[DONGENG] LONCENG KEMATIAN



Pagi tadi diawali dengan kisah seorang wanita yang membunuh bayi yang dikandungnya dengan mencekik leher bayi itu. Kubaca di sebuah koran lokal ibukota. Siangnya, berita kriminal di salah satu stasiun televisi menceritakan tentang seorang suami yang tega membunuh istrinya sendiri, karena ketahuan selingkuh. Lalu, ada seorang mahasiswi yang bunuh diri karena hamil di luar nikah.
Dan karena cerita-cerita inilah, aku menulis dongeng ini. Seperti layaknya dongeng-dongeng lain, ini hanyalah khayalan belaka. Dongeng ini kuberi judul : LONCENG KEMATIAN. 

Sepertinya malam telah menelan keramaian kota. Kengerian tercipta seiring dengan munculnya suara binatang malam. Hujan baru saja reda, tapi rintiknya masih sedikit ada. Sesaat lagi, jarum panjang menyelesaikan tugasnya yang sangat panjang, berputar-putar seperti komedi putar, berkeliling menempuh angka satu ke angka lain. Dan ini dikerjakan selama 24 jam, tak pernah mengeluh ‘aku sudah lelah’.
Rintik hujan mengiringi langkahku, merembes di antara rajutan benag wol yang membungkus tubuhku yang mulai kedinginan. Aku menggigil beberapa kali. Hujan malam ini turun lebat sekali hanya dalam hitungan detik, lalu kembali reda setengah jam kemudian. Bau tanah setelah hujan sungguh  tak mengenakkan, tapi lebih tak mengenakkan jika harus berjalan sendirian seperti ini.
Aku berjalan cepat-cepat. Aku tak tahu tujuan. Langkahku tak mau berhenti, padahal aku tak mengerti ingin pergi ke mana. Langkahku semakin cepat, semakin cepat. Setelah kusadari, aku diuntit sedari tadi.
Dialah si lonceng kematian. Yang sejak tadi menguntitku. Berbunyi lirih, menyayat. Tak berhenti. Ting ting ting. Seperti itulah suaranya. Menggema di telingaku. Namun, aku membiarkannya. Karena aku menginginkan mereka menemaniku melewati garis-garis kesepian ini, menemani telingaku yang sesungguhnya terganggu oleh detak-detak suara jam tanganku yang menakutkan.
Lonceng kematian itu berhenti berbunyi. Petir menyambar.
Aku menutup kedua telingaku erat-erat. Suaranya tak lebih baik dari detak jam dan lonceng tadi. Mengapa suara-suara tiba-tiba menyeramkan seperti ini.
Ketiganya lalu menusuk-nusuk gendang telingaku bersamaan. Setiap detiknya, aku merasakan betapa sakitnya suara mereka menggerogoti telinga. Aku menjerit keras. Hujan turun lebat, lagi. Melemaskan tubuhku. Lalu terdengar suara-suara menertawakanku. Awalnya satu, lalu dua, lalu banyak.
Suara itu dari dedaunan di sekelilingku.
“Kau tak mungkin selamat. Kau tak mungkin selamat.” Suara daun bersorak-sorak mengejekku. Disusul oleh derai tawa lain. Hujan terpingkal-pingkal. Detak jam bersuara lebih kencang. Sepertinya penderitaanku adalah bagian dari kesenangan mereka.
Aku tak bisa mencegah mereka. Aku tak bisa. Daun-daun jumlahnya banyak, hujan yang turun beribu-ribu. Tak mungkin aku menghapus tawa mereka satu persatu dengan tanganku.
“Hujan bukan menertawakanmu, akupun begitu. Aku mengingatkanmu, bukan memutar balikkan. Kau yang menginginkannya. Kau yang menginginkannya.”
Mereka tertawa cekikikan.
Aku menunduk, memandang tanah becek di bawahku. Tanganku sudah lelah memegangi kedua telingaku. Aku pasrah. Kupandangi genangan air yang memantulkan sorot lampu jalan. Genangan itu mendadak menjadi sebuah layar. Aku dan kamu ada di situ. Sore itu. Ketika kita duduk-duduk di serambi rumahmu sembari menikmati segelas kopi buatan istrimu.
“Apakah kamu masih tak mengerti? Siang hari di televisi, kita sering melihat bahwa kematian adalah hal yang telah biasa. Biasa untuk kita nikmati. Malamnya, kematian masih menghiasi, bahkan ketika kita sudah akan tidur. Apakah kamu tidak pernah melihatnya? Pembunuhan,  bunuh diri, atau apalah namanya.”
Kamu tertawa renyah, persis suaramu ketika aku berkata demikian sehari lalu, dua hari, seminggu, dua minggu, atau sebulan lalu. Dengan topik bahasan yang masih sama.
“Sudahlah, kamu tak perlu tertawa seperti itu, Kawan. Mengapa kamu masih belum percaya kepadaku?”
“Percaya apa? Percaya bahwa mati itu enak. Sontoloyo kamu. Jangan membiasakan lidahmu itu berkelit kata hal-hal yang bukan-bukan. Ke sini kau ikuti, ke sana kau kejar.”
“Ah, sudahlah. Memang susah bicara denganmu. Diajak mencari solusi, malah membuatku semakin bingung dan kesal.”
Kamu memicingkan mata. “Jadi, dia masih mengejarmu?”
“Siapa?” tanyaku.
“Kematian.”
Diam. Lalu kamu tertawa terbahak sambil memegangi perut.
“Iya, dia masih datang setiap malam. Setiap hari malah. Seperti menguntitku. Mereka membawa lonceng. Lonceng kematian.” Aku menghela nafas. “Jadi, jawab pertanyanku ini. Apakah mati itu enak?”
Kulihat kopimu berhamburan keluar dari cangkir yang kamu pegang. Kamu sendiri terbatuk-batuk karena tawamu terlalu keras. Kamu meletakkan cangkirmu di atas bangku, lalu kembali tertawa.
Apakah pertanyaanku lucu?
“Apakah pertanyaanku salah?”
Kamu menggeleng. “Tidak, tidak. Hanya saja...aneh. sangat aneh. Anak usia 5 tahun juga akan menertawaimu jika mendengarnya. Pertanyanmu konyol.”
“Kenapa?”
Kamu kembali mengangkat cangkirmu. Menyeruputnya berulang-ulang. Aku berhenti bertanya dengan pertanyaan yang kamu anggap konyol.
“Sebenarnya hanya orang bodoh yang bertingkah sepertimu tadi. Menertawakan pertanyaanku yang sejujurnya sangat berbobot.”
“Maksudmu?”
“Kamu sejak dulu tak pernah mengerti? Bukankah sudah kukatakan berulang kali. Tentang kematian, kehidupan setelah hidup, dan kehidupan setelah mati. Kamu pun tahu, koran-koran selalu memberitakan kematian. Televisipun begitu. Dia itu selalu ada.
“Siapa?”
“Kematian.”
“Ya, memang.”
“Nah itu kamu tahu. Pembunuhan anak oleh ibunya, saudara oleh saudaranya, suami istri, bunuh diri karena ini itu, perang negara, bom bunuh diri. Kematian juga ada di suatu negara karena teknologi. Jadi...”
Kamu menunggu kelanjutan ucapanku.
“Jadi...kematian selalu mewarnai hidup kita. Ya, karena kita hidup.”
Kamu tampak mengerutkan kening, kali pertama kulihat sebiji, lalu dua, tiga, dan sekarang tiga. Kamu pasti belum mengerti.
“Kamu pasti tahu, tanpa kehidupan episode kematian tak akan pernah ada. Bagaimana mungkin, sesuatu yang tak hidup harus melewati garis kematian.”
“Jadi, sampai detik ini, kamu masih menganggap kematian itu sesuatu yang komersiil, dapat dibeli, dan mudah dilakukan.”
“Memang begitu kenyataannya.” Aku tertawa. “Ternyata kamu masih ingat perkataanku tempo lalu. Bagaimana aku tak berkata seperti itu, kematian itu seperti murah diperjual belikan.”
“Tak semua seperti itu. Tak semua orang menghendaki kematian. Dan mungkin sedikit orang yang tahu kehidupan setelah mati. Dan aku pikir, kamu sedikit melupakan-Nya, kekuasaan-Nya, takdir-Nya.”
“Takdir? Takdir sudah tak berlaku di kehidupan ini karena manusia sudah memanipulasi semua takdir. Jika kematian dikaitkan dengan takdir, maka seharusnya tak ada berita-berita seperti itu di koran dan televisi. Tak mungkin ada kematian yang mudah, enteng, gampang. Janji dan sumpah saat kita di alam sebelum rahim ibu, saat kaki, tangan, dan otak kita belum ada, telah kita nodai. Kita bersumpah bahwa hidup untuk memelihara hidup.”
“Jadi maksud pertanyanmu tadi adalah....”
“Tepat. Aku ingin mati. Aku ingin merasakan nikmatnya mati, seperti yang dilakukan orang-orang. Mungkin suami membunuh istrinya yang selingkuh karena suami itu menginginkan istrinya hidup bahagia di surga, mungkin begitu juga dengan anak-anak bayi yang dibunuh ibunya sebelum lahir, atau perang-perang saudara di negara lain. Karena mereka tahu kehidupan setelah di dunia sangat menyenangkan.”
“Kamu gila. Kamu seperti tidak mengenal Tuhan.”
“Siapa yang gila? Aku tak gila. Aku hanya ingin membuktikan.”
“Bagaimana jika anggapanmu salah.”
“Tak ada penyesalan setelah mati.”
Gemuruh petih kembali terdengar di kepalaku.
“Aku ingin mati karena setiap saat kematian selalu datang membuntutiku ke mana saja aku pergi. Dia seperti menempel di dalam tubuhku dan keluar melalui pantatku untuk membentuk ekor yang panjang. Jika tak berani mengambil keputusan, dia akan selalu membayangiku.”
“Jangan gila.”
Gemuruh petir membuyarkan segalanya seiring dengan perkataan terakhirmu. Derap-derap suara sepatu datang membayangiku. Mereka telah datang. Malaikat-malaikat pejemput maut bersama lembaran-lembaran catatan kehidupanku, dosa dan pahala lebur menjadi satu.
“Mereka datang,” ucap dedaunan lembut. Yang lain mengiyakan.
Suara hujan bersahutan.
“Aku belum ingin mati. Aku belum ingin mati,” ucapku lantang.
Daun kembali berbisik.
“Bukankah kamu menginginkannya.”
“Sekarang tidak.”
“Mengapa?”
“Aku tak ingin. Aku tak ingin. Sekarang bukan takdir matiku.”
“Kata siapa. Sekarang saatnya, sekarang saatnya.
Aku menggeleng kuat. Tamparan daun kurasakan. Hujan deras turun. Kurasakan tangan malaikat menyentuhku, menyeretku paksa.
“Arggghhhh....” Suara perempuan.
Jadi malaikat itu....perempuan?  
Suara itu disusul oleh suara pecahan gelas di lantai. Mataku membuka, kulihat istriku terkapar tak berdaya di lantai.
“Ada apa?” kulihat tempat tidurku berantakan sekali.
“Kamu ke kantor tidak?” Istriku berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya. Dia tidak parah. Dia justru tersenyum. Astaga, bagaimana bisa aku ingin mati padahal aku memiliki istri semanis dan sebaik dia.
Aku melirik jam dinding. Jam 08.00.
Sejam kemudian aku sudah berlari di koridor panjang kantorku.
Saat melewati ruangan Jovan, teman baik di kantorku, aku berhenti. Kulihat dia duduk termenung memandangi segelas air. Di sampingnya ada foto istri dan anaknya. Matanya bergerak antara gelas dan foto.
“Daripada dipandang teru, aku minum ya? Haus nih. Tadi aku nggak sempat minum gara-gara bangun telat.” Aku merebut gelas di tangan Jovan, lalu dengan cepat meneguhk air di dalamnya. Habis, tanpa sisi.
Jovan hanya melongo memandangiku.
“Sebenarnya, aku sudah mengerti semua ucapanmu kemarin. Semalaman aku sudah memikirkannya. Semuanya. Dan benar katamu, mungkin kehidupan setelah mati lebih menyenangkan. Mungkin manusia akan memperoleh kenikmatan,” kata Jovan pelan.
Aku melihat setumpuk koran kriminal di samping laptopnya. Beritanya semua tentang kematian.
“Lalu?”
“Aku berniat bunuh diri, pagi ini. Karena sudah tidak kuat dengan keadaan keluargaku. Istriku ngomel terus, dia bahkan menuduhku selingkuh. Ya, walaupun itu benar, aku selingkuh dengan Clara, teman kita yang paling cantik itu. Tapi, aku punya alasan. Aku butuh perhatian, aku butuh wanita yang mengerti aku. Aku capek diomelin terus. Tapi, aku mengaku salah. Ternyata istriku adalah wanita terbaik yang diberikan Tuhan. Aku juga sudah punya anak. Jadi, aku menyesal. Aku ingin bunuh diri. Aku ingin bunuh diri dengan meminum racun. Aku berpikir sejenak dan memandang foto istri anakku untuk mengucapkan maaf dan selamat tinggal. Tapi...kamu malah meminum racun yang kutaruh di minuman yang kamu rebut tadi.”
Aku melongo, melihat wajah Jovan yang mulai samar. Berganti dengan wajah istriku yang tersenyum seperti pagi tadi.
Gelas di tanganku jatuh, berderai.
# # #

2007, dari dongeng saat SMA kelas XII.

4 comments

  1. mantep ceritanya.... bakal betah kayaknya di sini....
    saya cicil bacanya 1 kali tiap malem aja deh... hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat membaca kisah yang lain ya :)

      Salam Ndongeng

      Delete
  2. keren bro.
    parah emang ni si jovan, kinin orang minum racun gara2 dia mau bunuh diri

    ReplyDelete
  3. Keren bro dongengnya :) Nggak sia-sia baca dari tadi

    ReplyDelete