel. Tiga tahun bekerja di sana, hingga dia bertemu dengan Tante Yanti di Pasar Beringharjo ketika dia sedang berbelanja. Tante Yanti menawari pekerjaan sebagai resepsionis di hotelnya. Gajinya lebih tinggi beberapa ratus ribu dan dapat tempat tinggal.
Perempuan itu setuju. Dia hijrah ke salah satu hotel di Parangkusumo, daerah di ujung selatan kota Yogyakarta. Tante Yanti menyukainya karena keluwesan perempuan itu.
Lalu ada tamu yang datang ke hotel Tante Yanti. Tamu itu menyukai perempuan itu. Datang setiap akhir pekan, membawa oleh-oleh.
Sekali datang biasa saja. Lalu datang lagi, masih biasa. Hingga dia mengajaknya bermain ke pantai. Berdua saja. Di sana, tamu itu mencium si perempuan. Perempuan itu yang masih lugu, diam biasa saja. Dia masih ingat pesan Mamak, bahwa perempuan harus lembut dan halus.
Lalu ada getaran hebat dalam dirinya saat tangan tamu itu mulai masuk ke roknya, kaosnya. Dan ketika pagi tiba, dia berada di salah satu kamar hotel Tante Yanti. Berselimut tebal. Sendirian saja. Tak ada siapa-siapa.
Tapi ternyata dia tak sendiri. Ada suara guyuran air di dalam kamar mandi. Perempuan itu diam, menunggu. Lalu si tamu keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk saja. Dia tersenyum kepada perempuan itu. Perempuan itu tertegun, lalu mengingat apa yang terjadi tadi malam.
Tadi malam, mereka berdua di pantai.
Lalu turun hujan.
Mereka ke hotel.
Ada Tante Yanti juga.
Lalu, si tamu menuntun perempuan itu ke sudut hotel. Ada desiran lagi yang muncul sangat hebat dalam hatinya, bulu kuduknya merinding.
Dan kini, dia tahu apa yang terjadi tadi malam.
Tamu itu lalu bergegas pergi. Meninggalkan perempuan itu bersama beberapa lembar uang seratus ribuan.
Yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro adalah dia hijrah ke Parangkusumo dan kini memiliki rumah di sana, pemberian Tante Yanti. Tante Yanti memberinya hadiah karena dia telah menjadi tambang emasnya selama beberapa tahun.
Yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro bahwa dia bukan lagi resepsionis hotel, tapi seorang penjual nasi goreng, bakmi godhok, kopi, di pinggiran jalan yang menghubungkan Parangkusumo dan Depok.
Yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro adalah dia sering menari di belakang rumah sembari menangis di pagi dan senja hari. Dia seperti terbelenggu oleh penjara. Lalu kembali tersenyum saat pelanggan-pelanggannya datang satu per satu malam harinya.
 Dan yang tak pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro bahwa dia seperti rindu akan sosok Bapak, lalu menemukannya pada tamu yang dulu mengajaknya ke pantai, lalu mencumbunya sepanjang malam. Tamu itu seorang lelaki 40 tahun yang memanjakannya. Seperti seorang bapak kepada puterinya.
Yang tak akan pernah ia ceritakan kepada Mamak dan Roro bahwa dia akan selalu membenci bapaknya, sampai kapanpun.
Namun, jika sore ini Mamak menelpon dengan tangis yang tersedu, memintanya untuk pulang pekan ini. Apakah rasa benci itu harus tetap tertahan? Bukankah yang meminta adalah perempuan yang dengan kekuatannya berjuang untuk membesarkannya. Sendirian saja.
Perempuan itu sedang membenarkan gerakan tangan seorang gadis yang ia ajari menari, saat dering handphone berbunyi di tasnya.
Dari Mamak.
“Pulanglah pekan ini.” Pinta Mamak. Perempuan itu diam. Tak menjawab.
Lanjut Mamak, “Pulanglah, karena ini Mamak yang minta.”
# # #
 Aku melahirkan lagi untuk kedua kalinya. Adik si kecil perempuan. Secantik si kecil. Dia lahir di Rumah Sakit Sayang Ibu, seperti kakaknya. Si kecil begitu gembira mendapatkan seorang adik yang sudah lama ia rindukan. Maaf sayang, baru sekarang bisa ibu penuhi. Ayah tak pernah lagi menjamah ibu seperti dulu, dengan cintanya. Terakhir adalah waktu itu, saat ulang tahunmu yang kedelapan. Dan dalam tarikan nafas terakhirku, aku berdoa kepada Tuhan. Ijinkan telur itu menjadi janin.
Benar saja. Aku muntah-muntah di suatu pagi. Mual rasanya perutku. Aku kembali hamil setelah kuperiksakan ke dokter.
Tapi kehamilanku yang kedua seperti tak diharapkan suamiku. Dia semakin jarang pulang ke rumah. Tak lagi mengajakku ke supermarket untuk membeli susu ibu hamil. Tak membelikan peralatan bayi.
Dia perempuan, seperti kakaknya, pakai saja bekas kakaknya. Kilahnya.
Aku diam tak membantah. Lagi-lagi aku ingin menjadi istri yang baik baginya. Aku memilih diam.  
Kemudian dia menghilang tanpa kabar untuk sekian waktu. Aku tak mencari. Toh, dia sudah cukup dewasa. Kujalani kehamilanku sendirian. Inilah yang berbeda dengan kehamilanku yang pertama. Tak ada suamiku di sisiku, bahkan ketika aku melahirkan sekalipun.
Suamiku baru datang ketika adik si kecil sudah berumur tujuh hari.
Ke mana saja, tanyaku.
Aku mencari uang, jawabnya.
Tak kubantah. Dia selalu beralasan sama. Bukankah itu yang selalu ia katakan kepadaku.
Adik si kecil tumbuh cepat tanpa kehadiran suamiku. Suamiku lagi-lagi menghilang. Pernah kubertanya, proyeknya di mana. Dia hanya menjawab, sedang banyak. Berpindah-pindah. Kadang di Cirebon, kadang ke Purwokerto, lebih banyak di Yogyakarta, tapi kadang juga di Surabaya.
Banyak uangnya, tak pernah sampai kepadaku, ujarku.
Dia menatapku tajam. Aku kalah, memilih diam. Lalu aku tak bertanya-tanya lagi.
Suatu minggu aku pergi ke pasar. Si kecil dan adiknya kutitipkan pada Mbok Minah, tetanggaku. Adik si kecil sudah bisa berjalan dan si kecil sudah pandai merawat adiknya. Si kecil begitu mencintai adiknya.
Di pasar sedang santer tersebar berita tentang pekerja-pekerja proyek yang senang main perempuan di daerah tempat proyeknya berlangsung. Untuk mengisi kesepian jauh dari istri, kabarnya. Bahkan ada yang rela meninggalkan istrinya karena telah menemukan wanita yang lebih muda dan segar.
Aku bergidik.
Kulihat diriku di pantulan kaca saat aku melewati penjual almari. Kulitku mulai keriput, tak sesegar dulu.
Lalu aku ingat suamiku. Dia yang kini jarang pulang.
Berita di pasar itu seperti tumpukan jerami yang disiram minyak tanah lalu disulut api. Cepat menyebar, cepat membesar. Perbincangan tentang lelaki-lelaki yang kerja jauh dari keluarganya lalu mencoba mencari kesenangan lain, bahkan ada yang sampai menikah lagi, tersebar begitu cepat.
Ada yang terang-terangan bercerita di depan umum, saat ibu-ibu berkumpul di penjual sayur di salah satu sudut pasar. Dia bercerita bahwa suaminya terang-terangan meminta ijin kawin lagi, karena di kota lain dia telah menanam benih pada seorang gadis desa yang masih cantik jelita.
Aku tak ada masalah, asalkan dapurku masih mengepul, dan emas di tangan dan leherku nambah, katanya, perempuan yang bercerita itu.
Yang lain menimpali, bahwa dia tak rela suaminya berbuat seperti itu. Dia memilih cerai. Tak mau dia dimadu.
Lain cerita dengan Yu Siam yang suaminya jadi supir truk antar kota, mengangkut pasir, semen, atau beras. Suaminya sering mampir ke warung-warung remang untuk melampiaskan hasratnya yang tak dipenuhi Yu Siam.
Aku diam. Ingin rasanya menutup telinga rapat-rapat mendengar kabar itu. Namun, dia seperti angin yang menyusup dengan leluasa di sela-sela telinga. Mengantarkan kabar itu ke otakku, lalu ke hatiku. Sesak rasanya di dada.
Bagaimana suamimu? Bukankah dia bekerja di luar kota juga? Tanya Yu Siam kepadaku. Aku hanya tersenyum.
Dia suami setia, jawabku dalam hati. Dia selalu setia seperti janjinya yang ia ucapkan dipernikahan kami dulu, juga janjinya kepada Bapak saat melamar dulu. Dia akan menjagaku seutuhnya dengan ikatan sakral perkawinan. Tak mungkin dia mengingkarinya, meskipun sudah sekian tahun lamanya.
 Aku memilih pulang. Meninggalkan orang-orang dengan sejuta pernyataannya tentang suami-suami mereka. Apa untungnya sebenarnya menjelek-jelekkan keluarga, bahkan suaminya, mengumbar aib di depan orang-orang. Di pasar pula.  
Petang itu, suamiku pulang setelah, lagi-lagi, sekian lama tak pulang. Kali ini dia terlihat lebih rapi dari biasanya. Lebih wangi dan tampak lebih muda dengan gaya rambut yang jabrik-jabrik ber-gel. Kapan terakhir dia memotong rambutnya menjadi model seperti itu? Bukankah ketika masih berpacaran denganku dulu.
Gaya berpakaiannya juga lebih trendy dengan jeans dan polo shirt warna putih. Yang lebih mengherankan, dia memakai kacamata hitam.
Dari mana, Mas, tanyaku. Penasaran.
Dari Yogya, kan, jawabnya. Dia duduk, lalu menyulut sebatang rokok.
Kubertanya lagi, sekarang ngrokok?
Dia mengangguk.
Sekarang tambah ganteng ya. Lebih gaya pakaian dan rambutnya, ujarku. Aku sedikit tertawa. Berharap dia akan menoleh ke arahku, lalu merayuku, menggodaku, seperti dulu. Tentunya dengan rayuan mautnya.
Tapi dia justru diam, menghisap rokoknya dalam-dalam. Sungguh seperti bukan suamiku yang kukenal.
Aku lapar, buatkan mie rebus. Jangan lupa kopi. Pintanya kepadaku.
Aku menurut. Kubuatkan mie rebus rasa ayam bawang kesukaannya, juga kopi tanpa gula. Kuantar kepadanya yang duduk di depan televisi menyaksikan berita banjir di Jakarta. Aku ikut duduk di sampingnya.
Kok mienya asin, komentarnya. Suamiku menoleh ke arahku.
Asin? Tanyaku.
Dia mengangguk, lalu berkata agak lantang, coba kau rasakan sendiri saja.
Kuambil alih mangkok di tangannya. Kuseruput sedikit kuah mie di dalam mangkok. Rasanya masih sama seperti mie yang biasa kubuatkan sebulan lalu, setahun lalu, lima tahun lalu. Sejak kita bertemu dulu.
Kopinya kenapa pahit, dia bertanya padaku.
# # #
Perempuan itu sedang duduk-duduk seorang diri di depan rumah. Menikmati keindahan sore. Hari ini adalah Kamis minggu kedua di bulan April, berarti dua hari lagi dia akan bertemu dengan Mas Pram. Dua hari lagi dia akan meluapkan kebuncahan rindunya pada sosok yang setiap waktu ada di pikirannya itu.
Mungkin benar kata orang, cinta memang selalu buta. Bukankah dia tahu, apa yang dia lakukan hanyalah menambah deretan dosa-dosa saja. Dia memeluk lelaki yang sudah punya orang lain, dia mencium lelaki yang bukan lagi sendiri, dia bercinta dengan lelaki yang sudah beranak pinak.
Bukankah itu semakin menambah luka, karena cintanya bukan hanya menyakiti dirinya, namun juga orang lain.
Tetapi, Mas Pram selalu bilang, dia begitu mencintainya. Tak ingin dia melepaskannya. Bukankah mulut lelaki selalu pintar berkata-kata. Tetapi mulut lelaki juga yang bisa menakhlukkan hati seorang wanita, sekeras apapun itu.
Perempuan itu pernah meminta agar hubungan mereka diakhiri saja. Karena dia tak ingin menambah rentetan daftar dosa-dosa, bukankah setiap malam dia sudah menabung dosa. Lalu jika ditambah dengan hubungannya dengan Mas Pram, itu akan menambah dosanya.
Dan Mas Pram tidak setuju. Dia tak ingin mengakhiri kisah cinta mereka hanya alasan itu. Perempuan itu sadar, dia juga sudah tergantung dengan Mas Pram. Hanya Mas Pram yang bisa membuatnya merasa nyaman berada di dekatnya. Mas Pram bisa ngemong tanpa menggurui, bisa membuatnya merasa sebagai seorang wanita yang perlu dihargai, bukan hanya budak nafsu dunia semata.
Tetapi, sepertinya bukan hanya dia yang begitu mencintai Mas Pram. Saat sore itu dia sedang duduk seorang diri, sebuah mobil Jazz warna metalic berhenti di depannya. Seorang perempuan, kira-kira berumur 45 tahun, seorang lelaki, kira-kira masih 30an tahun, dan anak perempuan kira-kira berumur 8 tahun, turun dari mobil.
Mereka mencari perempuan itu.
Perempuan itu menyambut keduanya, seperti dia menyambut tamu-tamunya yang lain. Masih dengan standar senyum yang sering membuat lelaki-lelaki takluk padanya.
“Kamu, Nur?” tanya tamu perempuannya.
Perempuan itu mengangguk. Dari mana dia tahu, tanya perempuan itu dalam hati.
Kedua tamunya berdiam diri cukup lama. Lalu si tamu perempuan tiba-tiba menangis sesegukan. Si lelaki yang menemaninya menenangkannya. Si tamu perempuan menghapus air matanya, mencoba menenangkan hati. Si lelaki mengelus-elus punggung tamu perempuan itu. Si anak perempuan ikut-ikutan menangis.
Perempuan itu bingung. Siapakah mereka? Datang tiba-tiba, lalu menangis tanpa sebab di depannya.
“Saya adiknya Mas Pram,” ucap tamu lelakinya.
Perempuan itu tersentak kaget. Adik?
“Dan saya istrinya,” kata tamu perempuan itu. “Ini anak kami yang kedua.” Tamu perempuan itu mengelus rambut si anak perempuan.
Ada hening yang tiba-tiba tercipta di antara mereka.
“Tolong tinggalkan suami saya,” pinta tamu perempuan.
Perempuan itu tercekat kerongkongannya. Ada semacam sumbat di sana, suaranya tak keluar sedikitpun.
# # #
Aku bertengkar hebat dengan suamiku. Ini belum pernah kami lakukan selama ini. Aku selalu mengalah kepadanya. Aku ingin menjadi istri yang baik. Ingin menjadi istri yang selalu mendampinginya. Aku tak ingin membangkang. Bukankah salah satu kodrat seorang istri adalah berbakti kepada suaminya.
Namun, rasa sesak di dadaku sudah tak terbendung lagi setelah apa yang kutemukan dalam jaketnya. Sebuah sapu tangan warna kuning. Ada bekas lipstik di sana. Lalu di dompetnya, yang belum pernah sekalipun kujamah, ada foto perempuan. Bukan aku. Perempuan berambut lurus sebahu dan berbibir tipis.
Dan di suatu malam, kucuri dengar suamiku menelpon, pasti perempuan yang fotonya ada di dompetnya. Suamiku tertawa cekikikan. Kadang merayu, kadang mesra, kadang gombal, kadang jorok.
Aku muak. Kututupi telingaku tak mau lagi mendengar, namun semakin kututup, suaranya semakin menusuk ke gendang telinga.
Akhirnya aku marah padanya. Aku menangis, semua sesak di dadaku seakan memaksa untuk keluar. Si kecil dan adiknya ikut menangis.
Awalnya dia diam. Tapi kemudian dia berkilah. Kami bertengkar hebat.
Dia bukan lagi suamiku yang kukenal dulu. Dia telah berubah menjadi harimau lapar  dan aku adalah ayam kampung yang siap disantapnya.
Lalu dia pergi, tanpa menyelesaikan semuanya. Meninggalkan aku yang meraung-raung di teras depan. Dia tak peduli. Kedua puteriku berteriak bersama memanggil bapaknya. Dia masih tak peduli. Dia membanting pintu mobil keras-keras, lalu pergi berlalu dari halaman rumah.
Emosi kadang membuntukan otak. Hingga syaraf-syaraf yang seharusnya bekerja dengan normal, menjadi terganggu. Mungkin itu yang terjadi dengan suamiku.
Yang kutahu, saat aku masih menangis di pelataran rumah, kudengar suara mobil berbenturan. Aku tercekat saat melihat mobil suamiku sudah ringsek ditabrak truk di depan rumah.
# # #
Perempuan itu tak lagi berhubungan dengan Mas Pram. Seusai tamu perempuannya, yang mengaku adalah istri Mas Pram, perempuan itu tak menghubungi Mas Pram. Berharap Mas Pram yang akan menghubunginya terlebih dahulu. Tapi ternyata harapannya palsu, Mas Pram benar-benar sudah tak menghubunginya.
Walaupun kadang di malam hari, rasa rindunya kembali mendera hebat. Ia ingin tahu kabar Mas Pram, ingin tahu keadaannya. Sedang apa dia?  Apakah dia sedang berdua bersama istrinya, bercumbu sepanjang malam tanpa henti. Ataukah dia sedang tamasya bersama keluarga. Atau justru mereka bertengkar hebat. Perempuan itu ingin tahu.
Di hari sabtunya, perempuan itu sebenarnya masih setia menunggu Mas Pram. Tetapi, Mas Pram tak datang.
Perempuan itu seperti seorang pesakitan yang kekurangan obat. Hatinya tiba-tiba ngelu. Setelah sekian lama dia mencintai Mas Pram dan menutup-nutupi hubungan mereka. Dia yang selalu deg-degan setiap bertemu dengannya. Dan sepertinya hormon norepinephrine telah benar-benar bekerja sempurna setiap dia bersama Mas Pram. Hormon itu menyebabkan detak jantungnya meningkat serta bingung harus berkata apa saat bersama dengan Mas Pram.
Tetapi kini, hormon itu tak lagi berfungsi.
Berhari-hari dia tak doyan makan. Warungnya tutup. Dia tak lagi menari setiap pagi dan sore hari, kebiasaan yang belum pernah dia tinggalkan. Tetapi, Mas Pram telah memporak-porandakan hidupnya. Beberapa pelanggan yang datang tak ia layani. Dia membisu dan tidak memiliki gairah lagi.
Sebulan sudah waktu itu berlalu. Mas Pram pun tak ada kabarnya lagi. Perempuan itu perlahan mulai untuk menata hidup kembali.
Mungkin dia memang harus benar-benar melupakan Mas Pram.
Dia mulai menyibukkan kembali dengan rutinitasnya. Mulai mencoba untuk mengembalikan feel-nya untuk menari. Dan entah karena apa, dia mulai tak menangis lagi saat menari di pagi dan sore hari. Dia justru tersenyum, bergembira meski kadang rasa sesak masih ada di dada.
Hanya matahari yang kini masih setia menemaninya, menemani kesendiriannya. Tamu-tamunya kembali melihat senyum manisnya. Senyum yang dulu sempat membuat lelaki seperti Mas Pram jatuh hati, kemudian membina hubungan dengannya meski terlarang.
Dan ternyata bukan hanya matahari yang kini menemaninya.
# # #
 “Namanya Galih, Mak,” kataku pada Mamak.
Akhirnya aku memutuskan pulang. Menemui Mamak dan Roro, tentunya bukan karena hal lain. Tak ada alasan lain selain mereka.
“Bukannya kemarin Pram?”
“Sudah ganti, Mak. Sekarang namanya Galih. Dia bekerja di pemerintahan.”
Mamak tak banyak komentar mengenai Galih. Mamak memang bukan tipe orang yang mau ikut campur urusan orang. Bukan pula orang yang ingin sok tahu. Hidupnya lurus saja. Bahkan karena terlalu lurusnya, beliau sampai tidak tahu bahwa lelaki yang ia cintai selingkuh dengan wanita lain.
Setelah setahun melupakan Mas Pram, kini aku dekat dengan Galih. Entah bagaimana awalnya, Galih datang di saat yang tepat. Dia datang dengan sejuta rasa cintanya. Meskipun jujur, awalnya aku tidak terlalu tertarik dengannya. Aku tahu dia mendekatiku.
Yang membuatku bingung adalah mengapa lelaki baik-baik seperti dia, yang kuanggap lurus dan tidak mungkin main perempuan, bisa jatuh cinta dengan seorang perempuan pekerja malam sepertiku. Akal logikaku masih belum bisa menerima. Dia tipe pria baik-baik yang memilih diam jika tidak diajak bicara. Dia tipe pria yang disukai ibu-ibu mertuanya.  
Tetapi pria pendiam itulah yang suatu malam dengan beraninya melamarku. Saat dia datang malam-malam basah kuyup sepulangnya bekerja.
“Aku bekerja untuk kamu, untuk membangun keluarga bersama kamu. aku tidak peduli siapa kamu, apa pekerjaanmu. Tetapi yang kuminta, jika kamu benar-benar mau bersamaku, berhentilah dari pekerjaan ini dan jadilah milikku seutuhnya,” ucap Galih waktu itu.
Ingin rasanya aku menangis waktu itu. Setelah sekian lama, lelaki hanya menginginkan tubuhku saja, untuk memuaskan nafsunya, masih ada orang seperti Galih, atau Mas Pram. Yang menerimaku apa adanya.
Ah, Mas Pram. Mengapa kamu masih ada di hatiku hingga kini.
Dan aku berpikir, aku memang seharusnya mulai memikirkan masa depanku. Iri rasanya melihat perempuan-perempuan bersama suaminya pergi bersama, bercanda bersama buah hatinya. Ingin rasanya aku seperti itu. Dulu aku ingin menikmati hal itu bersama Mas Pram.
 “Aku ikut bahagia, Nur, kamu sudah memilih lelaki terbaik menurutmu. Mamak hanya bisa berdoa agar kamu selalu bahagia.”
Aku menatap Mamak. Wanita itu seperti kehilangan cahayanya setelah ditinggal suaminya. Padahal jelas-jelas suaminya sudah selingkuh dengan wanita lain. Sudah jelas-jelas waktu aku masih kecil, suaminya selalu pergi tak pernah pulang. Tetapi wanita itu masih setia, masih menunggu, hingga siksa batin kemudian membuka matanya.
Mungkinkah itu yang dirasakan istri Mas Pram, kesepian. Sementara suaminya bersama orang lain.
Aku kembali menepis pikiranku tentang Mas Pram.
“Padahal Mamak ingin mengenalkanmu dengan anaknya teman Mamak. Dia seorang guru dan sedang mencari seorang istri.”
“Galih juga lelaki yang baik kok Mak. Tidak seperti...,” kugantung kalimatku. Bayangan Bapak dan Mas Pram bergantian berkelebat.
“Kamu masih membenci Bapakmu?”
Bapakku? Bapakku yang selingkuh?
Lalu apa bedanya dengan Mas Pram? Pikiranku yang lain tiba-tiba bertanya. Aku diam. Entahlah, mungkin memang cinta tak butuh logika dan kadang hidup memang tak butuh untuk berpikir tentang hal-hal seperti itu.
“Mamak dan Roro akan ziarah ke makam Bapak sore ini. Kamu mau ikut?”
# # #
Untuk pertama kalinya aku mendatangi makam Bapak. Untuk pertama kalinya kutabur bunga ke atasnya.
Untuk pertama kalinya, aku meneteskan air mata.
Bapak, pernahkah kamu tahu. Dulu sewaktu kecil aku sangat merindukanmu ketika kamu pergi dan tak pulang-pulang. Pernahkah kamu tahu sampai detik ini aku masih marah karena dulu kamu pernah tak datang ke ulang tahunku. Padahal kamu sudah berjanji membawa boneka. Bahkan bakso dan jalan-jalan yang kamu berikan tak bisa mengobati luka di hatiku.
Bapak, pernahkah kamu tahu. Sampai sekarang aku masih mengingatnya.
Bapak, pernahkah kamu tahu, aku merindukan sosokmu. Aku butuh perhatianmu.
# # #
Aku pulang ke Jogja setelah seminggu berada di Semarang. Selama di sana, kuajak Mamak dan Roro jalan-jalan.
“Nur, kamu kerja apa sih di Yogya?” tanya Mamak suatu sore. Entah mengapa Mamak tiba-tiba menanyakannya.
“Resepsionis hotel, Mak. Tapi nanti setelah menikah dengan Mas Galih, aku akan berhenti jadi resepsionis Mak. Aku mau buka sanggar tari saja.”
Mamak tak lagi banyak bertanya setelah kujawab. Mungkin dia hanya iseng bertanya. Yang jelas, dia seperti bangga padaku. Itu terlihat dari sorot matanya yang berbinar.
Oh, matahari, ingin rasanya aku segera menari di bawah sinarmu di gumuk pasir. Aku ingin menangis di sana.
Matahari, pernahkah kamu tahu, tetes air mataku belum seutuhnya bisa menghapus dosa-dosaku. Itu justru mengingatkanku, betapa apa yang kulakukan hanyalah tabungan-tabungan dosa dan karma. Betapa aku telah melukai banyak sekali hati para istri yang tak mengerti kelakukan suami mereka bersamaku.
Galih mungkin yang nanti menjadi ujung dari pencarian jati diriku. Dia mungkin adalah titisan Tuhan untukku. Galih bukanlah sosok yang sempurna, tetapi setidaknya kini hatiku telah memilihnya.
Dia lelaki yang baik, sejauh ini aku mengenalnya seperti itu. Tidak neko-neko. Bahkan menyentuh tanganku saja dia tidak berani. Apalagi menciumku.
Walaupun sampai detik ini, saat Galih sudah di hatiku, nama Mas Pram masih melekat juga. Terselip di antara berjuta darah yang mengalir.
Akhirnya aku kembali ke rumahku di Parangkusumo. Langit masih cerah, matahari masih bersinar. Ingin rasanya aku menari kembali di bawahnya. Menikmati sisa-sisa sore sebelum nanti malam Galih datang menjemputku. Kami akan jalan-jalan berdua.
Galih tipe lelaki yang romantis. Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia akhirnya memutuskan melamarku di tepi pantai saat bulan purnama sedang terang-terangnya. Dia berlutut di depanku. Memintaku untuk mendampingi mengarungi kehidupan bersamanya.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju rumah Mbak Anis yang terletak tepat di depan rumahku. Kemarin sebelum pergi ke Semarang, kutitipkan kunci rumah kepadanya. Aku meminta tolong agar setiap sore lampu rumah dinyalakan.
Kuketuk pintu rumah Mbak Anis. Sepi. Tidak seperti biasanya. Padahal ini malam minggu. Biasanya warung Mbak Anis sudah ramai pelanggan. Tapi kini sepi. Apakah Mbak Anis pergi?
Tapi pintu depan seperti tidak dikunci. Kuberanikan untuk masuk, siapa tahu Mbak Anis sedang memasak di dapur dan tidak mendengar.
Sepi. Tak ada orang. Di depan kamar Mbak Anis aku berhenti. Aku tahu itu kamar Mbak Anis, karena hanya itu satu-satunya kamar di rumah ini. Terdengar bunyi berisik di dalam kamar itu.
Mungkin Mbak Anis sedang menjamu tamunya.
Memang benar, terdengar bunyi derit tempat tidurnya yang lumayan keras hingga ke luar. Juga suara Mbak Anis yang kadang manja, kadang merintih, diselingi tawa kecil seorang lelaki.
Tubuhku mengejang, aku seperti mengenal tawa itu. Kuintip kamar Mbak Anis melalui celah pintu yang ternyata sedikit terbuka. Di sana kulihat Mbak Anis bersama seorang lelaki, berdua saja, tanpa busana.
Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku mengejang. Ingin aku segera pergi ke belakang rumah, menari di atas gundukan pasir di bawah matahari. Ingin rasanya kunikmati itu sendiri. Lalu menangis sejadi-jadinya. Cincin yang diberi Galih malam itu, di pantai saat melamarku, tiba-tiba lepas dari jari manisku.
# # #
Catatan:
(1)  penguat dalam pernikahan
(2)  bukan harta atau fisik
(3)  tetapi hatilah modal utamanya
(4)  sekali jadi, jadi selamanya
(5)  jika mudah, semakin gampang
(6)  jika sulit, sulitnya bukan main
(7)  tak bisa ditebus dengan harta

4 comments

  1. Nebaca lirik di atas agak merinding aku, sukses buat tulisannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih kedatangan dan komentarnya.
      Tunggu dongeng-dongeng lainnya.

      Salam Ndongeng.
      Wira

      Delete
  2. Gatau kenapa, malah sedih sekali di bagian jalan-jalan ke kebun binatang :(

    ReplyDelete
  3. wah, yang ini agak mistis juga.
    hmm, matahari bisa jadi inspirasi ya untuk perempua di cerita ini :)

    ReplyDelete